Jurnal Februariku,
Dulu aku pikir diam itu tandanya aku kuat. Tetapi sekarang dalam diamku, aku justru merasa kehilangan arah. Terkadang aku iri pada Aria.. bukan karena hidupnya tampak bebas, tapi karena dia berani jujur dalam caranya sendiri. Mungkin aku juga harus mulai belajar untuk jujur, bukan ke orang lain, tapi ke diriku sendiri.
Tulisannya terhenti saat Mayu menggeser kursi di dekatnya. Asia langsung menutup buku jurnal hariannya. “Selama satu minggu ini, kulihat kamu cukup sering mencatat jurnal harianmu ya,” ucap Mayu terus terang. Asia hanya tersenyum, lalu memasukkan buku jurnalnya ke dalam tas.
“Entah kenapa dengan menulis di buku itu dan kembali membacanya bisa membuatku kembali berpijak di bumi dan menjadi sebuah refleksi diri bagiku. Aku bisa semakin mengenal siapa sejatinya aku,” cerita Asia. Mayu menganggu-anggukkan kepala mengerti. Asia berkata lagi, “Tapi tetap jadwal terencana untuk hari-hari ke depan tetap kutulis secara rinci. Yah, walaupun aku sudah mengurangi kebiasaan itu sampai nanti berhenti dengan sendirinya.”
“Kenapa harus berhenti? Tetap lanjutkan saja kalau kamu suka menulis target dan rencanamu untuk ke depannya. Kebiasaan itu juga nggak buruk kok. Itu berarti kamu mempunyai rencana cadangan untuk rencana awal secara teratur. Tetapi kamu juga harus tahu bahwa tidak semuanya harus sesuai dengan kendalimu. Seperti yang pernah Aria bilang kan kalau kamu selalu terlihat terlalu mengatur?” mendengar ucapan Mayu membuatnya teringat kembali pertengkarannya dengan Aria saat semester lalu.
Mayu lanjut berbicara, “Bagiku, menjadi seorang perfeksionis yang terencana tidak masalah selagi aku sendiri tidak menyesali keadaan yang tidak sesuai dengan rencanaku. Dengan begitu, kepala kita nggak akan sakit dan kita bisa terus berjalan ke depan, ke rencana selanjutnya. Tidak terpaku dengan rencana yang gagal.”
Asia mendengarkan Mayu dengan seksama. Diam-dian dia merasa kagum dengan Mayu yang ternyata bisa melihat hal-hal kecil darinya. Kali pertama mengenalnya, Mayu adalah mahasiswa yang kelihatan ceroboh dan banyak bicara. Tetapi setelah mengenalnya lebih lama, rupanya Mayu lebih tenang daripada Marella yang cukup cerewet dan kocak.
Mayu yang sekarang dikenalnya lebih banyak memperhatikan teman-teman terdekatnya dalam diam. Gadis itu juga tidak segan menegur temannya jika ada hal yang menurutnya kurang. “Makasih ya, May. Saranmu sangat membantuku,” ucapnya sambil tersenyum. Mayu juga ikut membalas senyum sambil memberi isyarat dengan jari tangannya ‘oke'.
“Kata ibunya Aria, dua minggu yang lalu, Aria sudah kembali ke kampus lagi. Tapi dia sama sekali belum kelihatan masuk ke dalam kelas. Apalagi setelah ini matkul akan segera dimulai lagi. Sepertinya dia tidak akan datang lagi deh,” celetuk Marella.
Satria ikut menambahi, “Aku kira dia bakalan duduk di pojok belakang lagi. Tapi aku masih belum melihat batang hidungnya disana.”
“Tenang, guys. Mungkin yang dimaksud tante, Aria akan kembali ke kampus minggu depan atau minggu depannya lagi. Yang terpenting sekarang kita mendoakan agar Aria bisa segera pulih kembali,” ujar Asia mencoba menenangkan teman-temannya yang tampak gelisah dan menjadi tidak sabaran.
Tak lama dosen yang mengampu mata kuliah Psikologi Sosial masuk ke dalam ruangan. Mereka berempat segera berbalik lagi dan menghadap ke depan secara bersamaan.
Terdengar ketukan dari depan pintu kelas. Mereka berbalik lagi. Aria sedang berdiri di ambang pintu. “Maaf, bu. Saya terlambat.”
“Baik. Silakan masuk dan segera duduk ya,” ucap dosen tersebut. Ke empat temannya sedikit gugup ketika Aria melangkah masuk. Mereka berharap Aria mau duduk kembali di kursi lamanya. Rupanya Aria terus berjalan sampai bangku depan dan meminta Mayu menggeser duduknya. Dia ingin duduk di sebelah Asia. Teman-temannya mendadak senang dan Mayu memilih untuk berpindah di kursi Aria. Setelah Aria duduk, Asia tidak sanggup menengok ke arah Aria secara langsung. “Ini terlalu dekat. Ini.. Terlalu dekat,” gumamnya pelan.
“Sekarang ini matkul Psikologi Sosial kan? Siapa nama dosennya ya?” Asia menyadari Aria yang berbisik di sebelahnya. Asia melihat kembali ke arah dosen yang sedang menggerakkan kursornya.
“Bu Sophia Maharani,” jawab Asia tanpa menengok ke arah Aria. Gadis itu langsung membuka bindernya. Bersiap-siap jika nanti materi dimulai dan ada hal penting yang harus dicatat.
“Baiklah. Kita mulai pembahasan hari ini tentang ‘Psikologi Sosial dan Hukum'. Bu Sophia menekan tombol dan slide mulai berpindah. Para mahasiswa berseru “Wow” secara bersamaan. Terlihat gambar tangan seseorang yang ditusuk jarum suntik dan dua orang yang meminum minuman keras. “Ini belum seberapa,” ucap beliau. Slide selanjutnya membuat mata mereka semakin terpana. Terdapat gambar beberapa gadis yang sedang merokok diselingi dengan meminum bir. Foto disebelahnya juga mengganbarkan sejumlah pemuda laki-laki dengan usia yang beragam. Mereka memiliki model rambut mohawk dan mengenakan pakaian yang cukup unik.
“Waw, ada anak punk juga!” sahut Marella takjub. Saat slide selanjutnya ditayangkan membuat mereka semakin bersemangat. Para mahasiswa serentak mengucapkan “Wawawawaaa..,” dan bahkan ada beberapa dari mereka yang tidak sengaja tersedak sampai terbatuk-batuk setelah melihat gambar-gambar tersebut. Foto pertama yang menggambarkan beberapa gadis berpakaian minim dan menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya. Foto kedua yang menunjukkan gambar dua orang gadis yang juga berpakaian minim. Keduanya saling bertatapan sambil mendekatkan wajahnya sampai beberapa senti.
“Waduh, ciuman nggak tuh?!” seru Marella lagi. Teman-teman sekelas langsung menyorakinya. “Terhibur banget, neng..?!!” sahut mereka sambil terkekeh.
“Nah, kalian sudah bisa lihat kan? Dengan adanya hukum saja, masih ada dari mereka yang melakukan penyimpangan. Bagaimana kalau negeri ini tanpa adanya aturan hukum? Pastinya akan semakin tidak terkendali karena adanya kebebasan dan tiadanya aturan hukum yang berlaku,” terang bu Sophia. Asia menulis beberapa hal yang menurutnya penting.
Aria membaca sebaris kalimat dari tulisan Asia, “Dengan adanya hukum bisa mengurangi berbagai penyimpangan dari masyarakat.”
Melihat Aria yang terlihat ingin membaca tulisannya, gadis itu langsung menggeser bukunya ke meja Aria. Cowok itu tersenyum singkat, lalu membaca tulisan Asia. Gadis itu tersenyum melihat Aria yang sedang menyalin tulisannya. ‘Dia tidak lagi tersenyum palsu. Aku bisa melihat dia belajar untuk mengendalikannya. Ada perasaan lega ketika melihat matanya yang tulus dan tidak berkabut lagi.’ pikirnya.
Gadis itu belajar untuk menyesuaikan caranya menghadapi Aria, yakni bukan dengan teguran, tetapi dengan perhatian yang tenang. Dan untuk pertama kalinya, Asia belajar bahwa rencana hidup tak selamanya harus rapi dan melakukannya dengan mengerahkan segala tenaga untuk mencapainya. Namun cukup dijalani dengan hati saja.
Asia kembali mendengarkan penjelasan bu Sophia, “Nah, itulah pendahuluan definisi dari hukum. Kita bisa lanjut untuk memahami bahwa ada tiga peran psikologi dalam bidang hukum itu sendiri. Dituturkan oleh Mark Constanzo bahwa psikologi berperan sebagai penasehat, sebagai evaluator, dan sebagai pembaharu. Maksud dari berperan sebagai penasehat adalah..,”
“Asia, ini tulisannya apa? Nggak bisa dibaca,” tanya Aria.
“Oh, ini.. Hukum dijadikan alat untuk mencapai tujuan, misal..,”
“Oh, cukup. Aku sudah bisa membacanya. Makasih,” Asia membalasnya dengan anggukkan kepala. Kemudian Asia mendengarkan penjelasan bu Sophia lagi, “Nah, lantas kenapa orang berbuat kejahatan? Pada umumnya ada dua hal yaitu terencana dan tidak terencana. Di dalam tidak terencana terdapat unsur-unsur seperti emosional dan reaksi cep..,”
Belum selesai mendengarkan, Aria kembali memanggilnya. Tiba-tiba Asia menjadi sedikit kesal karena Aria terus saja mengajaknya berbicara. Cowok itu terus menyenggol lengannya. ‘Sabar, Asia. Bukankah kata adik Shin kalau aku harus bisa lebih bersabar..,’ Asia langsung menoleh sambil berusaha menepis kekesalannya.
“Iya, Aria..,”
Aria mengembalikan buku binder Asia. “Maaf sudah meminjam terlalu lama. Sebaiknya kamu buat untuk mencatat dulu saja. Daripada nanti kamu terlambat mencatat,” perkataan Aria membuatnya hanya mengangguk dalam diam. Dia tidak menyangka jika Aria sepeka itu. Disenggolnya lagi bahu Asia. Gadis itu menoleh lagi ke arahnya. “Tapi nanti aku pinjam catatannya dong. Ternyata catatanmu lengkap juga ya. Good,” katanya sambil mengacungkan jempol ke arahnya.
Asia menghela nafas. Kekesalannya mulai kembali lagi, ‘Kukira dia peduli padaku, tapi ternyata dia hanya peduli dengan catatanku yang lengkap,’ dumelnya di dalam hati.
Setelah itu, Aria tidak mengganggunya lagi. Mereka tampak fokus memperhatikan ceramah dosen yang berdiri di depan kelas.
Bu Sophia terus menjelaskan sambil mengganti slide secara berurutan, “Pendekatan psikologi yang kedua adalah teori belajar sosial Bandura. Kalian masih ingat kan tentang teori dari Albert Bandura? Nah, Bandura menyatakan kalau peran model dalam melakukan penyimpangan cenderung dari rumah, media, dan subkultur tertentu seperti gank yang merupakan contoh baik dalam terbentuknya perilaku kriminal orang lain. Dimulai dari observasi yang kemudian melakukan imitasi dan identifikasi yang merupakan cara yang biasa dilakukan hingga terbentuknya perilaku menyimpang tersebut.”
Asia masih terus memperhatikan bu Sophia di depan. Tetapi matanya sesekali melirik ke arah Aria yang masih tampak fokus mendengarkan. Bahkan Aria juga menyalakan perekam suara dari handphone-nya untuk merekam suara bu Sophia.
Asia kembali menghadap ke depan. Tetapi kata hatinya terus berisik di kepalanya seolah-olah seperti sang penyair yang tidak henti-hentinya meluahkan segala perasaannya melalui kata-kata, ‘Kami duduk bersebelahan, sama-sama sibuk dengan catatan masing-masing. Awalnya dia berisik sekali. Tetapi lama-lama tidak ada percakapan diantara kami. Untuk pertama kalinya, keheningan tidak terasa janggal. Mungkin kami sedang belajar bahwa kedekatan tidak selalu butuh kata-kata. Kadang cukup dengan hadir, dan tetap di sana.’
“Baik, adik-adik. Kalian harus melakukan presentasi minggu depan. Silakan masing-masing dari perwakilan untuk maju dan mengambil undian tema yang akan kalian bahas,” mendengar perkataan bu Sophia, perwakilan dari kelompok dua sudah maju duluan. Disusul juga oleh perwakilan dari kelompok tiga.
Asia melihat teman-teman satu kelompoknya sedang melihat ke arahnya juga. “Eeng, Aria tolong dong ambilkan undiannya. Aku lagi mager soalnya,” pintanya. Aria langsung menurut. Dia berjalan ke depan dan mengambil undian tersebut. Ketiga temannya langsung menatapnya curiga.
“Asia, kamu tahu kan aturan di matkul ini. Barangsiapa yang menjadi perwakilan untuk mengambil undian, niscaya dialah yang akan menjadi ketua kelompoknya,” terang Marella sambil mengacungkan jari telunjuknya ke atas. Satria tertawa ngakak.
“Lah, ngapa nih anak tiba-tiba bersabda aja?!! Wakakaka..,” mendengar tawa Satria yang seperti burung beo membuat Mayu langsung menutup mulut Satria.
“Iih, berhenti. Tertawamu aneh banget tahu,” katanya Cowok itu langsung cemberut. Mayu meneruskan kata-katanya lagi, “Nggak usah ketawa kayak gitu lagi, nanti gantengnya hilang lagi.”
Mendengar hal itu membuat wajah cemberut Satria berganti menjadi berseri-seri. “Wah, jarang sekali aku dipuji sama Mayu. Sekalinya muji kok suka bener ya. Aku memang ganteng kok. Kamu juga ingat kan sama mantanku yang di SMA dulu? Dia bilang aku itu ganteng maksimal!” ucapan Satria yang penuh percaya diri membuat Mayu sedikit menyesal karena sudah memujinya.
Tak lama Aria kembali di tempat duduknya. “Guys, kita dapat tema Agresi. Kita mulai cari referensi di perpus nanti kah? Umm.. setelah matkul terakhir selesai?” tanyanya. “Eh, menurutku jangan sekarang sih. Hari ini aku ada acara yang penting. Kalau besok saja, gimana?”
“Wah, siappp, pak ketua!” jawab Satria sambil bersikap hormat. Aria mengernyitkan dahi tidak mengerti.
Mayu langsung menjelaskan aturan di kelas mata kuliah Psikologi Sosial yang berbeda dengan aturan mata kuliah lainnya. Aria pun berbalik ke arah Asia dan meminta penjelasan padanya. Asia malah tertawa kecil.
“Aku.. Bosan jadi ketua kelompok. Aria, kalau kamu enggan jadi ketua kelompok, kamu bisa memilih anggota kita yang lain untuk menjadi ketuanya. Kita bisa kok bernegosiasi dengan bu Sophia,” jelas Asia. Mendengar penjelasannya, malah membuat Aria tertawa terbahak-bahak seketika.
Teman-teman satu kelompoknya terkejut ketika melihat tawa Aria. Tanpa sadar air mata Mayu mulai mengalir dari sudut matanya. Dia segera berbalik menghadap tembok untuk menghapus air matanya. Asia juga terpana melihat tawa bahagia Aria.
Di sela-sela tawanya, Aria berkata, “Nggak aku sangka, Asia yang ku kenal selama ini mulai berubah. Sejak kapan kamu menjadi mager dan bosan dengan status kedudukan yang biasanya kamu sukai itu?”
Asia bingung harus menjawab apa. Dia pun asal bicara, “Aku.. Nggak gila jabatan juga tahu. Marella bisa jadi ketua kelompok. Satria juga kalau mau. Apalagi Mayu. Kamu pun juga berhak menjadi ketua kelompok kalaupun kamu mau.”
Aria tidak menjawab. Dia hanya menyunggingkan senyumnya. Lagi-lagi Asia menyadari perubahan dalam diri Aria yang sekarang. ‘Apakah Aria yang seperti ini yang dulu sering dilihat oleh Mayu? Dimataku sekarang, dia.. seperti seorang pangeran,’ ungkapnya penuh kekaguman.
“Asia, setelah ini ada jeda waktu istirahat. Kamu mau nggak, kalau kita mengobrol berdua sebentar di luar nanti?”
***
Sepulang kuliah, Aria bergegas menuju rumah sakit. Dikarenakan kedua pergelangan tangannya yang masih sakit, dia pergi dengan mobil gokcar. Sesampainya di rumah sakit, cowok itu menunggu antrian di lobi resepsionis. Setelah selesai mengurus pendaftaran dan surat kontrolnya, Aria segera berjalan menuju antrian untuk menemui dokter. Dia termenung sambil melihat nomor antrian miliknya, nomor satu. ‘Aah. Aku malah berakhir tinggal di rumah orang tua untuk sementara. Sayang sekali kos barunya, aku tinggalin begitu saja. Tapi.. Ibu kan selalu sibuk dengan pekerjaannya. Kenapa tadi dia ingin menemaniku berobat ya?’
Aria melihat beberapa orang yang sudah datang duluan sebelumnya. ‘Pasti mereka juga memiliki masalah yang beragam.’ Diantara orang-orang dewasa yang sedang duduk menunggu, diantaranya ada yang membawa anak-anak kecil.
Mereka tampak aktif sekali. Karena sudah sering berobat, Aria juga tahu bahwa tidak hanya orang dewasa saja yang berobat disini, tetapi juga anak-anak yang mungkin memiliki masalah yang berbeda-beda. Misalnya terlambat berbicara, kesulitan makan, hiperaktif, dan sebagainya.
Sedangkan Aria sendiri akan menjalani terapi CBT (Cognitive Behavioral Therapy) yang pada dasarnya Aria tidak pernah tahu karena tidak pernah bertanya juga. Terapi tersebut bertujuan untuk membantu Aria menyadari pola pikir negatif secara otomatis. Lalu menantangnya dengan pikiran alternatif yang lebih rasional, dan akhirnya mengubah perilaku maladaptif.
“Aria Hanggono,” panggil perawat yang mengenakan hijab. Aria berdiri dan mengikuti perawat memasuki ruangan. Disana sudah ada dokter Aneema yang duduk menyambut kedatangannya dengan seulas senyum.
“Selamat sore, mas Aria. Bagaimana kabarnya hari ini?” tanya beliau.
Aria duduk berhadapan dengan psikiaternya yang dibatasi dengan meja lebar di tengah mereka. “Kabar saya cukup baik, dok.”
“Terima kasih sudah datang lagi, Aria. Datang sendiri atau ada yang mendampingi?”
“Saya sendirian, dok. Saya masih belum ingin ditemani oleh siapapun kesini,” jujurnya.
Dokter Aneema menganggukkan kepala. “Baiklah. Oh ya, minggu lalu kita telah membahas tentang ‘topeng senyum’ yang sering kamu pakai. Minggu ini, kita akan mulai teknik dari terapi ini yaitu dengan menulis pikiran otomatis yang muncul dalam situasi tertentu. Siap?”
Siap, bu Aneema,” jawab Aria. Kemudian dia menulis kertas worksheet yang diberikan oleh perawat disana. Setelah selesai, Aria memberikan kertas tersebut kepada dokter Aneema. “Ini yang saya alami hari ini, dok,” ucapnya sopan.
“Boleh saya bacakan?” dokter Aneema meminta ijin pada Aria. Cowok itu mengangguk seraya berkata, “Boleh, dok.”
Lantas dokter Aneema mulai membaca, “Oke. Situasinya adalah saya terlambat lagi masuk ke kelas. Pikiran otomatisnya adalah dosen saya pasti muak sama saya. Apalagi hari ini adalah hari pertama saya bertemu dengannya. Perasaannya adalah cemas, malu, ingin menghilang. Responnya adalah saya menangis diam-diam di kamar mandi, lalu pura-pura sibuk saat teman-teman mengajak makan di kantin.”
“Setelah menulis itu rasanya saya menjadi malu, bu.”
Bu Aneema tersenyum tipis sambil membenarkan kacamatanya. “Tidak apa-apa jika mas Aria merasa malu. Itu juga bagian dari emosi loh. Kondisi mas Aria sudah ada kemajuan ya sekarang.”
Aria mengangguk senang.
“Nah, terima kasih karena mas Aria sudah berbagi cerita hari ini dengan saya. Sekarang kita tantang pikiran otomatis itu. Apakah ada bukti kuat bahwa dosen kamu ‘muak’ padamu?”
“Eeng.. Sepertinya tidak juga. Dosen saya menyuruh saya untuk segera masuk dan mengikuti kelas. Nada suara beliau juga biasa saja. Setelah itu, beliau juga tidak keberatan jika saya yang menjadi ketua kelompok.”
“Kalau begitu, pikiran alternatif apa yang lebih realistis?” tanya dokter itu lagi.
Aria berpikir sesaat, “Mungkin... dosen saya sebenarnya bersikap biasa saja padaku. Mungkin saja.. Saya yang berpikir agak berlebihan..?”
“Bagus. Kita mulai membangun keterampilan untuk membedakan antara pikiran dan fakta. Pikiran otomatis kamu sangat keras terhadap diri sendiri, Aria,” jawab beliau dengan tenang.
Aria hendak mengatakan sesuatu, tetapi ditahannya. Dokternya tetap menunggunya berbicara lagi. Akhirnya Aria mulai bersuara, “Terkadang-kadang saya lebih takut gagal dan melakukan kesalahan yang kembali berulang karena saya terlalu ingin dianggap ‘baik’. Jadi saya senyum.. meskipun saya hancur.”
“Itu disebut ‘people-pleasing’ atau perfeksionisme sosial. Kita akan kerjasama untuk menggantinya dengan self-compassion. Minggu depan, saya ingin kamu menuliskan satu momen setiap hari di mana kamu jujur pada perasaanmu, sekecil apa pun itu.”
Aria tertawa canggung seraya berkata, “Jujur itu menakutkan untukku, dok. Tapi saya tetap ingin mencobanya.”
“Bagus, Aria. Kita tidak sedang mencari ‘perbaikan instan’. Kita sedang membangun keberanian untuk menjadi utuh tanpa harus menyembunyikan luka. Oke?”
***
Di dalam kamar, Asia mengingat kembali saat Aria memanggilnya untuk mengobrol berdua di luar kelas. Namun setelah kelas pertama berakhir, Aria keluar kelas tanpa berbicara apapun. Asia mengejarnya, tetapi langkahnya terhenti saat mengetahui Aria masuk ke dalam kamar mandi. Gadis itu menunggu Aria dan duduk di undakan tangga yang menuju lantai atas.
Saat Aria keluar dari kamar mandi, gadis itu langsung berjalan menghampirinya. “Aria,” panggilnya. Cowok itu berbalik. Asia bisa melihat matanya yang tampak sembab.
“Kita duduk di undakan tangga situ ajah yuk,” katanya. Aria berjalan mendahuluinya. Asia ingin bertanya tentang keadaannya, tetapi diurungkannya. ‘Mungkin Aria tidak ingin satupun orang melihatnya habis menangis. Lebih baik aku berpura-pura tidak mengetahuinya,’ pikirnya.
“Pada akhirnya orang tuaku mengijinkanku untuk berobat lagi di psikiater,” ucap Aria memulai pembicaraan. Asia tersenyum senang mendengarnya. “Jadi.. Untuk sementara ini aku rutin menjalani terapi dengan dokter jiwa.”
“Terapinya sampai kapan?” tanya Asia kemudian. Aria mengendikan bahunya.
Lantas Aria berkata, “Psikiaterku bilang bisa tiga sampai empat bulan. Tergantung juga dengan kemajuan dari kondisiku. Pertemuan untuk terapi dengan dokter Aneema setiap seminggu sekali. Sekarang aku sudah menjalani dua kali pertemuan. Nanti sore aku akan melakukan terapi lagi.”
“Oh, jadi yang dimaksud acara penting itu pertemuanmu dengan dokter Aneema ya..,” Aria menganggukkan kepala. Asia menyandarkan tubuhnya di lengan tangga sambil berbicara lagi, “Aku juga tahu dari Mayu sebelumnya kalau kamu sering tidak hadir di perkuliahan karena kamu harus berobat dan kerja magang di rumah makan orang tuamu.”
Aria tersenyum getir. Asia pun langsung terdiam. 'Apakah aku ada salah bicara ya?’ tanyanya dalam hati. “Asia,” panggil Aria lagi. “Mau nggak kamu mendengarkan tentang keluargaku lagi?”
Aku mengangguk pelan.
“Tidak apa-apa. Kalau itu bisa membuat perasaanmu menjadi ringan dan lega.”
Ekspresi Aria seketika berubah. Dia kembali tersenyum tipis. “Setelah kamu dan Mayu pamit pulang, tidak ada satupun dari kami yang berbicara. Bapak terus menonton TV dan ibu.. duduk di kursi sofa dan pandangannya tidak lepas dariku. Aku berusaha untuk menutup mata, walaupun masih belum mengantuk. Tapi lama-kelamaan aku pun tertidur juga.” Asia terus mendengarkan cerita Aria. Dia menepuk-nepuk lembut punggung temannya itu.
“Besoknya, ibu bertanya padaku dimana tempat kosku. Ibu merasa tidak enak dengan ibu kos karena aku belum mengabari keadaanku padanya. Saat mereka kembali, ibu memberikanku album foto yang sudah dibersihkan, walaupun masih ada bekas dari noda darahku. Baru kali itu aku melihatnya menangis. Bapak yang tidak pernah menunjukkan perhatiannya, langsung mendekapku. Orang tuaku bilang maaf padaku. Kata-kata yang selama ini tidak pernah kudengar sebelumnya. Lalu aku menyadari betapa bodohnya aku karena sudah melakukan hal seperti itu.”
Tanpa sadar, bulir-bulir air mata mengalir dari sudut mata Asia. Dia ikut merasakan kesedihan yang dialami oleh Aria. Gadis itu juga menepuk-nepuk tangan Aria dengan lembut. Aria berkata lagi, “Terima kasih, Asia. Kamu membuka mataku untuk melihat kalau masih ada orang-orang yang peduli padaku. Orang tuaku, kamu, dan teman-teman. Dan juga.. Kak Aquara.. yang selalu menyayangiku di atas sana.”
Asia mulai berbicara sambil menatap mata temannya itu, “Aria, kehilangan orang terkasih memang terlalu menyakitkan. Aku tahu kamu merasa sangat kehilangan kak Aquara. Tahukah kamu, siapa orang yang paling dan paling merasakan kehilangan?”
Aria mengangguk.
“Aku tahu kalau kamu juga mengetahuinya dengan baik. Aquara adalah anak mereka. Orang tuamu pasti yang paling merasakan sakit dan memiliki luka yang dalam karena merasa kehilangan. Hanya saja, kadang manusia bisa menjadi lupa untuk belajar dari masa lalu. Saat mereka hampir kehilanganmu, mereka menjadi ingat dengan kesalahan dari masa lalu. Orang tuamu bukanlah malaikat. Mereka sama dengan manusia biasa yang kadang suka salah, seperti kita. Jadi.. Pelan-pelan terimalah kembali mereka dalam hidupmu. Lambat laun kalian bertiga akan sama-sama belajar untuk saling menyembuhkan. Siapa sih orang yang paling peduli dengan diri kita di dunia ini kalau bukan orang tua kita sendiri?”
Aria mengangguk mengerti. Tangannya juga memegang tangan Asia. Tanpa sadar, mereka saling mendukung satu sama lain. Tidak ada kecanggungan di antara mereka berdua.
“Saat ini aku juga belajar untuk mengikis kebencianku pada mereka. Makanya aku mau tinggal dengan mereka lagi, untuk sementara. Mereka juga tidak memaksaku untuk bekerja magang di rumah makan lagi. Setidaknya sekarang aku bangga pada diriku sendiri karena bisa memiliki uang saku dari bekerja di toko roti, hasil jerih payahku sendiri.”
Keduanya saling melempar senyum dan tidak berhenti saling bertatapan. Setelah itu keduanya menjadi salah tingkah ketika mendengar Satria memanggil nama Aria dari kejauhan. Keduanya langsung duduk berjauhan. Marella dan Mayu melihat mereka dengan tatapan curiga.
“Aria, Asia. Kita ke kantin yuk,” ajak Satria. Asia segera berdiri, bersiap untuk pergi. Tetapi Aria tidak mau ikut. Dia ingin melanjutkan menyalin catatan Asia yang belum selesai.
Walaupun akhirnya mereka menerima keputusan Aria, tetapi tidak bagi Asia. Gadis itu tahu betul kalau Aria ingin waktu untuk menyendiri karena sedang memikirkan hal-hal yang hanya dia sendiri yang tahu. Pada akhirnya pun Asia mengangguk setuju. Mereka meninggalkan Aria sendirian disana.
Membayangkan kejadian tadi membuat Asia kembali membuka buku jurnal hariannya. Dia kembali menulis sesuatu di jurnalnya.
Jurnal Februariku,
Hari ini Aria tertawa. Bukan senyuman dengan topengnya, bukan juga senyum yang dibuat-buat. Dia benar-benar tertawa sampai matanya menyipit. Rasanya seperti melihat langit biru berawan cerah setelah sekian lama mendung. Dan aku mulai berpikir.. mungkin aku juga punya hak untuk merasa ringan seperti itu, walaupun hidup tak selalu pasti.
Hari ini aku sadar kalau aku terlalu sibuk menyusun rencana hidupku seolah-olah semua bisa dikendalikan. Aria memang mengacaukan ritme itu, tapi.. dia juga menunjukkan bahwa hidup nggak harus selalu teratur untuk tetap berarti. Tetapi kenapa ya? Saat dia bercerita soal keluarganya, ada bagian dari diriku yang ikut terasa nyeri?
***