“Baik, bu. Terima kasih banyak karena sudah membantu kami,” ucap Asia sambil bersalaman dengan kepala sekolah dan seorang guru dari taman kanak-kanak Dharma Bhakti. Aria juga ikut bersalaman dengan guru-guru tersebut. “Kami berdua pamit dulu, bu. Mari.”
Mereka berdua keluar dari ruangan dan menyusuri jalan sampai di depan gerbang taman kanak-kanak. Asia mencentang jurnal hariannya, “Berarti surat sudah diberikan kepada kepsek, check. Panduan indikator aspek perkembangan sosial-emosional dan bahasa sudah aku buat semalam, check. Tiga hari lagi kita kesini untuk melakukan observasi dan wawancara. Kamu ada waktu kan besok saat observasi dan wawancara dengan guru tadi?”
“Bisa, kok,” jawab Aria sambil mengetik ponselnya. Asia merasa ragu dengan jawaban temannya itu. Pasalnya, terkadang Aria tidak bisa dipegang teguh janjinya. Kerja kelompok hingga presentasi pun dia bisa menghilang secara tiba-tiba.
“Yakin? Kalau kamu ada sesuatu yang lebih penting, lebih baik katakan sekarang daripada nggak sama sekali,” gerutu Asia. Cowok tinggi semampai yang semula fokus dengan handphone-nya, kini melihat ke arah Asia sambil tersenyum manis padanya.
“Nga-ngapain kamu senyam-senyum kek gitu? Tahu sih kalau kamu murah senyum, suka tertawa juga. Tapi jangan ngeliatin aku terus sambil senyum kek gitu dong. Serem anjir,” dumel Asia sambil memalingkan wajahnya. Asia sempat sedikit berdebar dan dia tidak suka hal itu. Apa yang ia ucapkan, berbanding terbalik dengan apa yang dirasakannya sekarang.
“Khawatir banget aku nggak datang? Tenang saja, waktu denganmu lebih penting kok daripada waktu untuk kepentinganku,” gombalnya kemudian dengan nada manja. Asia mendadak geli.
Keduanya berjalan lagi ke tempat parkir. Aria menaiki motornya, lalu menunggu Asia naik di atas motornya. Gadis itu tersadar akan sesuatu. Dia menepuk jidatnya.
“Astaga! Aku lupa bilang kalau laptopku lagi rusak. Kamu ada laptop kah?” tanyanya. Aria mengangguk. “Bagus! Kalau begitu kamu harus bawa laptop kamu saat kita melakukan observasi dan wawancara besok. Kita kerjakan langsung di taman yang nggak jauh dari sini. Okay, Aria?”
“Siap, bossss!!!” kata Aria langsung bersikap hormat bak tentara. Asia tersenyum singkat ketika naik ke atas motor. “Kadang-kadang aku bertanya-tanya bagaimana tugas kelompok kita sehari-hari jika tanpamu? Kamu punya rencana yang matang dan bisa meng-handle semuanya dengan baik. Aku kagum padamu, Asia.”
Saat memakai helm, gadis itu menyembunyikan senyumannya dengan menundukkan kepala. Dia baru tahu jika Aria juga bisa berkata manis seperti itu. Namun Asia juga merasa bahwa cowok yang duduk di depannya susah ditebak dengan segala kerandomannya. Kadang lucu, kadang bawel, kadang bermulut manis, kadang kata-katanya manis, dan juga.. kadang-kadang membuatnya khawatir.
“Sudah, ah! Ayo, jalan! Bikin orang baper ajah!” sahutnya asal ceplos. Tetapi karena suaranya bersamaan dengan suara deru motor vespa milik Aria, membuatnya bertanya apa yang dikatakan oleh Asia sebelumnya. Asia juga terkejut dengan apa yang dikatakannya barusan. “Aa.. Ba.. Lab.. Lapeeerr. Maksudku laper! Kamu ini gimana sih. Ayo buruan balik ke kampus! Aku sudah lapar nih!”
Aria langsung menjalankan motornya seraya berkata, “Oh, bapeerrr... Kukira lapeerrr!”
Asia langsung mendelik saat mendengar tawa dari Aria. Ternyata cowok itu mendengar perkataannya dengan jelas. Asia mencubit pinggang Aria dengan kesal. Cowok itu mengaduh kesakitan. Tetapi Aria tidak marah. Sepanjang perjalanan Aria terus saja tertawa dan terus saja menggoda Asia dengan banyolannya.
***
Asia bisa melihat Aria yang sudah rajin masuk kuliah lagi. Aria terlihat seperti seorang Aria yang biasanya. Cowok itu mulai tertawa lagi. Sesekali juga merecoki Asia dengan kejahilannya.
Namun entah kenapa Asia masih merasakan keganjilan dalam diri Aria. ‘Dia tersenyum tapi tatapannya terasa kosong. Seakan-akan dia tidak ingin tertawa, tetapi tetap terlihat ceria seperti biasanya. Seperti.. Dipaksa untuk gembira,’ Asia mulai melamun lagi ketika makan bersama keempat temannya di kantin. Tidak henti-hentinya dia melirik ke arah Aria yang masih saling melempar canda.
‘Setahuku Satria kan sudah berteman dengannya sejak SMA? Apa Satria juga merasakan keanehan pada diri Aria seperti aku yang juga merasakan hal itu pada Aria?’ lamunannya terus berlanjut. Asia terus mengaduk es tehnya.
Mayu yang duduk di sebelahnya menyadari bahwa pandangan Asia tidak lepas dengan seseorang yang duduk di hadapannya, yakni Aria. Gadis itu menyenggol pelan lengan Asia. “Hei, ada apa? Apa ada yang aneh dengannya?” bisik Mayu pelan. Asia menggelengkan kepala dan langsung menunduk. Dia tidak ingin Mayu berpikir macam-macam seperti ibunya kepadanya. Mayu melihat ke arah Aria sebentar. Lalu dia berbisik lagi, “Dia memang selalu aneh, bukan?”
Asia menoleh. Ternyata Mayu mengatakannya sambil tertawa kecil. ‘Aku kira dia tahu sesuatu dan sadar dengan keanehan dari diri Aria. Tapi ternyata Mayu hanya bercanda,’ pikir Asia kemudian.
“Eh, guys. Sudah jam segini. Ayo, masuk! Tujuh menit lagi kelas akan dimulai,” ucap Marella sambil melihat arlojinya. Dia buru-buru menghabiskan es jeruknya. Lalu Marella, Mayu dan Aria berjalan beriringan. Satria juga hendak menyusul, tetapi dia tidak jadi pergi setelah melihat Asia yang masih meminum es tehnya.
“Guys, ayo!” Marella menyuruh mereka berdua segera menyusul.
“Duluan!” sahut Satria. Aria hendak berbalik lagi dan menunggu keduanya, tetapi Marella dan Mayu menariknya untuk segera mengikuti mereka ke kelas. Akhirnya ketiganya berjalan duluan.
“Nggak apa-apa. Duluan ajah, Sat,” kata Asia sambil menyesap minumannya.
“Nggak apa-apa kok. Nungguin kamu doang. Eh, sepulang sekolah nanti kamu jadi ya melakukan observasi dan wawancara di tk?” tanyanya. Asia menganggukkan kepala. Satria mengetuk-ngetuk jarinya menunggu Asia yang masih terus meneguk minumannya sampai habis. “Tadi kenapa kamu terus ngeliatin Aria kayak gitu?”
Asia tersedak di detik-detik terakhir menghabiskan minumannya. Satria langsung memberikannya tisu. Asia mengelap mulutnya yang basah dengan tisu pemberian dari Satria.
“Ups, sori!” seru Satria. Asia melirik ke arahnya dengan malu.
“Memangnya aku sejelas itu ya? Tadi Mayu juga menyadarinya,” ucapan Asia membuat Satria tertawa.
“Please deh, Asia. Walaupun pertemanan kita masih seumur jagung, tapi aku tahu satu hal kalau kamu itu selalu nggak bisa menyembunyikan reaksi di wajahmu. Wajah takut kamu saat melihat Marella dan Mayu bertengkar di kelas, wajah merah padam kamu saat Aria menyidirmu saat ospek dulu, dan wajah kamu yang penuh barisan puisi cinta saat diam-diam melirik Aria ta..,”
“Iya, iya! Aku memang meliriknya! Sudah, jangan diteruskan!” seru Asia sambil menutupi wajahnya yang semakin malu. Satria berdiri dan terus saja tertawa.
Keduanya beranjak pergi dari kantin dan berjalan menyusuri lorong kampus. “Jadi kamu sadar juga kalau akhir-akhir ini Aria kelihatan aneh?” cetus Asia kemudian. Gadis itu bisa melihat kebingungan di wajah temannya.
“Maksudmu, aneh yang seperti apa?”
Asia enggan untuk bercerita.
“Lupakan,” katanya. Bagaimanapun juga Asia tidak ingin menceritakan sesuatu yang belum pasti. Dia memang mengikuti kata hati dan perasaannya, tetapi dia selalu berbicara fakta kepada orang lain. Dia tidak ingin apa yang dirasakannya sesaat menjadi bumerang nantinya pada orang lain. “Aku kira.. Kamu tahu sesuatu. Karena kamu kan sudah berteman lama dengannya. Sejak SMA lagi.”
“Iya, sih. Aku sudah lama berteman dengannya sejak kelas tiga SMA. Tapi aku masih belum tahu banyak tentangnya.”
“Wait.. Kelas tiga SMA?” Asia menghentikan langkahnya. Satria menganggukkan kepalanya. Kemudian mereka berjalan lagi. “Hadeh, aku salah nanya orang. Berarti belum terlalu lama juga dong!”
“Eh, jangan salah ya! Aku yang lebih tahu apa makanan dan minuman kesukaan Aria. Kamu nggak tahu kan warna favorit kesukaan Aria?! Hanya aku yang tahu!”
Asia tertawa melihat wajah ngambek Satria. Lantas dia balik tanya dengan penuh canda, “Kuning kan?!”
“Kok tahu?” kagetnya. Asia menggeleng-gelengkan kepala sambil penuh senyum. Bagaimana dia tidak tahu dengan seseorang yang setiap harinya diperhatikannya dengan detail.
“Kemejanya selalu berwarna kuning. Kalau nggak gitu warna bajunya selalu berwarna cerah. Oh ya, gelangnya juga berwarna kuning. Setahuku itu gelang yang sudah lama keluar kan? Power balance kalau nggak salah. Ada gambar hologram juga di dalam gelang power balance yang dirancang untuk beresonansi dan merespon medan energi alami pada tubuh. Katanya bisa meningkatkan fleksibilitas, kekuatan, dan keseimbangan.”
Satria bertepuk tangan mendengar pengetahuan Asia yang luas. “Waw! Kamu tahu banyak ya soal gelang.”
Asia berpikir lagi. “Tapi pertanyaannya gelangnya asli apa kw?” Satria tertawa lagi kali ini lebih keras. “Lah ngapa nih anak? Ketularan Aria kok ketawa mulu?”
“Lah, baru saja aku memujimu yang bisa menjelaskan tentang gelang yang aku sendiri nggak tahu spesifik itu. Tapi ternyata kamu sendiri nggak bisa bedain itu asli apa kw? Hahaa..,”
“Idih, memangnya kamu sendiri tahu?!!” dumel Asia.
“Eh, tahu dong! Setahuku asli sih.”
“Kata siapa coba?”
“Kata sahabatnya lah!” mendengar celetukan Satria membuat langkah Asia terhenti lagi. “Sahabatnya? Siapa sahabatnya?” tanyanya penasaran.
“Lah, kan dia itu..,”
***
Asia dan Aria masuk bersama dengan guru tk di dalam sebuah ruangan kelas yang tidak seberapa luas. Ada tempat rak untuk meletakkan tas ransel, ada papan absensi yang terlihat seperti gantungan bulat yang mungil, serta ada rak-rak buku dan tempat mainan.
Asia mulai mencatat. Sementara Aria langsung berinteraksi dengan anak-anak yang menyambut gembira kedatangannya.
“Bu! Kita diajarin sama pak guru dan bu guru baru ya?!!” seru seorang anak perempuan berambut cepak. Dia tampak berbeda dengan murid perempuan lainnya yang memiliki rambut lebih panjang. Perilakunya juga lebih aktif . “Iya, ini pak guru Aria dan bu guru Asia. Mereka hari ini menemani ibu guru untuk mengajari kalian. Ayo, Aliya. Duduk dulu. Duduk seperti biasanya yaa..,” jawab guru tersebut. Kemudian anak bernama Aliya itu mengomando teman-temannya untuk duduk melingkar.
“Tapi aku mau duduk ular panjang. Nggak mau ular melingkar,” ujar salah satu temannya sambil tantrum. Aliya mendekatinya dan menarik tangannya.
“Duduk ular memanjang di luar kelas. Kalau di dalam kelas, kita duduk ular melingkar. Nanti kita duduk ular memanjang di luar kok. Iya kan, bu guru?” gurunya mengiyakan pertanyaan dari Aliya. Lalu beliau menjelaskan pada Asia kalau anak yang diijinkan oleh orang tuanya untuk diobservasi adalah Aliya.
Asia melihat bagaimana Aria sudah ikut duduk melingkar bersama dengan Aliya dan murid-murid yang lain. Dia segera ikut duduk diapit dengan kedua murid lainnya. Bersama dengan guru tersebut, mereka mulai berdoa.
Lalu mereka bernyanyi sambil tepuk tangan. Wajah anak-anak tampak sangat ceria. Setelah selesai bernyanyi, anak-anak mengambil buku bergambar yang sudah disiapkan oleh gurunya berjejer di bawah lantai. Asia membantu si guru untuk membagikan buku tersebut sesuai nama murid masing-masing.
“Hari ini kita menggambar apa, bu?” tanya Aliya.
“iya, anak-anak. Hari ini kita menggambar rumah dan anggota keluarga kita ya.”
“Anggota keluarga itu apa bu?” tanya Aliya lagi. Bu guru itu tersenyum.
“Anggota keluarga itu orang-orang yang tinggal di rumah bersama dengan Aliya. Di rumah ada siapa saja, Aliya?” tanya bu guru balik.
Aliya menyebutkan anggota keluarga satu-persatu. “.. Lalu beno. Saya boleh menggambar si Beno juga, bu?”
“Si Beno?” gumam Asia penasaran.
Bu guru itu beralih melihat ke arah Asia seraya menjelaskan, “Si Beno itu kucingnya si Aliya.”
“Owalah,” Asia terkekeh mendengarnya. Bu guru memperbolehkan Aliya untuk menggambar si Beno juga. Kelas semakin ramai dengan suara anak-anak yang kian bersahutan. Baik Asia dan Aria terus berpencar melihat hasil menggambar anak-anak. “Aliya,” panggil Asia. Aliya langsung berhenti menggambar. “Si Beno itu kucing laki-laki atau perempuan?” dia mencoba menyerdehanakan kata-katanya.
“Laki-laki dong bu. Kan namanya Beno.”
“Bulunya warna apa? Bulunya sedikit atau banyak?”
Aliya meletakkan crayonnya dan berdiri menghadap Asia. “Si Beno punya banyaaakkk bulu. Bulunya berwarna abu-abu. Si Beno suka sekali tidur. Aku suka banget bermain sama dia. Aku, ayah, ibu, kak Tita sayang Beno. Kami semua sayaaang sama si Beno.”
“Wah, pasti si Beno senang karena banyak yang sayang sama dia,” ucap Asia. Diam-diam dia merasa sedikit iri dengan Aliya yang memiliki anggota keluarga yang lengkap. Bahkan kucing peliharaan juga bisa menjadi anggota keluarga mereka juga.
Aliya lanjut menggambar. Asia mulai melamun sambil melihat kucing yang digambar oleh Aliya, “Apa aku harus jadi kucing dulu ya baru punya keluarga lengkap seperti Aliya?” gumamnya.
Baru saja dia berdiri, Tiba-tiba dia melihat Aliya merebut pensil warna dari tangan teman sebelahnya. “Eh, kamu salah! Bukan begitu cara menggambarnya!” Seru Aliya sambil meneruskan gambaran di atas buku bergambar milik temannya. Temannya berusaha merebut pensil warnanya kembali. Mereka saling berteriak. Asia mencoba melerai keduanya.
“Aliya, gambarmu kan belum selesai. Biarkan temanmu menggambar miliknya sendiri,” kata Asia sambil memegang tangan Aliya.
“Tapi aku bisa membantunya menggambar. Seharusnya Sansan menggambar seperti ini. Bukan ditekan,” katanya sambil terus mewarnai di atas buku bergambar milik temannya. Sansan hampir saja menangis. Asia segera mengambil pensil warna dari tangan Aliya dan memberikannya pada Sansan.
“Yaa.. Bu Asia..,” keluh Aliya. Asia tersenyum kembali dan berjongkok di dekat buku bergambar Aliya. Dia mengambil krayon dan hendak mewarnai gambar rumah di atas buku bergambar milik Aliya. “Jangan, bu! Nanti gambarku jadi rusak!” cegah Aliya kemudian.
Asia menghentikan tindakannya seraya berkata, “Tuh kan. Ibu hanya membantu Aliya menggambar supaya lebih bagus. Tapi Aliya nggak suka ya? Takut gambarnya jadi jelek?”
Aliya menganggukkan kepala. Sepertinya dia sedikit memahami apa yang barusan dilakukannya kepada Sansan.
“Begitu juga dengan Sansan. Dia ingin mewarnai buku gambarnya dengan tangannya sendiri supaya lebih bagus. Sama seperti Aliya. Aliya baik ingin membantu temannya. Tapi kan Sansan nggak minta tolong bantuin nggambar sama Aliya. Jadi Aliya ‘no, no' lagi ya membantu jika tidak dimintai tolong sama temannya.”
“Iya, bu,” ucap Aliya kemudian. Lalu dia menoleh kembali ke arah Sansan seraya berkata, “Kamu nggak minta tolong aku buat bantuin kamu nggambar? Aku bisa ajarin kamu nggambar yang bagus loh!”
“Nggak. Terima kasih, Aliya,” jawab Sansan.
“Sama-sama, Sansan,” setelah itu Aliya kembali melanjutkan gambarnya. Asia menarik nafas lega. Dia mulai merasa ternyata menemani anak kecil bermain harus membutuhkan energi yang besar, terus bersabar, dan menurunkan kadar emosinya. Kemudian dia teringat ibunya yang membesarkannya sejak kecil. Ibunya selalu bersikap sabar dengannya. ‘Apa waktu kecil dulu aku selalu bawel dan menyusahkan ibu juga ya?’
Matanya kembali menyusuri ruangan. Aria terlihat sedang tertawa bersama dengan anak lelaki yang menggambar disebelahnya. Lalu mata Aria beralih melihat murid di sebelahnya juga. Ekspresinya yang semula ceria, kini mendadak lenyap. Matanya mengerjap-ngerjap sesaat. Asia melihat wajah Aria yang mendadak murung. Cowok itu berjongkok sambil menepuk-nepuk pelan pundak murid laki-laki itu. Lalu dia meminta ijin pada bu guru untuk pergi ke toilet sebentar.
Asia segera berdiri dan berjalan memutar untuk melihat apa yang digambar oleh anak laki-laki tadi. Anak itu menggambar rumah besar yang berwarna cerah. Ada gambar anjing dan kandang disebelahnya. Ada gambar seorang laki-laki dan wanita muda. Lalu ada gambar anak perempuan dan anak laki-laki disampingnya. Mereka berempat saling bergandengan tangan. Tetapi langit yang digambarnya tidak berwarna biru cerah seperti teman-temannya yang lain. Anak itu menggambar langit berwarna hitam-kelabu sehingga tampak gelap. Rasanya begitu suram, tidak sebanding dengan rumah berwarna cerah dan gambar anggota keluarga yang sedang tersenyum bahagia.
‘Kenapa melihat gambar anak ini membuat wajah Aria menjadi suram? Ada apa dengannya sih?’ begitu banyak pertanyaan di kepala Asia seperti kaset roll yang berada di dalam tape yang berputar-putar secara berulang-ulang. Dia ingin sedikit demi sedikit memahami Aria. Tetapi kenapa semakin dipikirkan, terasa sulit bagi Asia untuk memahaminya?
***
Setelah selesai melakukan observasi dan wawancara dengan guru tk tersebut, Aria dan Asia pamit kepada guru-guru yang sedang beristirahat di ruang kantor. Keduanya langsung mengerjakan tugas di taman yang tidak jauh dari tk tersebut. Asia menumpuk buku-bukunya dan buku milik Aria menjadi satu agar tidak terlihat berantakan. Bukunya diletakkan di tengah-tengah di antara mereka. Keduanya duduk saling berhadapan.
Aria mengetik laptopnya, sedangkan Asia mendikte beberapa indikator yang sudah mereka centang. Setelah itu mereka juga mulai saling berdiskusi. “Nama pakai inisial saja ya? Lalu usianya lima tahun empat bulan. Jenis kelamin perempuan. Nama sekolah dan tanggal observasi masukkan juga,” diktenya. Aria mengangguk sambil terus mengetik keyboard laptopnya.
“Tujuannya adalah mengamati aspek perkembangan sosial-emosional dan bahasa pada anak usia lima tahun. Oke nggak, nih?” tanya Aria.
“Oke. Lalu metode bisa ditulis.. yang pertama, melakukan observasi langsung di kelas saat kegiatan bermain dan belajar. Yang kedua, melakukan wawancara dengan guru kelas. Nah, hasil observasinya si Aliya nih. Menurutmu bagaimana perkembangan sosial-emosionalnya?”
“Aliya itu anak yang mudah sekali mengeluarkan segala emosinya. Bahkan dia juga nyaman sama kita yang notabene masih orang asing baginya. Terlalu nyaman malah. Seharusnya kan anak sekecil dia tidak boleh terlalu nyaman dengan orang asing. Sebenarnya bagus sih, tapi seharusnya diajarkan untuk sedikit waspada juga. Apalagi kan dia juga anak perempuan.”
“Bener juga sih. Itu bisa jadi catatan di saran nanti ya. Kalau menurutku si Aliya itu menerapkan sharing is caring. Dia menawarkan mainan kepada kamu dan teman-temannya. Aliya juga yang bertindak seperti seorang pemimpin. Bisa dilihat saat dia mengajak teman-temannya bagaimana bergerak selangkah demi selangkah dengan bakiak.”
Sambil terus mengetik, Aria juga menyampaikan, “Oke deh! Oh ya, aku juga memasukkan rasa empati Aliya dan bagaimana cara Aliya menghibur temannya yang sedang menangis.”
“Ah, yang itu ya?! Kejadian ular panjang dan ular melingkar ya? Oke deh, check!”
Aria berhenti mengetik. Dia berbicara lagi sambil melihat ke arah Asia, “Sekarang kita bahas soal perkembangan bahasanya. Aku tadi sempat ngobrol, ternyata Aliya bicaranya lancar banget. Bahkan dia bisa berbicara satu kalimat secara utuh. Untuk anak usia lima tahun, menurutku sih perkembangan bahasanya sudah meningkat pesat.”
“Iya juga sih,” imbuh Asia. Dia mengingat beberapa kejadian terkait perkembangan bahasa Aliya. “Eeng, tadi aku juga sempat ngobrol sama dia soal keluarga. Bahasanya sangat lancar dan mudah dimengerti. Dia bercerita tentang anggota keluarganya dengan penuh antusias."
Aria kembali mengetik. Hening. Asia membaca kertas yang berisi beberapa indikator. “Eeng, ini juga..,” Asia tidak melanjutkan perkataannya. Dia bisa melihat betapa seriusnya Aria saat ini. Dia fokus mengetik sambil sesekali bergumam. ‘Kalau aku lihat-lihat kok di bagian bawah matanya mulai menghitam ya? Kenapa bisa ada mata panda? Apa akhir-akhir ini dia kurang tidur?’ pikiran Asia mulai ke mana-mana.
“Terus..,” Aria mendongak lagi, melihat ke arah gadis yang sedari tadi terus menatapnya.
“Ada apa?” tanya cowok itu heran. Asia tersadar kembali dan segera menutup wajahnya dengan print-out indikator.
“Khem! Aliya juga aktif bertanya kepada gurunya jika dia tidak tahu tentang sesuatu,” ucap Asia sambil berpura-pura membaca print-out indikator. Saat dirasa Aria tidak bersuara sedikitpun, Asia berbicara lagi sambil mengintip dari balik kertas, “Lalu.. Hasil wawancara dengan guru..,”
Rupanya Aria sudah menggeser buku-bukunya dan duduk tepat dihadapan gadis itu. Asia terkejut ketika wajah mereka saling memandang dengan jarak yang sedekat itu.
Senyuman Aria semakin mengembang. Dia berbicara lagi sambil menunjukkan perekam suara yang berada di layar handphone-nya, “Wawancara dengan guru ada disini. Ngapain kamu masih fokus sama kertas indikator?”
Asia merasakan wajahnya agak memanas. Telapak tangannya mendorong wajah Aria untuk agak menjauh darinya. “Duh, sudah siang nih. Udara semakin panas. Ayo kita lanjutkan sampai selesai.”
Asia mengibas-ngibaskan kertas indikator ke arahnya sebagai pengganti kipas. Aria ikut mengipasi Asia. Gadis itu mendorong bahu Aria. “Duh, sudah sana. Cepetan kerjain tugasnya lagi.”
“Oke, oke, tuan putri. Nggak kuat panas ya? Wajahmu sampai semerah tomat,” lontaran Aria membuat gadis itu segera meraba-raba wajahnya. Aria mulai menyambungkan earphone melalui handphone-nya sambil tersenyum geli. Dia duduk di sebelah Asia yang masih berkaca dengan ponselnya. Setelah mengenakan earphone di telinga kirinya, dia memasang earphone di telinga kanan Asia. Gadis itu agak terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Aria.
“Ayo kita dengarkan hasil wawancaranya bersama-sama,” ucap Aria sambil tersenyum. Gadis itu tidak bisa menolak wajah yang menurutnya terlihat cerah dengan senyuman indahnya ditambah dengan sinar yang berasal dari matahari yang kian terik.
Asia segera menundukkan kepala. Jantungnya berdebar tidak karuan. Mereka berdua mulai mendengarkan hasil wawancara dengan guru tk sebelumnya.
“Kalau menurutku ini sih,” ucapan Aria kala menyodorkan buku tulis ke arahnya langsung mengagetkannya. Ternyata rekamannya sudah selesai. Asia menerima buku tulis itu sambil merutukuki dirinya sendiri. ‘Asia bego! Kenapa kamu malah tenggelam dengan suasana hati sih?! Aria saja bisa sambil mencatat. Kenapa kamu malah yang plonga-plongo sekarang? Ini nggak bisa dibiarkan. Aku harus bisa tetap fokus!’
“AL Adalah anak yang aktif dan cepat tanggap. Terkadang dia juga lebih dominan saat bermain kelompok dengan teman-temannya, tetapi masih bisa dibimbing dan diarahkan. Hmm? Good, good..,” Asia membaca tulisan yang sebelumnya ditulis oleh Aria. Dia mengembalikan lagi buku kepada Aria. “Bagus! Masukkan ini saja.”
Aria kembali mengetik keyboard laptopnya. Gadis itu juga melihat apa yang diketik oleh cowok di sebelahnya itu. Tidak terasa sampailah mereka pada analisis Teori Erikson dan Piaget.
“Nah, kalau menurut Erikson, Aliya Masuk ke dalam tahap initiative vs guilt. Pada tahap itu Aliya menunjukkan inisiatif tinggi dalam bermain dan berinteraksi. Kalau menurut Piaget?” mendengar Asia yang bertanya kepadanya, membuat Aria berpikir sejenak.
“Uhm, Asia. Kamu mengujiku ya?” tanyanya sambil masih berpikir. Asia tertawa kecil. Memang pada dasarnya Asia sudah tahu bagian dari teori Piaget. Tetapi dia ingin menguji sejauh mana pemahaman Aria.
“Nggak apa-apa. Pelan-pelan saja. You can do it!”
Aria berusaha berpikir keras. Lalu dia mulai mencoba menjawab, “Kalau menurut Piaget, Aliya berada di tahap pra-operasional.”
“Lalu?” tanya Asia lagi.
“Aliya.. Menunjukkan kemampuan simbolik seperti bermain peran? Dan.. Memahami perspektif dari orang lain. Gimana?”
“Yap! Aku juga setuju.”
Aria mencibir, “Ya jangan aku setuju, aku setuju doang dong. Kasih masukan kek. Aku jawabnya ngasal loh ya.”
Asia tergelak. “Ternyata kalau Aria lagi ngasal kok malah jadi semakin cerdas ya?!”
Tanpa sengaja tangan Asia menyentuh tangan Aria yang berada di sebelahnya. Keduanya kembali saling bertatapan. Asia bisa merasakan kehadiran dirinya yang memantul melalui bola mata milik Aria.
‘Sejak kapan aku bisa sedekat ini dengannya? Cowok yang sedari awal harus kuhindari.’
“Tinggal ngapain?” tanya Aria tiba-tiba. Asia mengernyitkan dahi tidak mengerti. “Oh ya, kesimpulan dan saran belum loh!” Aria segera mengetik lagi kesimpulan dan saran. Sedangkan Asia mengerjap-ngerjapkan matanya dan berusaha untuk fokus kembali.
Aria kembali menunjukkan kesimpulan dan saran kepada Asia. Gadis itu mulai membacanya dan merasa jika apa yang ditulis Aria sudah lebih dari cukup. “Ini sudah Oke sih. Sekarang kita buat ppt-nya gimana?”
Aria melihat arloji yang melingkar ditangannya. "Emm.. Sekarang aku ada janji sama orang sih. Gimana kalau aku saja yang membuat ppt-nya? Terus aku yang ngeprint makalahnya juga.”
“Lah, terus aku ngapain? Biar aku saja yang ngeprintkan,” kata Asia smabil merogoh tas ranselnya. Lalu dia teringat flashdisk-nya yang ketinggalan di rumah. “Astaga! Ketinggalan lagi. Aria, kamu punya flashdisk nggak?”
“Nggak ada sih. Adanya di rumah juga. Sudahlah, mendingan biar aku yang meng-handle semuanya. Besok pagi kita tinggal presentasi, oke?!” kata Aria smabil mengacungkan jempolnya.
“Aku nggak punya datanya, bosss!!! Gimana dong?”
“Tenang saja! Nanti malam aku akan segera mengirim file word dan ppt nya ke WA kamu, Oke?!”
“Beneran yaa..? Aku tunggu loh!”
“Idih, seorang Asia nggak percaya sama janji dari tuan muda Aria yaa?” tanyanya lagi dengan suara kelakar khasnya. Keduanya saling melihat. Namun Asia tidak tahu harus menjawab apa. Perasaannya mulai bermain dan berputar mengelilingi seisi kepalanya, ‘Aku ingin belajar percaya padanya. Bolehkah kalau aku sedikit mempercayainya?’
***
Malam hari sudah tiba. Asia baru saja selesai memasak nasi dan memasak lauk-pauk. Kemudian dia memberanikan diri untuk mengetuk kamar ibunya. Tidak ada jawaban.
Semenjak pertengkaran dengan ibunya di kamarnya, membuat hubungannya dengan ibunya mulai berubah drastis. Ibunya hanya keluar kamar saat membuat dan menjual kue. Tetapi saat Asia pulang ke rumah dan manyalimi tangannya, beliau langsung masuk ke dalam kamar.
Terkadang hidangan sudah ada di meja, tetapi terkadang ibunya tidak memasak sama sekali. Beliau terus berada di dalam kamar. TV pun sudah dipindah oleh ibunya di dalam kamar.
Pernah sekali Asia seperti mendengar suara orang menangis di dalam kamar ibunya. Dia memastikan dengan menempelkan telinganya di depan pintu. Apa yang terdengar hanyalah suara volume TV yang ditinggikan. Suara orang sedang menangis tidak terdengar lagi.
Kadangkala Asia menjadi sangat kesepian. Biasanya dia makan bersama dengan ibunya dan saling melempar canda tawa dengan beliau. Kini hubungan mereka menjadi kian renggang.
“Mungkin kalau aku masuk ke dalam kamar duluan, ibu pasti mau makan,” gumamnya. Lalu dia bersandiwara, “Aduh! Kepalaku pusing banget! Nanti saja deh makannya.” Dengan sengaja ia berteriak, agar ibunya segera keluar kamar. Saat terdengar suara kunci kamar dibuka, Asia segera masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya. Beliau menengok ke kanan-kiri mencari keberadaan Aria.
Setelah yakin tidak ada satupun keberadaan Aria, beliau segera duduk di kursi dan mengambil lauk-pauk. Ibunya makan dengan lahap. Diam-diam Asia membuka sedikit pintu kamarnya agar bisa mengintip ibunya.
‘Ibu kelihatan sangat lapar,’ pikir Asia. Kemudian ringtone handphone-nya berdering. Asia menutup pintu perlahan dan segera mengangkat telepon. “Heh, Dit! Ngapain telepon malam-malam? Ngagetin ajah!” ceplosnya.
“Assalamualaikum dulu gitu..,” ucap Ditra memberikan pemahaman kecil padanya. Asia segera menutup mulutnya.
“Ups, iya lupa hehe.. Assalamualaikum. Ada apa Ditra kok dikau menelepon malam-malam, wahai tuan putri Ditra?”
“Waalaikumsalam. Heh, lebay amat lu! Sudah ketularan sama Aria ya? Kebanyakan bergaul lu sama dia,” dumel Ditra. Asia tertawa terbahak-bahak. “Eh, betewe bulan ini kan semester satu kita sudah berakhir. Nah, mumpung ada jeda liburan satu bulan nih. Aku ingin mengajak kamu menjadi sukarelawan di Malang. Mau nggak?”
Asia tertegun.
“Hah? Sebulan? Sukarelawan?” simpulnya.
Ditra berkata lagi, “Iya. Memangnya bulan depan kamu ada acara yang tidak bisa ditinggalkan ya? Kalaupun kamu menolak, aku nggak apa-apa kok. Aku mengajakmu karena kulihat kamu aktif banget di organisasi dan rajin kuliah juga. Seperti orang yang haus akan pengalaman gitu. Nah, karena kita sama-sama satu organisasi, jadi aku rasa kamu akan mau kalau aku ajak ke..,”
“Aku mau!” potongan yang cepat. Asia tidak pernah menjadi sukarelawan. Tetapi dia mencintai berbagai pengalaman baru. Walaupun pada akhirnya dia harus mengatur jadwal dan mencaritahu lebih banyak tentang berbagai hal yang berkaitan dengan sukarelawan. Dia tidak menyangka jika Ditra memberikannya peluang untuk berbagi pengalaman baru dengannya.
“Oke. Lebih detailnya nanti lewat DM ajah ya. Selamat istirahat, Asia. Assalamualaikum,”
“Iyaa. Terima kasih banyak karena sudah mengajakku kesana. Aku akan sedikit merepotkanmu karena pasti nantinya akan ada banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan padamu. Ya sudah, waalaikumsalam.”
Panggilan telepon dengan Ditra sudah berakhir. Perut Asia mulai keroncongan. Dia melihat jam dinding, “Sudah jam delapan malam. Tetapi kenapa Aria masih belum mengirimkan soft file-nya juga? Aku jadi kepikiran. Apa aku telpon saja ya?”
Baru saja Asia mencari nomor kontak cowok tersebut. Tetapi setelah melihat nomor kontak itu dalam waktu yang cukup lama membuatnya kembali mengurungkan niatnya. Asia duduk di depan meja belajar dan meletakkan ponselnya di atas meja.
“Duh! Gimana ya? Apa lebih baik aku buat catatan untuk jaga-jaga jikalau dia nggak masuk lagi..?” dia terpaku sesaat. “Nggak, nggak. Itu nggak mungkin. Dia sudah janji,” Asia berdiri lagi dan mengubek-ubek tas ranselnya. Dia mengambil buku catatannya. Tapi ternyata dia melihat buku tulis yang bukan miliknya. Buku tulis berwarna merah yang bertuliskan ‘My Art-Life'.
Asia mulai membuka buku itu. Setiap halaman terdapat gambar sketsa dari pensil. Setiap tekanan pensilnya memperlihatkan seberapa tertekannya orang yang menggambarkan tersebut. Asia tidak mengenali sketsa wajah seorang bapak dan ibu paruh baya yang saling bergandengan tangan dan seorang anak lelaki yang meringkuk sambil dipeluk oleh seorang anak perempuan yang memiliki sayap di punggungnya.
“Apa.. Ini gambar anggota keluarga? Tapi kalau iya, kenapa orang tuanya tersenyum, sedangkan gambar anak laki-laki yang mirip dengan Aria ini meringkuk sambil menangis? Apa cewek yang memeluknya ini adalah.. Sahabatnya?”
Dia membalik lagi lembar halaman berikutnya. Ada beberapa gambar sketsa wajah yang dikenalnya. Wajah Aria, Satria, Mayu, Marella, dan dirinya. Mereka duduk melingkar dan sama-sama tertawa lebar. Dia membuka kembali lembaran berikutnya. Sketsa itu menggambarkan sosok Aria yang ditemani oleh gadis yang memakai sayap. Mereka berdiri di dekat papan pengumuman yang banyak orang berkerumun disana dan keduanya memandang jauh ke depan. Melihat seorang gadis yang melonjak kegirangan sambil melakukan video call. Dia merasa tidak asing dengan situasi dari sketsa tersebut. “Perempuan bersayap ini nggak terlihat seperti sahabatnya. Tapi.. Situasi di sketsa ini kok nggak asing ya? Apaa... Ini aku?!”
Asia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum pahit. “Nggak mungkin! Nggak mungkin!” Dia membolak-balik halaman sampai berada di halaman paling terakhir. Asia terkejut saat membacanya.
Aku capek.
Aku lelah.
Memakai topeng untuk terus berupa.
Berhenti untuk berpura-pura, kataku!
Nyeri memang. Tapi kamu sudah janji!
Janji kecil demi kebahagiaanku dan untukmu seorang.
Tapi disini gelap gulita dan dingin.
Kepalaku saling bersahutan.
'Menghilang saja kau, Aria!’
Di bawah puisi tersebut terdapat gambar sketsa seperti seorang anak yng bergandengan tangan dengan anak perempuan bersayap. Langit tampak gelap di atas kepala mereka.
Entah kenapa Asia menjadi agak merinding saat membacanya. Dia semakin tidak bisa memahami sosok dari seorang Aria. Tapi satu hal yang dia tahu kalau Aria sedang memiliki masalah yang berat di hidupnya.
Setelah membaca buku tulis Aria, gadis itu mulai merenungkan tujuan awalnya. Dia memasukkan buku Aria ke slama tas ransel dan dia mengeluarkan buku jurnal hariannya. Asia mulai menulis:
Jurnal Desemberku,
Apa aku benar-benar memilih jalan ini karena aku ingin atau hanya karena takut mengecewakan orang lain? Hari ini aku bertanya itu kepada diriku sendiri. Dulu semua terasa hitam dan putih. Tetapi semakin aku belajar tentang manusia, aku sadar kalau kita semua abu-abu. Dan mungkin itu bukan hal yang buruk.
Asia menghela nafas panjang sambil menutup buku jurnalnya.
“Untung saja aku tidak meneleponnya. Daripada nanti aku jadi marah-marah dan semakin membebaninya. Mungkin lebih baik begini. Aku akan belajar untuk mempercayainya.”
Perutnya berbunyi lagi. Asia pun terkekeh. “Sepertinya aku juga harus makan nih,” celetuknya pada diri sendiri.
***