Loading...
Logo TinLit
Read Story - Arsya (Proses Refisi)
MENU
About Us  

Jejak

"Aku hanya ingin hidup. Tapi jejakku terlalu kotor untuk kubawa lari."

 

— Nohan Widyan Fausta

________________________________________________________________________________________________

“Tugas kalian selesai.” ucap Pak Nohan. Matanya tidak lepas dari koper jumbo yang menyembunyikan Arsya di dalamnya.

Setelah ini, apa yang harus dilakukannya? Dia bisa saja berperan sebagai penyelamat—datang ke rumah Pak Damar sambil membawa Arsya. Tapi Pak Damar pasti akan mengenalinya. Atau haruskah dia membiarkan Arsya di sini? Dipindahkannya ke pinggir jalan? Besok pasti ada yang menemukannya.

Napasnya terasa berat. Dua orang yang menjadi anak buahnya kali ini benar-benar menyiapkan semua, bahkan koper yang digunakan. Menurut pengakuan mereka, Arsya hanya dibuat tidur dengan cara yang tidak membahayakan nyawa.

Pak Nohan hampir memutuskan opsi kedua—meninggalkan bocah itu di pinggir jalan. Namun terbesit pemikiran yang membuatnya bergidik. Walau sudah disiapkan agar tetap nyaman, di dalam koper pasti menakutkan. Dan berharap besok benar-benar ada yang menemukan... jika tidak ada keberuntungan, maka Arsya—

“Tunggu!” Pak Nohan menghentikan dua penculik, yang sudah akan pergi. “Bisakah kalian melakukan sesuatu lagi untuk anak ini? Aku berjanji, transaksi ini justru akan menguntungkan kalian.”

Keduanya saling menatap sejenak, kemudian yang berjaket kulit melangkah turun dari mobil.

“Apa lagi? Tidak puas hanya melihatnya tertidur?”

“Bukan begitu” sanggah Pak Nohan

“Anak ini… Anak berhadiah?”

Mendengar itu, kepala si penculik berkerut. Dia tahu anak ini bukan anak sembarangan—kemungkinan besar saksi mata perbuatan gelap Pak Nohan. Namun tidak menyangka akan disebut sebagai anak berhadiah.

“Maksudnya?” tanya Gesang—si penculik berjaket kulit.

“Di antara kalian berdua, yang sering aku hubungi itu kamu, kan?” Pak Nohan memastikan sambil melihat nama kontak di ponselnya. “Gesang?”

“Hei, aku cuma bertanya kenapa anak ini disebut anak berhadiah, kenapa berkelit menanyakan nama?”

“Lihat foto yang baru saja aku kirim”

Gesang mengambil ponsel dari saku, mengamati pesan yang baru masuk. Matanya terbelalak saat membaca dengan cermat—poster pencarian dengan nominal hadiah yang menggiurkan.

"Kalian bisa dapat tambahan uang saku jika bisa mengambil kesempatan ini dengan baik. Aku percaya, kalian pasti akan mengurusnya dengan benar."

Gesang masih terpaku dengan angka di layar ponselnya. Deru mesin mobil Pak Nohan yang dihidupkan membuatnya mendongak.

"Kenapa nggak nyerahin sendiri?" tanyanya tiba-tiba. "Bocah ini cukup menguntungkan, kenapa nggak diserahin sendiri?"

Pak Nohan terdiam sejenak, menatap koper terakhir kali melalui jendela mobil. "Aku bukan tipe yang bisa jadi pahlawan," ungkapnya pelan. "Aku butuh menghilang dari anak itu agar aku dan dia bisa hidup."

Mobil bergerak meninggalkan gudang. Pak Nohan memandang kaca spion—dua orang itu terlihat girang, sementara koper yang berisi Arsya perlahan tertinggal dalam kegelapan.

Nak... setelah ini hiduplah bahagia dengan kakekmu. Dia pasti bisa membahagiakanmu.

***

Masalah Pak Nohan mungkin terasa lebih ringan. Tapi di tempat lain, langit justru baru saja runtuh.

Di Rumah Sakit Pelita Harapan, lorong tampak kosong seperti makam yang kehilangan nisan. Tidak ada jejak kaki kecil yang biasanya terdengar setiap pagi, tak ada celoteh lirih dari anak laki-laki yang terlalu dewasa untuk usianya. Yang tertinggal hanya penyesalan. Seperti cetakan kehilangan yang belum sempat mengering.

Dokter Nata berdiri membatu di depan pintu kamar. Tatapannya kosong, seakan pikirannya menolak menerima kenyataan.

Seharian dia mencari legalitas agar bisa menemui Arsya dengan bangga, membawanya pulang ke rumah dan menanti panggilan Ayah dari anak itu. 

Keluhan Arsya seolah kembali terdengar di telinga Dokter Nata. Pembicaraannya satu hari lalu, seolah masih terekam jelas.

“Kenapa dokter baru berani bilang langsung sekarang?” tanya Arsya saat bangun tidur setelah kelelahan menangis. “Kenapa dokter baru berani bilang langsung sekarang?” ulangnya sambil membelakangi Dokter Nata. “Padahal dokter udah mikirin lama, tapi kenapa nggak bilang langsung?” lanjut Arsya. Bahunya kembali bergetar, suaranya juga terdengar parau karena terhalang tangisan. “Aku… aku takut, dok. Aku takut karena semua bilang aku harus ke panti. Aku takut karena banyak orang jahat yang ngawasin aku. Aku takut… padahal aku suka kalau punya ayah kayak dokter nata, tapi dokter enggak…”

Pertama kali sejak bertemu Arsya, dokter nata menemukan sosok anak-anak dalam diri Arsya. Dia benar-benar menahan semua sifat kekanakannya selama ini. Dia menyembunyikan puluhan rengekan di balik senyuman teduhnya, di balik semua ketenangan dan penurutnya. Dia menunggu diselamatkan. Dia hanya menunggu—bukan karena penakut, tapi memang hanya itu yang bisa dilakukan dengan keterbatasannya.

Namun, orang dewasa di sekitarnya?

“Yang aku lakukan hanya memberikan keamanan palsu,” ungkap dokter nata. "Harusnya aku terbiasa mengambil tindakan cepat demi keselamatan. Tapi…” kepala Dokter Nata tertunduk. Tindakan cepat. Harusnya dia terbiasa, karena profesinya. Namun, kali ini yang mampir hanya penyesalan.

Penyesalan memang seringkali datang terlambat. Dia hadir sebagai penghinaan terhadap semua keputusan ceroboh dan kelalaian. Mengingatkan agar semua direncanakan dengan matang dan tidak lagi menunda waktu untuk melakukan kebaikan.

“Harusnya…” Kalimatnya terhenti. 

Tiba-tiba dokter nata tersadar. Penyesalan itu masih ada dan nyata berasal dari kegagalannya. Tapi dia hanya manusia, ada kekuatan yang lebih besar dari rencana itu sendiri. Dan dia tahu hal yang diperlukan saat ini bukan rengekannya. Mungkin Tuhan hanya mengingatkan, bahwa mendapatkan sesuatu yang istimewa tidak ada jalan instan. Saat ini dia sedang diuji untuk keseriusannya merawat Arsya.

Anak itu pasti ketakutan sekarang, dan waktu tidak bisa berhenti ikut meratap bersama kegagalan.

Dokter nata bangkit, ada hal yang harus dia tunjukkan pada Arsya. Jika dia tidak ingin menyesal untuk kedua kalinya, kali ini dia harus bergegas.

"Pram," ucapnya pelan. "Kamu terakhir lihat Arsya dalam keadaan seperti apa?"

Rajendra, yang sejak tadi duduk lesu di kursi, mengangkat wajah dengan gerakan lambat. Matanya merah.

"Dok… dia… Arsya masih hidup, aku yakin itu. Sebelum aku pingsan, dia kelihatan kesulitan bernapas. Lemas. Seolah kehilangan kendali untuk bergerak. Tapi..."

Ia mendadak terdiam. Seperti kilat menyambar, ingatannya melesat.

"Ampul. Ada ampul yang mereka buang! Aku lihat sebelum aku pingsan."

Rajendra segera bangkit, tubuhnya masih goyah. Ia menelusuri sisi kolong lemari.

"Harusnya ada di sekitar sini," gumamnya. Tangannya masuk ke bawah ranjang dan kembali menggenggam tabung kecil transparan berisi cairan nyaris tak terlihat. Ia menyerahkannya ke Dokter Nata, masih dengan sarung tangan yang penuh debu.

"Dan ini, bekas suntikan dan obat yang mereka pakai."

Dokter Nata mengamati cairan itu. "Tak berwarna, tak berbau… bisa jadi ketamin, atau campuran lain. Tapi kita nggak bisa asal tebak. Alin!" panggilnya cepat.

Alin yang sejak tadi berdiri di dekat pintu segera mendekat.

"Tolong ke lab. Minta analisis kandungan dalam sisa ampul ini. Kita butuh jawaban."

Tanpa banyak tanya, Alin langsung melesat.

"Kamu terluka?" tanya Dokter Nata kepada Rajendra, baru sadar bahwa selama ini ia hanya fokus pada Arsya.

"Aku baik-baik saja, dok. Andai tadi aku nggak ajak dia ke taman..."

"Sudah, Pram. Jangan menyalahkan diri sendiri. Yang terjadi di luar kendali kita."

"Arsya… dia sempat-sempatnya minta aku lari. Padahal keadaannya..."

"Itu sebabnya kita nggak boleh diam. Kamu bisa ikut ke kantor polisi?"

"Bisa, dok."

Dokter Nata menarik napas. Tangannya meraih plastik bening dari laci untuk menyimpan barang bukti.

Dokter nata teringat sesuatu. Penculikan ini, rasanya semua sudah direncanakan. Mereka bisa tepat memilih hari menculik Arsya. Pasti ada sesuatu di ruangan ini. Jalan keluar, dan—

"Kamera pengawas…" ucap dokter nata tiba-tiba. Dia teringat ucapan Arsya saat melihat vas bunga segar di nakas.

Ternyata ada tersembunyi di antara pita yang dililit di vas bunga. "Sejak kapan mereka mengawasi ruangan ini?"

Penemuan itu membuat dokter nata merinding. Yang mereka hadapi bukan sembarang orang. Dia begitu teliti menyiapkan sesuatu. Dan bodohnya, dokter nata tidak menyadarinya.

Berapa lama mereka mengawasi? Dan yang lebih mengerikan—siapa lagi yang mereka pantau?

"Pram, yang kita hadapi bukan orang sembarangan. Mereka tahu apa yang mereka lakukan, dan kita lengah."

Dokter Nata berdiri. Tatapannya tajam.

"Kita pergi sekarang juga. Semakin lama kita menunda, semakin jauh mereka membawa Arsya."

Rajendra mengangguk, meski tubuhnya masih goyah. "Tapi dok… bagaimana kalau polisi tidak percaya? Maksudku… kasus anak hilang kan biasanya…"

"Makanya kita bawa semua bukti ini." Dokter Nata menggenggam kantong plastik itu erat-erat. "Ampul obat, rekaman kamera, dan kesaksianmu. Ini bukan kasus anak hilang biasa—ini penculikan terencana. Ayo, kita harus bergegas."

"Kabari Alin kalau kita ke kantor polisi."

"Baik."

***

Perjalanan pencarian Arsya dimulai. Ditandai dengan tekad yang dikunci rapi oleh rasa bersalah dan harapan.

Di sisi lain, rencana penggadaian Arsya sudah tersusun rapi. Dan para pelakunya… sedang menikmati peran sebagai pahlawan dadakan.

Bara melangkah mendekati koper saat Gesang memanggil. Matanya menatap Gesang yang sedang memegang ponsel dengan santai.  

"Jadi lu mau meres keluarganya? Itu rencana lo, Sang?" tanyanya, suaranya datar tapi terdengar skeptis.  

Gesang menyeringai, melambaikan ponselnya seolah itu adalah bukti tak terbantahkan. "Emang reward-nya kurang gede?"  

"Lumayan sih hadiahnya," Bara menghela napas. "Tapi gimana caranya? Masa kita beneran jadi penculik?"  

Gesang memiringkan kepalanya, wajahnya tiba-tiba berubah serius. "Gue keliatan kayak penjahat nggak sih?"  

Bara memandangnya lama, lalu mengerutkan kening. "Ya... agak-agak gimana gitu."  

"Anjir." Gesang mengusap wajahnya dengan kasar, frustasi. "Ya udah, kita bilang aja nemu bocah ini dibuang dari mobil."  

"Tolol, malah tambah curiga nanti," balas Bara sarkastik.  

"Sialan, malah ngatain," gerutu Gesang.  

Bara menghela napas lagi, kali ini lebih dalam. "Ya terus bocah ini mau diapain? Kalo lo nggak ada ide, ngapain tadi nyanggupin orang itu?"  

"Ya karena duit, Bar," Gesang menjawab singkat, suaranya tegas. "Udah lah, kita coba dulu peran jadi penyelamat. Lagian nggak ada jejak kita ngambil bocah ini dari rumah sakit. Dan rumah sakit juga nggak mungkin ngaku kehilangan pasien—merugikan mereka."  

"Apa hubungannya sih?" Bara mengernyit, kebingungan.  

Gesang menggeleng, ekspresinya kesal. "Kadang otak lo yang katanya encer itu nggak kepake juga. Ikutin aja rencana gue. Bantuin foto si bocah buat bukti."  

Akhirnya Bara mengangguk pasrah. Ia membantu Gesang mengambil beberapa foto Arsya sebelum mereka memindahkan bocah itu ke mobil. Koper besar mereka tinggalkan begitu saja di gudang kosong.  

Perjalanan terus berlanjut dalam keheningan. Tiga jam berlalu sejak mereka meninggalkan keramaian kota, dan kini yang tersisa hanyalah jalan sepi yang membentang tak berujung. Lampu-lampu Yogya sudah lama lenyap dari pandangan, digantikan oleh sesekali cahaya temaram dari warung pinggir jalan yang masih buka. 

Bara yang kepalanya mulai terangguk-angguk hampir tertidur, tiba-tiba tiba-tiba terlempar ke depan ketika Gesang secara tiba-tiba mengerem.

"Kenapa berhenti?" tanyanya, suaranya serak.  

Gesang menunjuk tas di bangku belakang. "Pakein bocah itu baju."  

Bara mengerutkan hidung. "Idih, jadi bos lu sekarang?"  

"Udah, ikutin aja," Gesang membentak pendek. "Pakein baju bekas lo yang di bangku belakang."  

Dengan wajah kesal, Bara meraih tas itu dan mulai mengganti pakaian Arsya. Tubuh kecil bocah itu terlihat sangat kurus di bawah senter ponselnya.  

"Bocah ini kurus banget," gumamnya, suaranya tiba-tiba terdengar prihatin.  

Setelah selesai, ia kembali ke kursi penumpang. "Kita mau ke mana? Di desa sekecil ini, apa ada panti?"  

"Ada," jawab Gesang singkat. Matanya menatap tajam gedung kecil di ujung jalan yang nyaris tak terlihat. "Emang tempat itu kumuh, tapi bocah ini bakal keurus kok."  

Mobil berhenti di depan bangunan itu. Gesang turun, menggendong Arsya yang masih tak sadarkan diri. Dengan gerakan terampil, ia menggelar tikar pandan yang diambil dari pos ronda, lalu membaringkan bocah itu. Jaket usangnya dijadikan bantal, sementara jaket lainnya disampirkan sebagai selimut. Beberapa bungkus obat ditinggalkan di samping tubuh kecil itu—entah karena kasihan atau hanya bagian dari rencana.  

***

Suara jangkrik dan gonggongan anjing jauh menjadi musik pengiring kesunyian malam itu ketika mereka kembali ke mobil.  

"Kapan dia akan bangun?" tanya Bara saat Gesang menghidupkan mesin.  

"Entahlah," jawab Gesang sambil menyalakan lampu utama. "Mungkin dua hari lagi. Gue lupa nyuntikkin antidot. Saat bangun nanti, mungkin dia bakal agak pusing."  

Ada kesunyian singkat sebelum Gesang kembali berbicara.  

"Bar, kalo punya mangsa, bukannya kita harus ngawasin biar nggak kabur?"  

Bara hanya mendengus. "Hmm."  

"Kita nginep di sekitar sini sampai keluarganya ngehubungi. Mastiin dia nggak kabur."  

"Terserah lo deh," Bara mengangkat bahu, "yang penting gue nggak mau berurusan sama polisi."  

Gesang tersenyum tipis. "Gue pastiin kita nggak bakal berurusan sama mereka."  

Mobil perlahan menjauh dari panti. Di kaca spion, sosok kecil Arsya yang terbungkus jaket usang semakin mengecil, sendirian di beranda yang remang-remang diterangi lampu temaram. 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Loveless
8511      4188     611     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Bunga Hortensia
1694      138     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
160      130     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
TANPA KATA
27      24     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
My First love Is Dad Dead
70      66     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
Can You Be My D?
117      104     1     
Fan Fiction
Dania mempunyai misi untuk menemukan pacar sebelum umur 25. Di tengah-tengah kefrustasiannya dengan orang-orang kantor yang toxic, Dania bertemu dengan Darel. Sejak saat itu, kehidupan Dania berubah. Apakah Darel adalah sosok idaman yang Dania cari selama ini? Ataukah Darel hanyalah pelajaran bagi Dania?
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
166      143     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Can You Hear My Heart?
598      365     11     
Romance
Pertemuan Kara dengan gadis remaja bernama Cinta di rumah sakit, berhasil mengulik masa lalu Kara sewaktu SMA. Jordan mungkin yang datang pertama membawa selaksa rasa yang entah pantas disebut cinta atau tidak? Tapi Trein membuatnya mengenal lebih dalam makna cinta dan persahabatan. Lebih baik mencintai atau dicintai? Kehidupan Kara yang masih belia menjadi bergejolak saat mengenal ras...
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
1678      1024     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
Pasal 17: Tentang Kita
145      65     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....