-That's Why He My Man-
●●●
Bali dan pantai. Dua kata yang dulu terasa seperti mimpi bagi seorang perempuan dengan balutan blouse warna maroon dan bawahan rok model mermaid berwarna beige. Perempuan itu duduk dengan kaki yang agak ditekuk guna menopang lipatan tangan yang jadi tumpuan dagunya. Menghabiskan waktu beberapa jam di sini, ia jadi berpikir, berapa uang yang sudah dikeluarkan suaminya untuk liburan saat ini? Pasti lebih dari 2 juta.
Dia Arabella Zahra atau yang akrab disapa Bella, perempuan berdarah jawa yang usianya sebentar lagi 28 tahun. Bella diam-diam mendesah tak enak hati. Mengingat permintaan random yang ia sebut ketika sedang menangis akibat kelelahan bekerja di akhir semester kemarin. Masih terekam dengan jelas ketika dirinya pulang ke rumah dengan keadaan basah kuyup dan disambut panik oleh suaminya.
Perempuan itu hanya menangis sampai satu jam lamanya setelah suaminya bertanya, ada apa dengan dirinya hari ini?
Pertanyaan sederhana itu merobohkan tameng yang ia bangun. Meluluhlantakkan dinding tinggi yang menjadi pembatas dirinya untuk terus bertingkah sok kuat.
“Mas, aku capek. Aku pengin resign aja. Aku gamau kerja lagi. Aku kesel kena tegur terus. Apa sih salahnya kalo aku berangkat kerja telat? Lagian aku juga ga tiap hari telat kan, Mas? Aku juga udah kerjain semua tugas bahkan sebelum deadline-nya pasti udah kelar. Aku udah konsultasiin semua hal-hal yang memang perlu dikonsultasiin. Kenapa sih masih kurang terus? Kenapa harus aku yang selalu disalahin? Karena aku yang paling muda gitu? Iya kek gitu?”
Akhir semester memang selalu jadi bulan paling hectic dalam dunia pendidikan. Ujian tingkat akhir, ujian kenaikan kelas, mengurus LHB, mengurus class meet, merencanakan piket libur semester, belum lagi masih harus menyusun kegiatan untuk SPMB. Kepala Bella rasanya mau pecah ketika menjalani rentetan hari-hari padat tersebut.
Bella menghela napas pelan. Nasi sudah menjadi bubur, dia juga sudah sampai di Bali. Pulau yang langsung ia sebut ketika suaminya menawarkan liburan sebagai penghiburan dirinya. Bella pikir suaminya bercanda saat mengiyakan ucapannya. Namun di sinilah ia sekarang, menatapi gulungan ombak yang memecah batu karang. Menikmati senja di pantai yang rasa-rasanya tidak akan membuatnya bosan untuk berkunjung. Imajinasinya masih terus melalang buana, sampai sebuah cardigan tersampir menutupi pundaknya.
“Makasi, Mas,” tutur Bella pelan sembari mengeratkan cardigan di tubuhnya.
“Kamu nggak laper?” tanya lelaki di sampingnya.
Bella menoleh, memandang lelaki yang resmi jadi miliknya. Sah di mata agama dan negara. Perempuan itu tersenyum mengingatnya. Melirik jari manis miliknya yang dilingkari oleh cincin sederhana dengan satu mata berlian. Ia pikir ini mimpi, karena memiliki lelaki yang saat ini duduk bersamanya sangatlah sulit. Butuh banyak waktu dan perjuangan untuk bisa sampai di titik ini.
“Kita kan baru makan dua jam yang lalu, Mas. Kamu udah laper lagi?” Bella balik bertanya. Merasa lucu dan gemas dengan sosok di hadapannya.
Lelaki itu dibuat salah tingkah. Ia berdehem. Menetralisir debaran jantungnya yang menggila. Senyum istrinya adalah sesuatu yang tidak pernah gagal membuatnya berdebar, ia juga merasa lucu dengan dirinya. Jatuh cinta setelah halal memang selucu ini kah?
Selama ini ia tak pernah berpikir akan sejauh ini. Namun bersama Bella, ia bahkan yakin dengan usahanya dalam membuat perempuan itu tersenyum. Mengusahakan semua untuk Abel-nya.
“Mas, kok malah ngelamun sih?” sentak Bella. Kembali menyadarkan suaminya dari pikiran yang entah sedang lari kemana.
“Maaf, ya. Jadi kamu tadi mau makan apa?”
Bella tergelak pelan, suaminya benar-benar kehilangan fokus rupanya. Perempuan itu beranjak dari duduknya yang kemudian diikuti oleh suaminya. Keduanya berjalan bersisian menelusuri tepi pantai.
“Aku bahkan belum kepikiran mau makan lagi,” ucap Bella. Diliriknya sekilas ekspresi wajah sang suami yang saat ini bingung. “Tapi kalo Mas kasih ijin, aku pengin coba makan lobster satu aja yang gede nanti dibagi dua, gimana?” lanjut Bella mengusulkan.
Bella berusaha sebaik mungkin memimpin percakapan mereka, mengingat keduanya memang jarang terlibat dalam obrolan panjang. Sebagai seorang anak pertama, jiwa kepemimpinannya tentu masih belum tergoyahkan. Namun dalam kasus ini, ia memahami bahwa suami brondongnya ini masih malu-malu untuk banyak berkata di hadapannya.
Lelaki itu menimbang-nimbang kemudian mengangguk pelan menyetujui. “Okey, ayo kita coba,” putusnya yang kemudian diakhiri dengan jemari yang menelusup di antara sela jari Bella.
“Makasi ya, Mas. Maaf kalo aku ngerepotin,” ujar Bella.
Lelaki di samping Bella menggelengkan kepalanya. Ia menghentikan langkah, diikuti dengan Bella. "You deserve it, Abel. Kamu sudah bekerja keras dan kamu pantas untuk dapat reward. Anggap aja ini hadiah dari aku karena kamu udah bantu aku buat isi planning keuangan rumah tangga kita," ucap lelaki itu lugas.
Bella tersenyum. Bekerja adalah hobinya dan ia tidak benar-benar berniat berhenti. Bella realistis, ia butuh uang untuk hidup. Maka meski sudah menikahpun, baginya bekerja masih menjadi sesuatu yang patut ia lakukan. Toh suaminya tidak melarang. Justru menjadi pendukung nomor satu dirinya. Bahkan tidak protes meski Bella kerap kali meninggalkan dirinya di pagi buta mengejar waktu agar tidak telat datang ke tempat kerja.
Lelaki itu bahkan rela terjaga usai tahajudnya demi membantu urusan dapur. Bella memang tak pernah absen dalam menyiapkan sarapan, tetapi perempuan itu selalu saja lupa mengurus dirinya sendiri. Maka, suaminya dengan baik hati ikut andil mengurus Bella. Menyiapkan bekal bahkan menyetrika baju yang akan istrinya pakai. Sesekali, suaminya juga akan mengantar Bella ketika kendaran pribadinya itu terjadwal untuk diservice. Mengantar tentu sudah pasti ia akan dijemput pula. Meski kadang harus menunggu lama, tapi Bella menikmati semua proses di dalam rumah tangga barunya ini.
“Terima kasih, Mas. Aku nggak yakin, kalo bukan kamu orangnya, mungkin aku selamanya tetap jadi Bella, bukan Abel.”
Suaminya tersenyum. Ia mengangkat tangan Bella yang berada dalam genggamannya. Mengecupi punggung tangan perempuan itu sampai Bella memerah malu. “Mas ih, udah. Diliatin orang nanti,” protes perempuan itu yang diakhiri dengan mendapat kecupan singkat di pipi Bella.
“Ih, Mas! Kamu tuh dibilangin susah!” Bella menghentakkan kakinya pelan ketika melihat jiwa jahil suaminya sedang aktif menggoda dirinya. Suaminya bahkan kini mundur perlahan dan mulai berlari, lelaki itu menjulurkan lidahnya meledek Bella.
Jiwa kompetitif Bella tersulut. Perempuan itu langsung berlari mengejar suaminya. Tak peduli lagi jika keduanya jadi bahan tertawaan orang karena bertingkah seperti anak-anak. Dengan lelaki ini, Bella lepas topeng yang selama ini menutupi wajahnya. Dengan lelaki ini, ia bebas menjadi dirinya sendiri. Hanya dengan lelaki ini dan akan selalu begitu sampai nanti.
●●●
-That's Why He My Man-