Ansel menatapku dengan sebelah alis terangkat, menunggu jawabanku.
Setelah satu tarikan napas panjang, aku mengangguk. “Mama mau gue bikin video klarifikasi dan minta maaf sama Dafa.”
“Lo mau?”
Sontak aku mengernyit dan menggeleng. “Makanya gue kabur daripada di rumah, berantem sama Mama. Mana ada Dafa lagi.”
Ansel menumpukan dagu di atas bola basket dan memusatkan perhatiannya kepadaku. “Videonya kayak apa?”
Benakku kembali memutar ulang ide konyol yang disampaikan Mama. Namun, di mata Mama ide itu sangat brilian. “Gue menyesal, mengakui kalau gue selingkuh dari Dafa, tapi gue cintanya cuma sama dia. Lo yang salah karena sengaja ngerayu gue.” Aku mendengkus. “Terus, vlog lain, gue nyamperin Dafa gitu, deh. Kan sebentar lagi dia ulang tahun, jadi gue mau bikin surprise sekaligus minta Dafa balikan. Dafa juga bakal bikin video yang sama dari sudut pandang dia.”
“Sebanyak itu?” Ansel menatalku geli.
“Makin banyak, adsense makin gede.”
Ansel mendengus. “Norak.”
Satu kata itu sukses membuatku tertawa kecil. “Kalau enggak norak, enggak bakal viral.”
Ansel beranjak dari posisinya. Kini, dia duduk di pinggir tempat tidur hingga jaraknya denganku semakin dekat. Ada kilat usil di matanya, membuatku jadi waspada akan apa yang disampaikannya.
“Gue juga harus bikin klarifikasi, enggak? Di Instagram aja, ya. Kan gue enggak punya YouTube. Ntar gue ngaku, deh, gue jadi selingkuhan terus mau rebut lo dari Dafa.” Ansel terkekeh.
Aku tahu dia bercanda, tapi candaan itu enggak membuatku tertawa. “Becandaan lo enggak lucu.”
Ansel berhenti tertawa dan memasang wajah serius. “Gue enggak bisa tinggal diam lihat dia mojokin lo kayak gini.”
“Dia juga mojokin lo, An,” bantahku.
“Who cares? Orang enggak kenal gue. Paling cuma teman sekolah, tapi itu juga enggak penting. Beda sama lo. Jujur, deh, lo dihujat orang yang enggak lo kenal, kan?” tanya Ansel dengan tatapan menyelidik.
Perlahan, aku menganggukkan kepala.
“Lo boleh bilang kalau ini karena nyokap lo, tapi deep down, lo mau seriusin dunia ini. Lo suka banget akting, dan mau jadi aktris yang terlibat di proyek beneran. Terkenal di Instagram cuma batu loncatan,” beber Ansel.
He knows me so well. Sampai-sampai, apa yang selama ini tersimpan rapat-rapat di hatiku pun diketahuinya.
“Jadi, ini penting buat lo. Dia udah mencoreng nama lo, artinya lo harus ngebersihin nama lo.”
“Enggak dengan idenya Mama.”
“Ada cara lain?”
Tentu saja ada. Aku bisa jujur dan memberitahu yang sebenarnya. Hubunganku dan Dafa cuma kebohongan. Semua yang terjadi antara aku dan dia cuma setting-an.
Namun, kejujuran itu kedengeran sangat mengerikan. Dafa bisa membalas dengan konten yang membuatku makin terpojok. Di sisi lain, kejujuran itu mungkin saja malah membuatku menggali kuburan sendiri.
“I don’t know,” ujarku akhirnya. Aku memberanikan diri untuk menatap Ansel. “Sorry, ya. Lo enggak diledekin temen sekolah lo, kan?”
“Diledekin, sih. Udah punya pacar kayak Nashila, eh selingkuhannya enggak tanggung-tanggung. Sekelas Karianna.” Ansel kembali bercanda.
“An, enggak lucu,” bantahku. “Nashila marah enggak?”
Ansel enggak langsung menjawab. Dari raut wajahnya, aku bisa melihat Ansel tengah mempertimbangkan sesuatu.
“Dia sempat nanya, sih. Gue bilang apa adanya.”
Inilah kebiasaan Ansel yang membuatku geregetan. Dia cenderung suka menyembunyikan keadaan yang sebenarnya dan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Aku enggak yakin hubungannya dan Nashila baik-baik aja.
“Jangan sampai kalian putus karena gue, ya.”
“Enggak usah pikirin Nash. Pikirin diri lo aja,” sergah Ansel pelan, tapi terdengar begitu menusuk.
“Lo sendiri gimana?”
Ansel mengibaskan tangannya di depanku. “Biarin aja, enggak ngaruh sama gue. Yang gue tahu, gue enggak selingkuh dan lo juga enggak. Kita sahabatan sejak kecil dan kita enggak perlu ngasih tahu semua orang soal persahabatan kita. Apa gunanya?”
“Ada gunanya, biar orang enggak salah paham,” tukasku.
“Lo yakin, dengan ngasih tahu, pendapat orang-orang akan berubah? Malah, gue yakin pacar lo akan makin drama. Bikin vlog lain, dengan narasi lain. Lama-lama lo sendiri yang capek.”
I got his point. Dafa enggak akan terima kalau efeknya malah merugikannya. Dia pasti akan menyetir keadaan agar selalu berpihak kepadanya. Lama-lama, aku cuma akan capek sendiri meladeni dramanya yang enggak ada habisnya itu.
Sekali lagi, aku melirik Ansel. Dia begitu tenang, berbanding terbalik denganku. Di detik ini, ingin rasanya mendapatkan sedikit saja ketenangan seperti Ansel.
“Kok lo bisa setenang ini, sih?”
“Karena aromaterapi nyokap gue mungkin.”
“Ansel!” sergahku, karena enggak mau bercanda.
Ansel beranjak dari tempatnya dan duduk di pinggir meja belajar. Dia memutar kursi yang kududuki hingga berhadapan dengannya. Dari posisi ini, dia begitu menjulang di depanku, membuatku terpaksa mendongak.
“Gini, ya, An. Gue enggak hidup buat orang lain. Gue enggak peduli apa kata orang, termasuk followers gue yang enggak sampai dua ribu itu. Menurut lo kenapa gue suka street photography?”
“Karena real?” Aku balas bertanya.
“Yup, real dan apa adanya. Stage photo itu bagus tapi mengada-ada. Dibikin buat menyenangkan orang lain, entah klien atau follower. Kalau street photography, yang senang ya gue. Dapat momen bagus, apalagi momen langka yang cuma terjadi beberapa detik, itu bikin gue puas. It’s priceless.” Ansel menjawab panjang lebar. “Jadi, kenapa lo enggak mencari tahu hal apa yang priceless dan menyenangkan? Buat lo, bukan buat Mama Nica, Dafa, sponsor, atau jutaan followers lo itu.”
“Gue enggak tahu, An.”
“Let’s find out.”
Aku menghela napas panjang. “How?”
Ansel melepaskan genggaman tangannya. Dalam hari, aku meneriakkan protes, enggak mau dia melepaskan genggamannya itu.
Mataku mengikuti Ansel yang merogoh ke dalam salah satu laci di meja belajarnya. Dia mengeluarkan sekotak kartu, yang dulu pernah diperlihatkannya kepadaku sewaktu di Bali.
“Gue pernah cerita soal kartu ini. Sejak Papa meninggal, sulit buat gue bisa cerita sama orang. Mama aja butuh waktu lama buat membujuk gue mau cerita, jadi enggak nyimpan trauma sendiri. Lama-lama jadi kebiasaan, karena sampai sekarang gue enggak nyaman terbuka sama orang. Kecuali lo, karena lo kenal banget gue gimana, jadi gue aman cerita apa pun karena enggak ada judgement dari lo. Nah, kartu ini ngebantu gue.”
Aku menatap Ansel dan tumpukan kartu itu berganti-gantian. “How?”
Ansel mengocok kartu itu, dan menarik salah satunya. “Gue ambil kartu random dan jawab pertanyaan yang ada di kartu itu. Sejujurnya. Cuma gue aja yang dengerin jawaban itu, jadi buat apa bohong? Ngomong sama diri sendiri membantu gue buat jujur. Jadi, kalau lagi ada masalah, gue lari ke kartu ini.”
Ansel meletakkan tumpukan kartu itu di atas tanganku. Aku menatap kartu itu dengan beribu perasaan berkecamuk di benakku.
“Kapan terakhir kali lo benar-benar ngobrol sama diri lo?”
Aku enggak langsung menjawab pertanyaan itu, karena enggak tahu jawabannya. Mungkin saja, aku enggak pernah berdialog dengan diriku sendiri.
Detik ini, aku tahu apa yang harus kulakukan. “Gue boleh pinjam?”
Ansel mengangguk. “Lo bisa simpan kartu ini sampai kapan aja. Semoga lo bisa nemuin jawaban yang lo cari.”
Aku menatap tumpukan kartu itu. Kelihatannya mungkin sepele, cuma setumpuk kartu dengan pertanyaan random. Belum tentu juga bisa membantu.
But, why not?
Ansel bangkit berdiri dan meninggalkanku yang masih terpaku pada kartu itu. Aku mengangkat wajah, dan mengikuti sosoknya yang menjauh.
“An,” panggilku, membuat Ansel berhenti dan berbalik. “Gue boleh peluk lo?”
Ansel tersenyum lembut. “You always have my shoulder to cry on.”
Aku menghambur ke pelukannya. Ansel membalas pelukanku, mengusap punggungku, mengalirkan ketenangan ke dalam diriku.
“Gue cuma butuh dipeluk, An.”