Tidak terdaftar, lokasi tempat ini tak tertera dalam peta. Lingkungannya mirip-mirip kawasan perumahan di mana Nura tinggal, dengan nama-nama yang seakan sengaja dipelesetkan. Nura kerap merasa akrab setiap kali membaca rangkaian huruf pada papan nama jalan atau gang-gang, persis seperti latar tempat dalam novel daring buatannya. Selain itu, beberapa kali ia kedapatan sapaan dari orang-orang tak dikenal, yang kemudian bertingkah bak seseorang yang memang dekat dengan perempuan itu.
Tujuh hari tidak cukup mengukuhkan kepercayaan Nura tentang omong kosong mengenai dirinya yang dikutuk menggantikan posisi tokoh utama dalam novel tragedi. Macam-macam cara ia upayakan demi bisa menghubungi teman atau tetangga. Semua akun media sosial Nura menghilang, nomor-nomor telepon yang ia hafal tidak terverifikasi, sampai ia memberanikan diri pergi ke kantor polisi yang malah berakhir kena omelan lantaran dianggap membuat laporan palsu.
Namun, satu hal yang benar-benar enggan Nura yakini; tentang transportasi. Tak peduli kendaraan apa yang ia naiki, tempat pemberhentian paling jauh bahkan tidak mencapai perbatasan kota. Hingga Nura berjalan kaki tatkala tiada lagi harapan, langkahnya malah dipaksa berhenti ketika kening perempuan itu terantuk sesuatu.
Keras, benar-benar keras.
Padahal ia dihadapkan pemandangan jalanan juga rumah-rumah disertai rumpun pepohonan, tetapi Nura tidak bisa melangkah lebih jauh dari letak ia berpijak. Seperti ada dinding penyekat, benteng raksasa yang menemboki tempat ini dengan lukisan superbesar sebagai alat pengelabuan.
Nura lantas bergumul bersama lamunan dengan satu konklusi mengejutkan:
Tempat ini layaknya kardus kosong yang ditutup rapat-rapat lalu dipisahkan jauh-jauh hingga terkurung dari dunia luar.
“Ngaca mulu ngaca …!”
Kesadaran Nura mendusin manakala Dego menyolot tepat di telinganya. Entah sejak kapan Nura berdiri di depan potongan cermin pada dinding kamar tempat ia pertama kali bertemu anak laki-laki itu.
“Mau diperiksa berapa kali juga percuma! Kalau jelek, ya, jelek aja!”
Senin pagi, tepatnya hari kedelapan Nura berada di sini, ia masih sulit menerima kondisi wajahnya yang berubah tidak sehat apalagi terawat. Berkaca di depan cermin retak seakan menjadi ritual rutin kala ia baru membuka mata setelah lama terlelap. Fakta sungguh-sungguh menampar Nura ketika ia bahkan tak dianugerahi sepeser uang meski hanya satu atau dua koin rupiah.
“Ya ampun, kasian banget kamu, Nona Penulis.” Anak laki-laki itu sibuk memperhatikan ekspresi si perempuan sambil tertawa cekikikan. “Udah jelek, miskin, di sini nggak punya orang tua lagi!”
“Heh!” Satu jitakan Nura layangkan, yang membuatnya hilang keseimbangan sesaat tangannya malah menembus tubuh anak laki-laki itu. “Argh! Kenapa aku nggak bisa nyentuh kamu, sih?!” gerutunya yang kini tersungkur di pinggiran kasur.
Belum cukup Nura dibikin dongkol gara-gara Dego yang selalu mengikutinya ke mana-mana, perempuan itu bahkan tak diizinkan untuk sekadar memberinya pelajaran. Nura tidak bisa menyentuh Dego, tetapi Dego bisa bebas menyentuhnya. Contoh saja saat ini, setelah Nura gagal melancarkan jitakan, Dego dengan santai menjentik kening perempuan itu tiga kali.
“Ih, kamu, kok, kerjaannya marah-marah mulu, sih?”
Astaga, Nura sangat membenci lagak lugu yang terpancar dari paras anak laki-laki itu.
“Harusnya, tuh, kamu senang, dong, bisa kembali lagi jadi anak sekolahan.”
“Senang kepalamu!” solot Nura geregetan. “Mana ada orang jadi muda, tapi mukanya malah keliatan lebih tua!”
Ketukan pintu berhasil menghentikan perdebatan kedua orang itu, Nura berlalu sambil mengentak-mengentakkan kaki menuju ruang depan. Tersambut Nenek Sri bersama serantang makanan disertai omelan pagi sebagai sarapan. Tiada satu hari pun ia terbebas dari kecerewetan wanita paruh baya itu, yang sesekali dihadiahi jeweran kalau-kalau Nura berani membalas ucapannya. Semisal benar ini dunia dalam novel buatan Nura, profesi guru Nenek Sri semasa muda adalah alasan mengapa suara wanita paruh baya itu selalu terdengar lantang.
“ALEGORI!”
Astaga, tolong, jangan lagi-lagi.
“KAMU BELUM MANDI? UDAH JAM BERAPA INI?! SEBENTAR LAGI UPACARA DIMULAI!”
Tuh, kan, mulai lagi marah-marahnya.
“Corona, Nek, corona,” celetuk Nura sekenanya. Meski menyebalkan, Nura akui ia harus berterima kasih kepada Nenek Sri yang tak pernah absen menyediakan kebutuhannya setiap hari. “Semua sekolah, tuh, sekarang belajar dari rumah, Nek! Work from home!”
Satu cubitan kecil segera diterima pinggang Nura.
“Mulai, deh, kamu. Masih aja ngomongin virus yang katanya bikin heboh satu dunia.” Dengusan gusar mengisi jeda. “Kalau nggak mau sekolah, nggak usah banyak alasan!”
Keteguhan Nura lagi-lagi goyah karena satu hal ini. Virus yang telah menggemparkan seluruh dunia juga melibatkan dokter-dokter ternama demi vaksin pembasmi Covid-19, ternyata sama sekali tidak menyentuh tempat ini. Boro-boro social distancing, ia mengenakan potongan kain sebagai pengganti masker saja malah dikatai orang gila. Televisi, koran, atau internet pun nihil pemberitaan tentang itu. Nura memang tak mengangkat soal virus ini dalam novelnya, tetapi bagaimana ia bisa percaya? Maksudnya, Nura benar-benar berada di dunia yang berbeda dari tempat ia berasal? Astaga, yang benar saja.
“Jangan ngelamun gitu, dong, Nona Penulis.”
Nura bergidik mendengar seseorang berbisik seenak jidat.
“Mukamu, kan, sekarang tua, nanti kalau muncul keriput juga bisa gawat, lho!”
Sadar siapa pemilik suara itu, Nura kontan menendang meja di dekatnya. “Argh, bocah satu ini! Bisa diem, nggak?!”
“Bocah?!”
Aura tak bersahabat seketika menguar hebat, membuat atmosfer berubah sangat berat. Kepala Nura pelan-pelan bergerak dramatis merasakan hawa-hawa peringatan bermunculan di sekitar tubuh Nenek Sri.
“Kamu berani bilang Nenek bocah?! Heh, Alegori! Makin hari kamu makin nggak ada akhlaknya, ya!”
“B-bukan gitu, Nek! Aku, tuh, ngomong sama dia!” Satu jari telunjuk terarah lurus tepat ke manik legam Dego yang tersenyum kegirangan. “Ini, Nek, di sini. Di samping aku ini ada orang, Nenek masih aja bilang nggak ngeliat dia?!”
Melambai-lambaikan tangan kepada Nenek Sri, Dego iseng berkata halo yang sama sekali tak mendapatkan gubrisan. Kemalangan susulan merundung pagi Nura yang tunggang-langgang ke kamar mandi sambil disponsori oleh pukulan Nenek Sri pada bokong teposnya yang menjerit-jerit kepayahan.
**
Tubuh kerempeng dan kering kerontang itu kini dibaluti seragam putih abu-abu yang kebesaran, Nura mengurut pelipisnya tatkala istilah renta terasa cocok mewakili penampilannya sekarang. Usia hanya sebatas angka, ia yakin dirinya yang berumur dua puluh delapan tahun di dunia nyata bahkan lebih cocok mengenakan pakaian anak SMA. Kualitas kulit seseorang ternyata berpengaruh besar dalam membangun persepsi perjumpaan pertama.
Kalau diperhatikan baik-baik, proporsi wajah dan penempatan mata, hidung, juga mulutnya masih tergolong pas. Nura hanya perlu menghilangkan bekas jerawat, bintik-bintik hitam, mata panda, dan kulit setengah kering setengah berminyak ini. Soal rambut lepek telah teratasi dengan keramas dua saset sampo yang dutanya mungkin ingin pindah ke merek lain. Masakan Nenek Sri juga berperan menghilangkan tonjolan pada tulang pipi Nura, santapan lezat selalu berbanding lurus dengan penambahan berat badan perempuan itu.
Nura meratapi nasib di pinggiran trotoar samping tiang penanda dilarang parkir, terpekur atas kesialan hidupnya ditemani kendaraan yang berlalu-lalang.
“Neng Ori?” tegur seseorang yang suaranya tampak familiar. “Lah, si Eneng kenapa malah nongkrong di sini?”
Dia Kang Iim, pria yang pecinya Nura lempar di awal mereka berjumpa, sekaligus pemilik konter tempat Dego seharusnya bekerja sambilan, tentu saja digantikan oleh Nura sekarang. Selembar dua lembar pecahan dua puluh ribu diberikan sebagai imbalan per hari, yang Nura habiskan demi mencari tahu kebenaran tentang dunia ini.
Badannya tinggi besar, bergaya rambut cepak tertutupi kopiah hitam yang dipasang miring, senyum ramahnya hanya kamuflase dari lagak yang menyebalkan. Kang Iim itu tukang ngadu, tukang kompor, dan tukang cari masalah. Bukannya membela, ia kerap memanas-manasi setiap kali Nenek Sri tengah menggusari Nura. Meski berkat pria itu, Nura bisa menumpang sinyal internet gratisan, dengan ponsel yang diam-diam ia pinjam di antara jajaran alat elektronik dalam meja konter yang terbuat dari kaca.
“Hayo, Neng Ori mau bolos, ya? Bandel, nih, saya laporin ke–"
Nura lantas berdiri dan mulai berlalu tanpa mengindahkan ancaman si pria berpeci miring. Tampaknya, takdir belum mau berpihak pada Nura. Ini mungkin menjadi hari terakhir perempuan itu bisa absen sekolah setelah seminggu kemarin selalu berhasil meloloskan diri.
Sejak berada di sini, Nura tak lagi pernah merasakan hal-hal baik menjadi awal harinya. Kalau tidak kena semprot Nenek Sri, ya, seperti sekarang, terusik habis-habisan oleh kejailan pria berpeci miring itu. Padahal Kang Iim satu tahun lebih muda dari usia Nura di dunia nyata, berani-beraninya bertingkah demikian. Kalau tahu begini, seharusnya, Nura kasih saja nasib buruk saja ke tokoh satu itu dalam novelnya.
“Neng Ori–"
“Argh, serius! Diem dong …!”
Tidak tahu orang sedang pusing apa?!
Ori! Ori! Ori!
Memang benar nama akun kepenulisan Nura adalah Ori_Alegori, tetapi tak pernah barang sekali pun, Nura dipanggil demikian di dunia nyata. Rasanya sangat tak biasa; agak menjengkelkan juga. Satu fakta lain tentang keberadaannya di tempat aneh ini ialah tak ada satu pun di antara mereka yang mengenalnya sebagai Nura.
Dalam artian lain, mereka tidak tahu bahwa dunia Nura itu berbeda.
“Aish, aku harus apa sekarang?”
“Harus sekolah, Neng Ori,” timpal Kang Iim mengembalikan kesadaran Nura.
Yang sontak membuat perempuan itu berdecak hebat.
“Iya, deh, iya! Aku nyerah! Ini aku mau ke sekolah. Nggak usah berisik. Kang Iim pulang aja sana,” jeda sebentar, “dan jangan ngadu ke Nenek!”
Tersisa lima menit sebelum bel masuk berdering, walau berlari sekarang pun, Nura dipastikan akan tetap terlambat. Letak SMA Reka Citra sebenarnya cukup dekat dari tempat tinggal Nura saat ini, bisa ditempuh lima belas menit jalan kaki. Kang Iim bersikeras ingin memastikan Nura benar-benar berangkat ke sekolah, sementara Dego–yang sedari tadi diam mengamati–kini tiada henti cekikikan sambil menimpali usilan pria berpeci miring itu sebagai penambah kerut di muka cemberut Nura. Andai ia bisa menyentuh anak laki-laki itu, setidaknya, satu jotosan telah siap ia layangkan.
“Argh, apes banget,” gerutu Nura tatkala hampir tiba di sekolah.
Guru piket bermuka garang menyambut kedatangan para siswa di depan gerbang yang telah ditutup rapat-rapat. Kang Iim pergi tepat ketika langkah Nura memasuki barisan siswa yang terlambat, sedangkan Dego tetap berdiri di sebelahnya. Air muka masam masih bertahan menghiasi paras perempuan itu beberapa saat sebelum tergantikan gelak tawa manakala Nura berhadapan dengan guru piket tadi.
“HAHAHA, KOCAK BANGET, WOY!”
Jidat sang guru sangat lebar layaknya lapangan sepak bola, sebagian rambutnya bahkan telah meninggalkan akar, belum lagi kumis supertebal yang didukung perut buncit di balik seragam batik putih-hitam-biru. Kalau benar ini dunia dalam novel buatannya, guru piket ini pasti Pak Botak, salah satu karakter tambahan yang Nura sukai.
“SUMPAH! VISUALNYA MIRIP BANGET SAMA BAYANGAN AKU!” pekik Nura sembari terpingkal-pingkal.
Gelak tawa perempuan itu baru teredam tatkala seluruh tatapan kini menyerangnya, seolah menyalurkan kalimat-kalimat yang bisa Nura dengar meski tak ada satu pun dari mereka yang angkat suara.
“Apa-apaan dia?”
“Gila, berani banget!”
“Bisa-bisanya begitu di depan Pak Botak.”
Pelan-pelan atmosfer di sekeliling Nura berubah mencekam. Seiring perempuan itu mendongak, urat-urat di leher bergelambir Pak Botak tampak mengejang tegang, berdenyut-denyut dongkol sebelum kemudian melemparkan kesadaran Nura ke dalam kubang penyesalan.
Nura nyengir canggung.
“Hehe,” kikuknya sambil melambaikan sebelah tangan. “P-pagi, Pak …?”
**
Selain ikut operasi semut di sekitar lapangan dan panggung sekolah, hukuman Nura ditambah dengan membuang sampah dari tong-tong depan kelas ke pembuangan utama, termasuk toilet wanita. Rasa ingin menceramahi para siswi di sekolah itu melonjak hingga ubun-ubun, mendapati dirinya kini disuguhi dengan bekas pembalut yang masih bersimbah darah. Jelas-jelas ada peringatan untuk tidak membuang sampah pembalut ke toilet, masih saja ada murid tak taat aturan yang memilih jalur cepat. Harusnya mereka dikembalikan saja ke sekolah dasar agar bisa belajar membaca dengan benar.
Belum lagi anak laki-laki bernama Dego itu malah santai terduduk di tepian wastafel, tanpa menyembunyikan aura kebahagian atas penderitaan yang diterima Nura. Perempuan itu sudah terlalu lama menahan diri untuk tidak berinteraksi dengan Dego di depan banyak orang, Nura tak mau lagi dikatai kurang waras karena dianggap bicara sendirian. Mumpung di toilet ini hanya ada mereka berdua, Nura bisa bebas bersikap semena-mena.
“Duh, duh, duh~” Dego menganyunkan nada bicaranya dengan sengaja. “Seru banget ngeliat Nona Penulis menderita~”
Delikan tajam Nura lancarkan. “Kamu ngapain ikut masuk ke toilet perempuan? Keluar sana,” titahnya.
“Nggak mau tuh …?” Lagak anak laki-laki itu benar-benar memancing satu bogeman mentah untuk dilayangkan. “Kamu, kan, lagi kesusahan, masa aku tinggalin gitu aja? Harus ditonton, dong, hehe.”
Setengah hidup menahan gondok, Nura hanya bisa menggigit bibir bawahnya seraya mengepalkan jemari tangan kuat-kuat.
“Kenapa? Kamu kesel?” Kekehan sarkas lolos seiring Dego turun dari atas wastafel lalu berjalan ke hadapan Nura dengan kedua tangan di dalam saku. “Baru segini, lho? Kita bahkan belum masuk ke jalan cerita buatan kamu yang sesungguhnya.”
“….”
Satu langkah diambil lebih dekat, kini Dego agak mencondongkan wajahnya kepada perempuan itu. “Nona Penulis, kamu sadar nggak berapa banyak kesakitan yang kamu kasih ke aku? Berapa kesulitan yang bertubi-tubi kamu datangkan, sementara aku nggak bisa berbuat apa-apa? Sadar, nggak?!”
Kentara menghindari tatap kemurkaan Dego, perempuan itu tertegun sekian detik sebelum sibuk melanjutkan hukuman. Satu per satu bilik toilet ia periksa, guna memastikan semua sampah sudah ia angkut tanpa sisa. Hingga tiba pada bilik terakhir, pintu yang semula sedikit terbuka, tiba-tiba saja tertutup rapat-rapat.
Nura terperanjat, gesit membanting padangan pada Dego.
“Heh! Mentang-mentang wujudmu kayak setan! Kalau ngambek, jangan mendadak gerakin pintu gitu, dong! Kamu pikir aku takut?!”
Kedua alis Dego bertaut, reaksi tersebut sukses mengundang seluruh bulu kuduk Nura kompak berdiri.
“A-anu …?”
DEG
Itu suara cewek!
“Aku nggak bermaksud mau nguping.” Pintu bilik terakhir pelan-pelan kembali terbuka, seseorang kemudian muncul sembari mengulas senyum bingung. “Tapi … kamu dari tadi … ngomong sama siapa, ya?”
Salahkan saja pemikiran Nura yang mengira itu suara Mbak Kunti. Kalaupun benar, Nura cukup yakin tiada hantu yang memiliki daya tarik semenawan ini. Dia seorang siswi, tergolong jangkung dengan kulit sawo matang yang sehat nan bersih, dagunya tirus meski pipinya sedikit tembam, pori-pori seolah malu menampakkan diri pada paras eloknya, pun rambut hitam sebahu yang tetap bergelombang walau sedang dikuncir rendah.
Kalau tebakan Nura benar, cewek ini termasuk salah satu tokoh penting yang sengaja ia munculkan.
Mahda Ayuna Damayanti.
Ciri-cirinya sangat cocok dengan penggambaran dalam kepala Nura. Keyakinan perempuan itu semakin bertambah manakala menyaksikan kondisi Dego setelahnya. Di mana rona merah muda berlomba-lomba mewarnai seluruh muka, gelagat anak laki-laki itu berubah kikuk dengan sepasang manik yang tertangkap melirik malu-malu.
Ya, jelas sekali.
Mahda adalah sosok yang membuat Dego jatuh cinta.
***