Jadi orang ketiga itu enggak enak banget, ya. Maksudku, bukan orang ketiga yang punya niat merebut pasangan orang lain. Aku memang menyukai Ansel, tapi enggak pernah kepikiran buat merebutnya dari Nashila.
Maksudku, menjadi orang ketiga di mobil ini, membuatku merasa seperti ban serap yang enggak diperhatikan. Sejak tadi, aku cuma duduk diam di jok belakang. Sesekali menanggapi pertanyaan Ansel. Soalnya Ansel lebih sering mengobrol dengan Nashila.
Bukan hanya Ansel yang memperhatikan Nashila. Diam-diam, aku juga melirik Nashila. Dalam hati, membandingkan diri dengannya. Mencari penyebab kenapa Ansel lebih memilih Nashila?
Banyak yang bilang aku cantik. Malah, itu salah satu alasan mengapa aku bisa populer lewat foto-fotoku di Instagram. Bukan berarti Nashila jelek. Dia punya wajah yang manis, tanpa makeup dan natural. Namun, aku merasa lebih cantik. Jadi, kalau Ansel mengutamakan wajah, harusnya dia memilihku, dong?
Kalau ngomongin soal waktu, aku jauh lebih unggul dibanding Nashila. Dia baru mengenal Ansel enggak sampai setahun, aku sudah belasan tahun. Namun, perkenalan belasan tahun itu tetap enggak membuat Ansel melirikku.
“An, diangkat kenapa teleponnya?”
Pertanyaan Ansel mengagetkanku. Saking fokusnya mengamati Nashila, sampai-sampai aku enggak menyadari ada yang menelepon.
Aku sempat melihat nama Dafa sebelum mengangkat telepon itu.
“Hai, Daf,” sapaku.
“Key, kata Kenny ada tas dari Korea gitu bakal masuk ke Indonesia. Play no More.” Dafa memberitahu.
“Hah?” Oke, aku enggak paham maksud Dafa. Memangnya kenapa kalau ada brand baru dari Korea atau dari manapun membuka tokonya di Indonesia? Aku tahu brand yang dimaksud Dafa, tapi aku bukan penggemar brand itu, enggak perlu ikutan antre bareng ribuan orang yang berebutan mau dapetin tas itu.
“Aku kepikiran konten bareng, deh. Surprise gitu buat kamu, aku kasih tas.”
Keningku berkerut, mencoba mengikuti arah ucapan Dafa.
“Ntar aku yang ngomong sama Mama Nica. Pasti setuju, deh,” lanjutnya.
“Terus?”
“Nanti kamu yang beli tasnya. Bilang sama Mama Nica, deh. Kali aja Mama Nica bisa dapetin brand itu buat kamu, jadi enggak perlu beli. Abis itu aku bikin konten surprise tas itu dari aku.”
Aku melongo mendengar ucapan Dafa. Di seberang sana, dia tertawa pongah. Seolah-olah baru saja melontarkan ide jenius yang membuatnya layak diganjar penghargaan sekelas Nobel.
“Harus gercep, Key. Jangan keduluan yang lain.”
Ini bukan kali pertama Dafa menyeretku ke dalam konten bohongan. Baru bulan lalu dia mengunggah konten memberiku surprise staycation bareng teman-temanku di villa di Dago. Katanya, dia yang mengatur semua surprise itu. Nyatanya? Mama yang mendekati pihak villa dan mendapatkan layanan menginap selama weekend. Tadinya cuma aku dan teman-temanku saja, tapi Dafa berpikir lain. Menurutnya, akan lebih menarik kalau dia berpura-pura memberikan surprise.
Hashtag, relationship goals.
“Ya udah, kamu aja yang ngomong sama Mama.”
“Okay, deal. Dah, Key.”
Dafa memutus sambungan telepon begitu saja.
“Dafa?” Ansel bertanya sambil melirikku dari spion tengah.
Aku menyahut dengan anggukan pelan.
“Mau bikin konten apa lagi?”
“Ada brand tas baru, dia mau bikin surprise gitu katanya. Ngadoin gue tas itu,” jawabku.
“Ngadoin atau nyuruh lo yang beli?”
Ansel selalu tahu kejadian yang sebenarnya terjadi di belakang layar. Dia pernah bertanya kenapa aku mau ikutan ke dalam setting-an yang dibuat Dafa?
Jujur saja, aku juga enggak paham kenapa mau. Bahkan, hubungan pacaran dengan Dafa juga sebatas setting-an. Aku enggak tahu perasaan Dafa kepadaku, tapi aku bisa menebak kalau dia juga enggak benar-benar menyukaiku. Tindakan Dafa di depan kamera sangat berbeda dengan di belakang kamera. Saat di depan kamera, dia bisa jadi pacar sempurna yang—mengutip dari kata-kata penggemarnya—sangat romantis seperti pangeran di film Disney. Dia bahkan dijuluki Prince Dafa oleh penggemarnya.
Adegan super romantis ketika Dafa menembakku, dengan dua puluh tangkai mawar dan makan malam romantis, itu juga sudah melewati skenario yang dibuat Dafa bersama Mama.
Enggak ada kata setting-an yang diucapkan dengan gamblang, tapi baik aku atau Dafa sama-sama tahu hubungan ini hanya pura-pura, demi keuntungan semata.
“Enggak capek bikin video kayak gitu terus?” tanya Nashila. Dia sengaja melongok ke jok belakang, agar aku bisa melihat keseriusan di balik pertanyaan itu.
Capek? Sudah enggak terhitung berapa kali aku merasa capek. Aku juga sudah lupa berapa kali meminta agar Mama mengurangi aktivitasku. Setidaknya, mengurangi konten setting-an. Namun, Mama menolak.
Aku enggak bisa mengikuti semua keinginan Mama. Makin lama, tuntutan Mama makin banyak. Awalnya aku enjoy nge-vlog, tapi setelah ide Mama yang makin enggak masuk akal, aku enggak lagi nyaman.
“Enggak, sih. Gue enjoy soalnya, jadi enggak ngerasa beban,” sahutku. Bohong banget, tapi aku enggak mungkin jujur, kan, di depan Nashila?
Ansel tertawa kecil. Saat melihatnya melirikku dari spion, aku tahu dia menangkap kebohonganku.
“Gue enggak kebayang, sih, jadi lo. Harus mikirin konten setiap hari. Ke mana-mana atau mau makan apa, mau pakai baju apa, pasti mikirnya buat Instagram atau YouTube. Bahkan, masalah pribadi aja diumbar.” Nashila melanjutkan.
“Ya enggak usah dibayangin kalau gitu.”
Sumpah, aku enggak bermaksud untuk kasar. Tapi, kalimat itu meluncur begitu saja.
Selama sesaat, suasana di dalam mobil jadi hening. Rasanya jadi canggung.
“Maksud gue, buat yang ngelihat mungkin mikirnya kayak gue tuh capek banget. Apalagi yang dikerjain kayak enggak penting gitu. Tapi selama gue enjoy, ya, gue enggak masalah.” Aku berusaha menjelaskan.
Namun, suasana canggung itu masih terasa. Ansel mengalihkan perhatian dengan menceritakan soal pelanggannya di Heart Scent. Upayanya enggak berhasil, karena baik aku atau
Nashila, sama-sama enggak tertawa mendengar ceritanya.