Seharusnya aku membuat PR, tapi di meja belajarku ada setumpuk kartu. Aku terdiam di tempat, menatap tanpa berkedip ke arah tumpukan kartu.
Aku mengocok kartu itu dan meletakkannya di atas meja. Perlahan, aku menarik kartu dari tumpukan paling atas.
“Apa hal yang paling kamu takuti di dunia ini?
Ada banyak hal yang kutakuti. Aku takut enggak bisa ketemu Papa lagi, karena pekerjaannya sebagai pilot sangat berisiko. Aku takut enggak bisa lagi temenan sama Ansel setelah kuliah dan tinggal di kota berbeda. Aku takut Mama makin mendesakku dan membuatku menjauhkan diri darinya.
Namun, aku enggak punya sedikit pun ketakutan akan hal yang kualami saat ini. Aku enggak takut kalaupun jutaan followers Dafa menghujatku, mencapku sebagai tukang selingkuh. Aku juga enggak takut kehilangan followers, malah sama sekali enggak peduli. Kalau ada brand yang marah dan minta ganti rugi, aku siap menanggung risiko.
Mungkin, jalanku ada di teater.
Ya, aku takut kalau kehadiranku di teater malah bikin kacau dan nantinya membuat persepsi orang kalau aku enggak bisa akting semakin menjadi-jadi. Artinya, aku semakin kesulitan mewujudkan impianku.
Sebaris senyum terbit di wajah ketika aku menyingkirkan kartu tersebut, dan beranjak ke kartu kedua.
“Kalau kamu hanya punya waktu hidup satu tahun lagi, apakah kamu akan mengubah cara hidup kamu sekarang?”
“What? Memangnya ada yang pernah mikirin cuma punya waktu setahun lagi?” tanyaku pada diriku sendiri.
Jangankan setahun lagi, sekalipun usiaku masih panjang, aku enggak mau menjalani hidup kayak gini. Hidup disetir oleh orang lain. Baik itu Mama atau ekspektasi yang diberikan oleh followers-ku, seolah-olah mereka punya hak buat nentuin aku harus gimana. Padahal, kenal juga enggak.
Aku menatap lemari. Di sana ada banyak barang yang kudapatkan cuma-cuma dari hasil kerjasama dengan brand. Baju dari online shop kecil hingga tas dari brand ternama, semuanya ada di sana.
Bareng Ansel rasanya tulus.
Sementara bersama Dafa, semuanya sudah diatur sebagai sebuah sandiwara. Enggak ada ketulusan.
Tekadku sudah bulat, aku enggak mau melanjutkan hubungan pura-pura ini. Mungkin, kalau ada hal positif yang bisa kutarik dari masalah ini, aku punya alasan kuat untuk putus dari Dafa.
Aku menarik kartu ketiga, dan tertegun saat membacanya.
“Anggap ini panggilan telepon terakhirmu, siapa yang akan kamu hubungi dan apa yang akan kamu sampaikan?”
Tanganku terulur mengambil handphone. Rasanya seperti ada yang mendorongku untuk menghubungi satu nomor.
“An…”
Senyumku terkembang saat mendengar suara Ansel di seberang sana.
“Gue lagi jawab pertanyaan di kartu lo. Salah satunya, siapa yang akan gue telepon?”
“Lo nelepon gue,” tukas Ansel.
“Yes.”
“So?”
“So … gue mau jujur.” Aku menelan ludah. Ini terlalu tiba-tiba, tapi aku tahu, kalau bukan sekarang, aku enggak akan pernah mendapatkan keberanian ini lagi. So, go big or go home.
Aku berdehem, sementara di seberang sana Ansel hanya diam.
“Soal gue dan Dafa sebenarnya enggak punya hubungan apa-apa.”
Rasanya seperti ada yang mengangkat batu berton-ton dari pundakku.
“Maksud lo?”
“Itu semua cuma setting-an,” jawabku.
“Hah?”
“Lo boleh ketawa kalau mau,” sergahku.
“Well, gue bingung.”
Aku menghela napas panjang, sebelum mengungkapkan semuanya. “Kata Mama, Dafa bisa bawa keuntungan buat gue. Enggak salah, sih, karena followers gue nambah drastis sejak jadian sama Dafa. Walaupun konten YouTube isinya jadi gue dan Dafa terus karena demand tinggi. So, yeah. Gue enggak suka sama Dafa. Semuanya bohong.”
Di seberang sana, Ansel enggak berkomentar apa-apa. Keterdiaman itu membuatku jadi deg-degan. Bagaimana kalau Ansel menganggapku konyol?
“Gue bego banget ya, An?” tanyaku.
“Lo memang selalu nurut sama nyokap, tapi buat hal ini … enggak tahu, ya, An. Buat gue, lo konyol.”
Konyol masih terdengar sopan.
“Lo boleh bilang gue bego.”
Ansel tertawa kecil. “Gue enggak mungkin bilang lo bego, karena gue juga bego kalau gitu.”
Ucapannya membuatku tertegun. Aku sama sekali enggak mengerti maksud di baliknya. Namun, saat aku mengatakan kebingungan, Ansel malah mengalihkan percakapan.
“Jadi, lo mau putus dari Dafa meski sebenarnya kalian enggak punya hubungan?”
“Ya,” sahutku. “Gue capek sama drama ini. Lo benar, lama-lama gue jadi enggak kenal siapa gue sebenarnya? Apa yang gue mau? Karena gue biarin orang lain menyetir hidup gue, sekalipun itu nyokap gue sendiri.”
“Itu enggak bakalan mudah, kan?”
Aku mengangguk, sekalipun Ansel enggak melihatnya.
“You know that I always got your back.”
Aku tersenyum. “Thanks, An.”
“Ambil satu kartu lagi, gue mau dengar pertanyaannya,”
Aku meletakkan handphone di atas meja dan menekan tombol loudspeaker. Setelahnya, aku menarik salah satu kartu secara acak.
Butuh waktu beberapa detik untuk mencerna pertanyaan di kartu itu.
“An, apa pertanyaannya?” desak Ansel.
Aku menelan ludah. “Apa yang ingin kamu sampaikan kepada orang yang kamu sayang?”
Di seberang sana, Ansel tertawa kecil. “Anggap gue orang yang lo sayang, apa yang pengin lo bilang?”
Aku enggak membutuhkan pengandaian. Karena sebenarnya, aku memang sayang Ansel.
“Gue sayang lo,” bisikku pelan.
Ansel mungkin menganggap cuma permainan, tapi bagiku, ini kejujuran yang sebenarnya.