Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let Me be a Star for You During the Day
MENU
About Us  

Asia dan ibunya duduk berdampingan di kursi sofa panjang. Gadis muda itu memegang kedua tangan ibunya dengan penuh kasih. Dia begitu menyayangi ibunya. Tidak pernah sekalipun dia berharap akan menyakiti ibunya hari itu.

Setelah semua yang sudah terjadi, ibunya tetap mau berbicara dengannya. Walaupun beliau tetap bersikukuh untuk tidak lagi menyetir maupun memberikan keputusan untuk anaknya lagi. Asia merasa ini saatnya ia berbaikan dengan ibunya.

Dia tidak ingin membiarkan luka ibunya semakin dalam seperti apa yang dirasakan oleh Aria dan kedua orang tuanya. Luka batin yang menjadi jurang pemisah di antara mereka sehingga semakin lama hubungan keluarga bisa menjadi asing. Asia mulai menitikkan air mata.

“Bu, aku ingin berterima kasih kepada ibu. Berkat ibu, selama ini aku bisa belajar banyak hal. Merancang jadwal, selalu berpikir maju ke depan, dan membantuku memikirkan masa depan yang terbaik untukku. Aku sadari bahwa ibu tidak pernah gagal membesarkanku. Ibu berhasil mengajariku untuk menjadi wanita yang lebih kuat, mandiri dan tidak bergantung pada siapapun,” ucapnya memulai pembicaraan. Ibunya melihatnya dengan tatapan bingung karena tiba-tiba anaknya mengajaknya berbicara serius dengannya. Dan kini anaknya malah berterima kasih padanya.

“Asia, kamu tidak sedang sakit kan? Kamu demam?” tanya ibunya sambil memegang kening anaknya, mengira-ngira suhu tubuh anaknya. Asia memegang tangan ibunya lagi sambil terkekeh.

“Ibu, aku tidak sedang sakit ataupun demam,” katanya.

“Ibu rasa kamu kelihatan aneh hari ini,” ucap ibunya lagi. Sudut matanya terlihat mengamati keadaan anaknya sampai detail.

“Ibu, hari ini aku ingin berbicara baik-baik dengan mengatakan semua yang ada di pikiranku. Aku tidak akan lagi menyalahkan ibu yang dulu sering mengambil alih keputusan untukku. Semenjak ibu memutuskan untuk berhenti memberikan keputusan apapun padaku, jujur.. rasanya aku menjadi kesulitan dalam banyak hal. Seperti orang yang buta arah tanpa kompas penunjuk arah,” mendengar hal itu, membuat ibunya mendengarkan penjelasan Asia dengan lebih seksama.

Asia mengungkapkan semua yang dirasakannya, “Tetapi dari situ, aku bisa belajar banyak hal baru. Karena ibu yang selalu mengajariku kalau sebagai wanita harus pantang menyerah membuatku kembali bangkit, walau tertatih. Awalnya aku merasa hancur, tetapi sekarang aku bisa mengatasinya dengan baik. Aku menemukan diriku yang baru di sepanjang perjalananku yang sekarang.”

Ibunya terus mendengarkan dalam diam. Asia menelan ludah sesaat. ‘Ini saatnya aku membahas hal yang sedikit sensitif. Aku harus mengatakannya selagi sempat. Karena tidak akan ada hari lagi dimana aku bisa berani meluahkan perasaanku pada ibu,’ Asia mencoba memantapkan hatinya untuk bisa berbicara di hadapan ibunya.

Gadis itu kembali melanjutkan kata-katanya, “Pandanganku tentang masa depan masih terasa samar. Tetapi aku sadar akan satu hal, diriku masih berproses untuk menjadi pribadi yang lebih baik daripada sebelumnya. Aku ingin ibu tidak perlu terlalu mencemaskan masa depanku. Karena mulai hari ini, Asia yang baru, akan tetap melangkah maju dan berpikir ke depan. Aku akan melakukan berbagai hal yang positif, lalu memupuknya hingga tumbuh seperti tanaman dengan bunga yang mekar sempurna. Semua pengalaman yang aku alami itu akan mengantarkanku sampai menuju ke masa depan yang sudah menungguku disana.”

Untuk pertama kalinya Asia memberanikan diri untuk mengatakan semua hal yang ia pendam selama ini kepada ibunya. Asia merasa bahwa ibunya juga berhak tahu jikalau anaknya masih belum tahu mau kemana dan bagaimana gambaran masa depannya secara jelas. Tetapi Asia juga menjelaskan bahwa dia tidak hanya akan diam menunggu masa depan itu datang. Asia dengan dirinya yang baru akan tetap berjalan dengan tangguh dan semakin berani menghampiri masa depannya kelak.

Tangan ibunya tidak bergerak. Beliau hanya menatap Asia dalam diam. Tetapi sorot matanya mulai berubah.

Diam-diam Asia merasa takut jikalau dia akan dimarahi lagi. Ibunya mulai membuka mulutnya, “Ibu senang mendengarnya. Kamu bisa mengambil keputusan masa depanmu sendiri dengan tegas. Awalnya ibu ragu karena melepasmu itu tidak mudah. Tetapi semakin lama ibu menjadi sadar kalau kamu sudah bukan anak kecil lagi. Kamu sudah tumbuh dewasa dan sudah saatnya bisa memiliki keputusan sendiri. Maaf ya, nak. Karena selama ini ibu sudah berbohong padamu dan juga berbohong dengan banyak orang. Ibu tidak akan mempermasalahkan lagi bagaimana cara kamu menjalani hidupmu, yang terpenting kamu tidak membohongi dirimu sendiri.”

Asia langsung menangis keras. Bukan karena sedih, tetapi karena merasa lega. Dia tidak menyangka kalau ibunya ternyata sangat sayang padanya dan memahami keadaannya. Gadis itu memeluk erat ibunya. Begitu pula dengan ibunya yang juga membalas pelukan anaknya sembari mengelus-elus rambut anaknya dengan lembut.

“Terima kasih, bu. Aku sayang banget sama ibu,” ungkapnya di sela tangisnya. Ibunya mengangguk.

“Ibu juga. Selamanya juga selalu sayang padamu.”

***

Seorang wanita paruh baya memasuki ruangan kamar yang tampak gelap gulita. Beliau berjalan sampai di depan tirai yang tertutup rapat. Dengan sigap, wanita itu menggeser tirai selambu dengan kedua tangannya hingga seberkas cahaya terang masuk menembus ruangan kamar itu. Wanita itu tersenyum kala menemukan anaknya perlahan membuka matanya dan terbangun karena cahaya dari sinar matahari memenuhi ruangan kamarnya.

“Aria, ayo bangun. Pagi ini kamu ada kelas kan?”

Aria manggut-manggut di sela kantuknya. Matanya masih setengah tertutup. Ibunya segera memberikannya handuk dan mendorongnya sampai masuk ke dalam kamar mandi.

“Dasar. Anak itu masih saja seperti dulu. Susah sekali dibangunkan. Andai saja Aquara masih ada, pasti saat ini dia yang membangunkan Aria. Aih, anak-anakku,” kata ibunya berbicara sendiri.

Saat ia hendak keluar kamar, langkahnya terhenti dan melihat kertas yang sudah dilipat dalam bentuk pesawat. Ibu Aria mengingat masa lalu dimana dulu suaminya yang mengajari anak-anaknya membuat pesawat terbang. Namun Aquara lebih memilih bermain kapal kertas daripada pesawat kertas.

Kala itu suaminya tidak sesibuk sekarang. Dia masih memiliki banyak waktu luang untuk bermain dengan anak-anaknya. Saat dilihat lebih jelas, pesawat kertas itu terdapat tulisan yang membuat ibu Aria penasaran.

Ibunya menoleh ke arah pintu kamar mandi. Masih terdengar suara Aria yang sedang mengguyur badannya dengan air. Diam-diam ibunya melangkah keluar kamar dan bergegas menemui suaminya di dalam kamar.

“Bapak, coba lihat ini,” kata ibu Aria sambil menunjukkan pesawat kertas di depan wajah suaminya yang baru saja mengencangkan ikat pinggangnya. Bapak Aria tersenyum melihatnya.

“Pasti Aria yang membuatnya ya, bu? Anak itu.. sudah besar kok masih suka bikin pesawat kertas.”

Ibu Aria berseru dengan gemas, “Bukan pesawat kertas ini, bapak! Tetapi tulisan ini. Ibu penasaran ingin baca apa yang tertulis di dalamnya.”

Bapak Aria melihat sederet kalimat yang tidak lengkap karena tulisannya terlipat ke dalam. Bapak Aria mulai membaca tulisan tersebut, “Saya takut bicara, takut dianggap lemah, takut dicap.. Ah! Iya, bu. Tidak bisa terbaca dengan jelas. Buka saja. Siapa tahu tulisan ini berkaitan dengan keadaan Aria sekarang.”

Ibu Aria membukanya perlahan. Saat kertas itu terbuka, terdapat tulisan panjang seperti sebuah surat. Ibu dan bapak Aria duduk di atas ranjang, membaca surat itu bersama-sama.

 

          Surat Aria untuk Bapak dan Ibu

Bapak, ibu, saya minta maaf kalau surat ini mengejutkan kalian berdua. Saya menulis karena saya tahu, selama ini saya terlalu sering diam. Saya takut berbicara, takut dianggap lemah, takut dicap anak durhaka. Tapi saya lelah karena terus berpura-pura kuat.

Sejak Kak Aquara meninggal, saya tahu ibu dan bapak kehilangan bagian penting dari hidup kalian. Tapi sejujurnya, saya juga kehilangan arah. Saya sering merasa seperti bayangan kak Aquara yang selalu harus sebaik dia, secerdas dia, sekuat dia. Padahal saya bukan dia, pak, bu.

Saya cuma Aria, anak bapak dan ibu yang sering menangis diam-diam di kamar karena merasa tidak pernah cukup. Saya tahu kalian ingin yang terbaik untuk saya. Tetapi saya ingat sekali saat bapak bilang, “Kamu nggak kenapa-napa, kamu cuma cari perhatian,” rasanya seperti luka yang tak terlihat menjadi semakin berdarah.

Saya sudah empat tahun ke dokter jiwa bukan karena saya gila, pak, bu. Tapi karena saya ingin tetap hidup. Saya ingin sembuh. Saya ingin tetap jadi anak bapak dan ibu dalam versi saya yang utuh, bukan versi yang kalian berdua harapkan.

Saya tahu kata ‘depresi’ dan ‘dokter jiwa’ terdengar menakutkan. Tapi lebih menakutkan lagi kalau saya harus menjalani semuanya sendirian. Saya nggak minta bapak dan ibu mengerti semuanya sekarang.

Saya hanya minta sedikit ruang untuk didengarkan, untuk dihargai, untuk merasa cukup sebagai diri saya sendiri. Saya sayang bapak dan ibu. Tetapi sekarang, saya juga sedang belajar menyayangi diri saya sendiri. Tolong jangan jadikan saya musuh hanya karena saya sedang mencoba sembuh.

 

Dari anak bungsu kalian,

Aria

 

Bapak dan ibu Aria membaca surat itu sampai berderai air mata. Mereka tidak pernah tahu bahwa selama ini anak bungsunya mengalami rasa sakit yang dalam. Anak keduanya yang selama ini berusaha bangkit sendiri dari luka yang dideritanya.

Ibu Aria melihat suaminya yang masih meneteskan air mata. Beliau mengusap air mata yang meleleh di pipi suaminya. Bapak Aria juga mengusap air mata istrinya.

“Kita harus berbicara lagi dengannya,” ucap bapak Aria. Ibunya mengelus pundak suaminya. “Tetapi tidak untuk memarahi, membentak, ataupun menghakiminya lagi.”

“Kita harus melakukan apa yang seharusnya orang tua lakukan kepada anaknya,” jawab ibu Aria.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari depan pintu kamar mereka yang setengah terbuka. Aria berdiri disana dengan penampilan rapi dan tas ransel yang menggantung di pundak kanannya.

“Bapak, ibu. Saya mau pamit berangkat kuliah,” katanya dengan sopan. Bapak dan ibunya menghampirinya secara bersamaan. Aria bingung melihat kertas yang ada di tangan ibunya.

“Loh, kertas itu kok ada pada kalian?” tanyanya bingung. Dia hampir saja marah lagi karena lagi-lagi orang tuanya mengambil barang miliknya tanpa sepengetahuannya. Tetapi saat bapak dan ibunya mendekap dirinya ke dalam pelukan, membuat amarahnya kian mereda. “Bapak, ibu. Kalian kenapa.. Kok..?”

Terdengar isak tangis dari orang tuanya. Entah kenapa tangisan orang tuanya membuat Aria menjadi lemah. Dia juga ikut menangis.

“Aria, kamu benar-benar anak yang kuat. Andai saja bapak yang menjalani hari-hari sepertimu, mungkin bapak akan semakin tersiksa. Bapak mengerti sekarang kenapa kamu dan kakakmu ingin mengakhiri hidup kalian. Itu semua karena bapak dan ibu gagal menjadi orang tua yang baik untuk kalian,” bapaknya mulai berbicara. Sementara ibunya masih terus menangis. Aria menggelengkan kepalanya.

“Bapak jangan bilang seperti itu. Aku juga tahu betapa kak Aquara menyayangi kalian berdua. Kalian adalah orang tua yang hebat. Hanya saja, seperti kak Aquara juga, aku pun terlalu rapuh untuk menjalani semua permintaan bapak dan ibu. Padahal semua tuntutan yang kalian berikan juga demi kebaikan kami berdua,” jawabnya.

Ibu Aria mengusap-usap air mata dari wajah anaknya. Lantas beliau berkata, “Kami tidak akan memaksamu untuk melakukan apa yang kami minta. Bapak dan ibu hanya ingin Aria menjadi diri sendiri dan menemukan jalanmu sendiri. Entah itu kelak meneruskan usaha rumah makan Aquaria ataupun kamu menemukan jalan hidupmu sendiri, bapak dan ibu akan tetap mendukung keputusanmu. Anakku, kamu berhak untuk bahagia.”

Aria melihat wajah kedua orang tuanya secara bergantian. Mereka berdua mengangguk yakin sembari tersenyum tulus padanya. Melihat reaksi keduanya, membuat Aria semakin terharu. Ia kembali memeluk kedua orang tuanya.

“Ibu, bapak. Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih..,” katanya di sela-sela tangis kebahagiaannya.

***

“UAPA..?!! Kalian berdua jadian?!” kedua mata Marella membelalak lebar. Kedua tangannya menjambak rambutnya yang ikal, saking tidak percayanya dia. Mayu dan Satria saling melempar senyum. Yang lebih mengejutkan, Marella bisa melihat tatapan keduanya yang penuh cinta.

Semula Asia dan Marella makan bareng di meja kantin sambil menunggu kedatangan Mayu, Satria, dan juga Aria. Dikarenakan waktu dari mata kuliah Kewarganegaraan dimundurkan sekitar satu jam lagi, Asia mengajak Marella sarapan bersama di kantin.

Saat Marella memakan mie gorengnya, gadis itu langsung tersedak saat melihat Mayu dan Satria berjalan menghampiri mereka sambil bergandengan tangan. Asia segera memberikan segelas es teh yang ada di depan Marella. Gadis itu meminum segelas es teh sampai habis.

Dari situlah, Mayu dan Satria menyatakan kepada kedua temannya kalau mereka ingin menjalani hubungan yang serius. Marella masih merasa jika itu hanya mimpi baginya, “Hei, Sat. Baru kemarin kamu jadi mak comblang Aria dan Mayu, lah malah kamu yang kepincut.”

Satria menggaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum malu. “Kemarin aku dipaksa jadian sama Mayu. Kalau nggak, sepatunya bakalan dimasukkin ke dalam mulutku.”

Marella mengernyitkan dahi dengan pandangan jijik. “Idih, May. Itu beneran??? Suka heran deh sama kamu.”

“Hey, itu nggak benar ya!” serunya di depan Marella. Lalu Mayu melotot ke arah Satria yang tertawa terbahak-bahak karena Marella mempercayai bualannya.

“Nggak benar kok, Mar. Kemarin saat aku dikejar sama Mayu, mendadak dia menarik kerah bajuku dari belakang dan mengakui perasaannya yang sudah dia pendam selama ini.”

Marella mengacungkan kedua jempolnya seraya berseru, “Oowww.. Waw, nggak nyangka ya, ternyata Mayu seberani itu. Mantap!”

“Padahal selama ini aku juga menaruh hati padanya. Kukira dia yang nggak peka. Eh, ternyata kita yang sama-sama nggak peka wokokokoo..,” Mayu menutup mulut Satria. Gadis itu lantas menarik tangan Satria dan mengajaknya duduk di sebelah Marella. “Lah, kursi di tempat Asia masih kosong tuh. Kenapa malah duduk barengan di tempatku sih. Tempatnya jadi sempit nih. Satria, duduk disana, gih,” suruh Marella. Dia masih tidak biasa melihat kedua temannya yang terlihat menyilaukan baginya.

“Aku saja yang duduk disini,” tiba-tiba Aria datang dan duduk di sebelah Asia. Dengan sekali melihatnya, Asia bisa tahu kalau Aria terlihat begitu bahagia hari ini.

“Hari ini kamu kelihatan senang sekali. Apa.. ada hal baik yang terjadi?” bisik Asia padanya. Aria mengangguk sambil sumringah.

“Ada dong. Tadi aku mulai berbaikan dengan orang tuaku,” bisiknya juga. Mendengar hal itu, membuat Asia hampir melonjak kegirangan. Gadis itu kembali menurunkan kedua tangannya. Dia bisa melihat bahwa Marella dan Satria menatap curiga padanya.

“Ngapain kalian bisik-bisik?” tanya Satria. Marella ikut mengangguk.

“Iya, nih. Sepertinya Asia mendadak ingin joget tadi.”

Mayu yang duduk diantara mereka berdua langsung memutar bola matanya dengan kesal. “Duh, kalian berdua ini masa nggak peka sih?! Aku saja tahu kalau mereka berdua memiliki hubungan khusus.”

“Oh jadi begitu ya. Berarti aku dapet dua peje nih hari ini,” gumam Marella. Satria mengernyitkan dahinya tidak mengerti.

“Peja.. Peje.. Apaan tuh?”

Marella menanggapinya, “Ya pajak jadian lah. Apalagi coba?”

Asia jadi salah tingkah.

“Eh, kalian tuh salah paham. Kami hanya berteman dekat. Itu saja. Iya kan, Aria?” tanya Asia sembari menoleh ke arah Aria. Cowok itu tidak menjawab. Dia malah kelihatan sedikit shock. Asia mulai ngambek karena tidak dihiraukan oleh Aria. Bibirnya mengerucut ke depan. “Terserahlah,” katanya.

Mayu memberi isyarat pada Satria untuk mengajaknya pergi. Satria memahami situasi tersebut. Dia langsung berdiri. Begitu juga Mayu yang menarik tangan Marella seraya berkata, “Ayo, Mar! Sekarang kita traktir kamu sepuasnya.”

Marella menelan mie-nya yang baru saja habis. Gadis itu agak kaget karena Mayu menganggap serius candaannya tentang pajak jadian. “Ah, nggak ah! Aku sudah kenyang,” tolaknya.

Mayu menarik tangannya lagi. “Sudah, ayo ikut kita sekarang. Kamu bisa beli bakso, gorengan, siomay, batagor, apapun itu. Lumayan kan, bisa dibawa pulang ke rumah.”

Marella langsung berdiri dengan wajah sumringah. “Cihuy! Jajanan gratis! Tunggu apa lagi, ayo! Perutku masih lapar nih.”

Giliran Marella yang menyeret tangan Mayu dan Satria. Sementara Asia hanya tersenyum sambil melirik ke arah Aria yang masih terkekeh melihat kepergian teman-temannya. Sepeninggal teman-temannya, mereka berdua duduk dengan rasa canggung.

“Kamu tahu gelang ini?” kata Aria sambil menunjukkan gelang berwarna kuning cerah yang berada di lengan kanannya. Asia mengangguk.

“Itu gelang power balance kan? Kamu kelihatan suka banget sama gelangnya. Kemana-mana kamu pakai gelang itu terus kan?”

Aria mengusap-usap lembut gelang yang berada di pergelangan tangannya itu. “Gelang ini milik kak Aquara. Dia memasang gelang ini di tanganku saat kami berada di taman pada malam itu. Tanpa aku tahu kalau ternyata benda aksesoris ini adalah pemberian terakhir darinya.”

Hening. Asia tersenyum tipis saat melihat Aria memainkan gelangnya itu.

“Kakakmu di atas sana pasti senang melihatmu sudah menemukan arti senyuman dan kebahagiaan yang sesungguhnya. Aku pun juga senang melihatmu bahagia seperti ini, Aria,” kata Asia memulai pembicaraan lagi. Aria menganggukkan kepala sambil tersenyum.

“Aku juga senang karena bisa bertemu denganmu, Asia. Sedari awal kita bertemu, aku sudah punya insting kalau kita bakalan bertemu lagi.”

Asia tertawa kecil mendengarnya. “Ya nggak perlu insting juga. Bukannya sedari awal kita sudah tahu ya kalau kita berada di jurusan yang sama. Otomatis kelas kita sama dong dan pasti akan sering bertemu.”

“Andai saja buku aku tidak hilang. Pasti kamu bakal percaya dengan pertemuan pertama kita,” kata Aria lagi. Kemudian Asia teringat buku milik Aria yang masih ada padanya.

“Oh! Maksudmu buku tulis bersampul merah yang ada tulisannya 'My Art Life'?”

Aria terkejut mendengarnya. “Loh kok kamu tahu?” tanyanya balik. Asia tertawa lagi.

“Ya ampun! Buku itu masih ada di rumahku. Tunggu dulu, jadi beneran yang kamu gambar itu aku? Aku sempat merasa nggak asing sih dengan gambar itu. Ternyata kamu punya bakat menggambar juga ya.”

Aria mengusap tengkuk lehernya dengan malu-malu, “Ah, itu cuma hobi kok. Umm.. Sebenarnya kali pertama aku melihatmu itu saat kamu berjalan memasuki kampus dengan wajah tegang dan berjalan tegap sampai di papan pengumuman. Tidak pernah aku melihat seseorang yang sangat serius sepertimu. Aku sempat berpikir, apa seseorang sepertimu pernah merasa bahagia. Karena tidak terlihat sedikitpun seulas senyuman dari bibirmu. Saat mendekatimu, aku baru sadar bahwa kamu seperti memikul beban yang berat di pundakmu. Entah kenapa, jari telunjukmu mengarah pada sebaris nama, tetapi kamu terlihat begitu tertekan. Kamu menutup mata seakan-akan tidak ingin sedikitpun melihat hasilnya.”

“Oh, jadi cowok yang berbicara padaku waktu itu adalah kamu?” tebak Asia. Aria menganggukkan kepala.

“Saat aku tahu kalau kamu diterima menjadi mahasiswa disini, membuat dadaku terasa berdebar seketika. Kamu tahu kenapa?”

Asia menggeleng tidak tahu.

“Itu karena kamu terlihat sangat jujur dengan apa yang kamu rasakan. Kamu menelepon keluargamu dan memberi kabar baik dengan wajah sumringah seolah-olah dirimu sudah melakukan wisuda. Kejujuran darimu itu yang membuatku semakin ingin mengenalmu. Makanya saat aku tahu kalau kamu diterima di jurusan Psikologi, aku langsung bergegas untuk mengganti pilihan pertama dengan pilihan kedua, yaitu Psikologi.”

“Hah? Kenapa kamu lakukan itu, Aria? Seharusnya kamu lebih memikirkan masa depan..,” ucapan Asia terhenti. Dia teringat dengan percakapan mereka saat berada di perpustakaan. Aria hanya ingin ‘rasa damai'. “Tunggu, apa kamu mengira dengan melakukan hal itu bisa menuntunmu menuju rasa damai?”

Aria tertawa keras sampai air matanya keluar. Kemudian cowok itu melipat tangannya di meja. “Tepat sekali, Asia. Aku selalu mengikuti instingku. Aku merasa ada ‘sesuatu' yang menarikku padamu. Ternyata benar, seiring waktu mengenalmu.. Aku mulai menemukan kedamaian dalam diriku. Aku juga ingin kamu mendapatkan hal yang sama, rasa damai.”

Giliran Asia yang mengulum senyum. “Anehnya, aku juga menganggap pertemuan kita itu cukup unik. Awalnya aku membencimu karena kita tidak seirama dan kamu benar-benar seperti penghalang masa depanku. Tetapi semakin mengenalmu, membuatku semakin yakin kalau pertemuan kita itu sudah takdir. Bertemu denganmu dan semua orang yang ada disini membuatku belajar banyak hal. Bukan hanya sekedar materi ilmu, tetapi aku bisa menjadi lebih peka, peduli, dan mengenal apa itu rasa.”

Mendengar penjelasan Asia membuat cowok itu menunduk sambil tersenyum karena tersipu malu.

Melihat cowok di sebelahnya agak salah tingkah, membuat Asia ikut tertawa kecil. “Aku nggak nyangka kalau kita semua bisa menjadi sangat dekat sekarang. Padahal sebelumnya aku ragu akan memiliki teman di kelas. Karena seorang Asia yang dulu agak.. ambisius dan terlalu pemilih dalam berteman. Walaupun sekarang aku rasa sudah tidak seperti itu, tetapi aku masih merasa kalau aku harus merubah diriku menjadi lebih baik lagi.”

Aria langsung menanggapinya, “Yang paling susah itu bukan berubah, tapi jujur sama apa yang kita rasain.”

Asia terkekeh lagi.

“Kamu sadar nggak sih. Sebelumnya kamu sudah pernah mengatakan hal itu padaku loh. Mungkin sekarang sudah yang keseratus kalinya.”

Aria ikut tertawa.

“Berarti aku harus membuat materi quotes yang baru lagi kali yaa?” katanya. Keduanya saling tertawa tanpa beban. Lalu mereka berdua seketika berhenti tertawa kala mata mereka saling bertemu.

“Asia, boleh aku menulis sesuatu di dalam jurnal harianmu?” tanya Aria kemudian.

Asia mendadak menjadi tegang melihat tatapan serius dari wajah Aria. “Bo.. Boleh. Sebentar,” Asia segera mengambil pulpen dan membuka bagian halaman yang kosong.

Aria mulai menulis. Gadis itu penasaran dengan apa yang ditulis oleh orang disampingnya itu. Setiap Asia ingin membacanya, pada saat itu juga Aria menutupi tulisannya dengan tangannya. Dia terus menulis. Asia menjadi sangat penasaran.

Aria menutup buku jurnal itu dan memberikannya kembali kepada pemiliknya. Lantas dia berdiri dan beranjak pergi. Asia heran dengan sikap Aria yang cukup aneh dimatanya. Cowok itu berbalik lagi.

“Aku ke kelas dulu ya,” katanya. Aria bergegas pergi meninggalkan Asia dengan seulas senyuman yang tidak dapat ditahannya.

Di sisi lain, Asia merasakan debaran yang cukup kuat di hatinya ketika melihat buku jurnal harian di tangannya. Dia pun membuka halaman yang ditulis oleh Aria sebelumnya.

 

Asia, let me be a star for you during the day. Seperti bintang yang sembrono menampakkan dirinya di siang bolong, seperti Aria yang hadir di dalam kehidupan Asia secara tiba-tiba dan memporak-porandakan kehidupanmu yang sebelumnya sangat tertata. Kehadiran bintang itu tidak masuk akal memang, tetapi siapa sangka diriku juga membiarkanmu menjelajahi kehidupanku dan bisa menjadi bintang yang berkilauan di tengah kegelapan. Hingga tanpa sadar, masing-masing dari bintang saling menemukan sinarnya kembali.

 

Dari teman bukan sekedar teman,

Aria

 

Gadis itu terdiam dalam waktu yang cukup lama dengan senyuman yang sedari tadi terukir dari bibirnya. Dia menggigiti kukunya, kemudian mulai tertawa kecil ketika membaca tulisan Aria berulang kali.

Lantas Asia membalik halaman berikutnya. Kosong. Halaman itu adalah halaman terakhir dari buku jurnal harian nya yang kesekian kalinya. Ia menatap halaman terakhir di buku jurnal tersebut.

“Kalaupun aku tidak mengisinya, bukan berarti aku menyerah untuk merencanakan hidup. Tetapi karena aku tahu kalau tidak semua hal bisa dikendalikan,” ucapnya pada diri sendiri.

Kemudian Asia memutuskan untuk menulis lembar terakhir tersebut.

 

Jurnal Maretku,

Aku mulai menulis lagi. Tapi bukan keluhan. Bukan amarah. Hari ini aku menulis tentang rasa terima kasih. Pada diriku yang terus bertahan. Pada orang-orang yang hadir. Pada proses yang ternyata tidak semenyakitkan seperti yang kupikirkan dulu.

Dulunya aku pikir, menemukan diri sendiri itu soal memilih jalan yang paling benar. Tetapi sekarang aku sadar kalau hal itu adalah tentang bagaimana mengenali diriku, mencintainya, dan memaafkan semua ketidaksempurnaannya. Aria pernah bilang, ‘Yang paling susah itu bukan berubah, tapi jujur sama apa yang kita rasain.’ Dan sekarang aku paham. Mungkin ini bukan akhir, tapi aku yakin.. kalau aku sedang menuju ke sana.

Aria tetaplah Aria yang penuh kejutan, kadang telat, kadang tenang. Tapi kini aku tidak lagi ingin mengubahnya. Aku hanya ingin berjalan, perlahan dengan luka yang dikenali, harapan yang tumbuh, dan rencana baru yaitu menjadi versi terbaik dari diriku sendiri.

 

Asia menutup buku jurnal hariannya. Dimasukkannya pulpen dan buku jurnalnya ke dalam tas ranselnya. Kemudian ia berbalik hendak bergegas pergi ke kelas. Tetapi ternyata Aria menunggunya disana. Cowok itu berdiri sambil bersandar di tembok yang tidak jauh dari tempat Asia berdiri.

Keduanya saling melempar senyum. Seuntai senyuman yang tidak lagi penuh kepalsuan, keraguan, ataupun rasa canggung. Senyuman itu murni adanya dimana tersimpan perasaan lega disertai debaran yang tak terhingga.

Asia memang pernah gagal mendapatkan kampus impiannya. Gadis itu juga pernah gagal mendapatkan nilai bagus pada salah satu mata kuliahnya. Tetapi pada kenyataannya, Asia telah menyadari satu hal yang kini sangat disyukurinya yaitu ia tidak gagal dalam menemukan dirinya yang sejati.

 

                                   TAMAT

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
FaraDigma
1331      665     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
Air Mata Istri Kedua
155      138     0     
True Story
Menjadi istri kedua bukanlah impian atau keinginan semua wanita. Begitu juga dengan Yuli yang kini telah menikah dengan Sigit. Seorang duda yang dia kenal satu tahun lalu. Pernikahan bahagia dan harmonis kini justru menjadi bencana bagi Yuli saat dia mengetahui jika Sigit sebenarnya bukanlah seorang duda seperti yang dia katakan dulu. Pria yang diketahui bekerja sebagai seorang pelayan di seb...
Lost Daddy
5297      1200     8     
Romance
Aku kira hidup bersama ayahku adalah keberuntungan tetapi tidak. Semua kebahagiaan telah sirna semenjak kepergian ibuku. Ayah menghilang tanpa alasan. Kakek berkata bahwa ayah sangat mencintai ibu. Oleh sebab itu, ia perlu waktu untuk menyendiri dan menenangkan pikirannya. Namun alasan itu tidak sesuai fakta. AYAH TIDAK LAGI MENCINTAIKU! (Aulia) Dari awal tidak ada niat bagiku untuk mendekati...
Menjadi Aku
513      396     1     
Inspirational
Masa SMA tak pernah benar-benar ramah bagi mereka yang berbeda. Ejekan adalah makanan harian. Pandangan merendahkan jadi teman akrab. Tapi dunia tak pernah tahu, di balik tawa yang dipaksakan dan diam yang panjang, ada luka yang belum sembuh. Tiga sahabat ini tak sedang mencari pujian. Mereka hanya ingin satu halmenjadi aku, tanpa takut, tanpa malu. Namun untuk berdiri sebagai diri sendi...
Pertualangan Titin dan Opa
3553      1359     5     
Science Fiction
Titin, seorang gadis muda jenius yang dilarang omanya untuk mendekati hal-hal berbau sains. Larangan sang oma justru membuat rasa penasarannya memuncak. Suatu malam Titin menemukan hal tak terduga....
Merayakan Apa Adanya
485      349     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Who are You?
1414      637     9     
Science Fiction
Menjadi mahasiswa di Fakultas Kesehatan? Terdengar keren, tapi bagaimana jadinya jika tiba-tiba tanpa proses, pengetahuan, dan pengalaman, orang awam menangani kasus-kasus medis?
Kainga
1400      811     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
Perverter FRIGID [Girls Knight #3]
1503      655     1     
Romance
Perverter FIRGID Seri ke tiga Girls Knight Series #3 Keira Sashenka || Logan Hywell "Everything can changed. Everything can be change. I, you, us, even the impossible destiny." Keira Sashenka; Cantik, pintar dan multitalenta. Besar dengan keluarga yang memegang kontrol akan dirinya, Keira sulit melakukan hal yang dia suka sampai di titik dia mulai jenuh. Hidupnya baik-baik saj...
Fidelia
2157      940     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...