Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let Me be a Star for You During the Day
MENU
About Us  

Asia dan Mayu masih saling duduk berhadapan di atas karpet yang dibatasi dengan meja yang lebar di tengahnya. Keduanya sama-sama tidak berbicara. Namun bisa dilihat bahwa mereka berdua sedang saling berkomunikasi melalui tatapan mata mereka.

Mayu mengambil handphone-nya yang berada di atas meja dengan hati-hati sambil terus menatap ke arah Asia. “Kamu mau menghubunginya?” tiba-tiba Asia mulai berbicara tanpa berkedip. Mayu meletakkan kembali handphone-nya di atas meja.

“Dasar Satria ember!” keluhnya kemudian. “Huah, jadi aku nggak boleh meneleponnya juga? Mau kamu apa sih, Asia? Aku sudah bilang kalau ini masalah pribadi Aria. Kamu, Satria, dan bahkan Marella nggak perlu tahu. Sudah cukup bu Sahara dan pak Inggih yang tahu tentang Aria,” Asia terkejut saat mengetahui kebenaran bahwa pak Inggih dan bu Sahara sudah mengetahui permasalahan Aria.

“Kok dosen-dosen sudah tahu? Tapi Aria nggak pernah cerita apapun tentangnya padaku?” tanyanya gusar.

Mayu menggigit bibirnya sesaat. “Dengar, Asia. Aku kan sudah pernah bilang kalau ada hal-hal yang kamu tidak tahu. Maaf juga ya, melihat kepribadianmu yang mudah emosional itu membuatku sadar kalau kamu tidak akan tahan menghadapi hari terburuk Aria. Dan menurutku, sebenarnya kalian tidak pernah terlihat sedekat itu. Seperti hubunganku dengan Aria.”

“Serius? Kamu mau membicarakan hubungan asmaramu dengannya? Tenang saja. Aku tidak berminat menjadi pesaing cintamu. Aku tidak mau dengar. Aku hanya ingin kamu bercerita sebenarnya apa yang terjadi dengannya?”

“Aku bukan.. Ugh! Kenapa kamu mulai berpikiran sama seperti Marella sih? Kami murni bersahabat, tetanggaan, sekaligus teman masa kecil, Asia. Nggak lebih.”

“Nggak ada yang murni dari persahabatan di antara pria dan wanita,” balas Asia sambil melipat kedua tangan di dada.

“Ada! Aku dan Aria! Dan itu nggak bisa diganggu gugat! Daripada Aria, aku lebih suka kalau dibilang ada apa-apanya sama si ember itu!” serunya menggebu-gebu. Lalu mulutnya tertutup rapat seakan-akan dia jujur soal perasaannya dengan Satria.

Asia tersenyum kecil. “Oke. Ini sudah di luar pembicaraan kita. Aku ingin kamu tahu kalau ada sesuatu yang mendorongku untuk terus peduli pada Aria. Aku juga tidak tahu kenapa. Mungkin karena aku sudah mulai menganggapnya sebagai teman yang baik, bukan sebagai penghalang masa depanku. Lambat laun pandanganku mulai berubah tentangnya.”

“Kamu merasa.. seperti itu?” tanyanya sambil tertegun. Asia menganggukkan kepalanya. “Rasa kemanusiaan atau rasa cinta?” tanya Mayu lagi. Asia menghela nafas sambil memutar bola matanya.

“Mayu, cobalah untuk lebih serius. Sekarang kamu yang semakin mirip dengan pemikiran Marella.”

Mayu tertawa mendengarnya. “Sori,” katanya sambil terus tertawa.

Asia meneruskan kata-katanya sambil setengah melamun, “Lagipula aku terus kepikiran tentang kemarin. Tangan Aria gemetaran. Aria juga kelihatan sangat capek. Lalu saat ada jeda waktu pergantian matkul, kelas sedang kosong. Marella dan Satria pergi ke kantin. Sementara Aria mengajakmu mengobrol berdua di luar kelas.”

Mayu mencoba mengingat lagi. ‘Oh, mungkin saat Aria yang bertanya soal kos-kosan padaku kemarin. Apa Asia..,’

“Apa jangan-jangan kamu menguping pembicaraan kami ya?” tebaknya.

“Aku nggak sekepo itu ya,” perkataan Asia membuat Mayu kembali tergelak. “Serius nih. Kemarin kita mendapatkan tugas refleksi pribadi di kelas Psikologi Kepribadian. Setelah kelas usai, aku memang akan keluar kelas. Tetapi melihat kalian berdua yang berbicara dengan serius membuatku kembali ke kelas. Tanpa sengaja aku melihat kertas refleksi milik Aria ada di atas mejanya dalam keadaan terbuka. Aku penasaran. Makanya diam-diam aku membaca kertas yang berisi tentang pengalamannya menyimpan rasa sakit dalam senyum.”

 

Catatan Refleksi Diri:

Berpisah dengan kak Aquara membuatku kehilangan sosok seorang kakak di dalam hidupku. Janji itu masih terus kupegang teguh sampai aku bisa bertemu dengannya lagi. Aku benar-benar takut karena sudah mengecewakan banyak orang. Kedua orang tuaku dan mungkin teman-temanku sekarang juga sedang merasakannya.

Bahkan Asia sudah mengatakannya dengan lantang bahwa aku hanyalah beban baginya. Padahal sudah lama aku berusaha untuk menjadi kuat dan menyembunyikan semua apa yang kuderita di balik topeng joker itu, full senyum. Seperti janjiku pada kak Aquara.

Semenjak bertemu Asia, aku menjadi semakin kewalahan. Asia membuatku mengenal apa arti emosi yang sesungguhnya. Ada emosi marah, kagum, konsentrasi, bingung, kepuasan, keinginan, keraguan, keterkejutan, dan berbagai emosi lainnya.

Berbeda dengan duniaku yang hanya mengenal emosi senang dan gembira. Karena aku selalu merasa bahwa hal itu satu-satunya janji yang bisa kutepati untuk kak Aquara sekaligus dapat memberikan kesan yang positif pada banyak orang di sekitarku.

 

 Mendengar cerita dari Asia membuat Mayu tanpa sadar mulai terisak. Asia memberikannya tisu dari saku celananya seraya berkata, “Maaf ya, aku sudah lancang membacanya. Aku hanya mengikuti dorongan hati. Tidak pernah aku seperti ini.”

Mayu mengelap ingusnya dengan tisu pemberian temannya itu. Lalu dia melihat lagi ke arah Asia, “Aku merasa kamu memiliki perasaan padanya, Asia.”

“Nggak kok. Aku..,”

Mayu segera memotong perkataan Asia dengan cepat, “Kalau kamu nggak suka sama dia, kamu nggak akan terlalu peduli sama dia. Kamu juga nggak pernah tuh terlalu peduli dengan aku, Satria, dan Marella. Kamu tidak pernah menyetrika pakaian kami walaupun pakaian kami terlihat lebih kusut darinya. Apa kamu masih terus menyangkalnya?”

“Aku.. Nggak tahu. Aku benar-benar nggak tahu. Yang aku ingin tahu sekarang adalah keinginan hati untuk membantu Aria sebisa aku. Sekarang aku sedikit tahu apa masalahnya. Tetapi aku ingin mendengar tentangnya darimu juga, teman terdekatnya.”

Mayu terperangah sesaat. Kemudian dia melihat kembali tatapan Asia yang penuh dengan kesungguhan di matanya. ‘Padahal aku sudah sedikit membuatnya tidak nyaman dengan mengatakan kalau mereka tidak terlihat sedekat itu. Tetapi Asia tetap bersikukuh untuk ingin tahu,’ pikir Mayu. Dia kembali menggigit bibirnya.

“Baiklah. Kalau kamu kesulitan untuk bercerita, aku akan terus mencari tahu sendiri,” Asia hendak beranjak dari duduknya, namun Mayu menahannya. Gadis itu kembali duduk.

Mayu siap untuk bercerita, “Aku hanya bisa memberitahumu bahwa sudah lama Aria memiliki gangguan mental smiling depression. Hanya dia dan dokternya yang mengetahui diagnosa yang sebenarnya. Semenjak SMA, aku menyadari ada yang salah dengannya. Aria selalu menjalani hari dengan senyuman lebarnya dan selalu tertawa lebih keras daripada teman-temannya. Namun yang sebenarnya terjadi adalah dia selalu berpura-pura untuk kuat karena satu hal, yaitu Aria takut membebani orang lain jika dia menunjukkan sisinya yang rapuh. Selain itu dia juga memiliki janji yang tidak pernah bisa dilepaskannya sampai saat ini. Awalnya aku menyarankannya untuk pergi ke psikolog untuk meringankan beban dan segala tuntutan orang tuanya di dalam hidupnya. Tetapi tidak tahu kenapa Aria berakhir dialihkan dengan psikiater. Sejak itu, Aria diam-diam berobat tanpa sepengetahuan dari orang tuanya sampai..,”

“Sampai..?” ulang Asia. Mayu menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Dia mencoba untuk bercerita sebatasnya saja, “Sebulan yang lalu saat kalian bertengkar itu, sebelumnya dia juga sedang bertengkar hebat dengan kedua orang tuanya. Makanya dia tidak bisa menghubungimu. Karena saat itu dia kesulitan untuk mengontrol dirinya sendiri. Sebulan yang lalu dia kabur dari rumah dan bekerja menjadi pramuniaga di toko roti. Terkadang dirinya sudah membaik. Tetapi terkadang kambuh lagi. Seperti flu, terkadang sakitnya muncul secara tiba-tiba. Ya, sakit yang datang dan pergi sesuka hati.”

“Apa itu alasannya kenapa dia jarang masuk kuliah?” tanya Asia kemudian. Mayu mengangguk.

“Bisa dibilang begitu. Saat kambuh, dia tidak bisa sedikitpun keluar dari kamarnya. Selain itu, ada alasan lainnya. Dia bekerja magang di rumah makan milik orang tuanya. Yah, bagaimana lagi. Setelah kakaknya tiada, dia satu-satunya harapan besar bagi orang tuanya untuk meneruskan usaha keluarga.”

“Kakaknya.. sudah tiada? Kukira kakaknya hanya pergi ke suatu tempat.”

Mayu menggelengkan kepalanya, “Nggak, Asia. Kak Aquara sudah meninggal sejak Aria duduk di bangku SMP. Ada kisah yang perlu kamu ketahui kalau kamu ingin tahu secara spesifik. Lebih baik kamu harus menemuinya sekarang.”

“Dimana Aria sekarang?”

Mayu menjawab lagi, “Saat ini dia baru saja pindah di kos yang baru karena kos yang lama terlalu mahal baginya.”

“Antarkan aku kesana sekarang, May,” dengan tergesa-gesa, Asia segera berdiri dan menarik tangan Mayu.

“Asia,” panggil Mayu lagi. Asia berbalik. “Aku harap kamu bisa merahasiakan hal ini dari siapapun. Termasuk Satria dan Marella. Aku bercerita padamu karena aku percaya kamu akan memberikan perubahan yang besar dalam hidup Aria.”

“Aku tahu. Begitu pula dengan Aria. Tanpa dia sadari kalau dirinya sudah membantuku untuk menemukan diriku sendiri. Sekarang giliran aku yang akan membantunya untuk lepas dari rasa sakitnya.”

***

Asia segera turun dari atas motor saat Mayu menghentikan mesin motornya di depan halaman rumah kos untuk laki-laki. Seorang wanita paruh baya yang sebelumnya sedang menyiram tanaman di depan halaman rumah, kini menghentikan aktivitasnya dan menemui kedua gadis itu.

“Ya, mbak?” tanyanya. Kemudian beliau mengenali salah satu dari mereka. “Oh mbak Mayu toh. Mau ketemu sama mas Aria?”

“Iya. Saya ketuk kamarnya saja ya, bu. Soalnya dia nggak tahu saya kesini.”

“Oh ya, tidak apa-apa mbak. Yang penting tidak sampai masuk ke kamar ya. Duduk saja disini,” ibu yang mengenakan hijab tersebut menunjukkan kursi-kursi yang berjejer di depan halaman rumah. Kursi-kursi itu sengaja disiapkan untuk tamunya anak-anak kos.

Sepeninggal ibu tadi, Asia memutuskan untuk duduk di kursi dan segera menelepon Aria. Tetapi tidak ada jawaban. Mayu juga terus mengetuk pintu kamar Aria. Tetapi tidak ada yang membuka pintu kamar itu.

Namun samar-samar gadis itu mendengar suara ringtone ponsel di dalam kamar tersebut. Perasaan Mayu menjadi tidak enak. Kali ini dia mengetuk pintu kamar lebih keras seraya berseru, “Aria Hanggono! Aku tahu kamu ada di dalam. Cepat buka pintu ini!”

Melihat Mayu yang menggedor pintu kamar Aria dengan keras membuat Asia segera menghampirinya. “May, ini rumah orang. Rendahkan suaramu. Mungkin dia memang tidak sedang disini. Mungkin sekarang dia lagi kerja kan?”

“Hari ini Aria sengaja ambil hari libur untuk merapikan barang-barangnya di sini. Motornya juga masih disini. Lagipula aku bisa mendengar suara hape-nya bunyi dari dalam.”

“Hah?! Masa?! Itu tadi aku yang telepon dia. Tapi nggak diangkat-angkat teleponnya,” mendengar perkataan Asia membuat Mayu kembali menggedor pintu kamar Aria. Kali ini lebih keras.

Asia menggerakkan gagang pintu kamar tersebut. Ternyata dikunci dari dalam. Ia segera berjalan menuju rumah utama. Dia mengetuk pintu rumah ibu tadi. Keluarlah ibu itu, yakni si pemilik kos sembari melongok keluar halaman rumahnya. “Mbak, kenapa mbak Mayu mengetuk pintu sambil teriak-teriak begitu?” tanya beliau.

“Maaf, bu. Saya boleh meminta kunci cadangan dari kamar Aria? Sudah sedari tadi dia tidak membuka pintu kamarnya. Padahal Mayu mendengar suara dering hape milik Aria di dalam kamar. Kami takut Aria kenapa-kenapa di dalam, bu.”

“Oh! Iya, sebentar ya,” ibu kos itu bergegas masuk ke dalam kamar. Tidak beberapa lama kemudian, beliau datang dengan membawa kunci-kunci kamar kos yang diikat menjadi satu. Ibu kos itu menemukan kunci nomor tiga dan segera menuju kamar Aria. Diikuti oleh Asia di belakangnya.

“Bu, sepertinya Aria berada di dalam. Tetapi dia tidak keluar kamar,” keluh Mayu sambil menangis. Asia memintanya untuk tenang dan tetap bersabar. Setelah kunci diputar, Mayu menjadi sangat tidak sabar. Dia segera mendahului ibu kos memasuki ruangan.

“Aaaaaa..!!!! Ariaaa..!!!” mendengar suara teriakan Mayu, membuat ibu kos dan Asia segera membuka pintu kamar lebar-lebar. Mereka menemukan Aria yang terbaring lemah di atas kasur dengan darah yang bercucuran dari tangannya. Mayu bertekuk lutut dan tidak sanggup menghampiri Aria yang menutup matanya dengan air mata mengalir dari sudut matanya. Sementara tengkuk kaki Asia juga gemetaran. Ia sangat terkejut dengan apa yang ada di depan matanya. Begitu pula dengan ibu kos. Keduanya masih terpaku di tempat.

“To.. Tol.. Tolong,” ucap Asia dengan suara gemetar. Dengan kaki yang masih gemetaran, dia berusaha untuk bergerak dan mencari pertolongan dari luar rumah. “Toloooong..!!! Siapapun, toloooongggg kami!!!! Teman saya berdarah!” Asia sampai menabrak tembok saat berlari kelimpungan. Tetapi dia tidak peduli. Keselamatan Aria adalah yang utama.

Beberapa anak kos keluar dari ruangan, baik dari lantai atas maupun lantai bawah. Mereka memasuki ruangan Aria, mencari tahu apa yang terjadi. Ada juga tetangga dan tukang bakso yang lewat langsung menghampirinya.

Tetangga yang memiliki mobil segera mengeluarkan kendaraannya. Anak-anak kos segera membopong Aria hingga memasuki mobil. Untuk sementara, tangan Aria yang teriris dengan luka menganga sudah dililit dengan kain. Mayu duduk di depan, sedangkan Asia memangku kepala Aria di kursi belakang. Dia menepuk-nepuk wajah Aria agar tetap tersadar.

“Aria, kamu harus tetap membuka matamu. Kamu tuh kuat,” ucapnya dengan tangan gemetaran. Dia tidak pernah melihat Aria selemah ini. Aria membuka matanya yang sayu. Dia menggumamkan sesuatu.

Asia mendekatkan telinganya, “Kak.. Kakak.. Tolong,” ucapnya di tengah kesadarannya. Asia memegang kedua pelipis Aria. Gadis itu tidak sanggup melihat Aria yang tampak begitu menderita. Tak lama dia pun ikut menangis.

“Kamu harus bertahan, Aria. Banyak orang yang peduli dan sayang padamu. Kamu harus tetap bertahan,” ucapnya di tengah isak tangisnya. Mayu juga masih menengok melihat keadaan Aria sambil bercucuran air mata.

Sesampainya di rumah sakit, Aria segera dilarikan di UGD. Di depan pintu luar UGD, Mayu mencoba menelepon orang tua Aria. Tetapi tidak diangkat juga. Dia berusaha menelepon beberapa kali sambil menggigiti kukunya.

Bau antiseptik begitu menyengat ketika Asia memasuki ruang UGD. Jantungnya masih berdetak cepat. Gadis itu belum sepenuhnya percaya bahwa yang terbaring di ranjang itu adalah Aria, temannya yang selama ini terlihat kuat, namun kini tampak begitu rapuh.

Lengan Aria sudah dibalut perban putih. Wajahnya masih terlihat pucat, bibirnya kering, dan matanya terpejam seperti sedang berusaha lari dari dunia. Air matanya masih menetes dari sudut matanya.

Tadi saat mereka menemukan Aria terbaring di tempat kosnya, pikiran Asia menjadi terombang-ambing. Dia bisa mengingat apa yang dilihatnya sebelumnya. Ada darah di lantai, pisau di dekat tempat tidur, album foto yang berada dalam pelukan Aria, dan tubuh Aria yang gemetar dengan tangan meneteskan darah. Cowok itu seperti sedang sekarat di matanya.

Suara Aria yang menyebut-nyebut ‘kakak' kembali menggema di kepalanya. Panik. Takut. Itulah yang dirasakannya saat ini.

Sekarang Asia duduk di sebelah Aria dan memegang tangan Aria yang dingin. Gadis itu tidak peduli tangan itu penuh perban. Yang ia tahu, ia hampir kehilangan seseorang yang diam-diam menjadi bagian penting dari dunianya.

“Tetap bertahan ya, Aria. Aku di sini,” ucapnya tak kuasa menahan air mata yang lagi-lagi tumpah.

Tak beberapa lama kemudian, kedua mata Aria terbuka perlahan. Pandangannya masih tampak samar. Cahaya putih menusuk kelopak matanya begitu ia membuka mata.

Lambat laun dia bisa melihat atap rumah sakit. Bau alkohol dan suara detak jantung dari mesin di sampingnya jadi pertanda bahwa ia belum pergi. Aria ingin mengangkat kedua tangannya, tetapi perban di tangannya terasa berat. Seberat hatinya yang belum siap menghadapi kenyataan.

Ia dapat mengingat kejadian sebelumnya. Album foto. Pisau tajam yang menari-nari di atas tangannya. Darah yang berceceran. Rasa ngilu. Kepala yang kian terasa berat. Suara Mayu dan Asia yang panik.

Kemudian Aria menoleh ke sisi kanannya dimana Asia sedang memegang tangannya sambil menangis dengan mata terpejam. “Asia..,” panggilnya. Asia membuka matanya.

“Syukurlah, Tuhan. Aria, akhirnya kamu bangun juga. Tanganmu masih terasa sakit ya?” Asia menghapus air matanya sembari tersenyum tipis. Aria menganggukkan kepala. Lalu terdengar suara seseorang yang baru saja datang dan berdiri di belakang Asia. Kedatangan dia orang itu membuat napasnya tercekat.

“Aria..,” suara ibunya terdengar lembut dengan nada bergetar. Bapaknya juga datang bersama dengan ibunya. Beliau hanya terdiam melihat kondisi anaknya. Namun wajahnya tampak muram.

“Kenapa kamu lakukan ini?” tanya ayahnya pelan. Bukan pelukan yang Aria dapatkan, melainkan tatapan penuh tanya.

Aria ingin menjawab, namun dia tidak sanggup berkata-kata. Tenggorokannya terasa kering. Padahal ingin rasanya Aria meneriakkan semua luka yang dikuburnya selama ini. Saat ini dia hanya menatap keduanya dengan mata basah.

Asia berdiri dan mengalami kedua orang tua Aria. Setelah itu ibunya menghampiri anaknya yang terbaring lemah di emergency bed.

“Nak..,” ibunya mengelus-elus helaian rambut Aria.

“Kalian nggak pernah benar-benar lihat aku..,” bisiknya akhirnya, pelan tapi menusuk. Ibunya langsung tertunduk lemas.

“Maafkan Ibu, Nak.”

Aria tidak menjawab. Dia hanya memejamkan matanya lagi. Belum siap menerima maaf. Belum sanggup membalut luka yang mereka biarkan terbuka selama ini.

Bayangan bapak dan ibunya yang selalu mengatakan segala perkataan sederhana, namun menusuk di hatinya masih menempel jelas di ingatannya.

“Andai saja kakakmu masih ada.. dia pasti nggak akan buat masalah kayak kamu,” kata ibunya waktu itu.

“Kami capek, Aria. Kakakmu dulu nggak pernah membantah, selalu nurut. Kamu terlalu banyak alasan,” bentak bapaknya ketika dia bercerita tentang para pegawai yang tampak segan bekerjasama dengannya di rumah makan milik orang tuanya. Bapaknya tidak pernah mendengarkannya dengan baik.

“Bapak cuma ingin kamu seperti dia. Pintar, patuh, dan nggak bikin kami malu.”

“Kadang ibu mikir, kamu ini benar-benar anak kami atau bukan. Kamu beda banget..,” ucapan ibunya yang selalu terngiang-ngiang di telinganya membuat ia sadar sepenuhnya bahwa seberusaha apapun dan sampai kapanpun, ia tetap menjadi anak yang tidak bisa diharapkan oleh orang tuanya.

Aria juga tidak sanggup lagi kalau terus dibanding-bandingkan dengan kakaknya yang telah tiada. Kata-kata itu seperti memukul dada kosongnya. Ia menatap tirai pembatas yang tertutup.

Asia bisa melihat hubungan Aria dan kedua orang tuanya yang timpang. Gadis itu menarik napas panjang sebelum berbicara. Tangannya gemetar, tetapi tatapannya matanya tampak tegas mengarah pada kedua orang tua Aria yang kini masih berdiri di dekat Aria.

“Om, tante. Boleh kita berbicara sebentar?” tanyanya sopan. Ketiganya berjalan ke ruang tunggu dimana Mayu sedang duduk disana. “May, tolong temani Aria dulu ya.”

Mayu hanya mengangguk dan bergegas menemui Aria. Asia dan kedua orang tua Aria duduk di ruang tunggu. Asia memberanikan diri untuk mengatakan beberapa hal yang selama ini dipendamnya.

“Tadi saya dan Mayu menemukan Aria bersimbah darah sambil memeluk album foto di kamar kosnya," katanya pelan. Asia melanjutkan pembicaraannya lagi. "Maaf, om, tante.. saya tidak bermaksud untuk berbicara lancang. Tetapi menurut saya, Aria tidak butuh dimarahi atau dipertanyakan kenapa dia melakukan itu,” ucapnya hati-hati. Ibu Aria menatap Asia, matanya masih sembab. Sedangkan bapak Aria masih terdiam. “Aria butuh didengar. Didengarkan dengan sepenuh hati dan bukan saatnya untuk ditanya kenapa dia melakukan hal itu.”

Asia menahan air mata. Suaranya nyaris pecah. “Saya sering sekali melihat dia diam dan tampak linglung seperti banyak beban pikiran. Bahkan sedari awal saya menyadari senyum palsunya... Namun apa yang saya sesali hari ini adalah saya nggak pernah bertanya padanya, bahkan nggak ada satupun teman-temannya yang bertanya apakah dia benar-benar baik-baik saja.”

Asia menangis tersedu-sedu. Ibu Aria terperangah mendengarnya. Kemudian bapak Aria akhirnya bersuara pelan dan berat, “Kami hanya ingin dia jadi yang terbaik..,”

Asia memiringkan tubuhnya dan mendekat di sisi ibu Aria. Gadis itu menatap mata mereka dalam-dalam. “Terkadang yang anak-anak butuhkan bukan untuk jadi yang terbaik. Tetapi mereka hanya lah ingin cukup dicintai, meski mereka gagal. Merasa cukup diterima meskipun mereka berbeda.”

Suasana hening sejenak. Kata-kata Asia menggantung di udara seperti cermin yang semula retak kini kembali seperti semula. Ibu Aria mulai menangis. Sementara bapak Aria hanya menundukkan kepala. Mungkin untuk pertama kalinya, mereka benar-benar mendengar. Bukan hanya mendengar suara Asia, tetapi juga jeritan sunyi Aria yang selama ini terabaikan.

***

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
OF THE STRANGE
1094      597     2     
Science Fiction
ALSO IN WATTPAD @ROSEGOLDFAE with better graphics & aesthetics! Comment if you want this story in Indonesian New York, 1956 A series of mysterious disappearance baffled the nation. From politicians to socialites, all disappeared and came back in three days with no recollection of what happened during their time away. Though, they all swore something attacked them. Something invisible...
Aku Istri Rahasia Suamiku
12630      2427     1     
Romance
Syifa seorang gadis yang ceria dan baik hati, kini harus kehilangan masa mudanya karena kesalahan yang dia lakukan bersama Rudi. Hanya karena perasaan cinta dia rela melakukan hubungan terlarang dengan Rudi, yang membuat dirinya hamil di luar nikah. Hanya karena ingin menutupi kehamilannya, Syifa mulai menutup diri dari keluarga dan lingkungannya. Setiap wanita yang telah menikah pasti akan ...
Menjadi Aku
400      316     1     
Inspirational
Masa SMA tak pernah benar-benar ramah bagi mereka yang berbeda. Ejekan adalah makanan harian. Pandangan merendahkan jadi teman akrab. Tapi dunia tak pernah tahu, di balik tawa yang dipaksakan dan diam yang panjang, ada luka yang belum sembuh. Tiga sahabat ini tak sedang mencari pujian. Mereka hanya ingin satu halmenjadi aku, tanpa takut, tanpa malu. Namun untuk berdiri sebagai diri sendi...
Aranka
4327      1452     6     
Inspirational
Aranka lebih dari sebuah nama. Nama yang membuat iri siapa pun yang mendengarnya. Aland Aranka terlahir dengan nama tersebut, nama dari keluarga konglomerat yang sangat berkuasa. Namun siapa sangka, di balik kemasyhuran nama tersebut, tersimpan berbagai rahasia gelap...
Cinta Pertama Bikin Dilema
4987      1374     3     
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi. Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. "Jangan ...
Search My Couple
549      313     5     
Short Story
Gadis itu menangis dibawah karangan bunga dengan gaun putih panjangnya yang menjuntai ke tanah. Dimana pengantin lelakinya? Nyatanya pengantin lelakinya pergi ke pesta pernikahan orang lain sebagai pengantin. Aku akan pergi untuk kembali dan membuat hidupmu tidak akan tenang Daniel, ingat itu dalam benakmu---Siska Filyasa Handini.
Kepak Sayap yang Hilang
111      104     1     
Short Story
Noe, seorang mahasiswa Sastra Jepang mengagalkan impiannya untuk pergi ke Jepang. Dia tidak dapat meninggalkan adik kembarnya diasuh sendirian oleh neneknya yang sudah renta. Namun, keikhlasan Noe digantikan dengan hal lebih besar yang terjadi pada hidupnya.
Kelana
617      462     0     
Romance
Hidup adalah perjalanan tanpa peta yang pasti, di mana setiap langkah membawa kita menuju tujuan yang tak terduga. Novel ini tidak hanya menjadi cerita tentang perjalanan, tetapi juga pengingat bahwa terbang menuju sesuatu yang kita yakini membutuhkan keberanian dengan meninggalkan zona nyaman, menerima ketidaksempurnaan, dan merangkul kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Selam...
NADA DAN NYAWA
15377      2890     2     
Inspirational
Inspirasi dari 4 pemuda. Mereka berjuang mengejar sebuah impian. Mereka adalah Nathan, Rahman, Vanno dan Rafael. Mereka yang berbeda karakter, umur dan asal. Impian mempertemukan mereka dalam ikatan sebuah persahabatan. Mereka berusaha menundukkan dunia, karena mereka tak ingin tunduk terhadap dunia. Rintangan demi rintangan mereka akan hadapi. Menurut mereka menyerah hanya untuk orang-orang yan...
Bintang Sang Penjaga Cahaya
66      62     2     
Inspirational
Orang bilang, dia si penopang kehidupan. Orang bilang, dia si bahu yang kuat. Orang bilang, dialah pilar kokoh untuk rumah kecilnya. Bukan kah itu terdengar berlebihan walau nyatanya dia memanglah simbol kekuatan?