Malam semakin larut. Jalanan Yogyakarta mulai lengang, meninggalkan keheningan yang nyaman khas kota budaya ini. Gerimis tipis yang sempat turun beberapa jam lalu menyisakan jejak basah di aspal, memantulkan cahaya lampu jalan yang temaram. Sesekali, kilau lampu tersebut menerobos ke dalam Toyota Fortuner hitam yang melaju pelan, menyinari wajah lelah sang pengemudi.
Dokter Nata mengendurkan dasinya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain tetap mengendalikan kemudi. Pikirannya masih tertinggal di ruangan konsultasi milik Doktor Rana Wijaya, teman kuliahnya dulu yang kini menjadi psikolog anak ternama di Yogyakarta. Dua jam diskusi tentang Arsya terasa seperti baru saja membuka kotak Pandora dalam benaknya.
“Tiga puluh menit lagi,” gumamnya sambil melirik jam digital di dashboard mobil. Perjalanan dari tempat praktik Rana di kawasan Kotabaru menuju rumahnya di daerah Bantul seharusnya hanya memakan waktu setengah jam pada jam seperti ini. Namun entah mengapa, malam ini Nata sengaja memilih jalur yang lebih panjang melewati Jalan Malioboro yang mulai sepi. Seolah-olah dia butuh waktu lebih banyak dalam kesendirian ini, untuk mencerna semua yang baru saja didengarnya.
Lampu merah di persimpangan dekat Tugu Yogyakarta memaksa mobilnya berhenti. Nata menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, menghela napas panjang. Siluet Gunung Merapi yang samar terlihat di kejauhan, membayang dalam gelap, persis seperti kegelapan yang ia rasakan dalam hatinya saat ini. Bayangan obrolan Rana kembali membayang.
“…Aku hanya ragu, saat itu,” ungkap Dokter Nata. “Anak itu ternyata punya keluarga. Aku memang tahu dari awal, tapi mereka sungguh ada. Bukan hanya ingatan kabur dari Arsya. Dari awal ingatannya, dia harus mencari kakeknya.”
“Kau tahu, Nata,” Rana mengaduk kopinya dengan gerakan melingkar yang lambat, “Arsya itu tidak dalam posisi untuk memilih. Hidupnya sepenuhnya diatur oleh sistem yang berada di luar jangkauannya.”
“Maksudmu tentang keadaan pasca kecelakaannya?” Nata mengangkat alis.
Rana mengangguk. “Bayangkan. Pasca kecelakaan, pendarahan otak, amnesia. Kakinya tidak mau bergerak sesuai keinginannya. Dia tidak mengenal siapa pun, lalu tiba-tiba ada orang yang mengancam akan melenyapkannya. Secara kognitif, ini adalah situasi yang mustahil untuk diolah oleh anak seusianya.”
“Tapi dia masih punya tujuan—menemukan kakeknya.”
“Itu benar. Tapi saat ini, yang dia cari secara naluriah adalah tempat aman. Dan dia menemukannya padamu, Nata.” Rana menatap langsung ke mata sahabatnya. “Yang kemudian kau goyahkan dengan keraguanmu sendiri.”
Nata merasakan sesuatu yang dingin menjalar di tulang belakangnya. “Aku hanya berusaha profesional—”
“Ini bukan tentang profesionalitas,” potong Rana. “Ini tentang trauma. Kau tahu kenapa trauma terjadi? Karena saat seseorang ketakutan, tidak ada yang meyakinkan mereka bahwa mereka akan baik-baik saja. Atau lebih buruk lagi, ada yang meyakinkan, lalu menariknya kembali. Seperti yang kau lakukan.”
Kata-kata itu menghantam Nata seperti pukulan telak.
“Kau bilang akan melindunginya, lalu kau ragu. Bagi Arsya, itu adalah pengkhianatan yang sama dengan apa yang dialaminya dari keluarganya. Dibuang oleh keluarga, lalu olehmu juga.”
“Tapi aku sudah meyakinkannya kemarin—”
“Tidak semudah itu, Nata. Trauma bukan seperti luka fisik yang bisa sembuh dengan satu kali pengobatan. Arsya sedang berjuang dengan keadaan yang tidak bisa ia kendalikan. Jika kau memang serius ingin membantunya, kau harus siap menghadapi semua emosinya. Dia adalah anak yang mungkin akan tumbuh dengan luka, dan kau harus menerima semua itu, menemaninya tumbuh.”
“Kau benar, Rana. Selama ini aku bersembunyi di balik protokol medis dan kode etik. Tapi sejujurnya, aku takut.”
“Takut apa tepatnya?” Rana memandangnya penuh perhatian.
“Takut gagal. Takut tidak cukup baik untuk Arsya. Anak itu sudah mengalami begitu banyak hal buruk—bagaimana jika aku hanya menambahnya?”
Rana tersenyum lembut. “Itulah esensi dari menjadi orang tua, Nata. Tidak ada yang pernah merasa siap. Kita semua takut gagal. Tapi ketakutan itu sendiri yang membuktikan bahwa kita peduli.”
Lampu berubah hijau. Nata menekan pedal gas perlahan, seiring dengan tekad baru yang tumbuh dalam hatinya. “Learned helplessness,” gumam Nata, mengulang istilah yang dijelaskan Rana tadi siang. “Ketika seseorang belajar bahwa apapun yang dia lakukan tidak akan mengubah hasil akhir.”
“Mungkin itu yang membuat Arsya bingung, dan mengatakan lebih baik di panti. Dia pikir di sana ada anak yang memiliki nasib yang sama dengannya. Dia tidak akan merasa sendiri, karena semua memiliki label yang sama: dibuang.”
“Nyatanya emang gitu, kan?” suara pengakuan Arsya beberapa hari lalu terdengar. “Aku dibuang sama keluargaku. Enggak ada yang suka anak bodoh, jelek kayak aku. Kalau gitu, bukannya lebih baik aku di panti, kan? Itu tempat anak-anak yang enggak disukai keluarganya.”
Ingatan itu membuat Dokter Nata memejamkan mata, membayangkan betapa besarnya kesalahannya. “Aku salah, Arsya,” bisik Nata pada keheningan mobilnya, seolah anak itu bisa mendengarnya. “Seharusnya aku bilang: Kamu sangat berharga. Dan aku tidak akan pergi.”
Mobil melewati kawasan Prambanan yang tenang di kejauhan. Nata tiba-tiba meminggirkan mobil. “Aku tidak bisa lagi memintanya bersabar. Aku akan mengatakan dengan benar kali ini. Arsya, kamu sungguh anak paling istimewa yang pernah aku temui.” Senyum Dokter Nata terlihat. “Benar, kamu bukan anak buangan. Kamu anak istimewa. Kamu enggak akan sendiri lagi. Aku janji!” ucapnya yakin. Mobil Dokter Nata memutar arah. Dia tahu, arah benar saat ini adalah menuju rumah sakit.
Di tengah perjalanan, ponsel Dokter Nata berdering. Nama Alin tertera di layar yang berkedip-kedip. Ia langsung menyambungkan, tapi belum sempat mengucap salam, suara tangis terdengar—serak, terbata, menusuk.
“Alin?” Nada suaranya terangkat. “Kamu baik-baik saja?”
Namun tangisan itu justru kian pecah, seperti seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang tak tergantikan.
“Alin, kalau kamu salah sambung—aku sedang mengemudi,” katanya, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang perlahan menjalari hatinya.
“Sebentar, Dok…” sela Alin, napasnya tercekat. Lalu kalimat itu meluncur, pelan namun menghantam.
“Dokter, bisa balik ke rumah sakit? Arsya… dia hilang.”
Nata membanting setir. Suara klakson meraung ketika mobilnya nyaris menabrak seorang penyeberang jalan. Rem mendadak berdecit. Jantungnya berdegup keras, menabrak tulang rusuk. “Aku… terlambat?”
Ia menunduk, meminta maaf kepada penyeberang jalan yang terkejut, lalu kembali melajukan mobilnya, kali ini lebih cepat.
Hilang. Kata itu menggema. Berputar seperti gema dalam lorong rumah sakit kosong. Hilang. Tak mungkin. Arsya tidak mungkin hilang. Dia pasti hanya sembunyi—seperti biasa, menepi di sudut yang tenang.
Tapi serpihan kenangan melesat dalam pikirannya: teknisi CCTV palsu, cerita mata-mata, vas bunga yang bergeser. Terlalu banyak tanda, dan ia menolak menyadarinya. Ia menolak percaya.
“Dia hanya sedang bersembunyi… Aku hanya harus mencarinya.”
Namun suara hatinya gemetar.
***
Sesampainya di rumah sakit, Nata tak membuang waktu. Langkahnya tergesa menembus lorong, menepis keheningan yang kini terasa terlalu pekat. Hanya cahaya dari lampu darurat yang membasuh lantai, melempar bayangan panjang ke dinding-dinding kosong.
Lorong menuju kamar Arsya sepi. Tak ada petugas. Tak ada suara. Hanya sisa aroma desinfektan yang menusuk, dan…
Tangisan.
Terdengar samar di balik pintu. Pintu itu—pintu yang seharusnya menjadi gerbang menuju pemulihan.
Tangan Nata terangkat, tapi terhenti di udara.
“Aku gagal, Lin…”
Suara Rajendra terdengar sangat pelan, hampir tak terdengar, namun cukup jelas untuk menghancurkan sisa harapan.
“Aku udah usaha, tapi mereka lebih kuat. Mereka bawa Arsya. Dia… terakhir kali… udah nggak ada pergerakan.”
Kata-kata itu menjatuhkan Nata ke lantai. Kakinya kehilangan tenaga, tubuhnya lunglai bersandar ke dinding yang dingin.
“Aku benar-benar terlambat…”
Suaranya tak lebih keras dari bisikan doa. Gema kesalahan yang sudah menjelma kenyataan.
Ia menunduk. Tangannya gemetar saat menggenggam erat map berisi harapan—lembaran persetujuan adopsi yang belum sempat diserahkan. Harapan yang belum sempat diberi, kini terasa seperti permintaan maaf yang tak akan pernah tersampaikan.
“Arsya…”
Napasnya tercekat.
“Kamu di mana, Nak?”
“Tolong bilang… kalau ini cuma mimpi.”
Namun lorong itu tetap diam.
Dan malam… tetap bisu.