Waktu dua minggu rasanya belum cukup. Selama dua minggu ini aku berlatih untuk audisi, menghafal dialog yang harus aku perankan, melatih ekspresi agar sesuai dengan yang diharapkan dari seorang Sasta. Aku juga berlatih lagu yang dibawakan Sasta agar lebih total saat audisi. Meski sudah latihan keras, rasanya aku belum siap untuk mengikuti audisi ini.
Selama dua minggu ini pula aku sering latihan ditemani Ansel. Meski ada pujian dan dukungan dari Ansel, tetap saja tubuhku diguyur keringat dingin saat berjalan menuju auditorium bareng Arisha.
“Break a leg. Lo pasti bisa taklukin audisi ini. Tapi, jangan jadi beban. Kalaupun gagal, ya enggak apa. Yang penting udah berusaha.”
Refleks bibirku tertarik membentuk senyuman ketika membaca pesan Ansel. Selama dua minggu ini dia enggak henti-hentinya mendukungku. Ansel boleh bilang kalau dia enggak ngerti apa-apa soal akting, tapi dia tandem latihan yang baik. Dia bisa memberikan kritik sekaligus masukan, meski Ansel bilang itu cuma pendapat orang awam.
Tanganku bergerak cepat di atas layar handphone untuk membalas pesan Ansel.
“Thanks, An. Gue deg-degan banget. Tahu gitu gue bawa lilin titipan nyokap lo buat nenangin diri.”
Enggak lama, balasan Ansel masuk ke handphone-ku, diawali emoticon tertawa.
“Yang benar aja lo bawa lilin ke atas stage. Enggak usah ngaco. Trust me, you’ll be good.”
Aku menghela napas, rasanya aku bisa mendengar Ansel ngomong langsung di dekatku, bukan lewat perantara chat ini.
Sebuah tepukan di pundak mengagetkanku. Aku berbalik dan mendapati Arisha berdiri di depanku.
“Yuk,” ajaknya.
Arisha setuju untuk ikut. Berbeda denganku, Arisha sama sekali enggak panik. Dia tenang banget, malah menurutku kelewat tenang. Arisha beralasan kalau audisi ini sekadar nothing to lose. Kalau dapat ya bagus, kalau gagal ya enggak masalah. Namun, bagiku Arisha bisa tenang karena dia punya kemampuan. She’s a natural born genius. Jadi, akting adalah perkara gampang bagi Arisha. Dia bisa terlihat natural, bahkan dengan latihan seadanya.
Aku yakin Arisha akan tampil memukau, sementara aku cukup berharap agar suaraku bisa keluar dan enggak melakukan kesalahan fatal yang akan mempermalukan diriku nantinya.
“Good luck. Gue enggak lihat, ya. Udah ada janji,” ujar Ghania sambil mengikat rambutnya dengan scrunchie merah bermotif tartan. Ghania melambai sebelum berbalik menuju ke arah yang berlawanan.
Aku menghela napas panjang sebelum melanjutkan langkah menuju ke auditorium tempat audisi diadakan.
Pementasan ini menarik animo yang besar. Kayaknya hampir semua murid mengikuti audisi. Ini baru hari pertama, tapi sudah banyak yang antre.
“Hai, Key. Mau ikut audisi?” tanya Ririn, temanku, ketika aku baru saja selesai mendaftar ulang sebelum masuk ke auditorium. Ririn bertanggung jawab mengecek pendaftaran ulang. “Lo bisa tunggu di dalam, ya. Lo dapat nomor urut di awal soalnya. Setelah itu Arisha.”
“Thanks, Rin.”
“Good luck,” seru Ririn, sebelum beralih ke murid kelas satu yang antre di belakang Arisha.
Ketika masuk ke auditorium, semua kursi sudah penuh. Entah mereka ikut audisi, atau cuma pengin menonton audisi. Melihat auditorium yang padat, aku jadi makin deg-degan.
“Santai aja, Key. Kayak lo belum pernah ikut casting aja.” Arisha berusaha menenangkanku.
“Ini rame banget, gimana gue bisa tenang?”
Arisha melirikku dengan senyum terkulum. “Kan, lo udah sering tampil depan umum. Segini mah jumlahnya kecil.”
Aku memang sudah terbiasa tampil di depan umum, tapi audisi ini sesuatu yang berbeda. Bagiku, ini sebuah titik balik. Apakah aku bisa terus dengan keinginanku untuk mendalami acting atau seharusnya sadar kalau ini bukan buatku ketika audisi ini gagal?
Suara tepuk tangan mengagetkanku. Di atas stage, ada Sofia, murid kelas satu, yang baru saja melantunkan lagu milik Sasta dengan lantang dan jernih. Mendengarnya membuat perutku mendadak mulas. Sofia tampil sangat bagus, membuatku jadi makin khawatir. Jangankan bisa tampil lebih bagus dari Sofia, aku enggak yakin bisa mengimbanginya.
Sejauh ini, setiap peserta audisi tampil dengan sempurna. Mereka sepertinya melakukan persiapan total dengan sangat matang. Lagi-lagi aku merasa kalau persiapanku enggak ada apa-apanya.
“Apa gue mundur aja, ya, Sha?” tanyaku.
“Enggak ada waktu lagi. Tuh, nama lo udah dipanggil.”
Aku meringis ketika mendengar namaku dipanggil.
“Good luck. Break the leg.” Arisha menyemangati, tapi yang ada perutku malah semakin melilit.
Langkahku terasa berat ketika kupaksakan untuk menuju stage. Di sana sudah ada Tammy, Mr. Sam yang juga pengasuh Act 8, dan Melisa, senior seangkatan Trin yang dulu bintangnya Act 8. Melihat mereka menatapku dengan wajah serius serta antusiasme tinggi, aku jadi semakin ingin mundur.
Namun, enggak ada waktu untuk jadi pengecut.
“Karianna, thank you for coming. Just take your breath until you’re ready,” sambut Mr. Sam.
Aku mengikuti sarannya, menarik napas pelan-pelan untuk meredakan debaran di jantungku. Aku memang enggak bisa membawa lilin, tapi seenggaknya tadi aku menghirup essential oil dengan aroma lavendel sebagai obat untuk menenangkan diri.
“Ready?” tanya Mr. Sam.
No, I’m not. Namun, aku enggak bisa mengulur waktu lagi, jadi aku mengangguk.
“Coba scene 12, ya. Sekalian sama bagian nyanyi juga,” ujar Mr. Sam.
Sekali lagi, aku menghela napas panjang sebelum bertransformasi sebagai Sasta.
“Dream a dream away…” Aku mengakhiri nyanyian itu dengan desahan. Setelahnya, aku menarik napas panjang.
Jantungku rasanya nyaris berhenti ketika menunggu tanggapan dari seisi auditorium.
Baru ketika Mr. Sam mengangkat kedua jempolnya, dan tepuk tangan menggema di auditorium—meski enggak seriuh saat penampilan Sofia—aku baru bisa menarik napas lega.