Aku berjalan mondar mandir di kamar, berharap dengan membiarkan tubuhku aktif, otakku bisa teralihkan. Namun, yang ada malah makin mumet.
Rasanya kamarku kian menyempit hingga aku merasa terjebak. Enggak ada tempat untuk melarikan diri karena keempat sisi dinding ini seolah siap melumatku hidup-hidup.
Keluar kamar juga bukan pilihan bijak. Samar-samar, aku mendengar suara Mama berbicara di telepon. Mungkin, dengan klien atau brand yang sudah kepalang janji membayar untuk endorsement.
Kelihatannya memang sepele. Cuma dicap selingkuh, kenapa malah pusing? Namanya gosip ya wajar kalau heboh, tapi umurnya enggak bakalan bertahan lama. Setelah ini, bakalan ada gosip baru dan aku berubah jadi berita kemarin sore alias enggak dipedulikan lagi.
Bagi sebagian orang, mereka perlu gosip. Dengan begitu, namanya selalu berada dalam radar. Bad publicity still a publicity. Yang penting selalu diomongin, enggak peduli karena berita jelek sekalipun.
Satu hal yang sangat penting, selalu dapat panggung. Kalau enggak bisa, ya harus bisa cari panggung sendiri, apa pun caranya.
Dafa is one of them. Berhubung video kemarin viral, jadi harus dimanfaatin. Jadilah dia menempatkan diri sebagai pacar yang tersakiti, dengan begitu dia bisa menjaring semakin banyak penggemar. Aku yakin Dafa sudah merencanakan jauh soal hal ini. Mungkin saja dia sudah tanda tangan kontrak buat muncul di acara gosip di tv?
Perutku mendadak mual. Kemungkinan itu sangat besar, karena Dafa sering sesumbar kalau dia enggak masalah jadi pemberitaan. Sejelek apa pun, yang penting masuk berita. Mama pernah ingin membuatku jadi seperti itu, tapi setidaknya Mama masih memiliki kesadaran di detik-detik terakhir. Jadinya, Mama serba salah. Aku yakin Mama ingin total, kalau bisa ikutan seperti teman-temanku yang enggak peduli image, yang penting terkenal. Namun, Mama masih punya rem yang menahannya untuk enggak meleburkan diri terlalu jauh.
Selama ini Mama cukup kompak dengan Dafa, tapi permasalahan ini membuat Dafa dan Mama jadi berjarak. Dafa menyelamatkan diri sendiri, membuat video demi kepentingannya sendiri dan enggak peduli apakah merugikanku atau enggak.
Aku tersentak ketika samar-samar menangkap Mama menyerukan nama Dafa. Aku membuka pintu kamar dan mengintip keluar.
Enggak salah lagi, itu suara Dafa.
Mau ngapain dia ke sini?
Aku menajamkan pendengaran, berusaha menguping pembicaraan mereka.
Dugaanku salah, Mama dan Dafa bukannya berjarak, malah merencanakan konten tandingan.
Perutku tambah melilit ketika mendengar percakapan itu. Jadi, konten aku nangis-nangis minta maaf ke Dafa aja enggak cukup. Mama dan Dafa merencanakan konten lain yang berisi aku mengajak Dafa balikan. Tentu saja akan diproduksi dari dua sudut pandang sehingga bisa ditayangkan di channel milikku dan juga Dafa.
“Mumpung masih hot, Tan. Milking it ‘till it dry.” Dafa terkekeh.
Aku menutup pintu kamar. Not in million years aku mau ikutan di dalam konspirasi itu.
Aku beralih ke jendela dan membukanya. Lama-lama di sini bisa membuatku gila. Aku memanjat jendela kamar, seperti yang selalu dilakukan Ansel di malam ulang tahunku. Aku mendarat di teras tanpa kendala, lalu menutup jendela pelan-pelan.
Sambil merunduk, aku berusaha bersembunyi di balik jejeran bunga di halaman samping agar enggak terlihat oleh Mama dan Dafa. Cukup sulit berlari sambil merunduk.
Tadinya aku mau bersepeda, tapi aku enggak berani ambil risiko ketahuan Mama. Akhirnya, begitu tiba di depan rumah, aku berlari menuju rumah Ansel.
Dengan napas ngos-ngosan, aku tiba di rumah Ansel. Tante Silvia yang sedang menyiram bunga menghentikan kegiatannya begitu melihatku.
“Kamu kenapa?”
Aku membungkuk dan bertumpu ke lutut, berusaha menetralkan napas. Tante Silvia berdiri di sampingku, mengusap punggungku.
“Kamu dari mana?” tanya Tante Sylvia.
“Rumah,” sahutku singkat.
“Kenapa ngos-ngosan begini?”
“Kabur dari Mama,” sahutku lagi, yang disambut tawa kecil Tante Silvia.
“Kaburnya kurang jauh. Mama pasti tahu kamu di sini.”
Begitu Mama enggak menemukanku di kamar, dan melihat jendela kamarku yang enggak tertutup sempurna, Mama pasti langsung menebak keberadaanku.
Sejak dulu, kalau kabur dari rumah, aku pasti kabur ke rumah Ansel.
“Ansel ada, Tan?”
Dengan dagu, Tante Silvia menunjuk ke dalam rumah. “Ada di kamarnya. Lagi bete kayaknya.”
Refleks aku meringis. Lidahku terasa gatal untuk bertanya, apa Tante Silvia tahu soal videonya Dafa? Namun, aku mengurungkan niat.
Tante Silvia sudah kembali sibuk dengan tanamannya ketika aku masuk ke dalam rumah dan menuju kamar Ansel di lantai dua.
Aku sangat mengenali pintu berwarna biru itu. Ada gantungan bertuliskan nama Ansel Adelard di sana, salah satu tugas sewaktu SD dan masih bertahan di pintu sebagai penanda kamar Ansel.
Perlahan, aku mengetuk pintu kamar. Dari dalam, aku mendengar Ansel menyerukan kata masuk. Aku membuka pintu perlahan dan melongokkan kepala, sekadar mengintip, sebelum memberanikan diri memasuki kamar.
“An,” panggilku.
Ansel sedang tidur-tiduran sambil bermain bola basket dan terkejut begitu melihatku. Dia refleks melompat duduk.
“Boleh masuk enggak?” tanyaku.
“Ya, bolehlah.”
Aku membuka pintu kian lebar dan memasuki kamar Ansel. Dulu, aku sering main di sini, meski enggak sesering Ansel main di kamarku.
Di salah satu sudut kamar ada tenda kecil. Tenda itu sudah ada sejak lama. Tenda itu jadi tempat petualanganku dengan Ansel. Kami pernah berpura-pura tersesat di hutan dan terpaksa tidur di tenda atau pura-pura jadi raja dan ratu di kerajaan antah berantah.
“Jadi?” tanya Ansel. Dia bersila di atas tempat tidur sambil memangku bola basket, sementara aku mengambil tempat di meja belajarnya. Aku memutar kursi sehingga berhadapan dengannya. “Nyokap lo udah punya ide?”
Aku menutup mata, dengan perut yang kembali melilit saat teringat konspirasi yang dibuat oleh Mama dan Dafa.