“Ini jadwal selama di Bali. Mama udah nyelipin syuting vlog bareng Dafa. Nanti juga ada vlog behind the scene, mereka udah setuju. Sekalian kolab bareng Kenny, lumayan buat ningkatin engagement.”
Untuk syuting Promises, Promises diadakan di Bali dan Jakarta. Sebagai supporting, aku enggak perlu ada di Bali sejak awal, dan cocok dengan jadwal izin tiga hari yang diberikan sekolah. Jadi, aku baru berangkat Rabu sementara Kenny, si pemeran utama, sudah berada di Bali sejak tiga hari sebelumnya. Setelah urusan syuting di Bali selesai, baru pindah ke Jakarta. Pihak produksi setuju kalau syuting diadakan sepulang sekolah. Apalagi, lokasi syutingnya di sekolahku sendiri, jadi enggak memakan waktu untuk berangkat ke lokasi syuting. Walau dari jadwal, ada beberapa adegan yang mengharuskanku berada di lokasi syuting sampai tengah malam.
Kelihatannya memang bakalan capek banget, tapi aku sudah enggak sabar. Ini proyek penting bagiku. Aku mau dikenal sebagai aktris, sehingga butuh karya nyata yang membuatku pantas menyandang title itu. Harapanku, dengan keterlibatan di web series ini akan membuka pintu untuk peran lain yang lebih serius dan skala lebih besar, sehingga aku bisa membungkam mulut haters yang menjuluki famous for just being famous. Alias enggak ada prestasi yang bisa dibanggakan.
“Ghania dan Arisha jadi ikut?”
“Katanya gitu,” sahutku.
“Nanti sekalian nge-vlog girl’s day out aja. Udah lama kalian enggak bikin konten bareng.” Mama menambahkan sesuatu di tablet. “Bilangin Arisha jangan ogah-ogahan, nanti vlog-nya malah enggak seru. Heran, deh, Mama sama dia. Selalu males-malesan.”
“Ya, karena Arisha udah enggak begitu mentingin media sosial lagi. Dia udah fokus mau persiapan kuliah,” sahutku.
“Baru juga kelas dua.”
Tanganku yang sedang menyuap sarapan jadi terhenti ketika mendengar penuturan Mama. Kalau Papa ada di sini, beliau pasti akan protes. Namun sayangnya Papa sedang tugas ke luar negeri jadi hanya ada aku dan Mama.
“Kayaknya cuma aku, deh, Ma yang belum tahu mau kuliah di mana.”
Mama melirik sekilas sebelum kembali ke layar tablet. “Kalau mau ambil gap year, Mama enggak keberatan. Jadi bisa fokus kerja dulu.”
Sekali lagi, aku merasa tertohok dengan penuturan Mama.
“Papa enggak bakal setuju.”
“Balik lagi ke kamu, kalau kamu beneran mau fokus ke karier, Papa bakalan setuju.” Mama terdengar sangat yakin.
“Yang mau fokus ke karier itu Anna apa Mama?”
Aku menoleh ke sumber suara dan mendapati Trin menuju meja makan sambil mengaduk isi tasnya.
“Ya adikmu. Mama yakin setelah web series ini Anna bakal dapat banyak tawaran.”
Trin melirikku dengan senyum simpul di wajahnya. “Of course. Mama bakal berusaha keras biar Anna dapat banyak tawaran.”
“Paling enggak, adikmu tahu caranya bersyukur. Enggak kayak kamu, padahal banyak orang yang mau dapat kesempatan ini, tapi kamu malah sia-siain. Banyak yang ragu memberikan tawaran akting buat Anna karena ulah kamu yang batalin kontrak begitu aja.” Mama berkata tegas.
Trin mengurungkan niatnya untuk sarapan. Alih-alih, dia mengambil tas dan bangkit berdiri.
“Kalau Mama memang sayang sama anak, Mama akan mendukung keputusanku.” Trin berkata dingin, lalu beranjak dari ruang makan tanpa berpamitan.
Aku mengikuti kepergian Trin dengan berjuta pertanyaan di benakku. Dibanding aku sekarang, dulu Trin jauh lebih sibuk. Trin juga pernah jadi artis cilik, dia bahkan sempat jadi host acara anak-anak selama empat tahun. Trin juga punya lebih banyak judul sinetron ketimbang aku. Waktu SMA, Trin akhirnya dapat peran di film. Namun, dia tiba-tiba mundur dari produksi itu.
Entah apa alasannya, saat itu aku masih SMP jadi enggak begitu paham. Namun, aku ingat kalau keputusan Trin membuat Mama meradang. Sejak saat itu, Mama sesekali menyinggung soal kejadian itu. Namun, aku masih clueless soal apa yang sebenarnya terjadi.
Namun, Trin enggak meninggalkan akting begitu saja. Aku tahu dia enjoy di depan kamera, tapi enggak mau terlibat di dunia entertainment. Akhirnya, Trin aktif di teater dan jadi ketua ekskul teater di sekolah. Sekarang Trin masih aktif di teater kampus. Tahun lalu, aku menonton pertunjukan teater kampus Trin.
She’s a real star.
“Trin kenapa, Ma?” tanyaku. Ini bukan kali pertama aku bertanya hal yang sama, tapi selalu mendapat jawaban mengambang. “Ketimbang aku, Trin lebih potensial. Dia lebih cantik, aktingnya lebih bagus, dan Trin benar-benar suka akting. Mama lihat sendiri gimana Trin di teater.”
Mama mengangkat bahu. “Kakakmu itu keras kepala. Mama juga menyayangkan kenapa dia enggak mau coba lagi, padahal kalau dia mau, dia pasti jadi aktris yang sudah diperhitungkan sekarang.”
Kadang aku berpikir kalau aku ini hanya ban serap di hidup Mama. Ketika dia enggak bisa lagi membujuk Trin, jadi dia mengalihkan perhatian kepadaku. Masalahnya, aku bukan Trin. Aku enggak bisa kayak Trin. Jadi, Mama harus berusaha lebih keras lagi untuk membuatku mendapatkan kesempatan yang sama seperti Trin. Aku bisa membuat daftar berisi hal yang membuatku iri kepada Trin, meski sampai saat ini aku hanya memendamnya sendiri.
Awal-awal, orang mengenalku sebagai adiknya Trin. Karianna, adiknya Katrina. Waktu kecil dulu, aku dapat pekerjaan karena statusku sebagai adik Trin. Kami sering dapat tawaran iklan bareng, pernah juga main sinetron sebagai adik kakak. Namun, sejak dulu akting Trin memang lebih bagus. Dia jadi bintang utama, sementara aku jadi supporting sebagai adiknya.
“Kamu jangan ikutin Trin. Dia terlalu keras kepala, cuek, enggak bisa diatur. Enggak pernah mau dengerin Mama. Apa yang Mama bilang pasti dilawan. Kayak hidupnya enggak tenang kalau enggak melawan Mama,” lanjut Mama.
“Enggak juga, sih, Ma. Trin enggak selalu ngelawan.” Aku ingin bilang kalau Mama juga sama, ada saja yang didebatkan dengan Trin. Namun, lagi-lagi, aku memilih untuk bungkam.
“Kamu fokus sama web series ini. Jangan bikin kacau, Mama sudah susah-susah dapetin peran ini buat kamu.” Mama menegaskan.
Aku mengangguk. Enggak perlu disuruh aku juga enggak mau bikin kacau.
“Cukup Trin aja yang bikin kacau, kamu jangan ikut-ikutan bikin Mama sakit kepala.”
“Memangnya Trin ngapain?”
Bukannya menjawab, Mama hanya mengibaskan tangan di depanku. Seperti yang sudah-sudah, kali ini pertanyaanku dibiarkan tanpa jawaban.
“Mama ikut ke Bali?”
Mama tergelak. “Tentu saja, biar kamu enggak bikin ulah jadi harus ada yang ngawasin.”
Seharusnya aku enggak perlu mempertanyakan hal itu.
“Dafa juga bakal ke Bali, sekalian bikin konten.”
“Theo katanya juga mau ikut,” timpalku.
“Theo?”
“Pacarnya Arisha, temannya Ansel.”
Kerutan di kening Mama membuatku tersadar sudah kelepasan. Seharusnya aku enggak usah membawa nama Ansel.
“Ansel ikut?”
Mama enggak menutup-nutupi ketidaksukaannya saat menyebut nama Ansel. Mama enggak melarangku berteman dengan Ansel, tapi sejak karierku meningkat, terlebih setelah pacaran dengan Dafa, Mama merasa Ansel sebagai ganjalan.
“Belum tahu, sih.”
“Lebih baik enggak usah. Dia enggak pernah mau ikut di vlog kamu, sekalinya ikut mukanya ditekuk mulu. Persis kakakmu.” Mama menimpali.
Berbanding terbalik dengan Mama, aku justru sangat berharap Ansel ikut ke Bali.