Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sweet Seventeen
MENU
About Us  

Alih-alih menuju meja yang ditempati Arisha, aku mendekati meja Ghania. Mumpung dia sendirian, karena ada yang ingin aku selesaikan dengannya. Sekali pun Ghania terang-terangan nunjukin permusuhan, dia tetap temanku. Kalaupun harus berakhir, setidaknya berakhir dengan baik-baik.

Ghania mendongak ketika aku meletakkan nampan berisi makan siang di atas meja. Dia langsung mendengus begitu melihatku.

“Lo kenapa, sih?” tanyaku, tanpa basa basi.

“Masih nanya?” balasnya sewot.

“Lo marah karena gue nuduh lo selingkuh sama Dafa? Tapi, itu benar, kan? Lo sendiri yang bilang kalian ciuman di belakang gue,” serbuku. Aku sudah menahan diri untuk enggak ikutan sewot, tapi tanggapan Ghania malah membuatku ikut emosi.

Ghania menatapku dengan mata melotot. “Lo enggak perlu ember begitu buat nyelametin diri lo.”

Aku mengangkat tangan, menyerah menghadapi Ghania. “Fine, lo marah, it’s okay. Enggak ada gunanya juga buat gue, kan?”

Ghania mendengkus dan mengalihkan perhatian ke makanannya.

“Asal lo tahu, marah lo salah alamat. Kenapa lo marah sama gue, tapi masih baik-baikin Dafa? Lo pikir gue enggak tahu lo masih suka komen di foto dia?” serbuku.

Bukannya mengelak, Ghania malah memasang tampang acuh tak acuh.

“Mentang-mentang sekarang lo masuk geng Kenny dan makin akrab sama Dafa, lo udah enggak perluin gue lagi? Makanya jadi kayak begini?” tuduhku.

Sekali lagi, Ghania mengangkat bahu, masih dengan tampang tak peduli yang memuakkan.

“Lo mau jadian sama Dafa? Silakan, gue enggak peduli. Asal lo tahu, hubungan gue sama dia cuma setting-an. Gue enggak pernah suka sama dia, jadi sekarang lo bebas mau deketin dia,” semburku. “Kalian sama, enggak pernah tulus, jadi cocok kalau jadian.”

Sepertinya penjelasanku kali ini menarik perhatian Ghania. Dia sudah berhenti bersikap cuek, dengan perhatian tertuju sepenuhnya kepadaku.

“Setting-an?” tanyanya.

“Ya, kenapa?”

“Lo pura-pura pacaran sama Dafa?”

Aku mengangguk, membuat riak di wajah Ghania makin menjadi-jadi.

“Lo emang enggak punya pendirian, ya. Kalau enggak suka, kenapa harus pura-pura?”

Pertanyaannya membuatku refleks tertawa. “Kayak hidup lo enggak pura-pura aja.”

“Jangan sembarangan…”

“Lo temenan sama gue tujuannya apa? Kita juga pura-pura, Ghe. Atau setidaknya dari pihak lo, karena gue enggak pernah menganggap pertemanan kita pura-pura,” semprotku sengit. “Jadi, kalau lo udah bosan temenan sama gue, gue juga mau bilang. Gue capek dimanfaatin orang kayak lo.”

Ghania menatapku dengan tatapan nyalang. “Gue juga capek temenan sama lo.”

“Baguslah, jadi kita enggak perlu pura-pura lagi.” Aku bangkit berdiri dan mengangkat nampan berisi makanan. “Semoga lo cepat sadar, ya. Hidup kayak gini enggak ada untungnya. Cuma bikin capek.”

Di belakangku, Ghania enggak henti-hentinya ngedumel. Aku enggak lagi mempedulikannya. Mungkin ini akhir dari pertemananku dengannya.

Sama seperti hubunganku dan Dafa, hubunganku dan Ghania juga dilandaskan pada kepura-puraan, dan enggak ada ketulusan di dalamnya.

**

 

Sejak kejadian di akhir pekan lalu, aku dan Mama jadi diam-diaman. Membuat suasana rumah jadi kurang nyaman.

Aku cuma menginap semalam di tempat Trin, karena keesokan harinya Mama dan Papa menjemputku. Meski enggan, aku enggak bisa terus-terusan di tempat Trin karena harus sekolah. Aku enggak mungkin bolos, dan ada latihan teater yang enggak bisa kutinggalkan begitu saja.

Mama meminta maaf, dan aku juga mengutarakan permintaan maafku. Namun, cuma sebatas itu.

Setidaknya, sampai hari ini, Mama enggak lagi mendesakku soal video klarifikasi.

“Baru pulang, Na?”

Aku mendapati mama ada di ruang tamu, begitu aku pulang sekolah.

“Ya, Ma. Tadi latihan teater dulu,” sahutku sambil mencium punggung tangan Mama.

“Latihannya lancar?”

Aku mengangguk. “Lumayan, sih. Masih banyak yang harus dipelajarin.”

Mama enggak lagi berkata apa-apa, membuat suasana hening di rumah ini jadi makin canggung.

“Tadi Dafa nelepon Mama, katanya kamu mau bikin video klarifikasi?”

Dafa selalu bergerak cepat. Dia enggak menyia-nyiakan kesempatan, mungkin takut aku akan berubah pikiran.

Jadi, aku mengangguk. “Aku punya ide sendiri.”

“Gimana?”

Aku memilih untuk menyimpannya rapat-rapat. “Nanti Mama juga tahu. Enggak di YouTube, sih. Mau live aja, di Instagram. Less effort.”

Ada ekspresi enggak terima di wajah Mama ketika mendengar jawabanku. Live di Instagram memang menimbulkan engagement tapi hanya di saat itu saja. Kecuali kalau ada yang niat menyimpan video itu dan menyebarkan ulang, tapi kan enggak bisa ditarik keuntungan untuk diriku. Bisa juga disimpan di feed milikku, tapi Mama enggak pernah setuju karena bisa merusak estetika.

Mama jelas pengin video itu diproduksi dengan serius untuk ditayangkan di YouTube. Dengan begitu, bisa mendulang keuntungan yang jauh lebih jelas dan terukur.

Namun, Mama sepertinya juga memilih untuk menelan ketidaksukaan itu. Mungkin ini cara terbaik, agar enggak perlu ada pertengkaran lagi di rumah ini.

Siapa juga yang mau berantem sama ibunya sendiri? Berantem sama Mama adalah hal terakhir yang kuinginkan.

“Ada kiriman baru buat endorse. Weekend ini foto, ya,” ujar Mama.

Aku mengurungkan niat untuk beranjak ke kamar, dan memutuskan untuk mengungkapkan keputusanku kepada Mama.

“Ma, ini yang terakhir, ya. Kalau udah janji, ya mau gimana. Tapi, aku enggak mau ada janji atau kontrak baru,” seruku.

Mama tampak terkejut saat mendengar ucapanku.

“Sebentar lagi aku ujian naik kelas, jadi mau dikurangi. Terus, aku juga mau putus sama Dafa. Kalau enggak dapat peran di series, enggak apa-apa. Aku juga enggak ngotot. Sekarang aku mau fokus di teater sekolah dulu. Baru nanti habis itu pikirin lagi mau lanjut atau enggak.” Aku berkata pamjang lebar.

“Kamu ngomong apa, sih?”

“Soal Trin, aku udah tahu apa yang dialaminya.”

Mama terdiam, meski raut wajahnya tampak gusar.

“Aku percaya kok kalau Mama enggak bakal ngebiarin aku mengalami hal yang sama kayak Trin, tapi aku juga enggak bisa terus-terusan didesak kayak gini. Aku tahu maksud Mama baik, tapi caranya enggak cocok denganku,” ujarku lagi.

Mama masih bungkam, tapi tidak bisa menutup-nutupi kegusarannya. Mama memijat kening, kebiasaannya setiap kali sedang berpikir.

“Enggak bisa gitu, Na. Kamu mundur, artinya sama aja kamu enggak menghargai Mama.”

Ini bukan keputusan sepihak yang terlintas begitu saja. Aku sudah memikirkannya matang-matang semenjak pulang dari kos Trin. Aku enggak bisa diam-diaman selamanya dengan Mama, dan aku juga enggak mau terus-terusan berantem sama Mama.

Cara terbaik adalah berhenti. Mungkin akan menimbulkan pertengkaran besar dengan Mama, tapi aku sudah menyiapkan diri untuk risiko itu. Papa juga sudah setuju, dan Papa akan membantu membujuk Mama.

Aku enggak sendirian, makanya aku semakin yakin dengan keputusanku.

“Bukannya enggak menghargai Mama, tapi aku udah enggak nyaman begini terus.” Aku mengelak.

“Apanya yang bikin kamu enggak nyaman?”

“Semuanya,” sahutku. “Memperlihatkan kehidupanku ke orang-orang seolah-olah hidupku menarik banget, itu bikin aku enggak nyaman. Walau cuma foto, tapi sekarang aku udah enggak enjoy. Belum lagi komentar yang aku terima. Mama juga tahu, kan, kalau banyak komentar jelek? Aku udah enggak sanggup nerima komentar itu lagi.”

Mama menatapku dengan ekspresi keras di wajahnya. “Kamu yakin? Enggak sayang? Sudah sejauh ini, lho.”

Aku mengangguk mantap.

Akhirnya, Mama menghela napas panjang. “Mama cuma mau yang terbaik buat kamu dan kakakmu, tapi kenapa kalian menganggapnya Mama terlalu memaksa?”

Aku juga tahu kalau Mama menginginkan yang terbaik buatku, tapi mungkin, baik aku atau Mama, saat ini kami enggak tahu apa yang terbaik buatku. Mungkin apa yang menurut Mama terbaik, bukan itu yang sebenarnya kubutuhkan.

Mama memaksakan diri untuk tersenyum. “Ya sudah, jangan buru-buru. Kamu cuma lagi emosi aja. Nanti kita omongin lagi kalau kamu sudah tenang.”

Tentu saja, Mama masih berharap bisa membujukku. Namun keputusanku sudah bulat.

“Aku ke kamar dulu, mau mandi.” Daripada nanti malah berantem lagi, aku memutuskan untuk menjaga jarak dulu dengan Mama.

“Terserah kamu. Kalau nanti kamu lihat Kenny atau teman-temanmu jauh lebih sukses, jangan menyesal.” Mama berkata dingin di belakangku.

Kenny atau yang lainnya, mereka enggak ada hubungannya denganku. Cukup itu saja yang kuyakini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Smitten With You
13340      2314     10     
Romance
He loved her in discreet… But she’s tired of deceit… They have been best friends since grade school, and never parted ways ever since. Everything appears A-OK from the outside, the two are contended and secure with each other. But it is not as apparent in truth; all is not okay-At least for the boy. He’s been obscuring a hefty secret. But, she’s all but secrets with him.
Time and Tears
233      183     1     
Romance
Rintik, siswi SMA yang terkenal ceria dan berani itu putus dengan pacarnya. Hal berat namun sudah menjadi pilihan terbaik baginya. Ada banyak perpisahan dalam hidup Rintik. Bahkan temannya, Cea harus putus sekolah. Kisah masa remaja di SMA penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Tak disangka pula, pertemuan dengan seorang laki-laki humoris juga menambah bumbu kehidupan masa remajanya. Akankah Ri...
Kamu, Histeria, & Logika
61987      7134     58     
Romance
Isabel adalah gadis paling sinis, unik, misterius sekaligus memesona yang pernah ditemui Abriel, remaja idealis yang bercita-cita jadi seorang komikus. Kadang, Isabel bisa berpenampilan layaknya seorang balerina, model nan modis hingga pelayat yang paling berduka. Adakalanya, ia tampak begitu sensitif, tapi di lain waktu ia bisa begitu kejam. Berkat perkenalannya dengan gadis itu, hidup Abriel...
Kelana
611      458     0     
Romance
Hidup adalah perjalanan tanpa peta yang pasti, di mana setiap langkah membawa kita menuju tujuan yang tak terduga. Novel ini tidak hanya menjadi cerita tentang perjalanan, tetapi juga pengingat bahwa terbang menuju sesuatu yang kita yakini membutuhkan keberanian dengan meninggalkan zona nyaman, menerima ketidaksempurnaan, dan merangkul kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Selam...
God, why me?
187      152     5     
True Story
Andine seorang gadis polos yang selalu hidup dalam kerajaan kasih sayang yang berlimpah ruah. Sosoknya yang selalu penuh tawa ceria akan kebahagiaan adalah idaman banyak anak. Dimana semua andai akan mereka sematkan untuk diri mereka. Kebahagiaan yang tak bias semua anak miliki ada di andine. Sosoknya yang tak pernah kenal kesulitan dan penderitaan terlambat untuk menyadari badai itu datang. And...
Sendiri diantara kita
905      557     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
Good Art of Playing Feeling
403      297     1     
Short Story
Perkenalan York, seorang ahli farmasi Universitas Johns Hopskins, dengan Darren, seorang calon pewaris perusahaan internasional berbasis di Hongkong, membuka sebuah kisah cinta baru. Tanpa sepengetahuan Darren, York mempunyai sebuah ikrar setia yang diucapkan di depan mendiang ayahnya ketika masih hidup, yang akan menyeret Darren ke dalam nasib buruk. Bagaimana seharusnya mereka menjalin cinta...
Asa
4656      1386     6     
Romance
"Tentang harapan, rasa nyaman, dan perpisahan." Saffa Keenan Aleyski, gadis yang tengah mencari kebahagiaannya sendiri, cinta pertama telah di hancurkan ayahnya sendiri. Di cerita inilah Saffa mencari cinta barunya, bertemu dengan seorang Adrian Yazid Alindra, lelaki paling sempurna dimatanya. Saffa dengan mudahnya menjatuhkan hatinya ke lubang tanpa dasar yang diciptakan oleh Adrian...
Let me be cruel
4601      2582     545     
Inspirational
Menjadi people pleaser itu melelahkan terutama saat kau adalah anak sulung. Terbiasa memendam, terbiasa mengalah, dan terlalu sering bilang iya meski hati sebenarnya ingin menolak. Lara Serina Pratama tahu rasanya. Dikenal sebagai anak baik, tapi tak pernah ditanya apakah ia bahagia menjalaninya. Semua sibuk menerima senyumnya, tak ada yang sadar kalau ia mulai kehilangan dirinya sendiri.
TANPA KATA
18      17     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.