Pertengkaran Asia dengan Aria adalah pertemuan terakhir diantara mereka. Setelah itu ada jeda waktu libur selama satu bulan hingga setelahnya memasuki semester kedua. Semenjak hari itu, group-chat benar-benar sepi. Entah karena mereka memiliki kesibukan sendiri atau merasakan seperti apa yang Asia rasakan saat ini, canggung karena situasi hari itu.
Asia sendiri juga tidak tahu harus memulai obrolan apa. Karena ‘nyawa' nya obrolan itu sendiri sudah jarang chat di grup juga. Kini Asia fokus untuk menjadi sukarelawan bersama dengan Ditra di salah satu lembaga atau komunitas di Malang.
Asia ijin berangkat bersama dengan Ditra yang menjemputnya ke rumah. Ibunya pun mengijinkannya untuk pergi dan meminta Asia untuk mengunjungi rumah ayahnya sebentar sebelum datang ke komunitas disana. Jadilah Asia dan Ditra berkunjung ke rumah ayahnya yang kini tinggal bersama dengan istri dan anaknya di Malang.
Ayahnya memiliki anak perempuan dari istri keduanya. Namanya Killa. Dia masih berusia lima tahun. Saat berkunjung kesana, Asia sama sekali tidak membicarakan masa lalunya maupun masa lalu ibu dengan ayahnya.
Dia hanya merasa perlu bertamu sebentar saja untuk menjaga tali silaturahmi. Lagipula dia juga merasa berhutang budi karena ayahnya sudah membiayai kuliahnya. Untuk pertama kalinya, Asia berpura-pura untuk menjadi orang yang menyenangkan di depan keluarga ayahnya demi menjaga hubungan yang baik, tentunya.
Ditra yang awalnya tidak tahu apapun mengenai situasi keluarga Asia, kini ia pun tahu semuanya. Tetapi dia lebih memilih untuk diam dan tidak ambil pusing untuk ikut campur urusan yang bukan di ranahnya. Ditra hanya bilang, “Aku hanya ingin memberitahu saja kalau apa yang aku tahu akan kusimpan untuk diriku sendiri.”
Asia mengenal Ditra saat ospek di Mojokerto. Mereka mulai dekat juga saat berada di kelas yang sama dan bekerjasama di Himapsi, walaupun berbeda divisi. Dia memahami pula bahwa Ditra adalah seorang gadis yang tidak banyak bicara tetapi selalu cekatan dalam bekerja. Itulah yang Asia sukai darinya.
Hingga akhirnya Ditra mengajaknya untuk menjadi sukarelawan bersama di komunitas Jelita Kasih yakni sebuah yayasan yang berfokus pada pendampingan emosional untuk remaja dengan latar belakang trauma (seperti korban kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran, ataupun kehilangan orang tua).
Komunitas terbuka ini berlokasi di pinggiran kota dengan memanfaatkan rumah lama yang diubah menjadi ruang aman dan hangat bagi anak-anak dan remaja yang berusia sekitar sepuluh sampai tujuh belas tahun. Setelah menjenguk ayahnya, Asia dan Ditra melanjutkan perjalanan menuju rumah Jelita Kasih. Komunitas Jelita Kasih berfokus pada healing lewat kegiatan kreatif, pendampingan psikologis, serta support group.
Dari luar, rumah Jelita Kasih terlihat biasa saja. Dindingnya tampak kusam dan halaman depannya di penuhi dengan ilalang yang tumbuh tidak terlalu tinggi. Tumbuhan liar itu tampak terawat dan seakan-akan juga dibiarkan untuk tetap hidup.
Kali pertama Asia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah itu, udara yang hangat berhembus ke arahnya. Tercium aroma kayu yang sudah tua. Terdengar suara gelak tawa anak-anak dari ujung lorong. Di dinding ruang tamu terdapat gambar-gambar buatan tangan seperti sketsa wajah dan kata-kata penyemangat yang ditulis dengan spidol warna -warni.
Salah satu tulisannya menggugah relung hatinya yang terdalam. Tulisan itu dibacanya pelan, “Tidak apa-apa kalau merasa sedih.” Matanya kembali beralih ke arah sudut ruangan. Disana terdapat rak buku yang berisi buku-buku psikologi ringan, novel remaja, dan boneka-boneka kecil yang kelihatannya seperti hadiah dari para penyintas trauma.
Asia menganggap dengan belajar menjadi sukarelawan disana bisa menjadi kesempatannya untuk mencari arti dari semua yang sedang ia jalani. Tugasnya saat ini adalah membantu fasilitator dalam kegiatan ekspresi, menjadi kakak pendamping untuk seorang remaja yang memiliki trauma kehilangan orang tua, menulis jurnal mingguan tentang proses perasaan dan interaksinya dengan sesama fasilitator maupun dengan para remaja yang memiliki trauma yang beragam. Di dalam komunitas tersebut, Asia banyak belajar bagaimana cara untuk menjadi pendengar aktif dan memiliki empati yang ia dapatkan dari psikolog pembimbing.
Awalnya Asia merasa canggung dengan semua hal di lingkungan komunitas tersebut Dia merasa belum cukup ‘baik’ untuk membantu orang lain saat dirinya sendiri masih berantakan. Tetapi melalui aktivitas harian seperti menggambar ekspresi, permainan kelompok, dan sesi mendengarkan cerita, Asia mulai merasakan keterikatan. Bukan hanya dengan para remaja disana, tetapi juga dengan dirinya sendiri.
Menjadi kakak pendamping untuk seorang remaja yang memiliki trauma kehilangan orang tua tidaklah mudah. Terkadang remaja yang didampinginya itu kelihatan biasa-biasa saja. Tetapi terkadang Asia juga harus bisa memberikannya ruang keamanan dan kenyamanan saat trauma remaja tersebut muncul kembali.
Shin, seorang remaja laki-laki berusia lima belas tahun yang sudah berada di dalam yayasan tersebut selama lima tahun. Sekarang dia hanya sebatang kara. Tadinya dia memiliki orang tua yang lengkap. Tetapi karena ayahnya yang depresi karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), beliau tega membakar dirinya dan keluarganya.
Walaupun akhirnya Shin selamat dari kebakaran itu, namun dia mengalami luka bakar di sebagian tubuhnya. Awalnya dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa kedua orang tuanya telah tiada dan penyebab kebakaran itu adalah ayahnya sendiri. Dia melampiaskan emosinya dengan kemarahan yang tidak terkontrol. Namun dengan bimbingan dari kakak pendamping, mulai membuatnya belajar bagaimana mengontrol kemarahannya tersebut.
Kini dia menjadi seorang remaja. Terkadang dia merasa malu dan merasa rendah diri karena penampilan fisiknya yang kurang menarik karena luka bakar. Sebagian rambutnya tidak tumbuh lagi karena luka bakar tersebut.
Kadang-kadang Asia menemukan Shin sedang berada di pojok ruangan yang dilapisi karpet tebal dan penuh bantal empuk. Disana terdapat tulisan ‘Zona Aman’ tempat dimana biasanya anak-anak bisa duduk diam, menangis, atau hanya memeluk boneka tanpa harus menjelaskan apa-apa. Asia berjalan menghampiri Shin yang sedang menangis sambil menutupi wajahnya di bantal, walaupun tidak terdengar tangisnya sama sekali.
“Shin, kamu sedang merasa sedih?” tanyanya sambil menepuk-nepuk punggung Shin pelan. Bocah lelaki itu tidak menjawab. Dia semakin menenggelamkan wajahnya di bantal. Asia ikut duduk disebelahnya sambil memeluk lutut. “Ngomong-ngomong kakak juga sering loh menangis tapi tidak bersuara. Kakak seperti itu supaya tidak ada satupun orang lain yang tahu. Karena kalau mereka tahu, mereka akan mencemaskan keadaan kakak,” ucap Asia mulai berbicara. Shin melirik ke arah Asia sambil mengelap ingus dengan tangannya. Asia tersenyum kecil dan memberikannya tisu dari saku celananya.
Asia lanjut berbicara, “Kakak menangis bukan tanpa sebab. Tetapi karena kakak merasa sudah sangat capek menghadapi berbagai masalah di dalam hidup kakak. Kadang kakak bertanya pada diri sendiri, ‘Apa yang harus aku lakukan? Kapan masalah ini bisa selesai?’ Semua itu tidak terjawab dalam satu waktu. Namun ternyata saat kakak berani untuk menghadapinya, eh.. semua masalah yang semula kakak rasa sangatlah besar seperti bola dunia, ternyata bisa semakin mengecil seperti bola bekel dan kemudian lambat laun mulai menghilang. Kakak menjadi bahagia kembali.”
“Bagaimana caranya, kak?” tanya Shin, mulai penasaran.
“Caranya adalah biarkan waktu berjalan apa adanya. Tetapi kita tidak boleh menyerah dengan keadaan itu. Kita harus melawan dunia dengan cara baik kita. Maka nantinya dunia akan berbalik memberi kebaikan dan rasa bahagia di dalam diri kita.”
Shin tersenyum kecil mendengarnya. Dia memalingkan wajahnya lagi dan menundukkan kepalanya. “Aku tuh insecure, kak. Teman-temanku di sekolah memandangku sebelah mata hanya karena fisikku yang tidak lagi terlihat utuh dan sempurna seperti mereka,” katanya mulai bercerita.
“Memandang sebelah mata seperti apa, Shin?” tanya Asia.
“Ya itu.. Melihatku dengan tatapan aneh dan risih saat berada didekatku. Terkadang juga menertawakan penampilanku. Katanya penampilanku mirip seperti karakter antagonis di film Spiderman.”
“Menjadi karakter antagonis juga nggak selalu terlihat jahat loh, Shin. Kakak juga pernah merasa menjadi karakter antagonis saat teman-teman kuliah lebih membela teman kakak yang lain daripada kakak sendiri. Saat itu kakak merasa seperti orang yang jahat. Tetapi satu hal yang kamu harus tahu, tokoh antagonis tidak sepenuhnya jahat dan tokoh protagonis tidak sepenuhnya baik. Karena pada lumrahnya, manusia biasa memiliki sisi yang beragam. Tidak selalu sepenuhnya jahat ataupun baik. Tinggal kita saja yang bisa lebih memilih untuk melakukan hal-hal yang jahat atau berbuat hal-hal yang baik.”
“Kalau begitu dianggap seperti karakter antagonis ternyata tidak terlalu buruk ya, kak,” katanya dengan tawa geli. Asia ikut tertawa mendengarnya.
“Siapa bilang kamu hanya karakter antagonis? Kamu kelihatan keren lagi! Walaupun Shin itu mudah emosi, tapi kamu bisa menurunkan kemarahan itu dalam waktu yang cepat daripada orang-orang yang biasanya."
“Masa sih, kak?” tanyanya lagi.
“Seperti itu yang kakak lihat. Shin bisa mengendalikan kemarahan itu dan mengatasinya dengan baik. Kamu bisa belajar untuk menjadi lebih bersabar daripada sebelumnya. Itulah sebenarnya kekuatan terbesarmu. Kalau kakak sih sebenarnya nggak bisa sabar sama sekali. Apalagi kalau sudah menghadapi salah satu teman kakak di kampus. Ugh, kakak menjadi monster yang galak.”
Keduanya sama-sama tertawa. “Kakak juga harus belajar bersabar dong. Kasihan teman kakak yang kena semburan api kemarahan kakak,” celetuk Shin kemudian. Asia menganggukkan kepalanya dengan cepat.
“Pastinya dong! Berkat Shin, kakak bisa belajar untuk menjadi orang yang lebih sabar. Terima kasih, Shinnar Alejandro.”
“Terima kasih juga, kak Asia. Walaupun kakak seperti monster yang suka marah, tetapi aku nggak takut sama kakak. Aku merasa nyaman sama kak Asia,” ucap Shin sambil bersandar di bahu Asia. Gadis itu merangkul sembari mengelus bahu Shin dengan lembut.
Melalui interaksi mereka yang sederhana namun intens, Asia mulai memahami rasa sakit yang dulu tak bisa ia beri nama. Ia bukan sekadar membantu, tapi juga merasa disembuhkan. Asia menyadari bahwa dirinya sedang tumbuh, perlahan tetapi pasti.
***
Satu bulan berlalu. Asia kembali masuk di semester baru dengan perasaan yang baru pula. Sepanjang di rumah Jelita Kasih, Asia seperti menemukan rumah kedua disana. Dia juga seperti menemukan sisi lain dari dirinya yang belum pernah ia ketahui. Ia benar-benar berterima kasih kepada Ditra karena sudah mengajaknya untuk menjadi sukarelawan di komunitas tersebut.
Asia memasuki ruang kelas yang sama seperti semester sebelumnya. Dia juga duduk di kursi sebelumnya sembari berharap teman-temannya duduk di kursi yang sama juga sepertinya. Satu bulan tidak ada kabar satupun dari mereka membuat Asia mulai merindukan mereka berempat.
Terdengar seseorang masuk ke dalam ruangan kelas. Asia berbalik ke belakang. “Eh, Sat?” kagetnya. Dia tidak menyangka jika Satria datang lebih awal sepertinya. Padahal biasanya Mayu yang datang setelahnya. Satria segera duduk di kursinya seraya berkata, “Aku sengaja datang lebih awal karena nggak ingin kelihatan lebih canggung saat bertemu dengan kalian lagi.”
“Lah, kenapa harus merasa canggung? Seperti biasanya saja lah,” sahut Asia. Satria menunjukkan ekspresi yang seakan-akan memintanya penjelasan setelah kali terakhir pertengkarannya dengan Aria. Asia menghembuskan nafas dengan resah. “Iya, iya. Aku tahu kalau aku cukup keterlaluan padanya. Nanti aku akan meminta maaf padanya.”
Satria melongo.
“Hah? Jadi satu bulan yang lalu kamu belum menghubunginya sama sekali?!” pekiknya.
Asia meliriknya sesaat. “Kamu kira kamu saja yang canggung? Aku juga kali! Lagian chat di grup sepi amat. Aku kan jadi bingung ingin memulai obrolan apa disana.”
Satria menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Iya juga, sih. Aku juga bingung harus membuka obrolan apa sama kalian. Jujur, aku nggak enak karena sama sekali tidak tahu soal kesulitan yang dialami oleh Aria. Mungkin kalian juga berpikir hal yang sama sepertiku.”
Terdengar langkah kaki memasuki ruangan kelas. Keduanya berbalik. Ternyata Mayu dan Marella yang masuk di kelas bersama-sama. Keduanya tampak canggung ketika melihat Asia dan Satria yang sudah datang duluan.
“Eemm, Hai! Bagaimana kabar kalian berdua? Kalau aku baik-baik saja,” tanya Marella mendadak tersenyum dengan ekspresi yang aneh. Mayu menepuk jidatnya.
Asia tertawa melihat tingkah keduanya. 'Mereka sama sekali tidak berubah,’ pikir Asia.
“Kita canggung banget nggak sih?!” seru Mayu kemudian.
“Mendadak canggung sih nggak apa-apa. Asal jangan mendadak dangdut ajah,” lawak Marella. Asia segera berdiri dan merangkul keduanya secara bersamaan.
“Selamat datang di semester yang baru. Aku berharap hubungan lama kita bisa menjadi semakin baru di semester dua ini.”
Marella bingung, “Maksudmu apa sih, Asia?”
“Makin langgeng gitu loh maksudnya. Ah, gitu ajah masa nggak ngerti sih,” tanggap Mayu. Marella cemberut sambil menggembungkan kedua pipinya.
Lantas dia nyeletuk lagi, “Yaa.. Mana ngerti. Kata-kata yang seperti kiasan gitu.”
Asia bersyukur karena ketiga temannya masih duduk di tempat yang sama. Tinggal menunggu kedatangan Aria dan lengkaplah sudah anggota kelompok mereka. Satu-persatu mahasiswa mulai berdatangan. Namun yang ditunggu tidak kunjung datang.
“Mungkin Aria tidak masuk lagi deh,” kata Satria. Mayu menggelengkan kepala.
“Aku yakin kali ini dia bakalan datang. Aku percaya padanya.”
Asia melihat Mayu yang masih terus saja tersenyum. Dia hendak bertanya sesuatu, tetapi ditahannya lagi. ‘Ini belum saatnya untuk membahas hal ini dengannya,’ ucap Asia dalam hati. Tiba-tiba Satria menepuk-nepuk pundak Marella berkali-kali, “Hey! Hey! Hey! Kenapa Aria malah duduk di bangku paling belakang?!”
Asia dan Marella memutar tubuh ke belakang. Ternyata benar! Aria sudah duduk di bangku paling pojok belakang di sebelah kanan. Tanpa sengaja Aria juga melihat ke arah mereka. Satria melambaikan tangan ke arahnya. Tetapi Aria hanya mengangguk singkat dan menelungkupkan tubuhnya di atas meja dengan tudung jaket hitam yang menutupi kepalanya.
“Tuh anak kenapa sih? Beda banget sama dirinya yang biasanya,” kata Marella sambil menopang kepalanya di kursi belakang. Matanya masih terus mengarah ke Aria yang tampak tertidur di atas meja.
“Bajunya berwarna kuning cerah. Tapi dia juga sekarang pakai jaket berwarna gelap,” sambung Asia berusaha mencerna pikirannya saat ini. Dia mulai menyadari apa yang dipikirkannya selama ini tidaklah salah. Ada sesuatu yang terjadi di hidup Aria. Tetapi selama ini Aria menyembunyikannya rapat-rapat di balik tawanya.
“Biarkan saja dia. Mungkin Aria butuh waktu untuk sendiri dulu,” ungkap Mayu. Gadis itu tidak ikut berbalik. Sedari tadi dia menghadap ke depan dan duduk dengan tenang. ‘Ini nggak bisa dibiarkan. Aku harus menyelesaikannya sekarang juga,’ pikir Asia.
Gadis itu memberanikan diri untuk mendekati Aria. Karena tidak bisa mendekati Aria secara langsung, Asia berdiri di dekat mahasiswa yang duduk tidak jauh dari Aria dan memintanya untuk membangunkan cowok yang tampak pulas itu.
“Hey, hey! Asia mengajak Aria berbicara! Sekarang mereka sudah keluar kelas!” seru Satria heboh. Tanpa sadar, dia memukul-mukul pundak Marella berkali-kali.
“Iya, iya. Aku tahu. Nggak pakai mukul juga kali,” katanya seraya menyingkirkan tangan Satria dari pundaknya. Mayu pun segera berbalik melihat Asia dan Aria yang keluar kelas.
Aria berjalan di belakang Asia. Gadis itu berhenti di ornamen pembatas dan melihat pemandangan dari lantai bawah. Ada beberapa orang yang lalu lalang disana. “Ingin bicara soal apa?” tanya Aria memulai pembicaraan. Asia berbalik.
“Aku.. Ingin meminta maaf tentang kejadian sebulan yang lalu. Aku sadar sekarang kalau aku sudah keterlaluan. Maaf karena baru sekarang aku mengatakannya kepadamu,” ucapnya tulus. Dia benar-benar merasa menyesal karena sudah menyakiti Aria dengan kata-kata kejam darinya.
Aria berjalan mendekati ornamen pembatas dan melihat langit yang sudah terlihat mendung. Diam-diam Asia melirik ke arah tangan Aria yang sedari tadi berada di dalam saku jaketnya. ‘Tidak seperti Aria yang biasanya. Hari ini dia menjadi sangat tertutup,’ pikirnya lagi.
Aria mulai membuka suaranya, “Aku juga minta maaf kalau waktu itu aku sudah bersikap keterlaluan. Nilaimu jadi jeblok karenaku. Aku nggak janji. Tapi mulai sekarang aku ingin mengubah kebiasaan burukku itu.”
“Kenapa.. Kamu pindah di bangku belakang?” tanya Asia dengan nada hati-hati. Aria melihatnya sekilas. Lalu pandangannya kembali beralih ke langit.
“Kamu nggak perlu khawatir. Aku hanya butuh waktu buat nafas,” ucapnya sambil terus mendongak melihat ke atas langit yang mulai turun gerimis hujan rintik-rintik.
Asia tidak tahan lagi. Dikeluarkannya tangan Aria dengan paksa. Gadis itu melihat tangan Aria yang terus saja gemetaran tepat di depan matanya. Aria terkejut dan segera menepis tangannya dari gadis itu.
“Aria, sebenarnya kamu kenapa? Kamu bisa cerita padaku. Siapa tahu aku bisa bantu,” kata Asia kemudian. Dia tidak tega melihat Aria yang semakin hari terlihat semakin menderita. Air matanya hampir menyeruak.
Asia bisa melihat Aria yang tersenyum kepadanya. Tetapi dia tidak bisa lagi menyembunyikan tatapan kosong dari Asia. Gadis itu sudah benar-benar menyadari bahwa ada yang salah dengan temannya itu.
“Aku selalu baik-baik saja,” katanya singkat sambil terus mengukir senyuman dari bibirnya. Kemudian Aria berlalu begitu saja tanpa berkata apa-apa lagi. Asia membalikkan tubuhnya dan melihat Aria kembali masuk ke dalam kelas.
Asia juga kembali ke ruangan kelas. Dia segera mengeluarkan buku jurnal hariannya dari dalam tas ransel. Kemudian dia melirik ke arah teman-temannya yang terlihat ingin tahu situasi diantara dirinya dengan Aria tadi.
“Nggak ada apa-apa. Tadi aku sudah meminta maaf padanya. Itu saja,” penjelasannya dapat diterima oleh teman-temannya. Ketiganya mulai mengobrol tentang Aria lagi. Tetapi Asia tidak lagi mendengarkan obrolan mereka. Dia ingin menulis sesuatu di buku jurnal hariannya.
Jurnal Februariku,
Akhirnya dia datang lagi. Senyumnya masih sama. Tetapi aku tahu kalau sesuatu di balik matanya terlihat semakin berat. Kami nggak sempat bicara banyak, tapi saat dia bilang, ‘Aku cuma butuh waktu buat nafas’, aku paham.
Satu hal yang aku tahu sekarang, dulu aku sempat berpikir kalau aku harus selalu kuat. Tetapi sekarang aku tahu, kadang kekuatan juga berarti memberi ruang untuk diri sendiri dan untuk orang lain.
‘Aria nggak lagi baik-baik saja. Nggak ada cara lain lagi, aku harus bertanya tentang hal ini padanya!’ ucapnya dalam hati. Kali ini, Asia ingin mengikuti kata hatinya. Gadis itu menetapkan niatnya untuk berusaha membantu Aria, apapun masalah yang cowok itu hadapi saat ini.
***
Sore itu seseorang melangkah masuk ke dalam ruangan perpustakaan fakultas. “Kak Ajeng,” panggilnya. Gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak ada satupun orang di dalam ruangan itu. “Sepertinya disini aman buat menelepon dia sekarang.”
Tiba-tiba saja gadis itu terkejut ketika ringtone ponselnya berbunyi. Dia langsung mengangkat telepon itu, “Halo. Iya, aku tahu apa yang harus aku lakukan. Tetap diam dan tidak menimbulkan kecurigaan. Lagipula Satria juga nggak bakal cerita pada siapapun kalau aku itu teman masa kecilmu. Dia nggak seember itu ya. Oke,” setelah menutup ponselnya, gadis itu membalikkan badan hendak keluar ruangan. Namun dia terkejut kembali saat melihat Asia sudah menunggu sambil bersandar di depan pintu. Asia melihatnya dengan tatapan menyelidik.
“Oh, jadi Mayu bukan sekedar sahabat sekaligus tetangga Aria? Tetapi ternyata kalian juga teman masa kecil toh.”
***