Aria dipindahkan ke ruang rawat inap untuk dirujuk lebih lanjut. Hal itu dikarenakan kecurigaan dari pihak rumah sakit bahwa Aria telah melakukan tindakan bunuh diri. Dokter disana menanyakan awal kejadian ditemukannya Aria dalam kondisi tersebut.
Kedua orang tua Aria ikut mendengarkan Asia dan Mayu yang menceritakan kejadian serta kondisi saat ditemukannya Aria di kamar kos tersebut. Melihat riwayat Aria yang sebelumnya sudah beberapa kali kontrol di dokter jiwa disana, pada akhirnya Aria kembali dirujuk ke dokter jiwa tersebut. Dokter yang pernah menangani Aria bernama dokter Aneema.
Namun karena hari sudah malam, dokter Aneema akan menemui dan melihat kondisi Aria besok pagi. Kedua orang tua Aria duduk menemani Aria di kursi sofa. Ibunya terus menatap Aria yang sedang mengobrol dengan Asia dan Mayu. Sementara bapak Aria sedang menonton TV.
Tak lama ibu Aria mengajak ayahnya untuk pergi beribadah bersama di masjid terdekat. Aria yang semula banyak menunjukkan tawanya, kini menarik nafas lega setelah orang tuanya pergi.
“Kamu capek kan rasanya tertawa terus? Sama. Aku juga capek melihat kamu tertawa paksa seperti itu, ” ucap Asia kemudian. Mayu menyenggol bahu Asia, memberinya isyarat untuk tidak membicarakan hal yang sensitif untuk sementara waktu.
“Tidak apa-apa, Mayu. Lagipula aku senang malah kalau Asia juga berhak berbicara tentang apa saja yang ada dipikirkannya,” Setelah mengatakan hal itu, dia melihat ke arah Asia lagi. “Iya, aku capek. Tapi kata kak Aquara aku harus selalu tersenyum.”
“Ha? Maksudnya?” tanya Asia tidak mengerti. Aria dan Mayu saling melihat sambil tersenyum.
“Maaf ya, Aria. Tadi aku sudah menceritakan sebagian kisah hidupmu padanya. Tetapi sepertinya Asia masih belum bisa menghubungkan semuanya,” kata Mayu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Aria menganggukkan kepala.
“Asia, sudah saatnya kamu tahu. Aku tidak bisa lagi menyembunyikan semua ini darimu. Semua bermula dari kedua orang tuaku yang menaruh harapan besar pada kak Aquara untuk meneruskan usaha ayam goreng. Kamu tahu kan rumah makan ayam goreng Aquaria Rasa?”
Asia berpikir sesaat. Lalu matanya terbelalak lebar saking terkejutnya, “Rumah makan yang memiliki beberapa cabang di daerah Jawa Timur dengan mengunggulkan ayam goreng sebagai rekomendasi menu paling enak sedaerah Jawa?! Aria.. Jadi kamu adalah anak..,”
Aria terkekeh. “Iya. Aku adalah anak dari pak Hanggono, pengusaha rumah makan keluarga yang diwariskan secara turun-temurun. Sekarang aku kelihatan lebih keren kan?”
Asia mencibir sambil memutar matanya dengan kesal saat melihat Aria bergaya sok keren di depannya. Melihat reaksi kedua temannya, membuat Mayu tertawa.
“Waktu itu kak Aquara masih kuliah semester satu, sama sepertiku. Kakak itu.. selalu tersenyum dan tertawa di depan kami. Seperti tidak pernah ada beban dimatanya. Senyumannya seperti malaikat bagiku. Awalnya keluarga kami baik-baik saja. Kak Aquara menjalani kuliah dengan prestasi yang memuaskan dan melakukan magang di rumah makan dengan baik. Aku ingat betul, sesulit apapun dia di bagian dapur hingga tangannya terluka karena tersenggol wajan sekalipun, dia tetap tersenyum. Sampai suatu hari, kak Aquara terlihat berbeda. Dia mulai menunjukkan tanda-tanda dari gejala depresi. Ia sering menyendiri, nilai-nilainya juga menurun, hingga suatu saat kak Aquara ketahuan menyakiti diri sendiri dengan pisau tajam di dalam kamar. Namun karena dia pintar menyembunyikan keadaannya dengan tawa dan prestasi akademik yang membaik sesekali, bapak dan ibu hanya menganggapnya berada di ‘fase remaja'. Saat itu aku masih kelas 1 SMP dan aku tahu betul, terkadang kak Aquara suka terdiam sendirian di kamarnya dalam waktu yang cukup lama.”
Mayu ikut menimpali, “Aku juga ingat hari-hari dimana aku dulu sering bermain denganmu di rumah kamu, Aria. Biasanya kak Aquara selalu senang menyambut kedatanganmu dan ikut bermain bersama dengan kita. Tetapi suatu saat, kak Aquara hanya tersenyum tipis saat melihatku datang. Dia lebih memilih menonton TV sendirian. Kulihat tatapannya kosong. Tidak seperti orang yang terhibur saat menonton TV.”
Aria mengangguk, “Iya. Aku juga dulu bingung melihat kak Aquara yang seringkali menyendiri dibandingkan bermain bersamaku seperti biasanya. Tetapi saat berhadapan dengan bapak dan ibu, dia selalu tersenyum,” ungkap Aria dengan wajah sedih. Asia bisa merasakan kerinduan dari mata Aria. Kehilangan anggota keluarga bisa menjadi kesedihan terbesar bagi keluarganya yang masih hidup.
Asia menjadi teringat Shin yang mengungkapkan penyesalan terbesarnya setelah kehilangan kedua orang tuanya. Anak sekecil itu merasa sedih kenapa hari sebelum malam naas itu terjadi, Shin meminta ayahnya untuk membelikannya mainan robot-robotan seperti milik temannya. Shin yang sudah remaja kemudian menyadari bahwa dulu ayahnya pasti semakin merasa terbebani karena mainan mahal yang diinginkannya.
Shin merasa terpukul dan sering menyalahkan dirinya sendiri. Shin yang sekarang menganggap mainan hanyalah mainan yang tidak akan pernah bisa menggantikan posisi kedua orang tuanya. Maka dari itu, sekarang dia benci dengan barang seperti mainan.
Aria melanjutkan kisahnya lagi, “Suatu malam, kak Aquara dengan tegas menolak untuk menjadi penerus usaha milik kedua orang tua kami. Mereka bertiga bertengkar hebat. Bahkan kak Aquara juga mengancam akan bunuh diri kalau orang tua kami tidak mengabulkan permintaannya. Aku ingat sekali, ibu menampar pipinya dengan keras. Lalu kak Aquara pergi keluar rumah dengan tangisan keras. Aku berlari mengejarnya dan tidak peduli dengan teriakan kedua orang tua kami. Kak Aquara duduk di taman yang sepi dengan lampu-lampu temaram di sekelilingnya. Aku ikut duduk di sampingnya. Kuhapus air matanya. Tapi kak Aquara masih terus saja menangis. Lalu dia memelukku dan berkata ‘Aria, kamu harus janji, apa pun yang terjadi .. kamu harus jadi anak yang kuat, ya. Selalu senyum. Kamu tahu kalau sebenarnya hidup ini berat. Tetapi kamu harus tetap kelihatan bahagia. Itu cara terbaik untuk terus bertahan.’ Saat itu aku hanya mengangguk dan merasa sedikit lega karena setelahnya kak Aquara kembali tersenyum sambil memelukku. Namun siapa sangka, malam itu adalah hari terakhir aku bertemu dengannya.”
Asia tertegun sesaat. “Apa.. yang terjadi dengannya, Aria?”
Aria menjawab lagi, kali ini wajahnya semakin sedih, “Pagi harinya kak Aquara ditemukan meninggal karena bunuh diri di kamar mandi. Dia mengiris kedua pergelangan tangannya sepertiku.”
Asia pun terkejut mendengarnya. Apa yang dialami oleh Aria hampir mirip dengan apa yang dialami oleh riwayat hidup kakaknya. Seakan-akan Aria menyalin kisah hidup kakaknya kembali.
Mayu kembali berkata, "Sebenarnya aku bisa melihat sosok kak Aquara melalui dirimu, Aria. Tidak lama setelah kepergian kak Aquara, aku tidak lagi melihat seorang Aria yang kukenal sebelumnya. Tetapi tubuh Aria yang sebagian besar didominasi oleh kepribadian kak Aquara.”
Aria hanya tersenyum singkat mendengar perkataan Mayu. Kemudian kedua orang tua Aria masuk kembali ke dalam ruangan. Asia berkata, “Kami pamit pulang dulu ya. Sudah malam juga, Aria. Ingat, tetaplah kuat dan istirahat yang cukup malam ini. Stop berpikir yang berlebihan. Pikirkan saja masih banyak orang yang masih peduli dan sayang padamu. Cepatlah kembali ke kampus ya. Kami semua menunggumu.”
Ditepuknya bahu Aria. Mayu juga melambaikan tangannya pada Aria. Setelah membantu Aria berbaring kembali dan menyalami tangan kedua orang tua Aria, mereka berdua pun segera pamit pulang.
“Kita mengambil motor di kosan Aria dulu. Baru kita lanjut ke kampus untuk mengambil motormu ya, Asia,” kata Mayu saat mereka sudah berada di dalam gokcar. Asia hanya mengangguk tanpa menjawab apa-apa lagi.
Sepanjang perjalanan dia masih memikirkan perjalanan hidup yang dilalui oleh Aria.
'Tanpa sadar Aria tumbuh dengan luka yang tertutup rapi. Ia merasa, ‘Kalau aku sedih, itu berarti aku mengkhianati pesan kak Aquara.’ Ia memaksakan diri untuk selalu terlihat ceria, jadi pusat perhatian, dan mudah disukai. Karena baginya, itulah artinya ‘kuat'. Tetapi sebenarnya, ia terjebak dalam topeng yang bahkan ia sendiri sulit untuk melepaskan,’ pikir Asia tenggelam dalam lamunannya.
***
Seorang dokter yang didampingi dengan perawat masuk ke dalam ruang opname. Keduanya tersenyum ketika kedua orang tua Aria mengetahui kedatangan mereka.
“Bapak, ibu. Perkenalkan saya dokter Aneema, psikiater rumah sakit ini. Bagaimana keadaan mas Aria semalam? Apa mas Aria tidur dengan nyenyak?” tanya dokter tersebut setelah memperkenalkan dirinya di hadapan bapak dan ibu Aria. Keduanya menyalami tangan dokter Aneema. Aria terbangun dan terkejut dengan kehadiran psikiater tersebut. Dia berusaha untuk duduk dari tempat tidurnya. “Dokter..?” panggilnya. Perawat segera membantunya untuk duduk bersandar.
“Mas Aria, kita bertemu lagi. Bagaimana kabarnya hari ini?” tanya dokter Aneema kemudian.
Aria menganggukkan kepala seraya berkata dengan canggung, “Baik, dok.” Melihat kedatangan dokter Aneema membuat Aria merasa canggung sekaligus takut jika dokternya menceritakan beberapa hal yang pernah diceritakannya tentang orang tuanya di hadapan mereka. Tetapi dokter Aneema tidak berkata apapun. Beliau menghampirinya sambil tersenyum.
“Mas Aria, kamu sempat tidak sadarkan diri karena kedua pergelangan tangan kamu yang terluka sampai berdarah. Kamu ingat apa yang terjadi kemarin sore?” pertanyaan dokter Aneema membuat Aria terdiam sembari melirik ke arah kedua orang tuanya sebentar. Dokter Aneema menyadarinya. “Apa kamu lebih nyaman jika bapak dan ibu kamu keluar dari ruangan ini?” tanya beliau lagi. Aria mengangguk. Kemudian dokter Aneema meminta kedua orang tua Aria menunggu di luar ruangan. Mereka pun keluar dari ruangan dengan tatapan kecewa.
“Saya.. agak stres. Saya tidak bisa tidur sampai pagi. Saat saya merapikan barang-barang di kos baru, saya melihat-lihat album foto dan teringat kembali dengan kak Aquara. Saya akui saya mengiris kedua pergelangan tangan saya dengan pisau. Tapi saya nggak berniat serius kok. Saya hanya.. ingin merasa lega.”
“Ada sesuatu yang membuatmu sulit tidur belakangan ini?”
“Sebulan yang lalu saya bertengkar besar dengan kedua orang tua saya. Mereka melarang saya menemui anda lagi dan menganggap.. Maaf, dokter jiwa hanya mengobati pasien yang tidak waras. Selain itu, saya juga bertengkar dengan teman saya karena tugas akhir kami yang berantakan. Saya pergi dari rumah, fokus mencari tempat kos dan pekerjaan. Lama-lama saya menjadi tidak terkontrol lagi. Tubuh saya sering gemetaran. Tangan saya juga kadang tremor. Mungkin kurang lebih itu yang terjadi pada saya akhir-akhir ini.”
“Kamu sepertinya masih bisa menjalani hari-harimu, ya mas Aria. Tapi saya penasaran, apakah ada saat di mana kamu merasa benar-benar kelelahan? Bukan hanya fisik, tapi juga batin?” pertanyaan dokter Aneema membuat senyuman tipisnya semakin menghilang. Aria terdiam sesaat.
“Saya.. capek banget, dok. Tapi kalau saya bilang ke orang, mereka pasti bilang, ‘Kamu kan kelihatan ceria terus. Apa sih susahnya kamu. Hidup kamu kayak berwarna terus seperti nggak ada beban toh.’ Saya bahkan nggak tahu saya siapa lagi, kecuali topeng ini,” katanya sembari menunduk. Kemudian dokter Aneema tersenyum lagi.
“Terima kasih sudah jujur. Menyembunyikan perasaan itu melelahkan. Apakah mungkin kamu pernah diam-diam merasa kalau kamu ingin semuanya berhenti saja?”
Aria menghela nafas panjang. Lalu menjawab lagi, “Hampir setiap malam. Tetapi saya berusaha mengabaikannya. Saya bangun dan pura-pura sibuk lagi.”
“Kamu masih rutin minum obat?”
“Masih, dok.”
“Bagus. Aria, perasaanmu sangat valid. Kamu tidak harus terus tersenyum untuk dianggap baik. Kita bisa mulai dari sini. Saya ingin kamu merasa didengar tanpa perlu menyembunyikan diri. Kalau kamu bersedia, kita bisa rencanakan sesi lanjutan dan mulai pengobatan lagi. Apa kamu mau?”
“Boleh, dok. Saya capek terus berpura-pura. Apalagi di depan orang tua saya. Dok, saya boleh bertanya tentang satu hal?”
“Ya, boleh,” ucap dokter Aneema singkat. Aria memilin selimutnya. Dia menimbang-nimbang kembali apa yang akan dikatakannya.
Kemudian dia kembali bertanya, “Apakah dokter akan menyampaikan pada orang tua saya tentang semua hal yang pernah saya katakan kepada dokter?”
“Saya tidak akan menceritakan apa yang pernah pasien sampaikan kepada saya berdasarkan kode etik yang berlaku. Mas Aria tidak perlu khawatir tentang hal itu. Saya hanya akan menyampaikan bagaimana keadaanmu saat ini dengan kedua orang tua, mas. Saya yakin suatu saat mas Aria juga bisa terbuka dengan apa yang mas rasakan kepada mereka. Lambat laun pandangan mereka tentang gangguan mental maupun pentingnya kesehatan mental juga akan berubah.”
Untuk pertama kalinya, Aria merasa lega dan menyunggingkan senyum dengan tulus. “Terima kasih, bu dokter.”
Dokter Aneema ikut tersenyum dan menepuk-nepuk bahu Aria pelan, “Iya, Sama-sama, mas Aria. Silakan beristirahat kembali. Nanti kalau kondisinya sudah semakin membaik, mas Aria sudah boleh pulang. Ingat, kurangi waktu melamun sendirian dan banyaklah berinteraksi dengan orang-orang ya. Masnya bisa berkumpul dan berbicara dengan teman-teman atau dengan siapapun yang membawa dampak positif dalam hidup mas Aria. Sampai bertemu lagi di sesi lanjutan berikutnya ya.”
Aria mengangguk. Kemudian dokter Aneema dan perawat keluar ruangan. Mereka berpapasan dengan kedua orang tua Aria yang masih menunggu di luar ruangan.
“Bapak dan ibu, bisakah kita berbicara tentang keadaan mas Aria di ruangan saya?”
***
Asia sedang duduk dengan Marella di dekat pintu masuk perpustakaan universitas. Marella sedang asyik memakan es krimnya. Sedangkan Asia sedang termenung sambil sesekali menulis jurnal hariannya.
Jurnal Februariku,
Kenapa sekarang aku lebih banyak mencurahkan isi hatiku disini daripada menulis rencanaku di masa depan? Padahal dulu aku pernah bilang kepada Mayu kalau isi dari jurnal harianku jauh dari tulisan bak puisi dan syair yang menye-menye. Tapi sepertinya aku termakan kata-kataku sendiri.
Saat aku dan Mayu menemukan Aria yang tidak sadarkan diri dengan luka yang bersimbah darah di kedua tangannya membuatku berpikir satu hal: Bagaimanapun juga aku harus menyelamatkannya. Aria harus tetap hidup. Untungnya, Tuhan masih memberikannya hidup.
Aria juga mulai terbuka padaku. Dia bercerita tentang kakaknya. Tentang malam itu. Tentang senyum terakhir yang menjadi beban seumur hidup.
Aku ingin bilang bahwa dia nggak salah. Tapi yang kubisikkan padanya saat pamit pulang hanyalah, ‘Maaf ya, Aria' dan dia menjawab dengan berbisik pula, ‘Makasih udah dengerin’. Rasanya sesak, tapi hangat. Mungkin itulah bentuk awal dari penyembuhan.
Asia menutup matanya dan menghela nafas lega. Gadis itu merasa beban berat di pundaknya sudah kian berkurang. Paling tidak, dia merasakan sedikit kemajuan dalam membantu Aria menuju kesembuhannya.
Walau hanya sebatas mendengar, tetapi Asia yakin bahwa Aria bisa kembali pulih seperti sosok Aria yang sebelumnya Mayu kenal. Diam-diam Asia penasaran bagaimana sosok Aria yang dulu? Sosok Aria yang murni tersenyum tanpa memakai topeng.
“Satria dan Mayu lama amat sih. Ngeprint ppt ajah sampai hampir satu jam. Habis gini sudah jam masuk lagi nih!” sahut Marella sambil terus menjilat es krimnya.
Asia meliriknya sesaat. Lantas dia tertawa ketika melihat pipi Marella yang belepotan es krim. Diberikannya tisu dari dalam saku celananya. Marella mengelap pipinya dengan tisu pemberiannya.
“Duh, kamu makan es krim kayak anak kecil ajah,” katanya sambil terkekeh. “Lagipula mungkin Satria dan Mayu sedang antri juga. Kan banyak mahasiswa yang ngeprint disana juga.”
Marella mengacungkan jarinya, “Oh! Maksudnya seperti antri sembako ya? Panjaaang banget hehee.. Untung ajah tempat jasa print nya ada di belakang kampus. Jadi kita nunggunya nggak lama-lama amat.”
“Lagian kita cuma duduk menunggu, bukan antri sembako kayak mereka. Sans ajahlah disini,” Marella tidak mendengarkan perkataan Asia lagi. Dia malah terlihat asyik memakan es krimnya lagi. Asia kembali terkekeh sambil geleng-geleng kepala.
Lantas Asia terkejut saat mengenali sosok dari kedua orang tua Aria yang berjalan tidak jauh darinya. Gadis itu segera memasukkan buku jurnal hariannya ke dalam tas ransel dan berdiri tegak saat ibu Aria mengenalinya.
“Mbak Asia kan? Mbak yang kemarin menjenguk Aria bersama dengan Mayu?” tanya beliau saat menghampirinya duluan. Asia tersenyum canggung sambil melirik sebentar ke arah Marella yang juga menyadari kehadiran ibu Aria. Asia takut kalau Marella sampai tahu tentang keadaan Aria yang seharusnya hanya menjadi rahasianya dengan Mayu. Asia dan Marella segera menyalami dan mencium tangan kedua orang tua Aria.
“Aria sedang sakit ya, te?” tanya Marella kemudian. Ibu Aria tidak tahu harus menjawab apa.
“Eh.. Oh, iya. Ini.. Kami kesini untuk bertemu dengan dosen wali kalian. Kantor fakultas psikologi ada dimana ya?”
“Ibu biar disini saja dulu ngobrol sama mbak Asia. Biar bapak saja bu yang menemui dosen walinya. Siapa nama dosen wali kalian?” tanya bapaknya Aria.
Asia dan Marella menjawab secara bersamaan, “Oh, namanya pak Inggih, pak.”
Asia pun meminta tolong Marella untuk mengantarkan bapaknya Aria sampai masuk ke dalam fakultas. Saat Marella mengantarkan bapaknya Aria, Asia dan ibunya Aria duduk berdekatan sambil mengobrol.
“Bagaimana keadaan Aria hari ini, tante?” tanyanya. Mata ibunya Aria tampak berkaca-kaca. Beliau seperti merasa terharu karena ternyata ada teman yang peduli dan perhatian dengan anaknya, selain Mayu.
Beliau berusaha menahan air matanya, “Aria sudah semakin membaik. Dia juga sudah mulai mengikuti terapi dengan psikiaternya. Sebenarnya.. Awalnya om sama tante merasa kalau Aria tidak terlalu membutuhkan dokter jiwa itu. Kami pikir anak kami tidak gila. Tetapi setelah melihat kondisi Aria dan mendengar penjelasan dari dokter jiwa itu.. Kami mulai berpikir bahwa Aria sudah berada di tangan yang tepat.”
Ibu Aria menceritakan penjelasan dari dokter Aneema sebelumnya.
“Berdasarkan hasil observasi dan wawancara klinis, mas Aria menunjukkan gejala konsisten dengan depresi mayor episode tunggal dengan ciri atipikal,” ujar dokter Aneema sambil menutup map hasil asesmen. Bapaknya Aria memegang tangan istrinya yang terlihat sangat khawatir dengan keadaan anaknya. Dokter Aneema berkata lagi, “Mas Aria memiliki kemampuan untuk tampil fungsional dan bahkan terlihat ceria di lingkungan sosial, tetapi sebenarnya dia menyimpan perasaan yang hampa, kelelahan emosional, dan keinginan untuk mengakhiri hidup yang sangat kuat. Ini yang sering disebut masyarakat sebagai smiling depression, meskipun istilah tersebut tidak ada secara formal di DSM-5.”
Ibunya menunduk.
“Artinya, selama ini anakku tersenyum.. Tetapi sebenarnya dia sedang menjerit?” tanya ibunya sambil menahan air matanya yang hampir tumpah.
Dokter Aneema mengangguk pelan. “Betul. Justru hal itu membuat kondisi ini lebih berbahaya karena sering tidak dikenali sampai pada akhirnya semuanya terlambat.”
Asia mendengar cerita dari bibir ibu Aria dengan gelisah. Dia tidak menyangka kalau gangguan mental yang diderita Aria begitu serius. Ibu Aria mencurahkan kisahnya sambil berderai air mata. Asia menghapus air mata beliau dengan tisu yang dimilikinya.
“Tante tidak mengira kalau keadaan Aria separah itu. Tante jadi teringat kembali dengan almarhumah anak pertama tante, Aquara. Dulu keadaannya hampir sama dengan Aria. Tapi kami hanya menganggapnya berada di fase remaja yang suka berbuat ulah dan mencari perhatian saja. Ternyata kami terlambat menyadarinya. Kami kehilangan Aquara. Tante baru sadar kalau tante dan om tidak pernah belajar dari masa lalu. Kami gila kerja sampai tidak sadar kalau kami hampir kehilangan nyawa anak kedua kami. Kami berdua benar-benar menyesalinya. Sekarang tante hanya ingin melihat Aria sembuh. Kami mencoba untuk tidak memaksa atau menuntut berdasarkan keinginan kami lagi,” ibu Aria memegang kedua tangan Asia dengan lembut, “Terima kasih karena kamu dan Mayu sudah menjadi teman yang baik bagi Aria. Berkat kata-katamu di UGD waktu itu membuat kami tersadar bahwa sudah seharusnya kami lebih memperhatikan Aria dan lebih banyak mendengarkannya.”
Asia tersenyum tulus.
“Sama-sama, tante. Selain saya dan Mayu, masih ada teman-teman sekelas Aria yang baik padanya. Ada Satria dan Marella. Mereka juga teman dekat Aria.”
Ibu Aria menengok ke samping. “Oh, itu ya yang namanya mbak Marella? Yang nunjuk-nunjuk dirinya sendiri,” ucapan ibu Aria langsung membuat Asia mendelik kaget. Dia sama sekali tidak tahu kalau Marella sudah duduk di sampingnya sedari tadi. Asia hanya tersenyum canggung.
Tak lama, bapaknya Aria menghampiri mereka dan mengajak istrinya kembali ke rumah sakit. Sebelum mereka pergi, Marella bertanya, “Kapan Aria masuk kuliah lagi, tante?”
“Insya Allah minggu depan Aria sudah aktif kuliah lagi. Mohon doa kesembuhannya yaa,”
“Baik, tante. Titip salam untuk Aria ya, te,” kata Marella yang kemudian menyalami kedua orang tua Aria. Begitu pula dengan Asia.
Setelah orang tua Aria pergi, Marella melipat kedua tangan sambil menatap Asia seakan-akan meminta penjelasan atas apa yang terjadi dengan Aria.
“Eeng, itu.. Aria sedang sakit,” ucap Asia sambil melirik ke arah lain. Marella memegang kepala Asia dan menghadapkan kembali ke arahnya. Mau tidak mau, Asia kembali bertatapan dengannya.
“Aku sudah mendengar semuanya tadi. Smiling depression? Aria harus menjalani terapi? Apa keadaannya separah itu? Kita semua harus menjenguknya kesana, Asia.”
Asia tidak dapat berkata-kata sampai Mayu dan Satria datang menghampiri mereka dengan membawa hasil print dan beberapa fotokopian dari file powerpoint. “Hey, lagi bahas apaan? Serius amat,” kata Mayu. Asia langsung bersembunyi di belakangnya. “Eh, eh.. Apaan nih? Kalian lagi bertengkar?”
“Marella sudah tahu..,” ucap Asia dengan kata-kata mengambang. Mayu mengerutkan keningnya.
“Iya, aku sudah tahu semuanya. Tadi orang tua Aria datang kesini dan menceritakan semuanya. Kenapa hanya aku dan Satria yang tidak dikasih tahu soal keadaan Aria? Kami juga pasti mencemaskan keadaan Aria. Kami nggak ember kok,” ujar Marella menggebu-gebu. Asia dan Mayu melirik Satria secara bersamaan. Satria merasa tidak nyaman dan berkata, “Tadi Mayu bilang aku ember, Mar. Tapi aku juga ingin tahu kenapa Aria tidak masuk hari ini. Bagaimanapun juga kita kan berteman dekat. Aku juga sebetulnya nggak seember itu kok. Aku janji kali ini bibirku akan terkunci rapat-rapat.”
Asia melihat ke arah Mayu yang menganggukkan kepalanya memberi ijin Asia untuk bercerita. Kemudian Asia dan Mayu menceritakan tentang kejadian kemarin serta perasaan yang dialami oleh Aria selama ini. Satria dan Marella jelas terkejut mendengarnya, tetapi setelahnya mereka merasa kasihan dengan kehidupan Aria.
“Aku kira selama ini dia baik-baik saja. Padahal Aria selalu tertawa. Tapi aku nggak tahu kalau ternyata dia memendam semua rasa sakitnya di balik tawanya,” kata Marella sambil terisak.
Satria menganggukkan kepala, setuju dengan apa yang dikatakan oleh Marella. “Padahal aku berteman dengannya sejak kelas tiga SMA. Tapi ternyata aku masih belum tahu apa-apa tentangnya.”
“Guys, lebih baik kita tidak menjenguk Aria dulu agar dia bisa memulihkan kesehatannya secara maksimal disana. Kalau kita ke rumah sakit, nanti dia akan banyak berpikir yang nggak-nggak tentang kita. Apalagi dia pasti merasa tidak nyaman kalau kalian berdua juga tahu tentang keadaannya saat ini,” jelas Mayu.
Asia ikut menambahkan, “Lebih baik kita tunggu saja dia sampai kembali ke kampus. Kita harus bersikap seperti biasa saja dengannya. Jangan ada yang menangis di depannya ataupun mengungkit tentang kejadian ‘hari ini'. Kita harus bisa menjadi support system yang baik untuknya. Setuju?!!”
“Iya. Aku setuju,” jawab Marella.
Satria ikut menimpali, “Aku sih yes.”
Kemudian mereka berjalan kembali ke ruangan kelas. Hari ini mereka akan presentasi di kelas. Sambil menunggu dosen datang, Asia kembali membuka buku jurnal hariannya. Dia kembali meneruskan tulisannya tadi.
....
Ibunya Aria baik sekali. Tetapi aku bisa melihat ketegangan di matanya saat menyebut nama ‘Kak Aquara’. Tiba-tiba aku seperti bisa mengerti kenapa keadaan Aria yang sebelumnya seperti itu. Mungkin dia terlalu sibuk memenuhi pesan terakhir seseorang yang ia cintai sampai ia lupa bahwa hidupnya adalah miliknya sendiri.
***