Sudah hampir dua tahun aku berteman dengan Ghania, tapi bisa dihitung dengan jari berapa kali aku hanya berdua saja dengannya. Berbeda dengan Arisha, berdua bareng Ghania membuatku kurang nyaman. Namun, siang ini aku terpaksa menghabiskan waktu di salon bareng Ghania.
Harusnya ada Arisha, tapi dia terpaksa tinggal lebih lama di sekolah karena ada jadwal konsultasi dengan Miss Julia. Karena Arisha enggak ikut, aku pengin ngebatalin niat nyalon, tapi urung karena Mama akan marah. Lagipula, aku sudah ada kontrak endorse dengan salon ini, sehingga akan ada masalah kalau tiba-tiba batal.
Jadi, aku terpaksa tetap datang ke salon bareng Ghania.
Sejak tadi, Ghania enggak menutupi rasa girangnya. Siapa pun pasti akan bersikap seperti Ghania kalau dapat kesempatan nyalon gratis kayak gini.
Aku sadar ada niat lain di balik pertemanan yang ditawarkan Ghania. Aku berusaha buat cuek, enggak mau ambil pusing, selama Ghania enggak merugikanku. Tapi, aku juga jengah dengan sikapnya yang terang-terangan. Kayak siang ini, dia terus menerus update di Instagram Story soal betapa dekatnya kami dan memujiku sebagai sahabat terbaik di dunia.
Dia pasti akan menarik semua pujian itu kalau aku enggak memberikan keuntungan lagi.
Sekali lagi, aku berusaha untuk enggak mempedulikan Ghania. Terserah dia mau bersikap gimana, enggak ada urusannya denganku.
Jadi, aku memejamkan mata dan menikmati pijatan di kepalaku. Kapan lagi bisa santai kayak gini?
Plus, aku sudah menuntaskan kewajiban update sebanyak yang tertulis di kontrak, jadi aku bisa menikmati creambath dengan tenang.
“Key,” panggil Ghania, yang kujawab dengan dengungan malas. Apa dia enggak lihat kalau aku enggak mau diganggu?
Namun, Ghania enggak peduli. Dia terus memanggilku sehingga terpaksa menoleh ke arahnya.
“Dafa ngajak jalan abis ini,” serunya.
Pacar yang seharusnya pasti akan meradang. Kenapa Dafa mengajak Ghania, bukan aku, yang notabene adalah pacarnya?
Aku mengecek handphone dan enggak mendapati satu pun pesan dari Dafa.
“Dia balas story gue,” seru Ghania, seakan menyadari kebingunganku.
“Oh.” Cuma itu tanggapanku.
“Kok oh doang?”
“Terus?” Aku balas bertanya.
“Ya, kita jalan bareng,” desaknya.
Aku memusatkan perhatian pada Ghania. Wajahnya berseri-seri, dengan semburat merah di pipinya. Aku enggak tahu mana yang lebih membuatnya girang, nyalon gratis atau ajakan Dafa? Atau gabungan keduanya?
“Dia cuma ngajak lo doang kali,” balasku.
Ghana menatapku dengan ekspresi datar. “Kok lo biasa aja sih kalau ngomongin Dafa? Come on, this is Dafa. Your boyfriend.”
“Terus lo maunya gimana? Heboh sampai teriak-teriak gitu?” tanyaku.
“Ya enggak gitu juga. At least lo excited dikit kek.” Ghania mendecakkan lidah. “Lo lebih semangat kalau menyangkut Ansel ketimbang Dafa, sampai gue bingung pacar lo siapa sih? Dafa atau Ansel? Atau jangan-jangan….”
“Lo mau nuduh gue selingkuh sama Ansel?” potongku.
Ghania enggak menjawab, tapi ekspresi wajahnya sudah cukup sebagai jawaban.
Ghania meletakkan handphone di atas tumpukan majalah di meja. “Lo beneran suka sama Dafa enggak, sih?”
Jujur saja, aku malas terlibat obrolan soal Dafa. Enggak ada gunanya membahas Dafa dengan Ghania. Namun, aku juga enggak bisa mengelak. Ghania terlalu mendesak, dan kalau sudah mendesak, dia akan terus menyecar. Enggak peduli orang yang dicecar sudah marah sekalipun.
“Kenapa?” tanyaku malas.
“Kirain lo sukanya sama Ansel.” Ghania menyahut enteng. “Ya iya, sih, kalian temenan sejak kecil. Tapi, gue ngerasa vibe lo dan Ansel beda aja. Kalian lebih cocok pacaran ketimbang sahabat. Nah, kalau vibe lo dan Dafa gimana ya? Enggak ada tanda-tanda pacaran.”
“Followers gue dan Dafa enggak setuju sama lo. Bagi mereka kita itu relationship goals,” balasku.
Ghania memutar bola matanya. “Ya kalau dilihat di foto, sih, gitu. Tapi serius lo suka sama Dafa? Bukan sama Ansel?”
“Gue dan Ansel cuma sahabatan.” Setiap kali mengungkapkan fakta ini, selalu ada rasa enggak rela di hatiku.
“Sahabat juga bisa jadi suka,” tukas Ghania.
“Ansel, kan, udah punya pacar. Nashila. Dia baik, cocok sama Ansel.” Sekali lagi, hatiku mencelus saat kalimat itu meluncur dari bibirku.
“Terus, lo ngerasa cocok sama Dafa?” serbu Ghania.
Aku enggak langsung menjawab. Alih-alih, aku meneliti Ghania. Bukan kali ini Ghania bicara soal Dafa, dan setiap kali menyinggung soal Dafa, ada ekspresi berbeda di wajahnya.
Ekspresi yang sama seperti yang kurasakan setiap kali bicara soal Ansel.
Aku tercekat, sekarang semuanya makin jelas. Ghania yang selalu semangat setiap kali menyangkut soal Dafa. Ghania yang selalu enggan melihatku dengan Dafa.
Aku juga teringat scrunchie yang kutemukan di mobil Dafa dan kuyakini sebagai milik Ghania. Aku memang enggak cemburu, sekalipun kecurigaanku kalau Dafa abis jalan bareng Ghania terbukti benar. Namun, tetap saja aku enggak rela kalau mereka berdua benar-benar jalan di belakangku, karena mereka begitu gencar dengan tuduhan aku selingkuh yang sangat menggelikan itu.
“Lo abis jalan bareng Dafa, ya? Gue ketemu scrunchie mirip punya lo di mobil Dafa.”
“Ketinggalan di mobilnya? Gue cariin ke mana-mana padahal. Oops!”
Aku memutar bola mata. Ucapan Ghania jelas enggak sesuai dengan ekspresinya. Dia memang sempat salah tingkah, tapi sekarang Ghania malah mengulum senyum. Aku jadi curiga, jangan-jangan dia memang sengaja ninggalin scrunchie itu, biar aku menemukannya.
“Kalian abis jalan bareng?” tanyaku lagi.
Ghania melirikku. Dia memasang ekspresi bersalah, tapi aku tahu itu hanya pura-pura. “Enggak juga, sih. Ketemu Dafa di opening Blow Up terus dia nawarin buat nganterin pulang. Ya masa gue tolak.”
“Oh, jadi cuma pulang bareng,” buruku.
“Lo mikirnya apa?”
Aku mengangkat bahu sambil mengambil tas. Dari dalam laci tas, aku mengeluarkan scrunchie dan menyodorkannya kepada Ghania.
“Enggak mikir apa-apa. Nih, scunchie lo. Gue balikin.”
Ghania menerima scrunchie itu dan menimbangnya. “Sorry ya, Key.”
Meskipun meminta maaf, ekspresi wajahnya sama sekali enggak menunjukkan penyesalan.
“Kenapa minta maaf?”
Ghania menghela napas panjang. Dia menatapku dengan ekspresi bersalah yang terlalu dibuat-buat, sehingga terlihat menggelikan. Jika ini akting, Ghania pasti sudah diomelin karena aktingnya sangat jelek. Enggak bakal ada yang percaya dia merasa bersalah dengan ekspresi begitu.
“Sebenarnya…” Sekali lagi, Ghania menghela napas panjang. Kini dia bahkan berkata lirih, untuk mendukung ekspresinya, tapi jatuhnya semakin memperjelas kalau dia cuma pura-pura. “Sebenarnya Dafa cium gue.”
“Oh.”
Pacar yang seharusnya pasti akan marah. Bukan hanya dikhianati oleh Dafa, tapi juga Ghania. Siapa juga yang mau dikhianati oleh dua orang terdekatnya dalam waktu bersamaan?
Tapi, perasaanku biasa saja. Malah aku merasa geli ketika mendengarnya.
“Tadinya dia cuma curhat, katanya enggak suka lihat lo sama Ansel. Dia masih sakit hati karena kejadian di Bali. Gue enggak bermaksud buat curi kesempatan. Gila apa, gue tahu Dafa itu pacar lo dan lo sahabat gue. Ya kali gue cium pacar sahabat gue.” Ghania memaksakan diri tertawa.
“Tapi, lo cium dia.” Aku bergumam.
“Kebawa suasana, jadi no big deal. It’s just a kiss. No big deal.”
“Kiss is still a kiss. Enggak pantas,” serbuku.
Ghania menatapku dengan dahi berkerut. “Oh ya? Tapi, kenapa lo setenang ini? Kalau jadi lo, gue udah ngamuk karena pacar gue ciuman sama teman gue. Lo enggak kelihatan cemburu.”
Aku mengangkat bahu, enggak peduli kalau tindakanku bisa menimbulkan pertanyaan bagi Ghania.
“Mungkin memang gue enggak cemburu.” Aku berkata pelan.
Kenyataannya memang begitu. Aku lebih cemburu saat melihat Ansel tertawa bareng Nashila, ketimbang mengetahui fakta kalau Dafa, pacarku, yang menurut banyak orang adalah pacar terbaik di dunia, mencium temanku sendiri.