Loading...
Logo TinLit
Read Story - Deep Sequence
MENU
About Us  

Sungguh, Nura sudah tak lagi bisa menahan segala keburikan ini. Dua puluh delapan tahun ia menumpang hidup di dunia, tak pernah satu kali pun, Nura membiarkan wajah rupawannya tercemar noda menjengkelkan macam bekas jerawat meski hanya sebesar butiran garam himalaya. Namun, malapetaka tiba-tiba bertandang menyambut pagi perempuan itu tujuh hari lalu. Di mana dalam sekejap, Nura terbangun di tempat yang benar-benar tidak ia kenali.

Furnitur-furnitur cantik dan lukisan mahakarya koleksinya tak lagi menyapa manik indah Nura, ruang kamar seluas aula istana presiden tiba-tiba menyusut menjadi sepetak dua petak lantai, gambar-gambar artistik di tembok berubah menjadi warna cat yang sudah memudar, juga deretan foto idola kesayangannya malah sekonyong-konyong digantikan potret kandidat pilkada dalam kalender tahunan.

Lantas, dari semua itu, hal yang paling memorak-porandakan batas kewarasan Nura adalah kala Nura mendapati sosok anak laki-laki teronggok tepat ketika Nura menolehkan kepala. Berdiri di samping ranjangnya dengan senyum yang menawan. Detik di mana pekikan, “Kyaaa …!” mengaung ke seisi ruangan.

Astaga. Astaga. Astaga.

Nura tidak mengerti, apa yang sebenarnya telah terjadi?

“Halo, Nona Penulis. Selamat datang! Perkenalkan, namaku Dego. Kamu pasti kenal aku, ‘kan?” sambut anak laki-laki itu, yang berbalut seragam sekolah menengah atas.

Tubuhnya tinggi, cukup putih, bermata tajam, rambut hitam jabrik namun agak ikal, pemilik alis tebal yang terbentuk alami. Mau digali sebanyak apa pun, ingatan terakhir Nura terkunci pada malam di mana ia baru saja mengunggah bagian terakhir novel daringnya di salah satu situs internet.

Detik ia menekan tombol enter, detik di mana Nura tiba-tiba terbaring begitu saja di atas kasur tipis beralaskan selembar sarung dalam ruangan supersempit.

Nura kira ia tengah melindur saat itu, mungkin otaknya terlalu banyak berimajinasi, sampai-sampai menimbulkan halusinasi. Jadilah Nura kembali merebahkan diri dan memejamkan mata erat-erat. Lima detik pertama, sebelah kelopak Nura diam-diam dibuka, ternyata ia masih berada di tempat asing itu. Ah, mungkin terlalu sebentar, begitu pikir Nura. Perempuan itu lagi-lagi menutup matanya, kali ini menghitung sepuluh detik dengan tempo yang sengaja ia buat lambat, meski sudut matanya agak nakal sebab kerap mencuri lihat setiap kali ada kesempatan.

Sayangnya, tak peduli berapa kali Nura melakukan itu, keadaan di sekitarnya tetap tidak berubah. Masih sama, masih tidak familiar, masih meninggalkan berlembar-lembar daftar pertanyaan yang terlalu sulit ia temukan jawabannya.

“Udahan bingungnya?” Anak laki-laki tadi mulai berbicara lagi.

Nura tergesa merapat ke tembok sambil menutupi dirinya dengan sarung yang kebetulan ia duduki. Satu-satunya hal yang Nura syukuri saat itu: setelan pakaian lengkap masih menempel di tubuhnya.

Stop! Kamu dilarang berekspresi ketakutan kayak gitu! Aku bukan penjahat, justru kamulah yang jahat!” omel anak laki-laki itu sambil menunjuk-nunjuk Nura dengan tidak sopan.

Sama sekali tak minat menyimak, sudut mata Nura sibuk melirik ke sana ke mari, mencari-cari jalan yang kira-kira bisa mengeluarkannya dari tempat aneh ini.

“Dengarkan aku baik-baik, Nona Penulis. Sekali lagi aku perkenalkan kalau aku Dego, tokoh utama dalam novel ciptaanmu, yang saat ini ingin melakukan aksi protes karena selalu diberikan nasib mengenaskan!”

Ketemu! pekik batin Nura.

Ada pintu yang terbuka beberapa jarak di belakang anak laki-laki yang masih mengoceh tidak jelas itu. Untunglah kamar ini sama sekali tidak luas, Nura bisa dengan cepat menemukan celah agar bisa melepaskan diri dari situasi paling tak biasa yang pernah ia alami sejak ia dilahirkan. Sekalipun ini mimpi, Nura enggan menunggu sampai ia bangun. Dikata anak laki-laki di hadapannya memiliki wajah imut nan rupawan pun, berada dalam satu kamar kecil dengan orang tak dikenal, tetap saja terasa menyeramkan!

“Jadi, sebagai tindakan unjuk rasa ini, aku mau kamu–"

Peduli setan atas apa yang orang itu katakan. Bertepatan dengan anak laki-laki itu yang agak bergeser sambil berkacak pinggang, Nura gesit melemparkan bantal buluk di bawah kakinya persis ke muka si Dego-Dego tadi, lalu terburu-buru berlari ke luar kamar yang ternyata masih terhubung dengan ruangan lain. Tak perlu waktu lama sampai manik cokelat terang Nura menangkap pintu kayu yang sudah setengah terbuka, mumpung anak laki-laki tadi masih belum menguasai situasi, Nura lantas melesat pergi menjauh dari rumah itu.

Hal yang pertama kali terlintas di kepala Nura adalah hitam. Pekat seperti arang, luas layaknya langit malam. Sepasang mata yang seakan mampu menghisap kesadaran Nura sampai tenggelam hingga bagian terdalam.

“Heh, kok kamu bisa-bisanya kabur pas aku lagi ngomong sih?”

Seakan ditampar kenyataan, nada kesal yang terselip barusan menarik kembali seluruh kewarasan Nura yang sempat menghilang.

“Aku ini lagi unjuk rasa, lho, masa nggak didengerin?”

Otak cerdik Nura dipaksa mencerna situasi. Kakinya terhenti satu jengkal dari perbatasan pintu, sementara kepalanya bergantian melongok ke dalam rumah kecil itu sebelum kembali memperhatikan seseorang yang berdiri tepat di hadapannya. Terus demikian sembari jari telunjuk Nura bergerak seirama arah pandangnya sendiri, bibir perempuan itu tiada henti membuka lalu menutup dengan nada-nada kikuk yang tertahan di tenggorokan.

“K-kamu, t-tadi da-dalam, k-kok …? Gi-gimana bisa-a–"

lah, kamu kenapa masih di sini?!”

Belum selesai dibikin gagal paham atas keadaan sekarang, sebuah suara lain justru sembarangan ikut membombardir hari seorang Nura. Kali ini wanita paruh baya, mungkin sekitaran usia enam puluh ke atas, mengenakan daster lengan pendek bermotif bunga-bunga dengan rambut yang dicepol asal.

“Udah siang gini, kenapa belum berangkat sekolah kamu?! Mau berani bolos, ya?!” maki wanita tua itu seraya mendekat dari teras rumah bertingkat dua di sisi seberang, memang ada jalan pemisah di antara kedua rumah ini.

Tangan wanita itu mengacung sangar, menuding-nuding Nura yang dihantui gelisah kala langkah-langkah wanita di sana semakin mengikis jarak di antara mereka. Rentetan makian seolah menjadi musik latar pembawa kesengsaraan apabila Nura membiarkan si wanita paruh baya sampai kepadanya. Lebih-lebih anak laki-laki bernama Dego di depannya kini kembali berkicau atas hal-hal di luar penalaran Nura.

Dego berbisik bahwa wanita paruh baya itu biasa dipanggil Nenek Sri, karakternya memang disetel galak, penolong keberlangsungan hidup Dego meski setiap hari tak pernah absen menceramahi Dego acapkali Dego berkelakuan menyebalkan. Dego berpesan agar Nura baik-baiklah di depan wanita paruh baya itu. Sebab umurnya saja terbilang tua, tetapi semangatnya memarahi anak muda masih menyimpan bara dari tahun ’45.

Masa bodoh atas peringatan dari si Dego-Dego itu, pasalnya, Nura sama sekali tak mengenal mereka. Yang satu mencerocos tentang aksi protes, unjuk rasa, dan takdir yang mengenaskan. Satu lagi bertingkah bak orang tua yang murka atas kenakalan anak tunggalnya. Sempat terpikirkan kalau ini siasat terbaru penculikan, bisa juga proses pencucian otak jangka panjang. Makanya, sebelum Nura semakin jauh terperosok dalam tipu muslihat orang-orang itu, Nura berlarian ke jalanan sambil berteriak minta tolong yang berhasil mengumpulkan warga sekitar.

Hujaman tatapan kontan diterima perempuan itu, yang agak-agaknya malah menyusutkan nyali Nura. Wajah-wajah pemberi rasa ganjil dihiasi sorot mata menyiratkan kejanggalan, seperti jijik sekaligus meninggalkan kesan merendahkan. Hati Nura dibuat goyah, keraguan seketika menarik niatannya untuk meminta bantuan. Sampai seluruh tatapan itu teralihkan atas kesibukan masing-masing, perhatian Nura tertuju pada seorang pria berpeci yang tampak mendekat ke arahnya.

“Kamu kenapa?” tanya pria itu ramah.

Sepersekian detik, Nura cepat bersembunyi di balik punggung pria itu sebagai tameng dari serangan wanita paruh baya yang masih saja mengomelinya. “Pak! Tolong saya, Pak!”

Wanita yang katanya disebut Nenek Sri telah berhasil menyusul Nura bersama anak laki-laki bernama Dego tadi.

“Saya diculik, Pak! Tolong saya, saya sama sekali nggak tahu ini ada di mana! Tolong, Pak! Tolong …!”

Lantas, jawaban yang diberikan pria itu justru sukses membubuhkan satu guncangan lain, membuat bahu si perempuan sontak terkesiap.

“Neng Ori, kamu teh lagi nggak waras, ya?” tudingnya.

Pelan-pelan pegangan Nura di baju pria itu melemah, kaki-kakinya mulai mengambil sekian jarak ke belakang.

Ori …?

“Ke-kenapa …?” suara Nura tercekat di ujung tenggorokan.

Kenapa justru Ori? Bukan Nura?

Ori itu nama pena aku!

Telinga Nura seakan kehilangan fungsinya, segala macam suara teredam oleh lautan ekspresi pemanggil rasa waswas. Mata terang perempuan itu berkenala, menilik satu demi satu bibir ketiga orang itu yang bergerak-gerak menyusun ragam rangkaian kata. Tepat ketika manik cokelatnya jatuh pada legam anak laki-laki bernama Dego yang berdiri di belakang wanita paruh baya, bunyi denging yang sangat keras lantas memenuhi seisi telinga Nura.

Sekilas, fokus Nura tampak buyar. Ia terbelalak sesaat seringai tipis perlahan terbit di sudut bibir anak laki-laki itu.

Ibarat tersulut bendera peperangan, kejadian selanjutnya berlalu begitu cepat. Tentang Nura yang merebut paksa peci dari kepala si pria dewasa. Tentang ancang-ancang pengerah tenaga yang tersalurkan pada peristiwa pelemparan peci yang salah sasaran. Bisa juga tentang pekikan nyaring Nenek Sri yang berteriak, “Anak nakal!” sambil mengaduh kesakitan. Pun tentang langkah-langkah lebar Nura yang ngibrit setelahnya.

Mungkin ia terlalu bertindak impulsif, Nura bahkan tak lagi dapat menghitung berapa banyak jejak kaki yang membawanya berlari hingga terhenti di pinggiran jalan raya bersama deretan toko-toko juga pedagang kaki lima. Napas sengal-sengal mendorong tubuh mungilnya beringsut di tepian teras salah satu bangunan.

“Ah, serius. Mereka itu sebenernya siapa?” celoteh Nura. Cucuran peluh sungguh-sungguh membanjiri seluruh tubuh. “Ngeri banget asli, apalagi yang ngaku-ngaku namanya Dego tadi. Awas aja kalau dia berani muncul di depan aku lagi.”

“Kalau munculnya dari belakang, gimana?”

Sambil melebarkan mata bulat-bulat, Nura kontan menengok ke balik punggungnya di mana seruan kata, “EEEHHH …?!” ia tujukan pada sosok anak laki-laki yang santai bersandar pada tiang rambu lalu lintas. “Kamu ini sebenernya apa?!” seratus persen Nura yakini; dia pasti bukan manusia. Jangankan capek, berkeringat pun sama sekali tidak. Kalau memang anak laki-laki itu mengejarnya, pasti masih tersisa jejak-jejak kelelahan.

“Kan tadi aku udah bilang, kalau aku ini–"

“–yayaya! Kamu Dego, karakter tokoh utama yang aku buat!” Nura geregetan dengan lagak lugu anak laki-laki itu. Belum lagi atas pengakuan tak wajar yang berkali-kali dia katakan. “Dek, aku kasih tahu kamu, ya. Semisal mau bohong itu harus kreatif, minimal riset dulu gitu. Kamu tahu nggak ciri-ciri penampilan Dego yang aku buat itu kayak gimana?!”

Yang ditanya melongo, seakan ada tanda tanya besar di rupa tampannya. “Emang gimana?” balas Dego.

“Putih kusam dekil, berkantung mata hitam, jerawatan, rambut tipis dan lepek, alis botak, tubuhnya kurus kayak orang cacingan!!!” jawab Nura dengan ritme kelewat cepat.

Reaksi yang diberikan anak laki-laki itu sungguh di luar perkiraan Nura. Kedua tangan Dego masing-masing memegang bahu Nura yang tentu saja segera mendapatkan tepisan, tetapi Dego kembali melakukannya dengan tenaga lebih kuat. Sekumpulan sumpah serapah sudah siap lepas landas, sebelum satu pertanyaan anak laki-laki itu berhasil mengatupkan mulut Nura rapat-rapat, “Maksudmu, begini?”

Pandangan Nura yang tertuju pada si anak laki-laki dipaksa teralihkan pada kaca besar salah satu rumah makan pinggir jalan. Di mana kaca itu mempertontonkan sesuatu yang nyaris membuat sepasang bola mata Nura melompat keluar.

“Astaga. Astaga. Astaga.” Nura kelimpungan menyaksikan pantulan dirinya sendiri, mengetuk-ngetuk juga mengusap kasar kaca itu yang seakan telah berbuat dosa sangat besar. “Siapa ini? Siapa pemilik wajah penuh burik ini?!”

Ke mana perginya kulit kuning langsat, bersih, mulus, tak bercacat itu? Bagaimana bisa warna kusam ini menempel lekat di tubuhnya? Bintik hitam, alis setengah hidup, bekas jerawat, kilat karena berminyak, rambut lepek, dan lingkar panda di sekeliling mata.

Dilanda rasa tidak terima paling paripurna, Nura berulang-ulang memaki pantulan dirinya sendiri tanpa peduli bahwa orang-orang di dalam bangunan itu tengah memandanginya keheranan.

“Mungkin kamu belum paham, makanya, aku bakal jelasin sekali lagi.” Anak laki-laki tadi berpindah ke sisi kiri Nura, mengambil paksa atensi perempuan itu agar menghadap ke arahnya. “Aku Dego Rusdy Padmagilang, tokoh utama bernasib mengenaskan dalam novel tragedi buatanmu. Dan sekarang aku mau mengutuk kamu agar kamu merasakan apa yang aku rasakan.”

Diangkatnya pergelangan tangan demi mengintip angka pada jam yang melingkar di sana, Dego akhirnya memutuskan:

“Mulai detik ini, pukul 07.55 pagi hari, Alegori si Nona Penulis, resmi menggantikan aku sebagai tokoh utama dan akan menjalani hari-hari penuh kesengsaraan.”

Tiga suara ketukan palu sontak berkumandang dari atas langit yang seolah mendukung keputusan anak laki-laki itu.

“Selamat datang dan selamat memulai pahit tanpa manis kehidupan!”

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
When I Was Young
9243      1920     11     
Fantasy
Dua karakter yang terpisah tidak seharusnya bertemu dan bersatu. Ini seperti membuka kotak pandora. Semakin banyak yang kau tahu, rasa sakit akan menghujanimu. ***** April baru saja melupakan cinta pertamanya ketika seorang sahabat membimbingnya pada Dana, teman barunya. Entah mengapa, setelah itu ia merasa pernah sangat mengenal Dana. ...
Akhir SMA ( Cerita, Cinta, Cita-Cita )
1863      959     1     
Romance
Akhir SMA yang tidak pernah terbayangkan dalam pikiran seorang cewek bernama Shevia Andriana. Di saat masa-masa terakhirnya, dia baru mendapatkan peristiwa yang dapat mengubah hidupnya. Ada banyak cerita terukir indah di ingatan. Ada satu cinta yang memenuhi hatinya. Dan tidak luput jika, cita-cita yang selama ini menjadi tujuannya..
Lantunan Ayat Cinta Azra
815      535     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang hafidzah yang dilema dalam menentukan pilihan hatinya. Lamaran dari dua insan terbaik dari Allah membuatnya begitu bingung. Antara Azmi Seorang hafidz yang sukses dalam berbisnis dan Zakky sepupunya yang juga merupakan seorang hafidz pemilik pesantren yang terkenal. Siapakah diantara mereka yang akan Azra pilih? Azmi atau Zakky? Mungkinkah Azra menerima Zakky sepupunya s...
Helling Dormitory
1249      824     3     
Mystery
Setelah kejadian kebakaran menewaskan ibu dan adik-adiknya, Isaura dikirim oleh ayahnya ke salah satu sekolah asrama di Bogor Di asrama barunya ia dan teman-teman yang lain dihadapkan dengan berbagai kejadian tak masuk akal.
MY MERMAN.
610      450     1     
Short Story
Apakah yang akan terjadi jika seorang manusia dan seorang duyung saling jatuh cinta?
Halo Benalu
828      404     0     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
Lantas?
35      35     0     
Romance
"Lah sejak kapan lo hilang ingatan?" "Kemarin." "Kok lo inget cara bernapas, berak, kencing, makan, minum, bicara?! Tipu kan lo?! Hayo ngaku." "Gue amnesia bukan mati, Kunyuk!" Karandoman mereka, Amanda dan Rendi berakhir seiring ingatan Rendi yang memudar tentang cewek itu dikarenakan sebuah kecelakaan. Amanda tetap bersikeras mendapatkan ingatan Rendi meski harus mengorbankan nyawan...
Me vs Skripsi
1856      765     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
Tok! Tok! Magazine!
94      82     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." ••• Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...
LINN
13530      2036     2     
Romance
“Mungkin benar adanya kita disatukan oleh emosi, senjata dan darah. Tapi karena itulah aku sadar jika aku benar-benar mencintaimu? Aku tidak menyesakarena kita harus dipertemukan tapi aku menyesal kenapa kita pernah besama. Meski begitu, kenangan itu menjadi senjata ampuh untuk banggkit” Sara menyakinkan hatinya. Sara merasa terpuruk karena Adrin harus memilih Tahtanya. Padahal ia rela unt...