Gelap. Dingin. Sesak.
Arsya menggeliat, mencoba mencari posisi yang lebih nyaman, tetapi tidak ada ruang. Dinding-dinding keras menekan tubuhnya dari segala sisi. Udara terasa tipis, menyesakkan paru-parunya. Ia mencoba membuka mata, namun hanya kegelapan pekat yang menyambut. Suara-suara di luar terdengar samar, bagai bisikan dari dimensi lain, teredam oleh sesuatu yang tebal.
“Dingin… tolong…” bisiknya, suaranya tercekat. Napasnya tersengal-sengal, setiap helaan terasa mengganjal di dada. Aroma apek bercampur bau besi menguar tajam, menusuk hidungnya. Ingin ia berteriak, memukul dinding, tapi tenaga telah luruh. Hanya rintihan lemah yang lolos, diserap kegelapan.
Entah ini mimpi atau nyata—Arsya tak mampu membedakannya lagi. Sensasi dingin di kulitnya terasa begitu nyata, tapi kesadarannya mengambang seperti kabut yang tak berbentuk. Apakah ia masih bernapas? Atau ini hanya ilusi terakhir dari otak yang sekarat?
***
“Kamu dengar orang merintih?”
Suara berat itu memecah keheningan di dalam kabin mobil yang gelap. Pria di sampingnya—dengan jaket kulit hitam yang kusam dan topi yang menutupi sebagian wajahnya yang berahang keras—menoleh perlahan.
“Bukan aku,” jawabnya datar, pandangannya lurus ke depan. Matanya yang tajam menyipit. “Dan tidak mungkin anak itu.”
Keduanya terdiam sejenak, saling melirik dengan tatapan penuh kecurigaan. Kemudian, pandangan mereka serentak beralih ke arah benda besar berbentuk persegi panjang yang tergeletak di bagasi mobil.
“Sudahlah, fokus mengemudi!” perintah pria berjaket jeans di kursi penumpang, jari-jarinya yang kasar mengetuk-ngetuk dashboard dengan gelisah. Nadanya lebih keras, tidak sabaran.
***
Di tengah belenggu ketakutan yang mencekam, sebersit dorongan menyuarakan panggilan.
“Dok... Na..ta... Kek... Ka...kek... Tolong…”
Suara itu nyaris tak terdengar—atau mungkin hanya gema di kepalanya. Halusinasi dari suntikan? Atau panggilan jiwa kepada nama-nama yang pernah memeluknya? Ia tak tahu. Yang jelas, hanya kegelapan yang menjawab.
Detik demi detik berlalu tanpa makna. Arsya merasakan tubuhnya seolah melayang, kemudian tenggelam, berulang-ulang dalam ritme yang membingungkan. Apakah ini rasanya meregang nyawa? Ataukah ia sudah mati dan ini adalah ruang antara—limbo tanpa ujung yang menjebaknya di antara hidup dan mati?
***
Mobil berhenti dengan deritan pelan di depan sebuah gudang tua yang terpencil, jauh dari keramaian kota. Lampu jalan yang remang-remang nyaris tak mampu menembus kegelapan pekat yang menyelimuti area tersebut. Aroma tanah basah dan karat besi menguar dari bangunan tua itu, menciptakan atmosfer mencekam.
Pintu gudang terbuka perlahan, menampakkan siluet seorang pria tinggi yang berdiri tegak di ambang pintu, tangannya bersedekap dengan gestur penuh otoritas. Pak Nohan.
“Mana anak itu?” suara Pak Nohan terdengar tegas, tanpa basa-basi, begitu kedua penculik turun dari mobil. Matanya yang tajam menyapu ke dalam mobil, mencari-cari dengan sorot penuh perhitungan.
Pria berjaket kulit menyunggingkan senyum tipis yang menyebalkan. “Sabar, Pak Nohan. Barang sudah kami bawa sesuai pesanan.”
Mereka berdua membuka pintu belakang mobil dan dengan gerakan hati-hati menurunkan koper jumbo itu. Saat koper diletakkan di lantai gudang yang dingin dan berlumut, Pak Nohan melangkah mendekat.
“Anda bisa lihat sendiri,” ucap pria berjaket jeans dengan nada malas, sembari mengedikkan dagu ke arah koper. Suaranya lebih kasar dibanding rekannya.
Dengan napas yang terasa berat, Pak Nohan berjongkok di samping koper. Jemarinya yang kasar meraih ritsleting, menariknya perlahan, membuka celah kecil. Wajah pucat Arsya terlihat samar di dalam kegelapan.
Mendadak, raut wajah Pak Nohan berubah tegang. Kerutan dalam terbentuk di antara alisnya yang tebal. “Kalian… membunuhnya?” desisnya, bukan marah, tapi takut—seperti sedang menatap dosa yang akhirnya menjelma.
Pak Nohan melangkah kembali ke arah kedua penculik, tatapannya yang menusuk menuntut jawaban.
Untuk sesaat, terlihat kilatan emosi yang tak terduga di mata Pak Nohan—campuran kemarahan dan... kepanikan? Kekhawatiran? Penyesalan? Apapun itu, ekspresi itu segera lenyap, tertutup kembali oleh topeng profesionalisme yang dingin.
Pria berjaket jeans terkekeh pelan, tawa yang terdengar hambar di tengah keheningan gudang yang mencekam. “Santai, Pak. Kami sudah sering begini. Ini akan beres.” Ia menunjuk koper dengan dagunya yang ditumbuhi jenggot tipis. “Kami sudah pastikan mengikuti arahan Anda sampai akhir. Ini hasilnya. Lagipula, Anda butuh bukti, bukan?”
Kemarahan di wajah Pak Nohan berangsur mereda, digantikan oleh ekspresi perhitungan. Mereka benar. Bosnya, Pak Aswan, menginginkan Arsya menghilang tanpa jejak. Dilenyapkan. Seolah dari awal tak pernah ada. Dan untuk itulah, bukti perlu ia dapatkan.
Pak Nohan menarik napas. Matanya berkedip cepat. Ada sesuatu yang berubah di wajahnya—sesuatu yang lama terkubur: rasa takut. Atau… iba?
Ia mengeluarkan ponsel. Layarnya menyinari wajahnya dari bawah, membuat kerutan di wajahnya terlihat lebih dalam. Saat hendak memotret, ia berhenti. Pakaian Arsya nyaris tak bersisa—hanya kaus tipis dan celana yang membuat tubuh kecil itu tampak sangat ringkih.
Dia segera menggelengkan kepala, mengusir pikiran-pikiran yang mengganggunya. “Aku harus cepat,” gumamnya pada diri sendiri.
Ia mengambil beberapa foto close-up, memastikan setiap detail wajah Arsya yang tak berdaya tertangkap kamera: mata terpejam erat dengan lingkaran hitam di bawahnya, bibir membiru dan sedikit terbuka. Pak Nohan mengernyit saat melihat lebih teliti wajah Arsya. Bekas-bekas kemerahan di sekitar mulut anak itu begitu mencolok—garis-garis lecet yang terbentuk dari ikatan kain yang terlalu kencang. Sudut bibirnya robek sedikit, berdarah kering, memberikan gambaran betapa kuatnya Arsya berusaha melepaskan diri dari belenggu itu.
Setiap jepretan terasa seperti cambuk di punggung sendiri.
“Jika aku mundur sekarang, aku bukan hanya mati… aku musnah. Dan aku sudah terlalu jauh untuk diampuni.”
Kemudian, ia merogoh ke dalam koper, meraih lengan Arsya yang terkulai lemas. Ia mengangkatnya sedikit, jari-jarinya mencari sisa jejak nadi di sana.
Lalu, ia mengangkat tubuh Arsya perlahan. Kepala anak itu terkulai lemas di pundaknya. Sekejap, ada yang pecah di dalam dadanya—bukan sekadar rasa bersalah, tapi sesuatu yang lebih. Mungkin naluri. Mungkin cinta. Mungkin semuanya sekaligus.
“Apa dulu aku juga pernah sekecil ini? Apa aku juga pernah tidur dalam ketakutan? Lalu siapa yang menggendongku?” batinnya. Tersadar, dia kemudian melanjutkan. Meletakkan tubuh Arsya ke tanah yang dingin dan kasar. Membalikkannya dalam posisi menelungkup, lalu mundur selangkah. Sebelum jarinya menekan tombol rekam, lagi-lagi Pak Nohan berhenti. Seolah nuraninya berteriak agar tidak melanjutkan perbuatannya.
“Apa aku harus sejauh ini?” batinnya menjerit dalam keheningan.
Bayangan wajah Arsya berkedip dalam pikirannya. Tapi bayangan lain datang menyusul—suara Pak Aswan, menyeringai sambil memainkan segelas kopi kintamani di tangannya setelah menyindirnya melalui kisah raja dan musuhnya yang bangkit dari kubur.
“Kau takkan menggigit tangan yang menyuapimu, kan?”
Dan di sanalah dia—terjepit. Di antara kesetiaan dan kemanusiaan. Di antara hidup dan harga dirinya yang telah lama dijual murah.
“Aku tak akan mengemis pengertianmu, Nak. Tapi maafkan aku. Aku hanya ingin tetap hidup.” Suaranya serak. Hampir tak terdengar.
Dari kejauhan, ia merekam. Kakinya membalikkan tubuh Arsya perlahan, kemudian menggoyangkannya dengan hati-hati, membuat rekaman berisi tubuh kecil yang tak lagi bergerak di atas tanah yang kotor. Gerakan itu disengaja, cukup untuk meyakinkan, namun tidak terlalu kasar—seolah masih ada secercah kemanusiaan yang tersisa dalam dirinya. Ia menekan tombol kirim di layar ponselnya.
"Rekaman Terakhir.mp4"
File itu meluncur ke tangan majikannya. Laporan terakhirnya sebagai anjing Pak Aswan terkirim. Layar ponsel itu menggelap, seolah menggambarkan hatinya yang diselimuti hitam pekat dari dosa yang dia buat.
Ia kembali ke koper. Menatap wajah Arsya sekali lagi, seolah mematri gambaran dosa terbesarnya dalam ingatan. Tangannya menyeka sisa tanah dari pipi anak itu, gerakannya lambat—terlalu lembut untuk seorang pembunuh. Ia menyusun kembali tubuh itu dalam koper, menarik ritsleting dengan gerakan lambat.
Koper itu kembali tertutup rapat, kegelapan menelan segalanya—termasuk bagian dari nuraninya.
Pak Nohan melangkah ke arah dua penculik, menyerahkan koper kecil berisi uang yang kemudian diterima mereka dengan penuh suka cita. Tangan-tangan mereka langsung membuka dan mengecek isinya, menghitung dengan rakus lembar demi lembar uang yang berlumuran karma.
“Tugas kalian selesai,” ucap Pak Nohan, suaranya datar, mengakhiri pembicaraan yang telah menelan nuraninya.
Langkahnya berat. Bahunya merosot. Tapi ia tak menangis. Bahkan air mata pun menolak jadi saksi dosa itu.