“Key.”
Aku sedang menuju kelas Bahasa Inggris ketika mendengar seseorang memanggilku. Saat berbalik, aku mendapati Tammy menuju ke arahku.
Tammy temanku di sekolah. Kami sesekali berada di kelas yang sama, tapi aku enggak begitu akrab dengannya. Saat ini, Tammy menjabat sebagai ketua ekskul teater. Meski Trin sudah lulus, sesekali dia masih berhubungan dengan Act 8, ekskul teater di sekolahku, terlebih dengan Tammy.
“Hai, Tam,” sapaku.
“Lo mau ke kelas Bahasa Inggris, kan? Bareng ya, gue juga mau ke sana.”
Tammy berjalan di sampingku menuju kelas Bahasa Inggris yang terletak di lantai dua. Sudah dua tahun mengenalnya, kayaknya baru kali ini aku berjalan menuju kelas bareng Tammy.
“Lo udah dengar belum kalau Act 8 mau produksi pementasan? My first big project sejak jadi ketua,” cetus Tammy.
Aku mengangguk, pernah mendengar selentingan kabar itu. Ada banyak ekskul di sekolahku, dan setiap murid wajib ikut minimal satu ekskul. Aku memilih cheerleader, meski enggak begitu aktif karena kesibukan di luar sekolah cukup menyita waktu.
Salah satu yang paling eksis adalah Act 8, sudah turun temurun mereka selalu sukses menghasilkan pementasan teater yang keren. Enggak heran kalau Act 8 jadi primadona, sehingga untuk masuk ke sana sangat sulit. Apalagi untuk terlibat di produksi, proses casting mengalahkan casting film. Mereka memang enggak main-main soal produksi, karena membawa nama sekolah.
Salah satu yang paling sukses yaitu drama musikal berjudul Jakarta Kini dan Nanti, yang diproduksi Trin sewaktu jadi ketua. Dia menjadi sutradara sekaligus pemeran utama. Triple threat. Sponsor banyak berdatangan, tiket sold out, bahkan masuk pemberitaan. Untuk ukuran pementasan anak SMA, Jakarta Kini dan Nanti jadi benchmark baru yang sulit buat dikalahkan.
“Lo tahu sendiri, kan, kalau Jakarta Kini dan Nanti tuh impact-nya gede banget. What a big challenge for me.” Tammy terkekeh.
Sekali lagi aku mengangguk, mencoba mengikuti ke arah mana pembicaraannya.
“Sebentar lagi akan ada audisi, terbuka buat siapa aja, enggak hanya anak Act 8. Lagian ini produksi besar, jadi kita butuh banyak talent. Tapi, ada beberapa karakter yang gue, dan tim produksi, ngerasa cocok diperanin sama murid tertentu. Salah satunya lo.” Tammy menatapku lekat-lekat.
“Hah? Gue?” Pernyataan Tammy membuatku seperti ditodong, sehingga aku jadi gelagapan.
“Kalau lo sempat, mau ikut audisi enggak? Nanti gue share peran yang gue maksud, tapi lo juga terbuka buat audisi peran lain,” timpal Tammy.
Wait a minute, Tammy mengajakku ikut audisi? Ini memang pementasan teater skala sekolah, but this is a huge opportunity.
Oke, sedikit alasan kenapa aku langsung bersemangat karena Trin. Meski sudah lulus, nama Trin masih sering digaungkan di sekolah. Tentu saja, posisiku sebagai adik Trin turut disorot. Aku belum menorehkan prestasi berarti di sekolah ini, sehingga keberadaanku di bawah Trin. Tawaran Tammy menggiurkan, mungkin ini caranya aku bisa menyejajarkan diriku dengan Trin.
Alasan lainnya, kalau produksi ini sukses, aku bisa menjadikannya sebagai portofolio. Jakarta Kini dan Nanti membuat pementasan setelahnya jadi lebih disorot, termasuk oleh media mainstream. Tentu saja aku akan ikut disorot kalau terlibat di sini.
Sekaligus pembuktian kalau aku juga bisa akting.
Mama pasti akan setuju, karena meski enggak mendatangkan keuntungan nyata secara langsung, keuntungan jangka panjangnya sangat menjanjikan. Lagian, kalaupun Mama enggak setuju, itu urusan belakangan. Aku akan membujuk Mama sampai setuju.
Jadi, aku mengangguk antusias di depan Tammy.
Tammy menjabarkan garis besar ide cerita yang diangkatnya. Dari ceritanya, aku bisa melihat betapa besar ambisi Tammy. Dia juga jadi sutradara sekaligus pemeran utama. Mungkin Tammy berharap bisa mendulang kesuksesan yang sama seperti Jakarta Kini dan Nanti.
Ide cerita yang disampaikan Tammy terdengar seperti homage untuk Jakarta Kini dan Nanti, tapi aku memendamnya. Aku enggak mau komentarku merusak antusiasme Tammy.
“Jadwal audisinya setelah jam terakhir. Lo share aja jadwal lo, jadi nanti bisa gue sesuaiin,” ujar Tammy, saat kami sampai di kelas. Dia ikut berhenti di dekat mejaku.
“Oke. Thanks, ya Tam.”
“Any time. Gue tunggu, ya. Awas lo jangan sampai enggak datang.” Tammy melambai sebelum meninggalkan mejaku dan menuju ke mejanya di sisi kanan kelas.
Aku meletakkan buku di atas meja, dan menyadari Arisha menatapku.
“Lo ngapain sama Tammy?” tanyanya.
“Dia ngajakin gue ikut audisi di Act 8.” Aku menjawab singkat.
Arisha menganggukkan kepalanya. “Dia ambisius banget, pengin bikin yang lebih grande dibanding Jakarta Kini dan Nanti.”
Keberadaan benchmark ya buat dikalahkan, jadi enggak heran kalau Tammy punya ambisi sebesar itu.
“Lo serius mau ikutan?” tanya Arisha.
“Kenapa enggak? Lagian, cuma audisi. Belum tentu juga dapet perannya. Lo juga mau?”
Arisha mengangkat bahu. “Pengin, sih. Tapi gue maunya jadi cowok.”
Berhubung sekolahku khusus cewek, jadi untuk peran cowok harus dimainkan oleh cewek. Ini yang membuat peran cowok jadi lebih menantang, sekaligus jadi rebutan. Trin jadi pemeran utama cowok, dan dia sukses memerankannya dengan apik. Sementara aku enggak seberani Trin. Walaupun dibantu oleh makeup untuk kelihatan kayak cowok, struktur wajahku terlalu lembut buat jadi cowok.
Sementara Arisha berbeda. Wajahnya yang dingin membuatku yakin dia cocok jadi peran cowok.
“Kita audisi bareng, ya. Like the old time.” Aku terkekeh, yang diikuti oleh Arisha. Aku menoleh ke belakang, bermaksud untuk menanyakan hal yang sama kepada Ghania. Tapi, dia enggak ada di mejanya. “Where is she?”
“Dipanggil ke ruang BK di jam pertama.”
“Masalah apa lagi?”
“Roknya kependekan, plus rambutnya hijau terang.”
Aku menggelengkan kepala mendengar jawaban Arisha. Sudah enggak terhitung berapa kali Ghania dipanggil guru dan mendapat poin minus karena penampilannya yang melanggar aturan, tapi dia masih saja tambeng.
Pelanggaran yang dilakukannya tergolong kecil, dan Ghania selalu memastikan poin yang dimilikinya dalam batas aman sehingga boleh ikut ujian. Meski begitu, ada satu bagian di dalam diriku yang pengin melakukan hal yang sama dengan Ghania. Sekali saja, aku mau bersikap sesuka hati dan enggak peduli, apakah tindakanku akan menimbulkan komentar negatif atau protes dari Mama.
Just once in my life.