Mini Cooper merah itu sangat mencolok. Well, this is Dafa. Semua yang dimilikinya memang mencolok. Saat membeli sesuatu, Dafa memastikan barang tersebut bisa membuatnya jadi pusat perhatian.
Dafa sangat menikmati menjadi pusat perhatian. Dia sengaja tebar pesona, karena dengan begitu dia akan mendapatkan perhatian penuh. Seperti yang dilakukannya saat ini. Dafa menjemputku ke sekolah, dia sengaja bersandar di mobilnya dengan lagak cuek, padahal sengaja berpose seperti itu.
Dari lobi gedung sekolah, aku cuma bisa ngedumel dalam hati melihat tingkah Dafa. Lagaknya sudah seperti model yang sedang photoshoot saja. Dafa bersandar ke mobilnya, pura-pura sibuk memainkan handphone. Siang ini dia memakai celana jeans gelap dan kemeja putih pas badan yang dilapis dengan black leather jacket. Well, jaket itu keren, sih, tapi siang ini panas banget. Apa dia enggak kegerahan pakai jaket itu?
Well, this is Dafa. Beauty is pain itu cocok untuk Dafa. Dia rela menahan sakit demi sepatu yang diincarnya sekalipun sepatu itu kekecilan. Atau kayak sekarang, rela kepanasan pakai jaket keren demi tebar pesona di depan cewek-cewek.
Aku yakin Dafa tengah menikmati lirikan murid cewek. Sesekali dia melempar senyum kalau ada yang menatapnya. Baru semenit yang lalu ada segerombolan anak kelas satu yang berteriak histeris seolah baru saja melihat artis terkenal.
“Tumben dijemput Dafa,” tanya Arisha. “Biasanya, kan, dijemput Ansel.”
“Ansel lagi nganterin nyokapnya,” sahutku.
Lagipula, kalaupun Ansel enggak harus nganterin Tante Silvia, dia enggak akan menjemputku. Sejak pagi, Dafa sudah cerewet memberitahu kalau dia akan menjemputku.
Baru kemarin Mama memberitahuku soal syuting vlog yang melibatkan keluarga Dafa. Om Jeremy baru saja dapat peran besar jadi penjahat utama di film superhero yang akan diproduksi akhir tahun. Beritanya sudah santer di mana-mana, sehingga Mama merasa wajib membuat konten bareng Om Jeremy biar enggak ketinggalan momentum.
Aku masih kesal dengan Dafa, tapi selama tiga jam ke depan, aku harus menelan mentah-mentah rasa kesal itu. Saatnya berakting menjadi pacar romantis demi konten.
Arisha meninggalkanku ketika mobil Theo berhenti di depan kami. Sepeninggal Arisha, aku terpaksa mendekati Dafa.
“Lama banget, sih?” sembur Dafa begitu aku tiba di depannya.
“Sengaja ngasih kamu waktu buat tebar pesona,” timpalku.
Dafa tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang berderet rapi. Akhir-akhir ini, senyumnya makin lebar setelah endorse veneer sukses membuat giginya jadi makin rapi. Otomatis, membuat senyumnya jadi makin menarik. Makanya sekarang Dafa selalu tersenyum lebar-lebar buat pamerin giginya.
Aku harus mengakui kalau Dafa itu ganteng. Waktu baru melihatnya pertama kali, aku sempat terpana. Dafa punya struktur wajah lembut, dengan kulit putih akibat turunan ayahnya yang setengah Inggris. Tubuhnya yang tinggi juga mendukung penampilannya jadi makin menarik. Dafa punya gaya berpakaian yang semakin menunjang dirinya. Plus, dia begitu percaya diri. Dia tahu dirinya ganteng dan benar-benar memanfaatkannya.
Namun, setelah mengenalnya, aku langsung hilang respect karena sikapnya yang semena-mena dan drama. Dafa juga egois, kadang enggak ragu bersikap kasar atau memarahi orang lain. Kalau sudah bad mood, mending jauh-jauh, deh, dari Dafa.
Selama ini Dafa selalu berhasil menyimpan rapat-rapat sifatnya yang sebenarnya, sehingga yang dikenal orang soal Dafa cuma si ganteng dengan senyum maut yang memikat, dan juga romantis dengan kata-kata manis sebagai caption yang bikin melayang. Prince Dafa tentu bukan julukan sembarangan.
“Langsung ke rumahku, kan?” tanya Dafa, begitu masuk ke dalam mobil. Dia membuka jaket kulit itu dan melemparnya ke jok belakang. Dafa mengambil tisu dan mengelap keringatnya.
Dalam hati, aku tertawa melihatnya bercucuran keringat.
“Lagian, kamu juga, sih, ngapain pakai jaket begituan? Udah tahu panas.” Aku tergelak.
Dafa melirikku sekilas. “Baru di-endorse. Lumayan tadi banyak yang curi-curi fotoku. Pasti udah masuk ke akun Fashion Dafa.”
“Fashion Dafa?”
“Fans-ku yang bikin, isinya baju-baju yang aku pakai sekalian harganya.”
Astaga, aku hanya bisa mengucap dalam hati.
Beberapa artis terkenal memang punya dedicated fans yang membuat akun khusus berisi informasi soal baju yang dipakai. Namun, aku enggak nyangka kalau Dafa juga punya akun itu.
“Kamu juga bisa minta fans kamu bikinin.”
No way. Kayak kurang kerjaan aja.
“Ngomong-ngomong, aku juga dapat peran di filmnya Papa. Jadi Papa pas masih muda,” seru Dafa. Saat menatapnya, aku melihat Dafa tersenyum semringah.
“Baguslah. Biar kamu ada karya nyata.”
Dafa mendecakkan lidah. “Sombong banget kamu. Baru juga jadi supporting di web series doang.”
Aku enggak bermaksud sombong, tapi juga malas meladeni Dafa sehingga membiarkannya berlalu dengan tuduhannya itu.
“Tolong ambilin sunglasses dong di dashboard,” pinta Dafa.
Aku membuka dashboard dan meraih kotak hitam berisi sunglasses. Setelah menyerahkannya kepada Dafa, aku mengembalikan kotak hitam itu ke tempatnya semula. Saat itulah aku enggak sengaja melihat sebuah scrunchie bermotif tartan berwarna merah hitam di dalam dashboard.
Tanganku terulur meraih scrunchie itu. Saat menatapnya dengan saksama, aku merasa akrab dengan scrunchie ini.
“Kamu habis jalan sama Ghania?” tanyaku. Enggak salah lagi, scrunchie ini milik Ghania. Aku sering melihatnya memakai scrunchie ini.
“Enggak.”
“Terus ini punya siapa?” Aku menunjukkan scrunchie itu ke hadapan Dafa.
Dafa meliriknya acuh. “Kamu kali.”
“Ini kayak punya Ghania.” Aku bergumam. Untuk meyakinkan diri, aku membuka profil Instagram Ghania untuk mencari tahu soal scrunchie ini. Kalau sedang enggak dipakai untuk mengikat rambut, Ghania punya kebiasaan memakai scrunchie di pergelangan tangannya sebagai pengganti gelang.
“Cuma ikat rambut, banyak yang punya. Enggak mesti punya Ghania, kan?”
“Oke, bukan Ghania. Terus, punya cewek lain, ya? Siapa?” tanyaku, sambil terus scrolling meneliti foto Ghania satu per satu.
Benar saja, di salah satu foto, Ghania memakai scrunchie yang sama dengan yang kutemukan di mobil Dafa.
“See? Ini punya Ghania.”
Dafa mendecakkan lidah, terlihat gusar dan dia sama sekali enggak menutupi ketidaksukaannya. “You’re too pushy.”
Selama sedetik, aku terpana saat mendengar gerutuan pelan itu.
“Kok nyalahin aku? Aku, kan, pacar kamu. Ya, wajar dong kalau aku nanya?”
Entah kenapa aku merasa geli dengan ucapanku barusan.
Jujur saja, aku enggak peduli apakah scrunchie ini punya Ghania atau Kenny atau cewek mana pun. Itu urusannya Dafa, aku enggak mau ambil pusing.
Namun, aku juga enggak bisa terima. Hubunganku dengan Dafa mungkin enggak nyata, tapi dia menuduhku selingkuh. Sementara aku malah menemukan bukti nyata kalau dia jalan sama cewek lain di belakangku. Bukan sembarang cewek, melainkan salah satu temanku.
Dafa terlihat kayak cowok yang kepergok selingkuh, tapi enggak mau mengaku. Jadi, yang dilakukannya adalah menuduhku untuk menutupi kelakuannya.
“Pacar? Harusnya kamu ingat kalau kamu itu pacarku sebelum selingkuh.” Dafa menggertakku.
Aku tertawa kecil. “Siapa yang selingkuh?”
“Kamu, waktu di Bali.”
Drama yang terjadi di Bali masih terus berlanjut hingga ke Jakarta.
“Lucu, ya, Daf. Kamu ngotot nuduh aku selingkuh sama Ansel padahal ini jelas-jelas aku yang nemuin bukti ada cewek lain di mobil kamu.” Aku menantangnya.
“Enggak usah drama, deh, Key. Cuma ikat rambut doang.”
“Ini scrunchie-nya Ghania. Kamu habis jalan, kan, sama dia?” tanyaku. “Enggak usah beralasan nuduh aku yang selingkuh sama Ansel padahal nyatanya kamu yang suka kegenitan sama cewek-cewek.”
Dafa mencengkeram setir mobil erat-erat ketika berhenti di lampu merah. Dia menatapku, dan meski terhalang sunglasses, aku bisa merasakan tatapan nyalangnya tertuju kepadaku.
“Kamu sengaja cari masalah, biar aku enggak usah bahas soal Ansel, ya kan?”
Alih-alih menjawab, aku malah tertawa. Bukankah yang terjadi malah sebaliknya?
“Soal ikat rambut aja kamu ribut sampai nyebelin kayak gini. Padahal, kamu yang berduaan malam-malam sama Ansel. Jadi, apa namanya kalau bukan selingkuh?” tanyanya dengan nada tinggi.
“Namanya sahabat,” balasku. “Kalau kamu lupa, kamu juga bareng Kenny sampai malam. Itu ngapain?”
“Aku kerja bikin konten bareng Kenny, karena kamu, sebagai pacarku, enggak bisa diajak kerjasama. Bisanya cuma berduaan sama cowok lain.” Dafa membalas dengan nada sengit.
Aku sudah membuka mulut, tapi terlalu lelah untuk melanjutkan perdebatan enggak penting ini. Jadi, aku putuskan untuk mengalah daripada membuatku makin sakit kepala.
Berdua saja dengan Dafa seharusnya menjadi red light untukku.
“Aku mau pulang,” serbuku.
“Enggak bisa. Kamu ikut ke rumahku. Kita udah ada rencana buat bikin konten. Tim kamu udah di rumahku. Jadi, kamu jangan ngeselin kayak gini.” Dafa berkata tegas, sebelum kembali menjalankan mobilnya begitu lampu berganti jadi hijau.