Duduk di kelas 2 SMA, artinya sudah saatnya mikirin nantinya mau jadi apa. Minimal, mau kuliah di mana dan jurusan apa.
“Gue mau ambil Psikologi. Maunya UI, kayak nyokap,” ujar Arisha. Dia terdengar mantap, seolah-olah pilihan itu sudah lama dibuatnya.
“Gue belum tahu, sih. Lihat nanti, deh. Yang gampang aja, kuliahnya santai, biar sambil kerja,” timpal Ghania.
Arisha memutar bola mata saat mendengar ucapan Ghania. Mereka memang sangat bertolak belakang. Meski di depan layar Arisha dan Ghania selalu menampakkan sepasang sahabat karib, sebenarnya enggak ada satu pun yang membuat mereka bisa nyambung. Arisha enggak akan pernah hangout berdua saja bareng Ghania, bisa pecah perang dunia kalau mereka cuma berdua.
Aku suka berteman dengan Arisha. Dia satu dari segelintir orang yang sudah kukenal jauh sebelum aku terkenal karena Instagram. Walaupun baru satu sekolah saat SMA, sebelumnya aku cukup akrab dengan Arisha. Aku mengagumi Arisha yang tegas, meski menurut banyak orang, dia keras kepala. Jika sudah memutuskan sesuatu, jangan harap bisa mengubah pendiriannya. Buktinya, Arisha enggak bergeming meski tawaran sinetron atau FTV banyak berdatangan.
Lain halnya dengan Ghania. Jujur, aku enggak begitu nyaman hanya berdua saja dengan Ghania. Aku memang enggak sakit hati ketika Ghania blak-blakan ingin numpang tenar, tapi kadang caranya yang terlalu blak-blakan itu membuatku enggak nyaman. Masalahnya, Mama menyukai Ghania yang berpotensi mendatangkan keuntungan. Mama menyayangkan keputusan Arisha, tapi dalam hati juga senang. Artinya, berkurang satu saingan untukku.
“Lo mau kuliah di mana?”
Pertanyaan Arisha sama seperti yang ditanyakan Miss Julia saat konseling tadi. Sama seperti tadi, aku enggak punya jawabannya.
“Belum kepikiran, sih.”
“Kalau jadi lo, gue enggak bakalan pusing mau kuliah di mana. Lagian lo enggak butuh gelar. Enggak perlu kuliah juga hidup lo udah enak,” timpal Ghania.
“Enggak gitu juga, Ghe. Kuliah, kan, penting.”
“Kuliah akting aja,” timpal Arisha. “Kan, lo suka.”
“Tapi, kan, akting dia jelek.” Ghania tertawa tertahan.
Satu hal lagi yang membuatku merasa enggak nyaman dengan Ghania, dia terlalu blak-blakan sampai-sampai enggak sadar ucapannya menyakiti orang lain.
“Karena itu, kan bisa belajar biar bagus,” bela Arisha.
“Enggak pernah kepikiran, sih. Tapi boleh juga. Lagian, masih ada waktu buat mikirin. Enggak mau buru-buru,” kilahku.
Sudut mataku menangkap mobil yang sudah akrab denganku, tengah memasuki pekarangan sekolah.
“Kirain lo dijemput Dafa.”
“Dia lagi bikin konten prank apa gitu sama temannya, jadi enggak bisa jemput,” sahutku. Berbeda denganku, Dafa homeschooling. Sebenarnya dia enggak sesibuk itu, sampai-sampai harus homeschooling. Namun, Dafa suka ide terlihat sibuk dan sangat eksis, sehingga sejak naik ke kelas 2, dia pun homeschooling.
Mama pernah mencetuskan ide homeschooling, yang langsung kutolak mentah-mentah. Aku didukung Papa, yang enggak akan mentolerir jika pendidikan jadi nomor dua.
Mobil putih itu berhenti di depanku. Dari jok penumpang, muncul Theo. Dia membiarkan pintu terbuka sementara menghampiri Arisha.
“Thanks, Sel,” serunya sambil melambaikan tangan ke dalam mobil.
“Duluan, ya,” ujarku pada teman-temanku, sebelum menempati tempat yang tadi diisi Theo. “Hai, An. Thanks udah mau jemput.”
Pagi tadi, aku berangkat ke sekolah bareng Ansel. Biasanya aku diantar sopir, tapi sesekali aku berangkat bareng Ansel. Meski enggak satu sekolah, tapi kami satu arah sehingga aku enggak merepotkan Ansel kalau nebeng.
Sekolahku enggak begitu jauh dari rumah, hanya berjarak sekitar 20 menit kalau enggak macet. Di jam pulang sekolah seperti ini, BSD enggak begitu macet sehingga aku enggak perlu kelamaan di jalan. Berbeda saat SMP dulu, butuh waktu satu jam lebih untuk sampai ke sekolahku di Pondok Indah. Karena itulah, waktu masuk SMA, aku meminta sekolah dekat rumah saja.
“An, lo kan udah kelas tiga, nanti mau kuliah di mana?” tanyaku, begitu Ansel menjalankan mobilnya keluar dari kompleks sekolah. “Tadi ada jadwal konsultasi sama Miss Julia, kayaknya cuma gue doang, deh, yang belum tahu mau kuliah di mana.”
“Lo masih mau jadi guru?”
Tawaku pecah saat mendengar pertanyaan itu. Waktu SD, aku suka banget sama guruku waktu itu, Miss Rani. Jadi, aku mau menjadi guru kalau sudah besar.
“Waktu SMP, cita-cita gue pengin jadi Arkeolog.”
“Gara-gara National Treasure,” kekeh Ansel. “Lo juga sempat mau jadi produser TV. Obsesinya mau bikin Gossip Girl.”
Cita-citaku sering berubah. Menurutku, itu bukan cita-cita. Hanya keinginan sesaat, makanya bisa berubah dengan cepat. Tergantung, saat mengucapkannya aku sedang suka apa.
“Lo masih mau jadi pilot?” Waktu kecil, Ansel pernah ingin jadi pilot, karena papaku yang pilot terlihat keren di mata Ansel kecil.
“Lo juga mau jadi pramugari, kalau gue jadi pilot.”
“Sekarang, masih mau? Gue jadi pramugari, deh, kalau lo jadi pilot.”
“Enggak, kalau jadi pilot ‘ntar nyokap sama siapa. Mau kerja yang enggak harus jauh-jauh, biar bisa jagain nyokap,” sahut Ansel.
Sebagai anak tunggal, Ansel sayang banget sama ibunya. Apalagi, sejak kecil hanya ada mereka berdua. Tepatnya, setelah Ansel kehilangan ayahnya. Kadang ada Tante Lea, yang sering menginap di rumahnya, dan membantu Tante Silvia menjaga Ansel kalau dia harus keluar kota.
“Jadi, bakal kuliah di Jakarta aja?”
“Bandung, sih. Gue mau ITB.”
Jawaban Ansel membuat otakku berputar cepat memikirkan soal ITB. Aku belum pernah menyinggung kampus itu sebelumnya.
“Ada jurusan yang cocok buat gue enggak? Bisnis? Papa pasti senang, sih, kalau gue ambil bisnis. Soalnya Trin ambil hukum.”
Ansel membelokkan mobilnya memasuki kompleks perumahanku. “Lo mau di ITB karena ikut-ikutan gue?”
Aku menyengir lebar, dan Ansel tahu jawabanku.
“Enggak bosan bareng gue mulu?”
Refleks aku menggeleng. “Lo bosan bareng gue?”
“Kadang, sih,” godanya, membuatku memberengut. “Bercanda, An.”
Ansel memarkir mobilnya di depan rumahku. “Masih ada waktu buat mikirin. Orangtua lo bisa kasih saran. Tapi, kalau mau kuliah bareng, sih, gue senang banget. Best friend forever?”
Aku memaksakan diri tersenyum sementara dalam hati sebenarnya enggak rela mendengarnya. Best friend forever? Aku enggak mau jadi sahabat Ansel selamanya.
Suasana rumah yang ramai menyambutku. Di ruangan yang tadinya diperuntukkan sebagai kamar tamu, dua tahun terakhir disulap Mama menjadi studio untuk syuting vlog, banyak yang berseliweran. Aku melambai sekilas ke arah tim produksi, sebelum menuju ke kamar. Namun, panggilan Mama menahanku.
“Kamu ganti baju, terus lanjut syuting, ya. Unboxing kado.”
Aku menahan diri untuk enggak mengeluh. Sejujurnya, aku merasa capek hari ini. Niatnya mau istirahat sebentar dan nanti sore ada janji bersepeda keliling kompleks bareng Ansel. Namun, niat itu terpaksa kuurungkan karena ada jadwal syuting.
“Tan, boleh numpang foto, kan?” tanya Ansel.
“Boleh. Yang bagus, tapi.” Mama tergelak.
Ansel mengikutiku ke kamar dan meletakkan ranselnya di dekat meja belajar. Dia mengeluarkan kamera yang lumayan besar dan berat dari dalam ransel. Pantas ranselnya selalu terlihat padat.
“Lo bawa kamera terus ke sekolah?”
Ansel mengangguk. Dia tengah berkonsentrasi mengutak atik kamera itu. Aku meninggalkannya dan menuju kamar mandi untuk ganti baju. Aku melepas seragam sekolah dan menggantinya dengan short jeans dan kaus putih dengan logo Barbie di bagian dada. Pakaian kebesaranku setiap kali di rumah. Oleh karena tema vlog kali ini santai, hanya unboxing kado, aku enggak perlu ribet mikirin pakaian yang pas.
Saat keluar dari kamar mandi, aku enggak mendapati Ansel. Dia sudah berada di studio, ikut sibuk bersama tim produksi yang dipimpin oleh Mas Dwi.
“Yah, kado dari lo udah gue pakai. Enggak sempat unboxing,” seruku.
Ansel menyengir lebar. “Enggak penting, sih. Lagian, video kayak gini ada yang suka?”
Aku mengangguk tipis. Ansel enggak begitu tertarik dengan YouTube, tapi dia sering mengkritisi konten yang muncul di sana.
“Kadonya udah lewat sensor Mama Nica?” bisik Ansel.
Sambil menahan tawa, aku mengangguk. Mama sudah menyortir kado mana yang akan dipamerkan. Sebelumnya aku sudah membuka kado ini, makanya aku tahu mana kado dari Ansel dan langsung memakainya. Mama memilih kado dari orang yang menurutnya berpotensi menimbulkan komentar dan kado yang bombastis. Jadi jangan harap ada kado yang biasa-biasa saja. Mama juga sudah mengatur urutan kado yang akan di-unboxing. Sebagian selotip perekat sudah dibuka, biar aku enggak kesulitan membukanya sambil bicara di depan kamera.
Kado pertama, dari orangtuaku. Aku memasang ekspresi semringah saat melihat sling bag. Sekaligus memamerkan logo Dior di kamera, untuk mendapatkan kesan mewah. Ulang tahun ke-17 dapat tas Dior terbaru? Well, jenis kado yang akan menjadi headline berita dan mendulang komentar.
Lanjut, kado Trin. Ini bukan kado Trin yang sebenarnya. Dia memberikanku hadiah buku persiapan UN, yang mendapat penolakan dari Mama. Sehingga, Mama membeli hadiah lain dan berpura-pura itu kado dari Trin. Sepasang knee high boots dari Stuart Weitzman lebih cocok jadi kado dari kakakku, ketimbang buku persiapan UN. Well, kakakku itu memang unpredictable. Siapa juga yang menduga akan mendapat hadiah buku persiapan UN?
Selanjutnya, kado dari Dafa. Mama sempat nge-cut bagian itu dan menyuruhku untuk terlihat lebih ekspresif lagi.
“Kalau dapat kado dari pacar harus lebih senang ekspresinya.”
So much for daily vlog. Semuanya sudah diatur, enggak ada yang real.
Jadi, aku memasang ekspresi senang yang sangat berlebihan saat membuka kado dari Dafa. Sebuah gelang cantik, mungkin hasil endorse, aku enggak tahu. Aku memasang gelang itu di pergelangan tangan kiri dan memamerkannya di hadapan kamera.
“Thank you so much, Babe. I love it,” ujarku. Tanpa sadar aku melirik Ansel, yang memutar bola mata. Dia membisikkan kata fake tanpa suara, lalu tertawa.
Sepintas lihat, syuting ini enggak membutuhkan keahlian apa-apa. Hanya butuh kepalsuan. Aku enggak terlalu akrab dengan mereka yang kadonya kubuka, tapi harus bersikap sangat gembira, seolah-olah mereka adalah orang yang penting di hidupku.
Mungkin ini yang membuat aktingku dibilang jelek, karena di video sendiri, aku harus bersikap berlebihan.
**
“Kalau lo yang foto, kok angle kiri gue kelihatan biasa aja, ya?” tanyaku sambil lalu. Mataku terpaku pada layar kamera Ansel, melihat hasil jepretannya. “Lo sengaja motretnya dari kiri mulu.”
“Kan, cuma ada space di sebelah kiri,” timpalnya. Studio mini itu hanya sebesar kamar tidur, enggak begitu luas. Ditambah dengan kru produksi yang lumayan banyak, sehingga ruang gerak Ansel terbatas.
“Bagus, An. Rahang gue enggak kelihatan lebar.”
“Karena memang enggak lebar.” Ansel menyahut asal. Dia tengah meniup pisang goreng panas yang disajikan Bi Ani.
Aku mau ikut memakan pisang goreng, tapi Mama ada di ruangan yang sama, dan matanya mengawasiku agar enggak mencomot pisang goreng.
Jadi, aku melupakan pisang goreng dan kembali fokus pada hasil foto Ansel.
“Kalau selfie, kok beda, ya?”
“Mana?” Ansel mengulurkan tangannya. Aku meraih handphone dan membuka galeri foto sebelum menyerahkannya kepada Ansel. Sambil makan pisang goreng, Ansel meneliti setiap foto yang ada di sana. “Lo selfie berapa kali sehari?”
“Enggak ngitung.”
“Banyak banget. Foto sampai lima ribu lebih, selfie semua, ya?”
Aku mengangkat wajah untuk menatapnya. “Dari dua puluh selfie, paling cuma satu yang berhasil. Gue jarang hapus foto, makanya banyak selfie gagal di situ.”
Kening Ansel berkerut. “Dari semua selfie, yang diambil dari angle yang sama, enggak ada bedanya. Sama aja kelihatannya.”
Aku meletakkan kamera Ansel di atas meja dan merebut handphone. Aku membuka selfie itu satu per satu di hadapan Ansel.
“Perhatiin, deh. Mata gue aneh banget di sini, kayak enggak seimbang.” Aku membuka foto selanjutnya. “Kalau ini bikin jerawat gue kelihatan. Tuh, di dekat hidung. Males banget enggak sih post foto jerawatan? Nah kalau ini, rambut gue kelihatan tipis sebelah. Kalau foto ini, lihat deh alis gue. Enggak simetris, kan?”
Aku bicara panjang lebar, tapi Ansel hanya melongo.
“An,” panggilku, gregetan karena dia hanya diam.
“Enggak ada yang perhatiin segitunya, An,” timpalnya.
“Ada, buktinya gue baru tahu kalau rahang kiri dan kanan gue enggak seimbang. Malah ada yang nyuruh gue buat operasi plastik, rahang kiri gue dikikis dikit biar define.”
Ansel menatapku dengan ekspresi ngeri.
“Tenang aja, masih bisa gue akalin pakai shading, sih. Tapi ya gitu, angle kiri gue enggak banget,” lanjutku.
“Perasaan waktu followers lo masih ratusan, atau sebelum lo kenal selfie apalagi Instagram, enggak pernah mikir sejauh ini.”
“Ya karena enggak ada yang ngasih tahu.”
Ansel mendecakkan lidah. Sambil menggelengkan kepala, dia meraih kameranya dan menyurukkannya ke pangkuanku. Di layarnya, ada fotoku sedang tertawa. Foto itu enggak diambil hari ini, mungkin kemarin ketika aku main ke Heart Scent. Tentu saja, foto itu dipotret dari arah kiri.
“Nothing’s wrong with your left side. Lo ngerasa ada yang salah karena dengerin omongan orang lain. Dulu lo pede banget, sekarang malah insecure sama hal kecil. Lo terlalu dengerin orang lain, jadinya ikut merasa ada yang kurang. Namanya juga manusia, pasti ada kurangnya,” beber Ansel.
Poin yang disampaikan Ansel ada benarnya. Setelah dipikir-pikir, aku jadi sering merasa kurang seperti ini karena omongan orang lain. Mengutip Ansel, orang yang tidak kukenal.
“Post foto itu, deh. Terus lihat, masih dikomentarin enggak?”
Aku kembali melirik hasil foto Ansel.
“Izin dulu sama Mama Nica, ntar gue direbus lagi karena lo asal post foto.”
Aku tertawa menanggapinya. “Thanks, ya, An.”
“Kurangin ya overthingking-nya.”
Aku mengangkat wajah dan menyengir lebar.
Gimana aku enggak makin naksir coba kalau dia selalu bisa membuat suasana hatiku jadi tenang kayak gini?