Rasanya sudah lama banget sejak terakhir main ke tokonya Ansel. Berhubung sore ini kosong dan Mama lagi enggak di rumah, aku mengayuh sepeda menuju The Breeze.
Namun, langkahku terhenti enggak jauh dari toko Ansel. Dia enggak sendirian, ada Nashila di sana. Aku melihat mereka di samping toko Ansel, entah apa yang mereka bicarakan, tapi aku melihat Nashila tertawa lebar.
Ada gemuruh di dadaku, juga perasaan enggak rela ketika melihat Ansel bersama Nashila. Seharusnya aku enggak merasa kayak gini, gimana pun Nashila, kan, pacarnya Ansel. Namun, aku enggak bisa memungkiri kalau aku cemburu.
Dan, cemburu itu enggak enak banget.
Karena cemburu juga, aku memutuskan untuk jadi seorang pengecut. Aku sudah berencana untuk balik badan, membatalkan niat untuk main ke toko Ansel. Namun, Ansel mendongak di saat aku akan berbalik, dan mata kami bersirobok.
Ansel melambaikan tangan, membuatku enggak bisa melakukan niat semula. Nashila menoleh ke arahku, dan rautnya berubah drastis. Berbeda dengan Ansel yang tersenyum cerah, Nashila memasang ekspresi datar. Enggak perlu kata-kata, ekspresinya menunjukkan dia enggak menyukai kehadiranku.
“An, tumben ke sini,” sapa Ansel, begitu aku tiba di dekat mereka. “Lo belum bilang soal hasil audisi kemarin. Gimana?” Ansel menyerbuku dengan pertanyaan, enggak peduli di sampingnya Nashila menatapku dengan mata memelotot, seakan ingin mencabikku karena sudah merusak sorenya bersama Ansel.
Aku memaksakan diri untuk tertawa, dan menghindari tatapan Nashila yang menusuk.
“Belum tahu, baru minggu depan diumuminnya.”
“Lo pasti dapetlah peran itu,” kata Ansel optimis.
Ansel enggak tahu soal percakapan Tammy dan Ririn. Aku belum sempat bercerita soal itu karena sibuk syuting untuk konten YouTube bareng Dafa dan baru hari ini bisa ketemu Ansel.
Tadinya niatku ke sini karena pengin cerita, tapi aku harus menyimpan cerita itu karena ada Nashila.
“Web series lo kapan tayang?” tanya Ansel.
“Bulan depan, kalau enggak mundur dari jadwal,” sahutku.
Nashila mendengkus pelan, tapi aku melihatnya. Saat kami bersitatap, dia terang-terangan menatapku dengan wajah cemberut.
“Berarti lo bakalan sibuk promosi, ya? Bakalan makin jarang main ke sini,” timpal Ansel.
Ucapan Ansel semakin memantik rasa enggak suka Nashila, dan dia mengarahkannya kepadaku.
“Bakalan sibuk bikin konten sama pacar lo juga, dong. Kan, udah balikan. Dramatis banget ya proses balikannya,” sambar Nashila, menekankan pada kata pacar.
Mungkin aku terlalu sensitif, tapi Nashila sepertinya tengah menyindirku.
“Kayaknya malah makin mesra aja, ya, abis balikan,” sambung Nashila.
Kini, giliranku yang mendengkus. Aku ingin menyuruhnya diam dan enggak usah ngomongin Dafa, tapi aku enggak mau menimbulkan masalah baru dengan Nashila. Jadi aku cuma bisa menerima sindirannya dengan hati gondok.
Sialnya lagi, Ansel mendadak harus pergi karena ada pembeli. Ansel meninggalkan aku dan Nashila.
Suasana canggung menyergap ketika hanya tinggal aku dan Nashila. Enggak enak dengan posisiku yang i berdiri di depannya, aku menempati kursi yang tadi diduduki Ansel, sehingga bersisian dengan Nashila. Aku melirik Nashila, meski wajahnya masih datar, setidaknya dia enggak lagi terlihat ketus. Nashila menyesap minumannya dalam diam, tapi kedua kakinya bergerak gelisah.
“Lo enggak les di tempat Tante Lea hari ini?” Aku mencoba berbasa basi.
“Enggak ada les hari Jumat,” timpalnya dingin.
Melihat tanggapan Nashila, aku jadi malas mengajaknya mengobrol. Akhirnya aku mengeluarkan handphone dan pura-pura menyibukkan diri. Nashila sibuk dengan minumannya, sementara aku scrolling Instagram untuk membunuh waktu.
Bukan pilihan yang bijak, karena aku malah membaca komentar demi komentar yang ditinggalkan di fotoku. Lagi-lagi, komentar menohok membuatku makin bad mood.
“Teater apa, sih, yang dimaksud Ansel?” tanya Nashila.
Pertanyaan itu enggak bisa diabaikan, bisa-bisa aku dicap sombong. Jadi, aku menutup halaman Instagram dan menyimpan handphone ke saku jaket.
“Act 8, ekskul teater sekolah gue.”
“Oh itu, gue pernah dengar.” Nashila melirikku. “Kirain lo udah enggak level di teater sekolahan.”
Sekali lagi, ucapannya terasa menohok. Membuat hatiku mencelus.
“Kirain kalau udah jadi lo enggak perlu audisi lagi,” lanjut Nashila.
“Ya ini, sih, teater sekolah, tapi enggak bisa asal. Makanya semua yang ikutan harus audisi.” Aku membela diri. “Lagian gue siapa, sih? Ya enggak mungkinlah dapat special treatment.”
Rasanya seperti pembohong besar. Jelas-jelas aku dapat special treatment, kalau merujuk ke percakapan Tammy dan Ririn.
Sementara itu, Nashila kembali mendengkus. “Humble brag?”
Aku memutuskan untuk diam daripada meladeni.
“Kata Tante Lea lo pernah les juga ya?” Nashila menatapku penuh ingin tahu.
Aku mengangguk kecil. “Pas SD tapi berhenti. Enggak bakat.”
Nashila tergelak. “Enggak berminat lanjut?”
Aku menggeleng. “Buat apaan? Daripada capek maksain diri ikut les, hasilnya udah ketebak bakal gimana.”
“Kirain. Soalnya Ansel, kan, suka cewek yang jago piano.”
Refleks aku menoleh menatapnya. Ada senyum penuh kemenangan di wajah Nashila, meski dia menatap lurus ke depan.
“Apa hubungannya sama gue?”
“Ya kali aja,” jawabnya santai, tapi membuat darahku mendidih.
Aku pernah mempertanyakan hal yang sama kepada Ansel, tapi dia membantah. Jadi, aku curiga kalau ucapan barusan hanya cara Nashila untuk membuatku terpojok. Gimana pun, aku lebih percaya kepada Ansel.
“Jadi, lo les sama Tante Lea karena Ansel sukanya cewek yang jago main piano, ya?” tembakku sinis.
Nashila menatapku dengan mata menyipit. Senyum penuh kemenangan yang tadi kulihat di wajahnya, kini sudah hilang.
“Gue udah lebih dulu les di sana sebelum kenal Ansel,” ketusnya.
Tentu saja, aku tahu itu. Kan, Tante Lea yang memperkenalkan Ansel kepadanya, jadi tuduhanku jelas enggak beralasan. Aku cuma mau membalas sindirannya, makanya bersikap sinis.
Sekali lagi, aku dan Nashila memilih diam. Nashila kembali fokus pada minumannya, sementara aku memutuskan untuk memandangi sekitar. Sore ini cukup ramai, sekalipun bukan weekend. Umumnya orang-orang yang ingin bersantai sore-sore atau sekadar jalan-jalan bareng anjing peliharaan.
Lamunanku terputus begitu Ansel muncul. Dia menatapku dan Nashila dengan kening berkerut, mungkin terheran karena mendapati kami duduk bersisian tapi saling diam-diaman.
“An, pulang bareng, ya. Tapi anterin Nash dulu,” seru Ansel.
Aku menyempatkan diri melirik Nashila. Jelas dia enggak setuju dengan usul Ansel, raut wajahnya terbaca dengan jelas.
“Gue bawa sepeda,” sahutku.
“Bisa ditaruh di bagasi belakang.”
Aku menggeleng. Lebih baik aku pulang sendiri daripada ikut mereka berdua dan di sepanjang perjalanan menerima tatapan permusuhan dari Nashila. Cukup sekali aku terjebak di mobil yang sama dengan mereka berdua, dan rasanya enggak enak banget.
“Enggak, deh. Harus sampai di rumah sebelum jam 6, ada janji sama Mama,” bohongku.
“Ya udah. Next time kita jalan ya bertiga. Belum pernah, kan?”
Aku melongo menatap Ansel, mengutuk ide buruk yang disampaikannya. Di sampingku, Nashila juga memasang ekspresi serupa. Untuk kali pertama, aku dan Nashila punya pendapat yang sama.
“Enggak bisalah, Sel. Followers aku kan enggak sampai seribu.” Nashila terkikik.
Aku menatapnya gusar, meskipun dia tertawa, tapi itu tawa menyindir. “Maksud lo?”
Ansel ikut tertawa. “Nash dengerin gue ngomong gitu waktu di pesta ulang tahun lo.”
Nashila menatapku. “Sorry, gue cuma bercanda,” serunya, tapi ekspresi wajahnya sama sekali enggak menunjukkan perasaan bersalah.
Ansel memang sering melontarkan candaan itu. Bahkan, itu jadi semacam inside jokes di antara kami. Ketika Ansel mengungkapkannya, aku tahu dia bercanda. Namun, ketika mendengar orang lain mengutarakan hal yang sama, aku tersinggung. Terlebih kalimat itu datang dari Nashila, membuatku semakin tersudutkan.
Dia menyindirku dan ucapan itu sama sekali bukan candaan.
Tadinya aku memutuskan untuk langsung angkat kaki, tapi Ansel bersikeras memintaku menunggu. Dia kembali meninggalkanku dengan Nashila, dan bersiap-siap untuk menutup tokonya.
“Yuk, gue anterin ke parkiran,” ujarnya.
Nashila lebih dulu bangkit berdiri, sengaja menghentakkan kakinya. Namun, Ansel enggak menangkap keberatan yang ditunjukkannya.
“Yuk,” ajak Nashila, sembari menggandeng tangan Ansel.
Ansel menungguku untuk berjalan bersisian, tapi melihat tangannya yang digandeng Nashila, membuatku ingin meloncat ke danau biar enggak usah menyaksikan pemandangan menyakitkan itu.
Aku cemburu, dan cemburu itu engak enak banget. Apalagi kalau rasa cemburu itu muncul di tempat yang enggak pantas, membuatku semakin frustrasi dengan perasaanku sendiri.