Rumahku kayak zona perang. Begitu aku tiba di rumah, semua orang terlihat heboh. Apalagi Mama, seakan-akan saat ini sedang ada zombie outbreak yang mengakibatkan munculnya kepanikan masal.
Mama pasti sudah menonton video Dafa. Pasti saat ini Mama sudah punya ide untuk menyelamatkan namaku dari public humiliation. Bagi Mama, image itu nomor satu. Jadi, Mama enggak akan tinggal diam melihatku dipermalukan oleh Dafa.
Terlebih ini Dafa, yang selama ini jadi unofficial partner in crime Mama.
“Ma…”
“Ansel, kamu mending pulang aja, ya. Jangan ke sini dulu. Kalau bisa jangan bareng Anna dulu selama beberapa hari ke depan sampai masalahnya clear.” Mama memotong ucapanku. Mama melewatiku dan menghampiri Ansel, lalu menarik lengannya menuju pintu.
Ansel cuma bisa pasrah mengikuti perkataan Mama.
“No,” jeritku dan menghadang mereka. “An, lo di sini aja.”
Mama menatapku dengan ekspresi keras, siap memarahiku saat ini juga.
“Ma, Ansel juga ketimpa masalah karena Dafa.”
“Ansel memang ketimpa masalah, itu karena kalian bikin Dafa salah paham. Makanya Mama minta Ansel buat menjauh dulu sampai suasana kondusif lagi,” balas Mama.
Itu ide paling konyol. Kalau mau masalah ini kelar, aku harus menyelesaikannya bareng Ansel. Ansel enggak seharusnya ikut terlibat dalam masalah ini. Dia enggak pernah cari masalah. Ansel enggak pernah cari gara-gara. Dia sebisa mungkin menghindar dari sorotan. Namun sekarang dia ketimpa masalah karena Dafa yang sengaja mencari gara-gara
“Nyokap lo benar. Gue balik dulu, ya.”
Melihat Ansel keluar dari rumahku, membuatku jadi kalut. Aku mengejarnya, sekalipun menimbulkan teriakan protes dari Mama.
“An, sorry.”
Ansel tersenyum, senyum lembut yang biasanya selalu bisa menenangkanku.
“Nyokap lo benar. Kalau ada yang lihat gue di sini, lihat gue deket-deket lo, bisa makin kencang gosipnya.” Ansel berusaha menenangkanku.
“Tapi … kan …”
“Lo teman gue, An. Kita udah temenan lama, masalah ini enggak akan bikin lo berhenti jadi teman gue, kan?” potongnya.
“Masalah ini enggak bikin lo berhenti jadi teman gue, kan?” Aku mengembalikan pertanyaan itu.
Ansel tertawa. “Ya enggaklah, gila apa. Lo teman gue, terserah orang mikirnya gimana. Nyokap lo pasti udah punya ide buat perbaikin nama lo, kalau ada yang bisa gue lakuin, gue akan bantu.”
“Janji?”
Sekali lagi Ansel tertawa. “Janji. Sejak ulang tahun ke-tujuh, gue selalu nepatin janji sama lo. Kali ini pun sama, gue janji akan bantuin.”
“Sekalipun Dafa bakal makin drama?”
Ansel berhenti tertawa dan menatapku serius. “Sekalipun pacar lo berkoar-koar jadi korban atau orang-orang menuduh gue jadi bajingan paling berengsek yang ngerusak hubungan orang lain, gue pasti bakal bantuin lo.”
Ada rasa tenang mengisi hatiku. Aku tahu, Ansel selalu memegang janjinya. Dia temanku. Kejadian ini enggak akan membuatnya meninggalkanku. Jadi, aku melepas kepergian Ansel sampai mobilnya menghilang di balik belokan jalan.
Setelah enggak ada yang bisa kulakukan lagi, aku kembali menemui Mama di dalam rumah.
“Mama udah punya konsep buat nyelesaiin masalah ini,” ujar Mama tanpa basa basi. “Kita harus bikin video tandingan.”
An eye for an eye.
Video sebagai balasan untuk video Dafa.
Aku mengangguk, kali ini satu suara dengan Mama.
“Isinya kamu mengaku salah dan minta maaf sama Dafa. Kalau perlu sampai nangis. Bilang kalau kamu enggak ada maksud buat selingkuh. Ini salahnya Ansel dan kamu enggak enak karena dia temanmu. Tapi Dafa malah salah paham, kamu enggak selingkuh. Kamu sayangnya cuma sama Dafa.” Mama berkata panjang lebar.
Selama sepersekian detik, aku terpana mendengar ucapan Mama.
“Orang-orang bisa terima kalau kamu mengaku salah, tapi jangan sepenuhnya terima ini salahmu. Makanya, Ansel pilihan yang pas. Narasinya cocok, gampang diterima.” Mama melanjutkan.
Apa, sih, yang ada di otak Mama?
“Enggak salah, Ma?”
Mama mengangguk tegas. “Kecuali kalau kamu punya ide lain yang lebih masuk akal.”
Menimpakan kesalahan kepada Ansel? This is crazy. Sekalipun Ansel bukan sahabat terbaikku, aku enggak sudi melampiaskan kesalahan kepadanya dan membuatnya dipermalukan lebih jauh lagi.
“Setelah itu, kamu minta balikan sama Dafa. Gimana caranya, kalian harus balikan. Kalau enggak, peran di series itu bisa lepas dari tangan kamu,” lanjut Mama, masih berapi-api.
Aku terpaku di tempat, kesulitan mencerna ucapan Mama.
Aku enggak akan menimpakan kesalahan kepada Ansel. Aku juga enggak akan merendahkan diri di depan Dafa dengan meminta maaf. Meskipun harus kehilangan banyak hal, aku enggak peduli.
“Aku enggak akan ngelampiasin kesalahan ke Ansel. Aku juga enggak akan minta maaf sama Dafa karena aku enggak salah.” Aku berkata tegas.
“Anna…”
“Lebih baik aku dicap sebagai tukang selingkuh dari pada minta maaf sama dia,” potongku sengit.
“Kamu nyadar enggak omonganmu itu ngaco?” balas Mama, enggak kalah sengit. “Kalau kamu dapat cap tukang selingkuh, image kamu bisa rusak. Endorse bisa hilang. Sekarang aja followers kamu udah berkurang lebih dari seribu. Malah ada hashtag unfollow Karianna. Ini enggak bisa dibiarin.”
Tentu saja, bagi Mama yang paling penting adalah image. Karena itu gerbang menuju endorsement dan sumber pemasukan paling penting. Juga pintu untuk mendekati produser agar aku dapat peran di proyek akting.
“Followers aku mau hilang semua juga aku enggak peduli,” balasku.
“Karianna!”
“Kalau Mama mau bikin vlog itu, Mama aja yang ngomong di sana. Terserah Mama mau ngomong apa, mau jelek-jelekin anak sendiri juga enggak masalah.” Aku berbalik dan menuju kamar.
Namun, Mama mencekal lenganku.
“Kamu maunya apa?”
“Aku maunya berhenti. Aku capek, Ma. Sekarang kesabaranku sudah enggak ada lagi. Apalagi Dafa makin ngaco. Mama tahu, kan, tujuan dia bikin video itu apa?” jawabku. “Dia cuma pengin viral, makanya playing victim begitu. Dia udah nebak kalau Mama akan nyuruh aku bikin video tandingan kayak ide Mama barusan, biar dia ada ide buat konten berikutnya. Begitu aja terus, semuanya demi konten.”
“Ini enggak bakal kejadian kalau kamu dan Ansel…”
“Jangan bawa-bawa Ansel lagi. Dia korban sebenarnya, bukan aku, apalagi Dafa.” Rasanya baru kali ini aku melawan Mama. Ada rasa enggak enak ketika meninggikan suara di depan ibuku, membuatku diliputi rasa bersalah.
Namun, Mama yang membuatku jadi bersikap seperti ini.
“Aku enggak mau bikin video tandingan atau apa pun. Aku enggak mau terlibat sama Dafa lagi. Aku enggak peduli sama endorsement atau apa pun.”
“Kamu peduli sama image kamu?”
“Enggak,” balasku sengit. “Apa pentingnya image itu? Enggak ada, Ma.”
“Kamu mau diam aja dituduh tukang selingkuh?”
“Biarin. Nanti juga kalau ada gosip lain, mereka bakal lupa sama aku.”
“Terus soal mimpi-mimpi kamu, gimana?”
“Mimpi-mimpi aku?” Aku mendengkus. “Mimpiku yang mana? Aku aja enggak tahu mimpiku sebenarnya apa.”
“Kamu mau terkenal dan kamu sudah bekerja keras. Sekarang kamu mau biarin gitu aja?” tanya Mama lagi.
Aku menelan ludah. “Seingatku, yang pengin aku terkenal itu Mama. Jadi ini mimpinya Mama, bukan aku.”
Aku melihat ekspresi terluka di wajah Mama, yang membuat perasaan bersalah di hatiku jadi makin tebal. Karena itu, aku berlari menuju kamar dan mengunci diri karena enggak mau menyakiti Mama lebih jauh lagi.