Rumah Dafa dalam keadaan ramai begitu aku tiba. Selain timku, juga ada tim Dafa yang jumlahnya seabrek-abrek itu. Siapa pun yang melihat keriuhan ini pasti enggak menyangka ini cuma demi kebutuhan konten YouTube.
Tante Dian, mamanya Dafa, berada di ruang tamu bareng Mama. Ruang tamu itu disulap jadi lokasi syuting, lengkap dengan lighting yang sudah diatur sedemikian rupa, juga deretan kamera yang sudah stand by.
“Akhirnya kalian sampai juga. Kok lama, sih?” tanya Mama. Beliau menatapku dengan mata menyipit.
“Macet,” sahutku, dengan alasan yang sangat enggak masuk akal, sebelum Dafa mengadu yang enggak-enggak.
Tatapan Mama makin menyipit, jelas enggak percaya dengan alasanku.
“Ya sudah, kamu ganti baju dulu, ya.” Tante Dian menengahi.
Mama menyerahkan tote bag berisi baju ganti, sementara Tante Dian mengantarku menuju kamar tamu. Aku mengunci pintu kamar, membuat keriuhan di luar teredam untuk sementara waktu. Dengan malas-malasan, aku mengganti seragam sekolah dengan baju yang dibawa Mama. Aku juga memanfaatkan waktu untuk memperbaiki penampilan. Setelah belajar delapan jam di sekolah, wajar kalau aku tampak kusut. Wajahku sudah berubah jadi tambang minyak, membuat wajahku terlihat mengkilat.
Aku mengelap wajah dengan kertas minyak lalu membubuhkan bedak tipis. Sebelum Mama protes, aku juga memakai makeup tipis. Blush on peach ini setidaknya bisa membuat wajahku lebih berseri, bukan kusut sesuai dengan suasana hati. Terakhir aku memakai lip tint pink agar terlihat lebih presentable. Aku menyisir rambut dengan tangan, sengaja memberikan efek messy, berhubung rambutku sudah enggak ada bentuknya dan enggak ada waktu untuk styling rambut.
Aku menyimpan tote bag berisi seragam sekolah, juga tas sekolahku di dalam kamar tamu dan menuju ke ruang tamu. Namun, langkahku terhenti ketika melihat adik Dafa, Deon, asyik sendirian di ruang tengah. Dari semua orang, cuma dia yang enggak terpengaruh dengan keriuhan ini.
Mama dan Tante Dian sibuk mengatur set dan Dafa entah di mana. Aku mendekati Deon, sebelum nanti menghadapi keribetan di ruang tamu.
Deon melirikku sekilas sebelum kembali fokus ke handphone. Dia baru sepuluh tahun. Aku enggak begitu akrab dengannya, karena aku juga enggak pernah sengaja mendekatkan diri dengan keluarga Dafa. Bahkan, ini kali pertama aku menginjakkan kaki di rumah Dafa. Aku juga baru bertemu Deon beberapa kali, dan dia sangat cuek. Deon lebih tertarik main game di handphone ketimbang mengobrol dengan orang lain.
“Ah ketembak….” Deon membanting handphone ke atas sofa lalu bersedekap dengan wajah cemberut.
Aku melirik handphone miliknya yang menunjukkan game tembak-tembakan. Aku lupa nama game itu, tapi pernah memainkannya sekali bareng Ansel. Tentu saja aku kalah, meski Ansel juga enggak jago-jago amat.
“Kak Key pernah main game ini. Susah banget.”
Deon melirikku dengan wajah datar. Dia mirip Dafa, tapi karena sering cemberut, dia terlihat lebih menyebalkan.
“Kak Key bisa main game?”
Aku tertawa kecil. “Pernah main, sih, tapi enggak jago.”
“Cewek, kok, main game tembak-tembakan?” Deon menatapku dengan raut ingin tahu.
“Iseng aja waktu itu main bareng teman. Padahal dia mainnya juga ngaco, tapi Kak Key lebih ngaco lagi.” Aku tergelak.
Deon ikut tertawa. Dia mengambil handphone lagi dan me-reset game yang tadi dimainkannya. “Temannya Kak Key asyik pasti, enggak kayak Kak Dafa.”
“Kak Dafa kenapa?” tanyaku. Meski aku enggak dekat dengan Deon, tapi aku tahu kalau Dafa dan Deon sering berantem.
“Nyebelin. Kerjaannya nyuruh-nyuruh mulu atau marah-marah. Katanya main game enggak bakal jadi apa-apa.” Deon kembali bersungut-sungut.
“Sekarang gamers banyak yang sukses, kan bisa jadi atlet e-sports.”
Deon mengangguk antusias. Kini wajahnya malah berseri-seri. “Aku mau jadi atlet e-sports. Nanti mau bikin akun YouTube games kalau udah gede.”
“Kenapa enggak sekarang aja? Kan bisa di-handle Mama atau Kak Dafa,” tanyaku.
Sepanjang yang aku tahu, Tante Dian kurang lebih sama kayak Mama. Tante Dian juga manajernya Dafa, dan yang paling gencar mengurus konten YouTube Dafa. Jadi, aku agak heran kalau Tante Dian enggak tertarik menyeriusi hobi gaming Deon. Apalagi sekarang konten games juga diminati, dan Deon masih kecil, sehingga punya unique selling point.
“Enggak, ah. Kalau sekarang bikin YouTube, ntar mainnya enggak enjoy lagi.” Deon berkata cepat.
“Enggak disuruh sama Mama atau Kak Dafa?” tanyaku ingin tahu.
“Disuruhlah. Kata Mama, adsense pasti tinggi. Soalnya aku kan, masih kecil. Tapi kata guruku jangan. Bisa-bisa aku malah punya banyak haters. Mama juga bisa dikritik karena ngizinin anak kecil main games mulu,” jawab Deon.
“Guru kamu keren.” Aku berkata pelan, untuk menimpali rasa malu yang merambati hatiku.
“Miss Lily memang keren. Enggak kayak Mama.” Deon berkata lantang.
“Kirain kamu homeschooling juga, kayak Kak Dafa.”
Deon terbahak. “Ngapain? Mending sekolah, bisa ketemu teman. Daripada Kak Dafa, kerjaannya nge-vlog mulu atau foto-foto. Followers-nya sih banyak, tapi temanku lebih banyak.”
“Teman beneran, kan? Bukan teman main game?” selidikku.
“Ya teman beneran. Kayak Kak Key, kan punya teman juga. Yang suka main game itu. Kalau Kak Dafa, kan, enggak punya teman.”
Saat itulah, Dafa tiba-tiba berada di dekat kami. Dia menoyor kepala Deon, yang disambut oleh teriakan anak itu. Deon yang enggak terima memanjat sofa dan membalas Dafa. Kini giliran Dafa yang jadi berang karena tindakan Deon membuat rambutnya jadi berantakan.
“Anak kecil rese. Tahu enggak lo susah buat ngatur rambut gue?” omelnya, yang dibalas Deon dengan memeletkan lidah.
Aku menunduk, berusaha menyembunyikan tawa. Untuk hal ini, aku mendukung Deon.
Melihat Dafa yang kembali mengambil ancang-ancang untuk membalasnya, Deon melompat turun dari sofa dan berlari menaiki tangga sambil berteriak. Dafa balas berteriak, mengancam Deon untuk membalasnya nanti.
Dengan berat hati, aku menghampiri Mama dan Tante Dian. Tidak lama, Dafa menyusul sambil ngedumel.
Tante Dian menyambut dengan senyum lebar. “Tante dan Mamamu sudah ngobrol banyak soal ide konten kalian. Seru, deh, pasti kalau udah dieksekusi.”
Aku memaksakan diri tersenyum. Apa pun ide yang tercetus, pasti enggak jauh-jauh dari konten yang sudah dibuat Dafa.
“Asal jangan nge-prank aja,” tolakku.
Tante Dian tertawa. “Kenapa enggak? Kan, banyak yang suka konten begitu.”
“Tahu tuh Key. Enggak pernah mau kalau aku ajak, padahal Dafa Prank itu selalu trending, lho.” Dafa membanggakan dirinya.
Trending, sih, trending, tapi buat dihujat orang.
“Sekarang juga lagi hits konten bongkar harga. Nanti kalian juga bisa bikin, tuh.” Mama menimpali.
Aku meringis membayangkan konten enggak bermutu, tapi Dafa malah berseri-seri menanggapi ide Mama. Aku meyakinkan dalam hati untuk menolak kalau Mama menyuruhku membuat konten berisi pamer harga dari barang yang dimiliki.
“Kalian sering-sering aja bikin konten kolab kayak gini. Usahanya enggak banyak, tapi adsense lumayan.” Tante Dian menimpali sambil menepuk lenganku pelan. “Bisalah nambah-nambah buat arisan, papanya Dafa udah enggak kerja lagi.”
“Kan, Om Jeremy baru dapat peran baru,” seruku.
Tante Dian mengibaskan tangan di depan wajahnya. “Setelah berapa tahun enggak kerja? Sejak sering bikin konten YouTube bareng Dafa aja, tuh, jadi ada panggilan lagi.”
Sekali lagi, aku cuma bisa tertawa canggung. Menurutku ini too much information.
“Makanya, Tante selalu bilang sama Dafa, jangan lengah kalau enggak mau jadi kayak papanya. Kamu juga, mumpung demand lagi tinggi, ya harus dimanfaatin. Daripada ntar nyesal,” beber Tante Dian.
“Tuh, kamu dengar, kan? Mama udah sering bilang, tapi kamu enggak mau dengar,” sambar Mama.
Dalam diam, aku menatap Mama, Tante Dian, dan Dafa yang satu suara. Membuatku serasa jadi alien yang nyasar ke bumi karena cuma aku satu-satunya yang enggak setuju dengan pembicaraan ini.