Sore ini adalah minggu kelima Aria menjalani terapi dengan dokter Aneema. Aria merasakan keadaan dirinya yang kian membaik daripada sebelumnya. Bahkan dia memiliki pemikiran untuk kembali magang di rumah makan milik kedua orang tuanya. Hal itu masih menjadi rencana di dalam pikirannya.
“Mas Aria, minggu lalu kita sudah bahas soal ekspektasi dari lingkungan. Kali ini, maukah kamu membicarakan soal hubungan dengan orang tua?” mendengar pertanyaan dokter Aneema membuat Aria menghela nafas panjang.
Aria mengatakan apa yang dirasakannya dengan mata berkaca-kaca, “Saya capek, dok. Capek jadi ‘pengganti’ kakak saya. Sejak kak Aquara meninggal, rumah menjadi.. seperti museum kenangan. Saya harus kuat, harus ceria, harus meneruskan usaha keluarga, padahal saya.. tidak pernah ditanya saya maunya apa.”
“Kamu merasa tidak diberi ruang untuk menjadi dirimu sendiri?” tanya dokter Aneema lagi. Aria mengangguk setuju.
“Ya. Bahkan waktu mereka tahu kalau saya pergi berobat ke psikiater, bapak saya bilang seperti, ‘Kamu kenapa? Kamu gila?’ Mereka pikir saya lebay. Padahal saya hanya ingin didengarkan, bukan untuk dibanding-bandingkan terus.”
Dokter Aneema mendengarkan sambil menulis sesuatu di bukunya.
“Ketika kamu dengar kata ‘gila’ dari orang tuamu, apa yang langsung muncul di pikiranmu?” tanya beliau kemudian. Aria mencoba untuk menahan air matanya yang hampir keluar dari sudut matanya.
“Saya jijik sama diri sendiri. Saya berpikir kalau mungkin saya memang rusak. Mungkin saya gagal jadi anak yang mereka inginkan.”
Aria tidak dapat menahan air matanya lagi. Dia menangis sesenggukkan. Dokter Aneema memberikan tisu padanya.
Kemudian beliau berkata, “Mas Aria, perasaan itu sangat berat. Tapi itu bukan fakta. Perasaan itu adalah pikiran otomatis yang terbentuk dari trauma berulang. Kalau kita tantang pikiran itu, adakah bukti bahwa kamu rusak?”
Aria terdiam. Hanya air matanya yang masih mengalir. Dia berusaha mencerna kata-kata dokter Aneema.
Lantas Aria mulai berbicara, “Saya masih kuliah. Saya juga bekerja sebagai pramuniaga di toko roti. Saya datang ke sini. Saya hidup.”
“Benar. Kamu hidup dan terus bertahan, meskipun dengan membawa beban yang besar. Hal itu bukanlah tanda kerusakan. Malah sebaliknya, hal itu bisa menjadi sebagai tanda kekuatan. Tapi.. kekuatan itu juga butuh ruang untuk rapuh.”
“Kalau saya bilang semua ini ke bapak dan ibu, saya yakin mereka pasti bilang kalau itu cuma ada di dalam pikiranmu, Aria. Entahlah, dok,” ucapnya dengan senyum canggung.
Dokter Aneema meletakkan pena di atas meja seraya berkata, “Dan itulah mengapa kamu di sini, mas Aria. Untuk menguatkan diri sebelum nantinya kamu sudah siap, kita bisa bantu komunikasikan ini ke orang tuamu lewat sesi keluarga. Bagaimana menurutmu Aria?”
Aria mendadak termenung mendengarnya. Membayangkan kedua orang tuanya juga ikut berada disini membuatnya sedikit takut. Cowok itu tidak ingin jikalau nantinya dia memantik api kepada orang tuanya. Dia sudah cukup bersyukur bahwa saat ini orang tuanya mulai bersikap lebih lunak padanya. Walaupun mereka masih jarang mengobrol. Ketiganya masih merasa canggung saat berkomunikasi di dalam satu ruangan.
Dokter Aneema memberikan saran lainnya, “Atau bisa juga dengan menulis surat kalau kamu belum siap berbicara langsung.”
Kemudian mata Aria menjadi berbinar-binar. “Kalau saya menulis surat, bolehkah saya bawa ke sini dulu untuk dibaca bersama dengan dokter?” Dokter Aneema mengangguk senang.
“Tentu saja. Kita bisa membaca bersama-sama. Kita perbaiki kalau perlu dan kamu bisa memilih cara terbaik untuk menyampaikannya. Yang terpenting adalah kamu tidak lagi menanggung semuanya sendirian.”
Aria merasa terharu ketika mendengar perkataan dokter Aneema. Sebelum dokter menutup pembicaraannya, Aria memberanikan diri untuk berucap dengan mata berkaca-kaca, “Terima kasih, dokter Aneema.”
***
Seminggu yang lalu, bu Sophie selaku dosen pengampu mata kuliah Psikologi sosial tidak bisa hadir di kelas. Jadi para mahasiswa tidak jadi melakukan presentasi, tetapi tetap diminta untuk mengumpulkan makalah di kantor fakultas Psikologi.
Hingga tiba waktunya dimana hari ini bu Sophie bisa hadir kembali di kelas. Para mahasiswa di kelasnya mulai menyiapkan laptop dan membagikan hard file ppt untuk masing-masing kelompok. Asia dan kelompoknya yang pertama kali maju untuk melakukan presentasi duluan.
Presentasi dibuka oleh Aria dengan gaya klasiknya, “Selamat pagi semuanya. Baiklah, bersama dengan kami kembali yaitu kelompok satu yang saling berselisih paham tapi tetap satu.”
Marella tiba-tiba berceletuk, “Hah, apaan sih Aria? pembukaannya kok lebay banget!”
Asia menyenggol lengannya sembari berkata, “Hush! Biarkan saja dia. Teman-teman juga jadi terhibur kan?”
“Iya juga sih,” jawab Marella. “Teman-teman, beri applause dong untuk kami! Biar makin semangat nich!” teriak Marella juga sambil mengerlingkan mata. Teman-teman bertepuk tangan dengan keras. Aria juga terlihat semakin bersemangat. ‘Duh! Marella. Dia malah lebih lebay daripada Aria,’ pikir Asia, menyembunyikan wajahnya karena merasa malu.
Satria menekan tombol panah di keyboard laptop sehingga bergeser ke slide berikutnya. Asia mulai menjelaskan, “Adakah diantara kalian yang pernah melakukan agresi? Seperti yang kita lihat melalui slide ini bahwa agresi merupakan perasaan marah atau tindakan kasar akibat rasa kecewa ataupun merasa gagal dalam mencapai pemuasan atau tujuan yang dapat dilampiaskan kepada orang lain ataupun melalui benda.”
“Alaaah... Sok tahu kamu, Asia,” suara teriakan Mayu membuat seisi kelas terkejut. Gadis itu menghampiri Asia dengan angkuh. “Kalau menjelaskan definisi saja lebih mudah bagiku. Ini mah kecil. Nggak perlu tuh pakai lirik-lirik di slide lagi.”
Mendadak kelas menjadi heboh. Mereka tidak mengira jika Mayu telah merusak presentasi mereka.
Aria langsung mendorong pundak Mayu dengan pandangan tajam. “Maksudmu apa bicara begitu dengan Asia? Kamu nggak lihat kita lagi presentasi?!”
Giliran Mayu yang mendorong-dorong pundak dengan jarinya seraya berbicara lebih keras, “Belain saja terus! Memang diantara kami, Asia yang paling spesial kan bagimu. Padahal baginya, kamu tuh cuma dianggap sebagai ‘kutu pengganggu'.”
Wajah Aria mulai memerah menunjukkan amarahnya. Tiba-tiba dia tangannya melayang hampir menonjol wajah Mayu. Seisi kelas langsung menahan napas. Bu Sophie juga bersiap untuk berdiri dan melerai.
Asia langsung berteriak, “STOP!” mendadak Aria dan Mayu berhenti bergerak dan mulai diam seperti patung. Asia berjalan melewati mereka seraya menjelaskan, “Nah, inilah salah satu contoh dari bentuk-bentuk dari perilaku agresi. Iya kan, Marella?”
Marella ikut melangkah maju dan berjejer dengan Asia. “Yap! Apa yang dilakukan oleh Mayu tadi disebut agresi verbal yaitu agresi yang dilakukan dengan cara menyerang secara verbal. Contohnya seperti mengejek, membentak, menghina. Lalu bentuk perilaku agresi apa yang dilakukan oleh Aria tadi?”
Satria pun ikut berjejer di samping Marella. Dia ikut menjelaskan, “Aria melakukan agresi fisik yakni agresi yang dilakukan dengan menggunakan kemampuan fisik seperti menonjok, menendang, melempar, dan menggigit.”
Para mahasiswa menjadi bernafas lega. Ada yang masih shock sampai berdiri dan ada yang langsung minum air putih dari botolnya. Bu Sophie yang semula hampir marah, kini tersenyum malu. Beliau merasa terkecoh dengan adegan presentasi dari kelompok satu.
Satria kembali melanjutkan slide berikutnya. Tubuh Aria dan Mayu kembali bergerak. Aria ikut menjelaskan, “Lantas apa sih faktor penyebab adanya perilaku agresi, May?”
Mayu pun menjelaskan, “Ya tentu saja bisa karena disebabkan oleh amarah, lingkungan, dan proses pendisiplinan yang keliru.”
“Loh, amarah bisa menjadi penyebab dari perilaku agresi toh?” tanya Marella. Mayu mengangguk.
“Ya, karena pada saat seseorang merasa marah cenderung memiliki perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan, maupun timbul pikiran kejam lainnya. Apabila perasaan itu tersalurkan, maka terjadilah perilaku agresi.”
“Kalau faktor penyebab dari lingkungan itu bisa seperti kemiskinan, anonimitas, ataupun suhu udara yang panas,” Asia ikut menimpali.
Marella manggut-manggut mengerti. “Oh, makanya kadang kalau tubuhku sedang berkeringat karena suhu yang panas rasanya merasa terpicu untuk melakukan tindakan kasar. Aku menjadi tidak sabar menyolok listrik kipas angin dan menekan tombol paling full maksimal. Huaaah.. Rasanya jadi lega sekali..,” kata Marella ngasal sambil mengipasi dirinya dengan buku. Teman-teman sekelas tertawa ngakak melihat tingkahnya yang ajaib.
Aria kembali menjelaskan, “Nah, untuk proses pendisiplinan yang keliru juga menjadi salah satu faktor penyebab dari perilaku agresi loh.”
“Kok bisa? Apa maksudnya seperti pendidikan disiplin yang otoriter?” tanya Asia padanya.
Aria mengangguk sambil mengangkat jari telunjuknya. “Yap! Betul sekali, Asia. Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras, misalnya seperti hukuman fisik yang diberikan oleh orang tua bisa menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk pada anak. Si anak bisa berubah menjadi penakut, tidak ramah dengan orang lain, kehilangan spontanitas maupun inisiatif, serta membenci orang yang memberikan hukuman. Hal itu akan memicu kemarahan dan melampiaskannya dalam bentuk agresi kepada orang lain.”
Asia, Marella, dan Mayu berbicara secara bersamaan, “Wah, kalau begitu berbahaya sekali ya..,”
Satria ikut berbicara, “Guys, selain itu kekerasan yang ditampilkan oleh media juga turut andil dalam meningkatkan perilaku agresi diantara anak-anak maupun orang dewasa. Bayangkan jika materi-materi itu sering dikonsumsi, terutama oleh anak-anak yang sudah jelas masih dibawah umur dan masih baru belajar memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka akan menyerap pemaparan kekerasan di media tersebut sepenuhnya. Apa yang terjadi? Lama-lama perilaku agresi juga akan terbentuk di dalam diri mereka.”
“Saya penasaran nih. Apa ada eksperimen tentang agresi?” Marella bertanya-tanya, matanya melirik ke atas seakan-akan seperti orang yang sedang berpikir.
Setelah menampilkan slide selanjutnya, Satria berjalan dan berjejer dengan anggota kelompoknya. “Tentu saja ada. Eksperimen tersebut pernah dilakukan melalui laboratorium dalam jangka pendek. Anak-anak dan orang dewasa diminta untuk menonton acara televisi yang mengandung kekerasan. Tetapi di sisi lain ada juga anak-anak dan orang dewasa yang diminta menonton televisi yang tidak mengandung kekerasan. Dari sanalah peneliti mulai mengukur kecenderungan para partisipan dalam melakukan agresi kepada orang lain. Hasilnya?”
Mayu mengangkat tangannya. “Saya tahu! Hasil dari eksperimen itu pastinya mengungkapkan kalau tingkat agresi lebih tinggi pada para partisipan yang sudah menonton program kekerasan.”
“Betul sekali, Mayu! Nah, makanya itu mulai dari sekarang kita semua harus bisa memilah mana tontonan media yang baik bagi kita. Bukan untuk melarang kalian mengonsumsi media kekerasan, tetapi sebaiknya diminimalisir agar tidak berefek desentisiasi dalam diri kita.”
“Maksudnya?” tanya Marella kemudian. Satria menjelaskan lagi.
“Nantinya setelah mengonsumsi media yang berbau kekerasan, jangan sampai kalian menjadi individu yang bebal saat melihat rasa sakit dan penderitaan orang lain. Jangan sampai yaa..,”
Lantas semua anggota anggota kelompok menggerakkan jari telunjuk seraya berkata serempak, “No no, konsumsi media kekerasan. No no no, tindakan agresi yaa!”
Bu Sophie bertepuk tangan duluan, yang kemudian disusul oleh para mahasiswa di kelas. Bahkan kali ini lebih meriah. Anggota kelompok satu juga ikut bertepuk tangan. Mereka berlima tersenyum sambil saling melempar pandang satu sama lain.
***
Setelah presentasi sebelumnya, Asia dan keempat temannya masih membicarakan presentasi yang dirancang sempurna oleh Aria.
“Aku nggak nyangka kalau seisi kelas bakalan seheboh itu tadi,” ungkit Marella.
Satria yang berdiri di sebelah Aria langsung menepuk-nepuk bahu temannya dengan bangga. “Presentasi buatan Aria tadi tuh seperti drama teater. Apalagi adegan perilaku agresi Aria sama Mayu, bah.. Mantap jiwa!”
Buna yang duduk di belakang mereka ikut nyeletuk, “Dahlah! Comblangin ajah mereka, Sat. Cocok tuh!”
“Nggak!” tolak Aria dan Mayu secara bersamaan. Marella yang baru saja menghabiskan sebungkus batagor, juga ikut menimpali sambil kepedasan, “Ssh.. Aku setuju banget. Satria, mereka tuh butuh disatuin nggak.. Huaahh.. sih duduknya. Ssh.. Biar makin manyuss!!!”
Marella berpindah duduk di kursi paling pojok. Mayu yang semula duduk di kursi Satria hanya melongo melihat Marella yang meminum air putih sambil mendesah kepedasan.
“Betul juga!” gumam Satria. Asia dan Aria diam-diam saling melirik. Mereka saling menertawakan pemikiran aneh teman-temannya. Satria berbicara dengan lantang, “Saudara-saudari, hari ini kita berkumpul untuk menyaksikan.. Deng, deng! Iya, betul sekali! Chemistry yang sudah terlalu lama dipendam antara Aria dan Mayu!”
Marella ikut berdiri dan berseru, “Betul! Bahkan Google pun nggak bisa nyari alasan kenapa kalian belum jadian!”
Teman-teman di kelas menertawakan kekonyolan mereka berdua. Berbeda dengan Mayu yang greget dengan kedua temannya itu.
“Eh, apaan sih! Malu-maluin banget. Jangan hoax ya! Aku lempar sepatu loh kalau kalian masih lanjut..,” serunya sambil ancang-ancang memegang salah satu sepatu selopnya.
Marella menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak, “Ck.. Ck.. Ckk.. Wah, dia malah ngamuk, para pemirsa! Tanda-tanda suka tapi malu!”
Mayu bersiap-siap untuk melayangkan sepatu pada Marella.
“Ehh, nggak ikutan deh, maafin,” Marella berhenti menggoda temannya itu. Dia langsung kembali duduk di kursi paling pojok.
“Aku tuh sudah mikir keras. Kalian berdua itu destiny approved! Serius deh, cocok kayak nasi dan sambel,” teriak Satria lagi.
Teman-teman menyoraki perkataan Satria. Mayu menunjukkan wajahnya yang mulai merah padam. Cowok itu hanya menelan ludah saat Mayu menunjukkan sepatunya di depan wajahnya. “Anggep ajah ini sambel. Aku masukkin yaa ke dalam mulutmu.”
“Gyaaa.. Ampun! Galak banget sih!” Satria langsung berlari sampai keluar kelas. Kemudian Mayu juga mengejarnya keluar seraya berteriak, “Dasar cowok nggak peka!!!” Situasi di kelas semakin gaduh karena melihat kekocakan mereka.
Asia mulai bertanya pada Aria, "Kamu nggak melerai mereka?”
“Untuk apa? Mereka kelihatan akur kok,” jawab Aria. Gadis itu membelalakkan matanya, kaget karena Aria memiliki sudut pandang yang berbeda dengannya. “Makasih ya, Asia.”
“Hah, untuk apa?” tanya Asia bingung.
“Makasih karena sudah mengijinkanku untuk menampilkan presentasi yang sedikit berbeda dengan prinsipmu,” jawab Asia sambil tersenyum. Asia tidak kuat melihat senyuman Aria dalam jarak sedekat itu. Jadi dia hanya mengiyakan Aria sambil sedikit memalingkan wajahnya.
“Oh ya, sebenarnya aku tahu kalau kamu bakalan membaca kertas yang berisi tugas refleksi-ku hari itu,” pengakuan Aria yang secara tiba-tiba itu membuat Asia menjadi penuh tanya.
“Loh, kok kamu tahu? Aaa.. Apa Mayu cepu ya sama kamu?” tebaknya. Aria menggelengkan kepala. Raut wajahnya berubah menjadi serius.
“Aku sengaja membuka kertas itu dan meletakkannya di atas meja agar kamu bisa membacanya. Aku tahu kalau kamu sangat mengkhawatirkanku. Terima kasih, Asia. Untuk semuanya.”
Asia tidak menjawab. Ia hanya menganggukkan kepalanya dan terus menatap Aria sambil tersenyum. Hubungan Asia dan Aria mulai berubah.
Sejak awal mereka memang tidak langsung akrab, tetapi kini mereka mulai saling mengerti ritme dan cara kerja masing-masing. Asia belajar untuk membiarkan beberapa hal berjalan di luar rencananya. Aria yang biasanya menghindar, kini mulai hadir lebih utuh.
Walaupun masih belum seutuhnya sempurna, tetapi dia terlihat jujur. Untuk pertama kalinya, kelompok mereka menyelesaikan tugas tanpa drama, dan Asia tersenyum. Bukan karena semuanya sempurna, tetapi karena ia mulai bisa bernafas.
***
Suasana kelas Psikologi Kepribadian pagi itu terasa berbeda. Cahaya matahari menyusup dari sela tirai, menciptakan bayangan lembut di dinding yang berwarna putih. Meja-meja disusun membentuk lingkaran besar, tanpa layar proyektor. Dosen mereka, pak Galih, berdiri di tengah lingkaran dengan senyum hangat.
“Latihan kita hari ini adalah latihan empati. Kalian bebas berbagi cerita pribadi, sebanyak atau sesedikit yang kalian mau,” ucap beliau. Para mahasiswa merasa gugup karena tidak siap untuk menceritakan hal-hal yang cukup privasi bagi mereka. Melihat para mahasiswa yang saling menoleh dan ada yang menyuruh temannya untuk berbicara duluan, membuat pak Galih berdeham. Lalu beliau berkata, “Yang lainnya tidak boleh menyela, menilai, atau memberi solusi. Hanya mendengarkan.. dengan hati.”
Beberapa mahasiswa tampak gelisah. Sebagian melirik jam tangan, sebagian lagi memalingkan pandangan. Tapi tidak dengan Asia. Ia menggenggam pena di tangan kanannya erat-erat. Ia tahu bahwa hari ini adalah saatnya.
Pak Galih masih menunggu para mahasiswa mengangkat tangannya untuk berbicara lebih dulu. Asia mengangkat tangannya perlahan.
“Ya, silakan,” paka Galih mempersilakan Asia untuk mulai berbicara. Gadis itu menjadi ragu untuk berdiri. Tetapi saat menoleh ke arah Aria, dia melihat cowok itu meyakinkannya dengan anggukan kepala. Akhirnya Asia memutuskan untuk berdiri.
“Hai, guys. Kalian pasti sudah tahu kalau namaku Asia,” ucapnya pelan. Suaranya hampir tenggelam dalam hening ruangan. “Dan aku.. pernah gagal. Kegagalan yang membuatku merasa tidak pantas menjadi anak kebanggaan ibuku.”
Beberapa dari mereka mulai memperhatikan.
“Aku masuk ke kampus ini bukan karena pilihan pertama. Aku masuk karena gagal dan.. karena rasa bersalah,” ceritanya lagi. Tangannya mulai gemetar, tetapi Asia tetap berdiri. Dia berbicara lagi sambil berusaha menahan air matanya, “Sejak saat itu, aku berjanji akan merencanakan segalanya. IPK, organisasi, semua tugas harus sempurna. Tetapi semakin aku kejar rencana itu, semakin aku kehilangan diriku sendiri.”
Suasana mendadak menjadi hening. Hanya terdengar detak jam dinding dan nafas mereka yang tertahan.
Asia mengepalkan tangannya kuat-kuat, “Aku pernah merasa kesal pada orang yang.. tampaknya hidup tanpa aturan,” Asia menoleh ke arah Aria smabil menyunggingkan senyum. Lalu dia kembali menghadap ke depan, “Padahal mungkin, dia juga sedang berjuang. Aku baru paham kalau semua orang punya caranya sendiri dalam bertahan. Dari hasil mendengarkan nasehat temanku juga..,” Asia kembali menoleh ke arah Mayu. “Aku mulai belajar untuk berhenti menuntut semua hal berjalan sesuai rencana.”
Asia menghela nafas. Lalu duduk kembali. Dia pun tersenyum lega. Tak ada tepuk tangan, hanya tatapan lembut dari sekeliling. Dan di sampingnya, Aria menunduk, lalu perlahan mengangkat kepala menatap Asia dengan mata yang lebih jujur dari sebelumnya.
Setelah mata kuliah selesai, mahasiswa mulai keluar satu persatu. Tidak ada suasana gaduh seperti sebelumnya. Mungkin masing-masing masih tenggelam dalam cerita-cerita yang sebelumnya dibagikan di lingkaran.
Asia merapikan bukunya pelan-pelan, berusaha menyembunyikan tangan yang masih sedikit gemetar. Di sisi lain, Aria tidak langsung pergi. Cowok itu menyuruh Satria, Marella, dan Mayu pergi duluan ke tempat parkir. Kemudian Aria berdiri agak jauh, bersandar di tembok dekat pintu. Matanya menatap lantai, tetapi ia langsung menengok setelah Asia mulai keluar kelas.
“Asia,” panggilnya.
Asia menoleh. Ia tampak sedikit terkejut. Aria mengusap tengkuk lehernya, seperti bingung memilih kata-kata yang sesuai untuk diucapkan.
“Tadi.. waktu kamu cerita, aku nggak tahu harus lihat kemana. Duduk melingkar seperti itu tidak seperti saat kita duduk ular melingkar dengan anak-anak di tk. Tadi.. suasananya cukup intens. Tapi aku dengerin. Semuanya.”
Asia mengangguk. Ia tak tahu harus merespon apa.
Aria lanjut berbicara, kali ini suaranya lebih rendah, “Kamu tahu.. kamu adalah orang pertama yang berani bilang kalau kamu capek ngatur semuanya. Itu.. Menurutku.. keren, sih. Jujur banget.”
Asia menatapnya. Untuk pertama kalinya, tidak ada penilaian dalam pandangan cowok yang berdiri dihadapannya. Yang ada hanyalah kehadiran.
Asia mulai membuka mulutnya, “Aria, aku juga belajar satu hal bahwa jadi kuat itu nggak selalu artinya kamu harus selalu senyum. Terkadang.. mengakui kalau kita nggak baik-baik saja juga bagian dari kuat kok.”
Aria tersenyum kecil. Kali ini, bukan senyuman yang menutupi luka, tetapi senyuman yang penuh rasa lega. “Sekali lagi, terima kasih.. sudah mau lihat aku.”
Asia membalas senyum itu. “Sama-sama. Aku juga baru mulai lihat diriku sendiri kok,” jawabnya kemudian.
Mereka berdua berjalan pelan tanpa banyak kata di koridor kampus dan lebih memilih menuruni anak tangga di bagian koridor lain yang lebih jauh. Langkah mereka selaras untuk pertama kalinya. Bukan sebagai dua orang yang bertolak belakang, tetapi sebagai dua jiwa yang sedang belajar berdamai dengan diri sendiri dan satu sama lain.
***
Sepulang dari kuliah, Asia menemukan kertas di atas meja yang bertuliskan ‘Ibu pergi ke toko bahan kue sebentar'. Gadis itu meletakkan ranselnya, lalu mengambil handuk untuk bersiap mandi. Setelah selesai mandi, ia duduk di meja belajarnya dan mengeluarkan buku jurnal hariannya.
Asia tampak berpikir sejenak. Lalu senyuman menghiasi bibirnya. Gadis itu segera menulis apa yang menempel dari ingatannya.
Jurnal Maretku,
Akhirnya tadi aku bercerita. Bukan karena aku siap, tapi karena rasanya sudah tidak bisa kutahan sendiri. Suaraku gemetar, tetapi setelah itu rasanya ringan.
Aku bilang kalau aku takut gagal lagi. Takut bikin ibu kecewa. Tapi dosenku bilang, ‘Gagal itu bukan akhir, Asia. Itu bagian dari mengenali dirimu.’ Mungkin ini pertama kalinya aku merasa dimengerti.
Aku juga baru saja mulai. Lucunya, Aria tahu apa yang aku rasakan juga. Sejak kapan aku merasa kalau kami bisa sedekat ini?
Terdengar derit suara pintu depan rumah terbuka. Asia bergegas membuka pintu kamarnya dan senyumannya semakin mengembang saat tahu ibunya sudah pulang. Gadis itu langsung merangkul ibunya dengan erat.
Kemudian dia memegang kedua pundak ibunya seraya bertanya, “Bu, bolehkah kita berbicara sebentar?”
“Berbicara tentang apa?” tanya ibunya heran. Asia tersenyum lagi.
“Berbicara tentang sesuatu yang serius. Sekarang, ya?”
***