Ini bukan alasan klasik. Aria benar-benar tidak bisa berakal sehat pagi itu. Ia lelah. Bukan karena banyak tugas, tapi karena setiap kata dari ayah dan ibunya kini terasa seperti pisau tumpul yang menyayat tanpa darah, menyakitkan tanpa bekas. Hanya dadanya yang sesak. Matanya kering, karena sudah terlalu sering menangis.
Sepulang dari taman kemarin, Aria bergegas pulang ke rumah untuk berganti baju dan segera kembali ke rumah makan untuk magang. Tetapi apa yang dia lihat di depan matanya adalah hari dimana hal yang ditakutkannya sudah terjadi. Kedua orang tuanya duduk di ruang tamu dengan tatapan tajam. Mata ibunya tampak sembab. Tetapi dia yakin sekali bukan karena menangisi dirinya. Sedangkan rahang bapaknya mulai mengeras. Wajahnya tampak merah padam.
‘Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi. Mungkin mereka mengetahui sesuatu hal yang berkaitan dengan reputasi. Apa lagi kalau bukan tentang hal itu,” pikir Aria dengan terus mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia memberanikan diri untuk berdiri dengan kepala tegak apapun yang terjadi.
Aria terkejut sesaat ketika ayahnya membanting kertas di atas meja. “Ini apa?!!” seru bapaknya dengan geram.
“Ke.. Kenapa kertas itu bisa ada di tangan bapak? Ba.. Bapak mengacak-acak kamarku?!!” Aria juga mulai geram. Dia tidak menyangka kalau kedua orang tuanya bisa menemukan kertas tersebut dengan mudah. Lantas dia teringat kejadian semalam yang dimana ia tidak sengaja melupakan kertas tersebut dan meletakkannya di atas meja belajar.
Ibunya mulai membuka suara, “Ibu tidak mengira kalau kamu seceroboh itu. Ibu yang menemukannya tadi pagi di atas meja belajar saat mencarimu di kamar. Kamu memang tidak bisa dipercaya. Tidakkah kamu bisa diandalkan seperti kakakmu? Apa sih masalahmu? Selama ini kami sangat memanjakanmu. Kenapa tiba-tiba jadi orang stress sih?!”
“Ak.. Aku butuh bantuan..,” jawab Aria dengan kepala menunduk. Dia tidak berani lagi menatap mata kedua orang tuanya. Entah kenapa dia merasa malu dan kacau.
“Bantuan apa?! Kamu tuh sehat-sehat saja! Jangan malu-maluin keluarga!” bentak ibunya, kini berdiri di depannya.
“Aku nggak malu-maluin seperti yang ibu pikirkan. Tapi aku sakit! Aku nyakitin diri sendiri karena aku nggak sanggup lagi!”teriak Aria dengan suara bergetar, nafasnya hampir terputus-putus.
Bapaknya menunjuk kertas itu dengan tangan gemetar. “Anak dari keluarga ini nggak perlu ke dokter jiwa. Apa kata para tetangga kalau mereka tahu? Mau kamu kalau orang-orang tahu dan bilang kalau anakku sudah gila?!!”
Air mata Aria jatuh begitu saja. Bukan lagi karena rasa takut tetapi karena merasa hancur lebur. Ternyata kedua orang tuanya memiliki stigma yang cukup buruk tentang hal tersebut. Keduanya seakan-akan memandang bahwa setiap pasien yang berobat ke dokter jiwa adalah orang gila. Pandangan orang lebih baik daripada kesembuhan anaknya sendiri.
“Jadi, yang lebih penting itu omongan orang.. bukan aku?” suaranya nyaris tak terdengar.
Ibu Aria menarik napas panjang. Beliau memegang tangan Aria, “Kami nggak mau kamu bergantung dengan obat. Kamu tuh bisa kuat kalau kamu mau. Jangan kelihatan lemah kayak gitu.”
Dunia Aria runtuh. Kata-kata itu menyayat hatinya dengan lebih tajam daripada gunting di kamarnya. Ia mendongakkan kepalanya yang sedari tadi tertunduk. Matanya menatap nyalang ke arah kedua orang tuanya secara bergantian.
“Kalian nggak pernah lihat aku menangis sendirian! Nggak pernah dengar jeritan aku malam-malam! Kalian cuma peduli sama apa yang kelihatan! Aaarghhh..!!!!” teriaknya memecah suasana.
Kedua orang tuanya tidak lagi menjawab. Bapaknya memalingkan wajah. Sementara ibunya masih terus bergeming di tempatnya berdiri. Kemudian Aria memundurkan langkahnya. Dia tampak begitu kacau. “Kalian nggak perlu malu karena aku sakit. Tapi sekarang aku yang merasa malu.. karena orang tuaku sendiri menolak aku ketika aku paling butuh."
Aria berlari ke kamarnya di lantai atas dan membanting pintu keras-keras. Di dalam kamar, tangisnya mulai meledak. Tangis yang sama seperti malam-malam panjang sebelumnya. Tetapi kali ini disertai luka yang sangat dalam.
Dia terus terduduk di sudut ruangan sampai pagi. Dunia luar terus berjalan, tetapi waktu di hatinya seperti macet di satu titik, yakni saat ia merasa tidak lagi cukup. Tak cukup pintar, tak cukup baik, tak cukup berharga untuk dicintai seperti dirinya sendiri.
Aria kembali membuka matanya dan memandang kembali gelangnya lekat-lekat. “Kak, ingin rasanya aku menyusulmu disana. Kakak tahu, ternyata meninggalkanku disini sendirian malah semakin menyiksaku. Iya, janji kita berdua saat itu juga semakin membuatku menderita. Aku kangen banget sama kamu.”
Dia mulai melihat sekeliling ruangan kamarnya yang gelap. Terlihat jendela dan tirai selambu yang masih tertutup rapat. Walaupun di dalam kegelapan, dia bisa melihat jam dindingnya yang terus bergerak tiap detik. Aria menyipitkan matanya, berusaha melihat jam dinding di dalam remang-remang kegelapan. Cowok itu terkejut dan pikirannya kembali melayang dengan bayangan Asia yang menunggu kirimannya dari semalam.
Aria mulai sadar bahwa dia telah melupakan segalanya. PowerPoint, print-out makalah yang ia janjikan, dan soft file yang seharusnya ia kirimkan dari semalam. Semua bayangan itu membuat kepalanya semakin pusing. Dia mencoba untuk berdiri, menjejakkan kakinya di lantai, tetapi tetap tidak bisa. Sekelebat bayangan Asia yang marah bercampur kecewa membuatnya berusaha untuk berdiri kembali.
“Asia, tunggu aku sekarang!” dengan langkah tertatih, dia mengambil tas ransel dan menarik nafas panjang sebelum akhirnya dia memutuskan untuk keluar kamar.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Asia masih meminjam laptop Mayu untuk mengetik powerpoint dengan mengandalkan ingatannya yang terbatas. Berbeda dengan pemikirannya kemarin, kini dia merasa ditipu oleh Aria. Dia mengira Aria sudah berubah. Bahkan Asia mulai belajar mempercayainya dan mengandalkan Aria sepenuhnya.
Seharusnya tiga puluh menit yang lalu keduanya sudah maju untuk melakukan presentasi tentang wawancara dan observasi yang mereka lakukan di tk kemarin. Untungnya bu Sahara memberikannya kesempatan untuk menunggu kedatangan Aria. Saat Asia masih berada pada detik-detik menunggu kedatangan temannya itu, Satria dan Mayu memintanya untuk memiliki rencana cadangan daripada tidak berbuat apa-apa.
Awalnya Asia masih mengindahkan perkataan teman-temannya karena ia masih begitu mempercayai janji Aria. Namun melihat bu Sahara yang terus saja melihat ke arahnya karena seharusnya sudah hampir gilirannya maju ke depan, membuat Asia gelagapan. Dalam waktu sepuluh menit dia mengetik powerpoint dengan keterbatasan ingatannya.
“Aria rese. Dia nyusahin kelompoknya banget sih! Kasihan Asia,” celetuk Marella. Mayu menyuruhnya untuk diam karena bisa mengganggu konsentrasi Asia. Apalagi mereka juga tahu betapa paniknya temannya itu.
“Cukup sampai disini. Sampai bertemu lagi di semester depan,” suara bu Sahara membuat Asia berhenti mengetik dan segera berbalik mengejar beliau yang sudah berjalan menuju pintu keluar.
“Bu! Bu Sahara! Saya mohon dengarkan presentasi saya dulu. Saya sudah hampir selesai, bu,” pintanya memelas. Bu Sahara melihat arlojinya sembari menggelengkan kepalanya.
“Saya sudah cukup toleran dengan kalian berdua. Saya juga memahami kesulitan yang Aria alami beberapa bulan ini. Tapi bukan berarti kalian menyepelekan tugas akhir dari saya. Makalah tidak ada. Bahkan ppt pun juga baru membuatnya. Ibu kan sudah pernah mengatakan tentang pentingnya disiplin waktu. Saya tidak tahu masalah diantara kalian berdua itu apa sampai tugas ini kalian abaikan.”
Asia terus mendesak bu Sahara, “Bu, kami berdua sudah selesai mengerjakannya kemarin. Tetapi semua file nya ada pada Aria. Seharusnya saya memiliki salinannya kemarin. Tetapi laptop saya rusak dan flashdisk saya ketinggalan di rumah.”
“Asia, ada banyak cara yang bisa dilakukan daripada sedari tadi diam menunggu Aria. Letak kesalahan ini bukan hanya pada Aria, tetapi pada dirimu juga yang terlalu mengentengkan tugas, apalagi sepenuhnya mempercayainya tanpa memikirkan rencana lainnya apabila hari ini dia tidak hadir. Ibu harap hari ini bisa menjadi pembelajaran bagi kalian berdua. Ibu harus pergi sekarang.”
“Terakhir, bu. Nilai.. saya.. Maksudku.. Bagaimana dengan nilai tugas akhir kami?” tanyanya lagi dengan air mata berlinang. Bu Sahara melihatnya sejenak.
“Kamu sudah tahu jawabannya,” setelah mengatakannya, bu Sahara segera berlalu. Asia tidak mengejarnya lagi. Beberapa teman di kelasnya ada yang hanya berdiri melihat dengan kasihan dan ada yang membantu Asia untuk berdiri dari duduknya. Mayu dan Satria memapah Asia untuk duduk kembali di kursinya. Marella meminta teman-teman sekelasnya untuk keluar dari ruangan kelas demi kenyamanan Asia.
Tak ayal lagi, Asia menangis sejadi-jadinya. “Padahal aku mulai percaya padanya. Aria sudah janji bakalan datang. Tapi dia malah nggak ada kabar sama sekali!”
Baik Mayu dan Satria tidak dapat berkata-kata lagi. Sebenarnya mereka berdua tidak membenarkan misskomunikasi yang terjadi diantara kedua temannya itu. Tetapi mereka lebih memilih untuk diam dahulu dan menghibur Asia yang masih terus saja menangis.
“Ngapain kamu kesini?! Sudah telat tahu!” seruan Marella membuat ketiganya langsung berbalik. Mereka melihat Aria yang datang dengan peluh keringat.
Asia menyadari jika Aria masih mengenakan pakaian yang sama seperti kemarin. Tetapi dia sudah kehilangan akal sehat. Saat Aria menghampirinya, Asia langsung berdiri dan mendorong cowok itu sampai terjungkal. “Ngapain kamu kesini?! Aku nggak butuh kamu lagi! Pergi!!!” teriaknya histeris. Sambil menahan rasa sakit, Aria berusaha untuk berdiri lagi.
“Dengar dulu Asia. Semalam ada sesuatu yang terjadi. Maaf karena aku..,”
“MAAF?! MAAF?! Sudah cukup ya aku mendengar kata maaf darimu!” teriaknya dengan mata melotot. Aria tertegun melihat wajah Asia yang tidak jauh berbeda seperti apa yang dibayangkannya sebelumnya. Tetapi dia tidak menyangka bahwa terlihat kekecewaan yang besar di mata Asia yang sekarang.
“Semalaman aku menunggu kabar darimu. Oke, fine! aku maklumi kamu karena mungkin kamu punya masalah sendiri sehingga kamu nggak bisa kirimin aku filenya. Pagi ini aku kembali memupuk kepercayaanku kalau kamu akan segera datang. Bahkan aku tidak mendengarkan Satria dan Mayu yang menyarankanku untuk memiliki rencana cadangan. Itu semua karena aku mulai belajar mempercayaimu."
“Tapi.. Kalau kamu benar-benar menungguku, kenapa tidak chat atau bahkan meneleponku saja, Asia? Hari ini pun tidak ada panggilan telepon darimu,” ucapan Aria seakan membuat situasi semakin memanas. Asia tidak habis pikir kenapa Aria masih saja terus menyangkal dan memiliki sejumlah alasan untuk berbalik menyalahkannya.
“Aku sudah muak,” desisnya dengan tangan gemetaran. Asia semakin marah padanya. Gadis itu mengangkat wajahnya dan kembali melihat Aria dengan mata nyalang. “Aku mengorbankan nilai untuk tugas akhir hanya karena seonggok dirimu yang tidak guna ini. Seorang tuan muda Aria yang bisanya hanya menyalahkan dan terus menyalahkan sampai dirinya sendiri lupa untuk bercermin.”
"Cermin?" Aria mulai merasa terpengaruh ketika mendengar kata ‘cermin’ dari bibir Asia.
“Iya, cermin! Sudah sepatutnya kamu berkaca kalau ada sosok dirimu yang nggak guna disitu dan selalu merugikan orang lain. Bagaimana dengan ibuku? Dia sudah terlalu mempercayaiku dan aku malah merusak semua rencanaku hanya karenamu! Bagaimana dengan pandangan orang lain tentangku yang sudah semakin hari malah semakin hancur! Aku sangat menyesal karena sudah percaya sama orang menyebalkan sepertimu," karena dirasa perkataan Asia sudah cukup keterlaluan, Mayu dan Marella menjauhkan Asia dari Aria yang kini sudah diminta pergi oleh Satria.
Mayu mencoba menenangkan gadis yang penuh kemarahan itu. Namun bagi Asia,semua kata-katanya masihlah belum cukup. Dia berbalik lagi seraya berseru, “Kamu kira kenapa aku tidak meneleponmu?!” langkah Aria terhenti. Dia menyembunyikan tangannya yang sudah gemetaran. Satria memegang kedua pundaknya dan mendorongnya untuk segera pergi. Tetapi Aria masih bersikukuh untuk mendengarkan kalimat menyakitkan lainnya dari mulut Asia. "Aku tidak meneleponmu karena aku merasa kasihan kepadamu yang selalu kelihatan baik-baik saja padahal sebenarnya wajahmu selalu terlihat seperti orang yang penuh beban!”
Hening. Tidak ada lagi diantara mereka yang bersuara. Kemudian Aria mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia pun mengucapkan kalimat terakhir sebelum benar-benar pergi dari sana, “Terima kasih sudah belajar untuk percaya padaku. Aku tahu aku nyebelin dan hanya jadi beban untukmu. Tapi kamu juga nggak harus ngatur semua orang. Aku capek jadi orang yang semua orang suka, tapi nggak ada yang benar-benar lihat aku.”
Kepergian Aria membuat teman-temannya cukup kaget. Selama ini Aria tidak pernah menunjukkan kesedihannya. Dia selalu tertawa ceria, walaupun sindirannya membuat orang terkadang menjadi tidak nyaman. Aria yang mereka kenal hari itu adalah sosok seorang Aria yang lain. Wajahnya mendadak suram dan seperti penuh beban. Apalagi setelah mendengar perkataan terakhirnya membuat mereka semua berpikir hal yang sama, ‘Apakah aku pernah memahami perasaan Aria yang sebenarnya?’
***
Sore itu, Asia membanting tas ranselnya di atas meja belajar. Dia benar-benar marah dengan Aria. Tetapi di sisi lain, dia juga marah kepada dirinya sendiri. Asia merasa bahwa dirinya yang sekarang sudah berkamuflase menjadi sosok antagonis yang sebenarnya.
“Aku benci diriku ini. Kenapa mulutku jahat sekali?Aria juga nggak pernah terbuka sama kami semua. Apa yang selama ini mengganggu hidupnya sampai-sampai dia mengabaikan kehidupan kuliahnya, bahkan merugikan orang-orang di sekelilingnya. Hahhhh..?!!!” teriaknya sambil terus mondar-mandir ke kanan dan ke kiri. Seseorang mengetuk pintu kamarnya.
Asia mencoba untuk tenang kembali. Dia membuka pintu kamar. Ternyata ibunya lah yang mengetuk pintu kamarnya. “Kamu sudah pulang?” Asia sedikit kaget karena ibunya mulai berbicara lagi dengannya. Dia pun hanya bisa menganggukkan kepala. Kemudian Asia ingat jika dia bergegas masuk ke dalam kamar tanpa melihat keberadaan ibunya di sekitar. Ia pun langsung menyalami tangan ibunya.
“Kamu bisa cerita kalau ada sesuatu yang mengganggumu. Ibu akan dengarkan. Tetapi ibu akan berhenti memberi keputusan untukmu,” ucap ibunya lagi. Asia merasa sedih mendengar perkataan ibunya yang kalem tapi bisa menyakitkan baginya.
“Bu, tolong jangan hukum aku lagi. Aku butuh ibu. Tidak untuk mendengarkan, tetapi juga untuk memutuskan segala sesuatunya padaku. Aku seperti hilang arah, bu,” pintanya. Ibunya menggeleng dengan lemah.
“Sudah cukup ibu selalu mengarahkan semua jalan hidupmu. Ini saatnya kamu membuktikan pada ibu kalau kamu bisa mengatasi semuanya sendiri. Lagipula ini kan yang selalu kamu inginkan. Jadi kamu tidak bisa seenaknya menyalahkan ibu lagi.”
Asia tidak tahu harus menjawab apa lagi. Ia tahu jika sekarang ibunya sedang memberinya pelajaran semenjak kejadian malam itu. “Tidak ada yang perlu ibu dengarkan? Kalau begitu jaga toko sekarang. Biarkan ibu beristirahat dulu di dalam kamar.”
Sepeninggal ibunya, Asia berdiri termenung di depan pintu kamar. Dia segera mengambil pulpen dan buku jurnalnya yang tertinggal di atas meja belajar. Asia berjalan menuju halaman depan dengan langkah gontai. Dia duduk termenung sejenak di atas kursi sofa saat menjaga toko rotinya.
Seisi kepalanya kosong. Dia tidak tahu harus menulis apa lagi di buku jurnal hariannya. Gadis itu menutup buku itu dengan gusar. Dibenturkannya belakang kepalanya beberapa kali ke tembok dengan frustrasi. Dia membuka matanya kembali dan melirik ke arah buku jurnal hariannya lagi. Asia memutuskan untuk membuka dan membaca setiap tulisannya dari lembar ke lembar halaman berikutnya. Tanpa sadar dia mulai merefleksikan dirinya dengan membaca buku tersebut.
Jurnal Juliku,
Aku harus bisa. Ini satu-satunya cara supaya Ibu nggak kecewa lagi.
Asia mulai teringat hari dimana dia menerima kegagalan beruntun di dalam hidupnya saat itu. Kemudian dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di universitas swasta dan mengukir janji dengan ibunya kalau dia akan bersungguh-sungguh akan meningkatkan prestasinya walaupun tidak berada di universitas negeri seperti yang ibunya inginkan.
Jurnal Juliku,
Kenapa harus satu kelompok sama dia? Ini bukan kompetisi popularitas, ini masa depanku!
Asia juga mengingat dimana kala itu dia tidak suka dengan gerak-gerik dan cara bicara Aria kepadanya. Asia sudah punya persepsi dan kesan pertamanya tentang Aria: cowok menyebalkan, penuh kepura-puraan, dan bisa menjadi penghalang bagi masa depannya.
Jurnal Juliku,
Ternyata berdiri di panggung sambil membaca puisi bisa membuatku merasa lebih hidup daripada duduk diam di barisan depan.
Tetapi malam keakraban di Mojokerto sedikit mengubah pandangannya tentang Aria dan teman-teman barunya.
Jurnal Juliku,
Kami bertengkar. Suaraku naik, dan dia membalas dengan tawa khasnya. Dia bilang aku egois seakan-akan tidak menyukai kebersamaan. Tapi setelahnya dia meminta maaf. Aku pikir hubungan yang sehat bukan yang tanpa konflik, tapi yang bisa belajar bertumbuh setelah saling menyakiti.
Satu minggu setelah menjalani kebersamaan, Asia ingat bahwa hari itu Aria mulai berulah. Asia ingat betul berapa sulitnya kali pertama mengumpulkan anggota kelompoknya untuk mengerjakan tugas kelompok bersama-sama. Tetapi dari situ Asia belajar bahwa mereka semua hanya belum memiliki ritme yang sama untuk terbiasa melangkah bersama.
Asia membolak-balik halaman sampai pada halaman yang membuatnya tertegun.
Jurnal Desemberku,
Mungkin aku terlalu cepat menilai. Mungkin... dia juga sedang berjuang, seperti aku.
Kenangan lama itu berputar terus di ingatannya. Kebersamaannya dengan keempat temannya, Aria yang sesekali bertengkar dengannya sekaligus menghibur dirinya, konflik yang terjadi antara dia dengan kedua sahabatnya, hingga berimbas pertengkaran besar dengan ibunya. Dari sekian banyak jurnal harian yang ia tulis, Asia tidak menyangka jika bulan Juli adalah masa dimana dia memulai kehidupan barunya sekaligus menjadi masa terberatnya. Tetapi sejalannya waktu, Asia mulai bisa beradaptasi di lingkungan barunya.
Satu hal yang baru ia sadari, kenapa Asia baru mulai memahami dan belajar untuk mempercayai Aria di bulan ini daripada bulan-bulan sebelumnya? Dari sekian banyak jurnal yang ditulisnya lebih banyak menghujat dan memandang Aria sebelah mata tanpa tahu kebenaran dari kehidupan yang dijalani oleh Aria sesungguhnya.
Asia mulai menitikkan air mata. Dia membuka lembaran berikutnya yang masih kosong dan menulis sesuatu disana.
Jurnal Desemberku,
Hari ini Aria absen lagi. Dan aku? Aku benar-benar meluapkan amarahku padanya. Tetapi kini aku terlambat menyadari bahwa sikapku terlalu berlebihan padanya. Dia bilang aku terlalu mengatur dan aku sadari itu. Setelahnya aku merasa kosong. Aneh, padahal dulu aku berharap bisa jauh dari kekacauan yang dia bawa. Tapi sekarang malah kepikiran terus. Aku takut sesuatu akan terjadi. Atau lebih tepatnya… aku takut dia kembali memakai senyumnya sebagai tameng.
***