Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let Me be a Star for You During the Day
MENU
About Us  

Setelah kelas mata kuliah Filsafat berakhir, para mahasiswa berbondong-bondong keluar dari ruangan kelas. Hanya ada kelompok Asia yang masih berada disana. Gadis itu memasukkan kedua buku diktatnya satu-persatu ke dalam tas ransel. Setelah memastikan buku-bukunya sudah tersusun rapi di dalamnya, dia mulai memegang pulpen dan binder, lalu memindah kursinya ke sebelah kiri sehingga menghadap Mayu dan teman-temannya secara langsung. Asia mencoba mengawali pembicaraan terkait tugas kelompok.

Guys, dengarkan aku sekarang. Minggu ini kita memiliki dua tugas kelompok yaitu mata kuliah Psikologi Perkembangan dan Filsafat. Kita harus mengerjakannya minggu ini agar minggu depan kita nggak keteteran,” ujarnya bersemangat. Marella dan Satria menyetujuinya juga.

“Minggu ini aku nggak bisa. Harus pergi ke rumah saudara yang berada di luar kota,” ucap Mayu yang merasa keberatan jika harus kerja kelompok minggu ini. Asia manggut-manggut mengerti.

Lantas dia mulai menulis sesuatu di bindernya seraya berkata, “Nggak masalah. Mayu bisa mengerjakan bagian ppt-nya. Biar nanti kami berempat yang membuat makalahnya. Tapi hari ini kamu bisa kan ikut mencari buku-buku Filsafat dan Psikologi Perkembangan di perpustakaan?”

Terlihat kecemasan di wajah Mayu. Matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. “Duh, gimana ya? Bisa sih. Tapi nggak lama aku tinggal nggak apa-apa ya?”

Asia mengerutkan keningnya. Dia melihat Mayu yang seolah-olah seperti berusaha melontarkan seribu alasan untuk menghindari tanggung jawabnya.

“Kalau ada yang nggak bisa, mendingan minggu depan saja ngerjainnya. Lebih baik mengerjakan bareng nggak sih. Jangan egois dong, masa kerja kelompok kok pada mencar-mencar sendiri. Lagipula hari ini aku juga nggak bisa ikut ke perpustakaan,” perkataan Aria dengan gaya santainya sambil ongkang-ongkang kaki itu membuat Asia semakin naik darah.

“Kalian berdua itu sebenarnya niat nggak sih mengerjakan tugas ini? Oke, aku tahu kalau Mayu nggak bisa mengerjakan bareng tugas kelompok ini. Aku kasih jalan keluarnya. Tapi masa mencari buku untuk referensi saja tidak bisa juga? Dan kamu, Aria, aku nggak egois ya! Kerja kelompok juga nggak harus kumpul bareng. Yang terpenting kita bisa mengerjakan dan menyelesaikan tugas itu dengan baik. Kalau minggu depan bakalan keteteran!”

Aria malah terkekeh mendengarnya. Wajah Asia semakin mengeras karena merasa Aria tidak menganggap serius tugas kuliahnya. Bahkan cowok itu malah menertawainya. Aria berbicara lagi, “Apanya yang keteteran? Minggu depan masih ada waktu juga kok. Santai dikit lah. Nggak usah terlalu rajin begitu. Toh, aku yakin kita bisa selesai tepat waktu. Yang terpenting suka duka bersama.”

Asia bangkit dari duduknya. Marella berusaha menahan Asia untuk tidak berbuat hal yang lebih jauh. Namun Aria tidak gentar dari duduknya yang selengekan.

“Duh, takut. Sepertinya aku ganggu macan yang lagi tidur,” ledeknya sambil tak henti-hentinya tertawa. Mayu memberinya isyarat untuk diam. Tetapi cowok itu tetap tertawa.

Satria juga berusaha menengahi mereka berdua, “Stop! Kalian berdua. Nggak perlu sampai begini dong. Asia, turunkan kemarahanmu. Harus lebih sabar. Aria juga. Kamu nggak perlu memantik api ke dalam minyak yang panas.”

Aria semakin meledek penuh sarkasme, “Mungkin memang ada minyak panas di atas kepalanya. Buktinya saja ada asap tuh yang keluar dari atas kepalanya. Hahahaa..,”

“Aria, STOP!” melihat sorot mata Satria langsung membuat mulut Aria terkatup rapat.

Dia mengangkat kedua tangannya seraya berkata, “Oke. Oke. Candaanku keterlaluan. Maaf, ya.”

Namun terlambat, Asia sudah terlanjur kecewa dengan perilaku Aria. Gadis itu hampir saja menangis. Tetapi dia tetap bertahan demi harga dirinya sebagai seorang wanita yang kuat. “Kamu ngobat ya? Menertawakan segala hal yang terjadi seolah-olah semua hal itu pantas ditertawakan. Kalau memang itulah dirimu yang sebenarnya. Aku sarankan kamu untuk memperbaiki kepribadianmu itu.”

Mayu menyentuh lengannya dan berkata, “Tenang, Asia. Aria cuma bercanda kok. Lagipula dia sudah meminta maaf.”

“Mayu, kamu terlalu memakluminya. Andai kalian tahu. Aku sudah memperhitungkan segalanya. Minggu depan kita ada tugas-tugas mandiri dari mata kuliah lain dan dua tugas kelompok yang harus dipresentasikan. Makalah juga harus segera dikumpulkan. Mulai dari mencari dan membaca buku maupun browsing untuk referensi, menyalinnya, lalu ke tempat jasa print untuk makalahnya. Belum lagi membuat ppt-nya dan kita juga harus membagi tugas untuk bergantian melakukan presentasi itu. Keteteran nggak menurut kalian? Bisa tepat waktu?!!”

Hening. Baik Mayu, Marella, dan Satria berpikir sejenak dan memilih untuk diam. Suara ketikan dari handphone terdengar. Asia dan teman-temannya langsung menengok ke arah sumber suara. Aria malah sibuk mengetik handphone-nya. Asia berusaha menenangkan diri agar tidak terlalu terbawa emosi. Lantas dia mengakhiri pembicaraannya, “Terserah mau kalian apa sekarang. Aku nggak peduli lagi dengan tugas kelompok ini!”

Asia pergi meninggalkan teman-temannya. Dia sama sekali tidak menghentikan langkahnya maupun berbalik saat Mayu dan Marella memanggil namanya. Asia benar-benar merasa kecewa dengan teman-teman kelompoknya, terutama Aria. Asia benar-benar tidak bisa mengatur cowok yang memiliki kepribadian yang berbanding terbalik dengannya. Aria selalu terlihat santai dan sering bercanda. Bahkan Asia yakin jika Aria juga tidak pernah memikirkan target hidupnya. Bagi Asia, Aria adalah ancaman bagi ketertiban hidupnya.

Asia menghentikan langkahnya saat hampir saja melewati pintu perpustakaan fakultas. Dia berkata dengan marah, “Kalau Aria ingin gagal, silakan. Tetapi aku nggak ingin merusak masa depanku hanya karena dia!”

Asia memutuskan masuk ke dalam perpustakaan itu. Tak lama kemudian Mayu, Marella, Satria, dan Aria keluar dari dalam ruang kelas. Mereka berjalan melewati perpustakaan fakultas hingga menuruni tangga.

Setelah berhenti di depan pintu perpustakaan universitas, Satria memaksanya untuk masuk ke dalam perpustakaan. Namun Aria menggelengkan kepalanya.

“Aku beneran ada acara setelah ini. Jadi aku nggak bisa ikut kerja kelompok bersama dengan kalian.”

Mayu juga berkata hal yang sama. “Aku juga harus berangkat bersama keluargaku sekarang. Aku harap Asia bisa mengerti. Tolong sampaikan maafku padanya.”

Keduanya pergi meninggalkan Marella dan Satria yang masih berdiri di depan pintu perpustakaan universitas. Marella menengok ke arah Satria, “Nggak apa-apa nih cuma kita berdua yang ikut kerja kelompok bareng Asia?”

“Sepertinya nggak apa-apa deh. Kata Asia tadi kan yang penting kita ada niat dan kemauan. Ya sudah yuk, kita susul Asia di dalam. Sepertinya dia sudah mencari buku-buku untuk referensi di dalam.”

Mereka berdua pun segera masuk ke dalam perpustakaan universitas. Niat dan kemauan memang merupakan hal yang penting. Tetapi kalau takdir turut campur ke dalam hidup mereka seperti ini ya.. cukup sulit.

***

Setiap hari minggu, seperti biasa Asia membantu ibunya membuat adonan roti untuk dijual di depan rumah. Ibunya memakai sarung tangan untuk mengeluarkan nampan berisi beberapa croissant dari dalam oven. Setelah itu diletakkannya di atas meja.

“Nak! Kalau croissant-nya sudah tidak panas, segera masukkan ke dalam plastik opp ya. Kalau sudah, tata rotinya di depan sana ya,” ucap ibunya sambil memasukkan nampan berisi roti melon ke dalam oven.

“Siap, bu!” jawab Asia yang masih tetap fokus mengangkat donat-donat yang berada di serok penggorengan. Setelah mematikan kompor, dia beralih menghias donat yang sebelumnya sudah tidak terlalu panas. Asia menghias dengan penuh kehati-hatian. Dia sudah terbiasa menghias donat dengan menaburkan gula halus, cokelat yang sudah dilelehkan, kacang-kacangan, glaze, dan lainnya.

Sikutnya tidak sengaja menyenggol kotak berisi sprinkle warna-warni yang kini tampak miring baginya. Asia melepaskan sarung tangannya yang terbuat dari plastik. Ia meletakkan kotak itu di rak dalam keadaan lurus sehingga tulisan ‘sprinkle warna-warni' terlihat jelas menempel di kotak itu. Kemudian Asia melanjutkan kembali menghias donat.

Kegiatannya sangat padat hari itu. Saat pagi, dia membantu ibunya membuat adonan roti. Setelah matang, Asia juga menunggu di depan rumah untuk menjajakan roti-roti tersebut. Dia sudah membantu ibunya berjualan sejak sekolah dasar. Tetapi untuk terjun membuat adonan sudah diajarkan oleh ibunya sejak duduk di kelas menengah pertama.

Hari ini Asia menjual roti sambil mengerjakan tugas kuliahnya. Tak lama dia berhenti mengetik dan menghela nafas panjang. Semenjak pertengkaran mereka kemarin, Asia mengira kalau teman-temannya akan menyusulnya di perpustakaan fakultas. Tetapi mereka sama sekali tidak datang menghampirinya. Jadilah Asia semakin merasa kesal dan mencari buku-buku diktat sendirian.

Sesampainya di rumah, dia mendapati beberapa panggilan tidak terjawab dari Marella. Asia tidak tahu ada telepon dari temannya karena sebelumnya handphone-nya dalam mode diam. Gadis itu menimbang-nimbang langkah apa yang seharusnya ia lakukan. Menelepon Marella atau malah mengabaikannya. Sebenarnya Asia juga sedikit penasaran kenapa Marella menghubunginya beberapa kali.

Terbayang wajah Aria yang tertawa terbahak-bahak membuatnya merasa kesal kembali. Dia memutuskan untuk tidak menelepon Marella kembali sampai mood jeleknya mereda.

Namun kini Asia merasa bersalah karena sudah mengabaikan panggilan telepon dari temannya itu. “Kenapa dia nggak mengirimkan chat padaku saja sih? Kenapa harus telepon?” katanya sembari menekan tombol panggilan.

Tidak butuh waktu lama, Marella mengangkat telepon darinya. “Halo, Asia. Kenapa baru telepon sekarang sih? Kemarin kami mencari-cari kamu di perpus nggak ada tahu!”

Asia mendadak cengok. Sepengetahuannya kemarin dia hanya sendirian ditemani dengan petugas di perpustakaan fakultas. Tidak ada tanda-tanda keberadaan mereka.

“Bohong nih! Kemarin itu cuma aku sama kak Ajeng disana. Kalian nyari aku dimana? Di perpustakaan daerah?” tanyanya setengah bercanda.

“Hah, memangnya kemarin kamu cari referensi di perpustakaan daerah? Jauh amat!” mendengar suara Marella yang sepertinya bingung dengan obrolan mereka yang semakin tidak nyambung, Asia pun mulai bertanya serius.

“Tunggu! Tunggu dulu! Jam berapa kalian mencariku di perpus?” tanyanya.

Marella berpikir sejenak. “Eeng.. Kira-kira lima menitan setelah kamu keluar kelas. Beneran deh! Aku nggak bohong. Satria juga bersamaku saat itu.”

Tiba-tiba terdengar suara Satria di ujung telepon, “Benar kok, Asia. Kami berdua mencarimu. Tapi kamu nggak ada.”

Asia semakin bingung.

“Lah, kenapa ada suaranya Satria juga? Kamu speaker ini, Marella? Kalian lagi ketemuan? Tunggu, tunggu! Nggak mungkin kalian nggak ketemu sama aku. Sejak awal aku berada di perpus fakultas. Bahkan lama sekali aku disana.”

Tiba-tiba terdengar tawa yang kian membahana. Asia memastikan lagi tawa itu tidak hanya berasal dari suara Marella dan Satria, tetapi ada satu orang lagi disana dan membuat mood Asia menjadi jelek lagi.

Marella berbicara lagi dia sela-sela tawanya, “Asia, ternyata kita berada di dua tempat yang berbeda. Ternyata kamu berada di perpus fakultas dan kita ada di perpus universitas. Ya nggak ketemu lah kita! Hahahaa..,”

Seandainya saja Asia tidak mendengar tawa dari sosok itu lagi, mungkin saat ini Asia merasa juga akan tertawa konyol bersama teman-temannya. Gadis itu mulai bertanya, “Disana juga ada Aria?”

Terdengar suara Marella yang tampak bingung menjelaskan, tak lama terdengar suara dari Aria, “Kesini, Asia! Kami bertiga lagi ngumpul di rumah Marella. Kami sedang menyusun makalah tugas kelompok Psikologi Perkembangan nih.”

Asia pun tertegun mendengarnya.

“Kalian.. Mengerjakan tugas kelompok bersama?”

“Ya iyalah. Masa ya iya dong. Sudahlah, cepat kesini. Nanti Marella akan shareloc, oke?” pertanyaan Aria membuat gadis itu berpikir lama. Karena lama tidak menjawab, Aria kembali berkata, “Kenapa lagi, Asia? Kamu tahu, ternyata kami masih belum memahami materi sepenuhnya. Mungkin kamu bisa membantu menjelaskan teori perkembangan psikososial kepada kami?”

Asia pun mulai tersenyum kembali dan menganggukkan kepala. Lalu dia menyadari kalau belum menanggapi telepon dengan benar. “Aku mau. Tetapi aku sedang menjaga toko roti di rumah. Mungkin kita bisa mengerjakannya di depan halaman rumah sambil menjaga toko disini?”

“Wah, ternyata Asia multitasking sekali. Baiklah. Shareloc sekarang ya. Kami akan menemuimu disana.”

Panggilan berakhir. Asia segera mengirimkan lokasi di handphone-nya. Dia berpikir sesaat. ‘Ternyata tadi kami bisa berbicara dengan baik, tanpa ada pertengkaran seperti biasanya. Aku harap Aria sudah menyadari kalau ada yang salah dengannya. Dia sudah hidup terlalu bebas dan tanpa aturan. Paling tidak dia ada usaha untuk memperbaiki kepribadiannya itu.”

***

Pada akhirnya hari ini tiba juga. Presentasi pertama Asia dan teman-temannya di mata kuliah Psikologi Perkembangan. Kelompok Asia mendapatkan giliran pertama. Mereka akan mempresentasikan tentang teori  perkembangan psikososial.

Asia meletakkan kelima kursi di depan kelas. Sedangkan Mayu sedang membuka file powerpoint-nya. Satria yang berada di samping Mayu baru saja selesai menghubungkan laptop dengan layar proyektor. Terpampang jelas slide pertama mereka yang bertuliskan ‘Teori  Perkembangan Psikososial' disertai nama-nama lengkap dari kelompok pertama.

Setelah semuanya siap, Satria mengacungkan jempol ke arah Asia yang masih terlihat cemas. Matanya terus mengarah ke jam dinding. Satria memahami apa yang dicemaskan oleh temannya itu.

Dia membisikkan sesuatu di telinga Asia, “Sebaiknya kita mulai tanpa Aria. Karena sepertinya dia akan sedikit terlambat.”

“Kamu sudah chat atau telepon dia dan bertanya dimana posisinya sekarang?” bisik Asia yang masih tidak bisa menyembunyikan rasa paniknya. Satria menggeleng pelan.

“Aku sudah telepon tapi tidak ada jawaban.”

“Aria.. Benar-benar deh! Dia selalu membawa bencana!” Asia bergumam sendiri dan mondar-mandir seperti orang kebingungan. Bu Sahara, dosen yang mengampu mata kuliah tersebut mulai bertanya kepada keempat mahasiswanya, “Bagaimana? Kalian sudah siap?”

“Masih ada satu anggota yang belum datang, bu,” terang Satria. Bu Sahara memutar pena dengan jarinya. Lalu tubuhnya berbalik dan menengok ke arah mahasiswa yang lain.

“Saudara-saudara, presentasi bukan hanya soal isi materi. Ini juga soal tanggung jawab. Jika anda datang terlambat, apalagi saat kelompok anda sedang tampil, itu mencerminkan sikap yang tidak profesional. Dunia perkuliahan bukan lagi tempat bermain. Tetapi ini adalah latihan hidup sebenarnya.”

Para mahasiswa mengiyakan pernyataan tegas bu Sahara secara serempak. Terdengar suara ketukan dari luar. Aria masuk ke dalam ruangan dengan senyuman tipis. “Maaf, bu. Saya terlambat,” ucapnya lantang sembari membungkukkan tubuhnya.

Bu Sahara menatap ke arah Aria seraya berkata dengan tegas, “Lain kali, saya harap tidak ada lagi yang datang seenaknya. Kita belajar menghargai waktu, bukan hanya waktu saya, tapi juga waktu teman satu kelompok anda.”

“Siap, bu!” Aria bersikap hormat layaknya petugas upacara. Setelah bu Sahara duduk kembali, cowok itu berjalan petantang-petenteng sambil melempar senyum ke arah teman-temannya yang berdiri di depan.

Asia memalingkan wajahnya karena sudah terlalu muak dengan sikap Aria. Ingin sekali rasanya Asia menarik perkataannya lagi tentang Aria yang berusaha memperbaiki dirinya. Karena ternyata Aria tetaplah Aria.

Setelah memperkenalkan diri, mereka memulai presentasinya. Asia menjelaskan biografi Erik Erickson dengan percaya diri. Ia juga memaparkan bahwa terdapat delapan tahapan yang dilalui oleh manusia.

Lalu beralih dilanjutkan oleh Mayu yang menjabarkan tentang tahap pertama dan tahap kedua. Asia bisa melihat Mayu, Satria, dan Marella mampu menjelaskan ke-enam tahapan dengan baik. Seperti apa yang telah ia ajarkan sebelumnya bahwa lebih baik tidak terlalu terlihat membaca tulisan di layar dan lebih banyak berinteraksi dengan para audience.

Kini tersisa Aria yang akan menjelaskan tentang dua tahapan terakhir dari perkembangan psikososial. Cowok itu mulai berdiri dan mendongak ke arah layar proyektor cukup lama.

“Aku nggak berharap banyak sama dia,” bisik Asia di telinga Marella.

Marella pun ikut berbisik, “Sebenarnya aku juga ragu kalau dia bisa menjelaskan dengan baik. Kemarin saja dia lebih banyak main hape daripada mengerjakan tugas kelompok.”

“Paling tidak, kemarin dia yang bagian mengetik makalah. Duh, semoga saja presentasi ini tidak hancur,” bisik Asia lagi. Ke-empat temannya masih menunggunya dengan harap-harap cemas.

Aria berbalik kembali ke arah audience. Dia mulai tersenyum lebar.

“Aku tuh bingung banget kalau mengikuti tulisan yang penuh teori begini. Tapi kalian tidak perlu khawatir, aku sebenarnya paham kok tapi dalam versiku sendiri.”

“Hegh! Dia mulai bikin karakter sendiri! Kayak..,” bisik Marella. Asia segera membekap mulut Marella dengan cepat.

“Ssst! Diam dulu! Kita harus bergerak cepat membantunya kalau dia bikin ulah,” serunya dengan tatapan menyelidik ke arah cowok yang kembali terkekeh itu.

Aria kembali berbicara, “Jadi gini, teman-teman. Hidup itu seperti naik kereta. Kita melewati stasiun demi stasiun. Dua stasiun terakhir dari teori Pak Erikson ini bukanlah stasiun akhir ya, tetapi mendekati yang namanya Generativity vs Stagnation dan Integrity vs Despair.”

Cowok tinggi semampai itu mulai berjalan pelan ke kanan sambil menggerakkan tangannya dengan bebas.

Generativity tuh muncul waktu kita udah dewasa banget. Diperkirakan sekitar pada usia empat puluh tahun ke atas. Di tahap ini, kita mulai mikir dong, ‘Apa kontribusiku buat orang lain?’ Kalau kita merasa berguna, jadi produktif, dan peduli dengan generasi berikutnya, itu artinya kita menang. Tapi kalau kita cuma mikirin diri sendiri, ya jatuhnya stagnan. Nggak ke mana-mana. Begitu teman-teman.”

Aria menengok ke arah teman-teman kelompoknya yang masih melihatnya dengan mulut menganga. Ia pun tersenyum kecil dan melanjutkan penjelasannya, “Lalu tahap paling akhir yaitu Integrity vs Despair. Ini biasanya waktu kita sudah tua. Sudah melihat hidup dari ujung ke ujung. Kalau kita bisa menerima masa lalu dan baik buruknya, maka kita pun akan merasa hidup ini berarti. Tetapi kalau tidak, yaa.. kita bisa jatuh ke penyesalan dan rasa putus asa.”

Aria berhenti sejenak, lalu menatap teman-teman dengan lembut, “Intinya sih, dua tahap ini ngajarin kita bahwa... hidup bukan cuma tentang kita. Tapi tentang bagaimana kita memberi. Dan di akhir nanti, bisa tidak kita tersenyum sambil bilang, Aku sudah hidup dengan sungguh-sungguh.”

Aria menengok ke arah Asia yang seharusnya mendapatkan bagian untuk menutup presentasi tersebut. Namun gadis itu masih memandanginya dengan takjub. Begitu pula dengan teman-teman kelompoknya yang lain. Aria berdecak-decak sembari menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya.

“Baiklah. Kami akhiri presentasi hari ini. Jika ada pertanyaan silakan angkat tangan.”

Dengan masih melihat Aria dari kejauhan, ia berbisik lagi ke telinga Marella, “Itu… barusan Aria? Yang suka datang telat dan nggak pernah bawa catatan? Cowok yang nggak pintar atur waktu itu kok bisa ngomong sebijak itu?”

Marella mengendikkan bahu. Ia juga masih terpana melihat fenomena yang jarang terjadi. Diam-diam Asia merasa tercengang.

“Cara dia menjelaskan.. ringan tapi dalam. Nggak seperti biasanya. Apa aku yang terlalu cepat menilai dia ya?”

“Hey, Asia! Buna bertanya padamu tuh!” seruan Aria membuatnya kembali tersadar.

“Eh.. Oh.. Ya? Maaf, tadi pertanyaannya apa?” Asia berdiri dan melihat ke arah Aria. Cowok itu segera memegang kepala Asia dan menghadapkannya ke arah dimana Buna duduk.

“Lagi linglung nih anak. Tanya Buna dong, bukan aku.”

Asia merasa sangat malu. Dia menggosok-gosok kedua pipinya, ‘Ayo, Asia! Kembali ke realita!’

Buna berdiri lagi dan mengulang pertanyaannya, “Seperti yang kita tahu bahwa Erickson adalah pengembang teori Freud dan mendasarkan konstruk teori psikososialnya dari psikoanalisa Freud. Sebenarnya apakah ada perbedaan diantara keduanya?”

“Sebenarnya ada. Jadi Erickson lebih condong pada persamaan ego, sedangkan Sigmund Freud berpusat pada id dan super ego. Yang kedua, Sigmund Freud menjadikan hubungan segitiga antara anak, ayah, dan ibu menjadi landasan terpenting dalam perkembangan kepribadian, sedangkan Erickson menjadikan hubungan yang lebih luas, seperti yang ada di lingkungan sosial. Itulah perbedaan di antara keduanya.”

“Ada satu lagi!” Asia terkejut dan berbalik melihat ke arah Satria yang sudah berdiri dan mengangkat tangannya. “Sigmund Freud lebih berorientasi patologik dan mistik karena berhubungan dengan berbagai hambatan pada struktur kepribadian dalam perkembangan kepribadian. Nah, sedangkan Erik Erickson orientasinya optimistik karena kondisi-kondisi dari pengaruh lingkungan sosial yang ikut mempengaruhi perkembangan kepribadian,” jelas Satria dengan lugas.

“Baiklah. Buna, apakah ada yang perlu ditanyakan lagi?” tanya Asia.

“Sudah cukup. Terima kasih,” jawab Buna. Tidak disangka, Ditra yang duduk disebelah Buna langsung mengangkat tangannya. Namun Asia baru saja berbalik sambil menulis sesuatu di bindernya.

Marella yang mengetahuinya langsung berdiri dan langsung berkata, “Baik, Ditra. Silakan pertanyaannya.”

“Saya ingin bertanya kepada.. Terserah siapa saja,” belum sempat Ditra berbicara lebih lanjut, Aria melonjak gembira sembari mengangkat tangannya.

“Aku saja! Aku saja!” begitu katanya. Asia hanya mengernyitkan dahi. ‘Segitu senangnya dapat pertanyaan. Mau lebih unggul dariku ya? Huah.. Sabar, Asia. Berikan kesempatan kepada teman-temanmu yang lain.’

“Oke, Aria kamu saja yang menjawab pertanyaanku,” perkataan Ditra membuat Aria melonjak kegirangan. Teman-teman menyorakinya dengan menyebutnya ‘raja lebay'. Aria tidak peduli. Dia tidak sabar mendengar pertanyaan dari Ditra.

Ditra mulai bertanya, “Kalau menurut kamu, Aria, kenapa banyak remaja di tahap Identity vs Role Confusion itu bisa merasa sangat tersesat? Bahkan sampai kehilangan arah hidup, mungkin? Apakah itu murni karena pengaruh lingkungan, atau bisa juga karena trauma pribadi?”

Senyuman di bibir Aria mulai lenyap seketika. Ia tidak menduga akan mendapatkan pertanyaan yang seperti umpan baginya. Kemudian dia menghela nafas kecil seraya berkata, “Hmm… itu pertanyaan yang... cukup dalam yaa..,”

Keringat mulai menetes di dahinya. Kedua tangannya juga berkeringat. Namun Aria tetap tidak mengalihkan pandangan dari Ditra yang masih menunggu jawaban darinya.

Aria mulai menjawab, “Remaja di tahap itu memang rentan banget. Mereka belum tahu siapa diri mereka dan dunia di sekitar seolah-olah menuntut mereka untuk tahu segalanya. Kadang... bukan cuma lingkungan sih. Terkadang ada beberapa hal yang datang tiba-tiba seperti kehilangan, misalnya. Kehilangan seseorang yang berarti..,”

Lambat laun suara Aria terdengar semakin pelan, “Dan itu bisa bikin identitas kita menjadi runtuh seketika.”

Aria menunduk sejenak. Bola matanya seperti sengaja menghindar dari tatapan orang-orang di kelas. Tangannya menggenggam kertas presentasi erat-erat. Asia memperhatikan perubahan ekspresi dari Aria. Gadis itu merasakan keanehan yang terjadi kepada Aria.

Bu Sahara bertepuk tangan, yang kemudian para mahasiswa juga ikut bertepuk tangan. Beliau yang semula berbicara dengan tegas, kini berkata dengan nada lembut, “Terima kasih, Aria. Jawabanmu sudah cukup untuk menunjukkan bahwa kamu memahami betapa kompleksnya tahap itu.”

Aria melihat ke arah bu Sahara yang kini tersenyum padanya. Di sisi lain, Asia bisa melihat keduanya saling beradu pandang dalam beberapa saat, seakan-akan sedang berkomunikasi melalui mata mereka. Namun dia tidak lagi melihat senyuman yang menghiasi bibir Aria.

Bu Sahara mempersilakan kelompok dua untuk maju. Asia dan keempat temannya segera kembali duduk di barisan depan.

“Presentasinya... nggak buruk. Bahkan… bagus. Tapi tetap saja, datangnya tetap telat,” Asia sengaja sedikit mengeraskan suaranya untuk melihat respon Aria. Teman-temannya menengok ke arah cowok yang kini sedang terburu-buru memasukkan buku dan kertas presentasinya ke dalam tas. Tanpa berkata apapun, dia berjalan mendekati bu Sahara.

Asia dan ketiga temannya menoleh ke belakang berusaha mengetahui apa yang terjadi pada Aria. Entah apa yang dibicarakannya dengan pelan, tetapi setelah itu bu Sahara mengijinkannya untuk meninggalkan kelas. Setelah Aria pergi, teman-teman satu kelompoknya merasakan ada sesuatu yang salah pada diri Aria.

Asia pun turut merasakannya, “Dia biasanya santai seperti nggak ada beban. Tetapi tadi… ekspresinya seperti orang yang sedang menahan sesuatu.”

Gadis itu tidak lagi tertarik mendengarkan presentasi di depan. Dia memang sedang membuka catatannya, tetapi pikirannya melayang tentang bagaimana cara Aria menjawab soal trauma di masa remaja tadi.

“Apakah dia pernah merasa kehilangan...?” gumamnya.

“Eh, kamu ngomong apa?” tanya Mayu tiba-tiba. Asia hanya menggelengkan kepalanya. “Umm.. Tadi si Aria tumben serius banget, ya?” tanya Mayu lagi. Asia refleks berbalik dan menengok pintu kelas yang masih tertutup rapat. Lantas dia menengok ke arah Mayu lagi dan menganggukkan kepala dengan lesu.

“Iya... tumben. Dan... jujur aja sih, sebenarnya tadi aku agak khawatir.”

Memang baginya si Aria adalah si pembawa bencana. Tetapi dia tidak menyangka jika perubahan sikapnya yang secara mendadak itu bisa semakin memporak-porandakan hati Asia. Awalnya Asia merasa bahwa ia tahu segalanya tentang seorang Aria. Namun kini hatinya resah. Seolah-olah ada sesuatu dari diri Aria yang belum selesai ia pahami.

***

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Ratu Blunder
44      37     2     
Humor
Lala bercita-cita menjadi influencer kecantikan terkenal. Namun, segalanya selalu berjalan tidak mulus. Videonya dipenuhi insiden konyol yang di luar dugaan malah mendulang ketenaran-membuatnya dijuluki "Ratu Blunder." Kini ia harus memilih: terus gagal mengejar mimpinya... atau menerima kenyataan bahwa dirinya adalah meme berjalan?
Help Me Help You
1635      948     56     
Inspirational
Dua rival akademik di sebuah sekolah menengah atas bergengsi, Aditya dan Vania, berebut beasiswa kampus ternama yang sama. Pasalnya, sekolah hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada satu siswa unggul saja. Kepala Sekolah pun memberikan proyek mustahil bagi Aditya dan Vania: barangsiapa dapat memastikan Bari lulus ujian nasional, dialah yang akan direkomendasikan. Siapa sangka proyek mus...
Fidelia
2066      888     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Fragmen Tanpa Titik
42      38     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...
Warisan Tak Ternilai
438      161     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Kepak Sayap yang Hilang
111      104     1     
Short Story
Noe, seorang mahasiswa Sastra Jepang mengagalkan impiannya untuk pergi ke Jepang. Dia tidak dapat meninggalkan adik kembarnya diasuh sendirian oleh neneknya yang sudah renta. Namun, keikhlasan Noe digantikan dengan hal lebih besar yang terjadi pada hidupnya.
Coneflower
4095      1677     3     
True Story
Coneflower (echinacea) atau bunga kerucut dikaitkan dengan kesehatan, kekuatan, dan penyembuhan. Oleh karenanya, coneflower bermakna agar lekas sembuh. Kemudian dapat mencerahkan hari seseorang saat sembuh. Saat diberikan sebagai hadiah, coneflower akan berkata, "Aku harap kamu merasa lebih baik." — — — Violin, gadis anti-sosial yang baru saja masuk di lingkungan SMA. Dia ber...
Bintang Sang Penjaga Cahaya
67      62     2     
Inspirational
Orang bilang, dia si penopang kehidupan. Orang bilang, dia si bahu yang kuat. Orang bilang, dialah pilar kokoh untuk rumah kecilnya. Bukan kah itu terdengar berlebihan walau nyatanya dia memanglah simbol kekuatan?
Perjalanan Tanpa Peta
52      47     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Solita Residen
1453      806     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...