Alih-alih menuju meja yang ditempati Arisha, aku mendekati meja Ghania. Mumpung dia sendirian, karena ada yang ingin aku selesaikan dengannya. Sekali pun Ghania terang-terangan nunjukin permusuhan, dia tetap temanku. Kalaupun harus berakhir, setidaknya berakhir dengan baik-baik.
Ghania mendongak ketika aku meletakkan nampan berisi makan siang di atas meja. Dia langsung mendengus begitu melihatku.
“Lo kenapa, sih?” tanyaku, tanpa basa basi.
“Masih nanya?” balasnya sewot.
“Lo marah karena gue nuduh lo selingkuh sama Dafa? Tapi, itu benar, kan? Lo sendiri yang bilang kalian ciuman di belakang gue,” serbuku. Aku sudah menahan diri untuk enggak ikutan sewot, tapi tanggapan Ghania malah membuatku ikut emosi.
Ghania menatapku dengan mata melotot. “Lo enggak perlu ember begitu buat nyelametin diri lo.”
Aku mengangkat tangan, menyerah menghadapi Ghania. “Fine, lo marah, it’s okay. Enggak ada gunanya juga buat gue, kan?”
Ghania mendengkus dan mengalihkan perhatian ke makanannya.
“Asal lo tahu, marah lo salah alamat. Kenapa lo marah sama gue, tapi masih baik-baikin Dafa? Lo pikir gue enggak tahu lo masih suka komen di foto dia?” serbuku.
Bukannya mengelak, Ghania malah memasang tampang acuh tak acuh.
“Mentang-mentang sekarang lo masuk geng Kenny dan makin akrab sama Dafa, lo udah enggak perluin gue lagi? Makanya jadi kayak begini?” tuduhku.
Sekali lagi, Ghania mengangkat bahu, masih dengan tampang tak peduli yang memuakkan.
“Lo mau jadian sama Dafa? Silakan, gue enggak peduli. Asal lo tahu, hubungan gue sama dia cuma setting-an. Gue enggak pernah suka sama dia, jadi sekarang lo bebas mau deketin dia,” semburku. “Kalian sama, enggak pernah tulus, jadi cocok kalau jadian.”
Sepertinya penjelasanku kali ini menarik perhatian Ghania. Dia sudah berhenti bersikap cuek, dengan perhatian tertuju sepenuhnya kepadaku.
“Setting-an?” tanyanya.
“Ya, kenapa?”
“Lo pura-pura pacaran sama Dafa?”
Aku mengangguk, membuat riak di wajah Ghania makin menjadi-jadi.
“Lo emang enggak punya pendirian, ya. Kalau enggak suka, kenapa harus pura-pura?”
Pertanyaannya membuatku refleks tertawa. “Kayak hidup lo enggak pura-pura aja.”
“Jangan sembarangan…”
“Lo temenan sama gue tujuannya apa? Kita juga pura-pura, Ghe. Atau setidaknya dari pihak lo, karena gue enggak pernah menganggap pertemanan kita pura-pura,” semprotku sengit. “Jadi, kalau lo udah bosan temenan sama gue, gue juga mau bilang. Gue capek dimanfaatin orang kayak lo.”
Ghania menatapku dengan tatapan nyalang. “Gue juga capek temenan sama lo.”
“Baguslah, jadi kita enggak perlu pura-pura lagi.” Aku bangkit berdiri dan mengangkat nampan berisi makanan. “Semoga lo cepat sadar, ya. Hidup kayak gini enggak ada untungnya. Cuma bikin capek.”
Di belakangku, Ghania enggak henti-hentinya ngedumel. Aku enggak lagi mempedulikannya. Mungkin ini akhir dari pertemananku dengannya.
Sama seperti hubunganku dan Dafa, hubunganku dan Ghania juga dilandaskan pada kepura-puraan, dan enggak ada ketulusan di dalamnya.
**
Sejak kejadian di akhir pekan lalu, aku dan Mama jadi diam-diaman. Membuat suasana rumah jadi kurang nyaman.
Aku cuma menginap semalam di tempat Trin, karena keesokan harinya Mama dan Papa menjemputku. Meski enggan, aku enggak bisa terus-terusan di tempat Trin karena harus sekolah. Aku enggak mungkin bolos, dan ada latihan teater yang enggak bisa kutinggalkan begitu saja.
Mama meminta maaf, dan aku juga mengutarakan permintaan maafku. Namun, cuma sebatas itu.
Setidaknya, sampai hari ini, Mama enggak lagi mendesakku soal video klarifikasi.
“Baru pulang, Na?”
Aku mendapati mama ada di ruang tamu, begitu aku pulang sekolah.
“Ya, Ma. Tadi latihan teater dulu,” sahutku sambil mencium punggung tangan Mama.
“Latihannya lancar?”
Aku mengangguk. “Lumayan, sih. Masih banyak yang harus dipelajarin.”
Mama enggak lagi berkata apa-apa, membuat suasana hening di rumah ini jadi makin canggung.
“Tadi Dafa nelepon Mama, katanya kamu mau bikin video klarifikasi?”
Dafa selalu bergerak cepat. Dia enggak menyia-nyiakan kesempatan, mungkin takut aku akan berubah pikiran.
Jadi, aku mengangguk. “Aku punya ide sendiri.”
“Gimana?”
Aku memilih untuk menyimpannya rapat-rapat. “Nanti Mama juga tahu. Enggak di YouTube, sih. Mau live aja, di Instagram. Less effort.”
Ada ekspresi enggak terima di wajah Mama ketika mendengar jawabanku. Live di Instagram memang menimbulkan engagement tapi hanya di saat itu saja. Kecuali kalau ada yang niat menyimpan video itu dan menyebarkan ulang, tapi kan enggak bisa ditarik keuntungan untuk diriku. Bisa juga disimpan di feed milikku, tapi Mama enggak pernah setuju karena bisa merusak estetika.
Mama jelas pengin video itu diproduksi dengan serius untuk ditayangkan di YouTube. Dengan begitu, bisa mendulang keuntungan yang jauh lebih jelas dan terukur.
Namun, Mama sepertinya juga memilih untuk menelan ketidaksukaan itu. Mungkin ini cara terbaik, agar enggak perlu ada pertengkaran lagi di rumah ini.
Siapa juga yang mau berantem sama ibunya sendiri? Berantem sama Mama adalah hal terakhir yang kuinginkan.
“Ada kiriman baru buat endorse. Weekend ini foto, ya,” ujar Mama.
Aku mengurungkan niat untuk beranjak ke kamar, dan memutuskan untuk mengungkapkan keputusanku kepada Mama.
“Ma, ini yang terakhir, ya. Kalau udah janji, ya mau gimana. Tapi, aku enggak mau ada janji atau kontrak baru,” seruku.
Mama tampak terkejut saat mendengar ucapanku.
“Sebentar lagi aku ujian naik kelas, jadi mau dikurangi. Terus, aku juga mau putus sama Dafa. Kalau enggak dapat peran di series, enggak apa-apa. Aku juga enggak ngotot. Sekarang aku mau fokus di teater sekolah dulu. Baru nanti habis itu pikirin lagi mau lanjut atau enggak.” Aku berkata pamjang lebar.
“Kamu ngomong apa, sih?”
“Soal Trin, aku udah tahu apa yang dialaminya.”
Mama terdiam, meski raut wajahnya tampak gusar.
“Aku percaya kok kalau Mama enggak bakal ngebiarin aku mengalami hal yang sama kayak Trin, tapi aku juga enggak bisa terus-terusan didesak kayak gini. Aku tahu maksud Mama baik, tapi caranya enggak cocok denganku,” ujarku lagi.
Mama masih bungkam, tapi tidak bisa menutup-nutupi kegusarannya. Mama memijat kening, kebiasaannya setiap kali sedang berpikir.
“Enggak bisa gitu, Na. Kamu mundur, artinya sama aja kamu enggak menghargai Mama.”
Ini bukan keputusan sepihak yang terlintas begitu saja. Aku sudah memikirkannya matang-matang semenjak pulang dari kos Trin. Aku enggak bisa diam-diaman selamanya dengan Mama, dan aku juga enggak mau terus-terusan berantem sama Mama.
Cara terbaik adalah berhenti. Mungkin akan menimbulkan pertengkaran besar dengan Mama, tapi aku sudah menyiapkan diri untuk risiko itu. Papa juga sudah setuju, dan Papa akan membantu membujuk Mama.
Aku enggak sendirian, makanya aku semakin yakin dengan keputusanku.
“Bukannya enggak menghargai Mama, tapi aku udah enggak nyaman begini terus.” Aku mengelak.
“Apanya yang bikin kamu enggak nyaman?”
“Semuanya,” sahutku. “Memperlihatkan kehidupanku ke orang-orang seolah-olah hidupku menarik banget, itu bikin aku enggak nyaman. Walau cuma foto, tapi sekarang aku udah enggak enjoy. Belum lagi komentar yang aku terima. Mama juga tahu, kan, kalau banyak komentar jelek? Aku udah enggak sanggup nerima komentar itu lagi.”
Mama menatapku dengan ekspresi keras di wajahnya. “Kamu yakin? Enggak sayang? Sudah sejauh ini, lho.”
Aku mengangguk mantap.
Akhirnya, Mama menghela napas panjang. “Mama cuma mau yang terbaik buat kamu dan kakakmu, tapi kenapa kalian menganggapnya Mama terlalu memaksa?”
Aku juga tahu kalau Mama menginginkan yang terbaik buatku, tapi mungkin, baik aku atau Mama, saat ini kami enggak tahu apa yang terbaik buatku. Mungkin apa yang menurut Mama terbaik, bukan itu yang sebenarnya kubutuhkan.
Mama memaksakan diri untuk tersenyum. “Ya sudah, jangan buru-buru. Kamu cuma lagi emosi aja. Nanti kita omongin lagi kalau kamu sudah tenang.”
Tentu saja, Mama masih berharap bisa membujukku. Namun keputusanku sudah bulat.
“Aku ke kamar dulu, mau mandi.” Daripada nanti malah berantem lagi, aku memutuskan untuk menjaga jarak dulu dengan Mama.
“Terserah kamu. Kalau nanti kamu lihat Kenny atau teman-temanmu jauh lebih sukses, jangan menyesal.” Mama berkata dingin di belakangku.
Kenny atau yang lainnya, mereka enggak ada hubungannya denganku. Cukup itu saja yang kuyakini.