Prasangka karya Alegori,
BAB 4, halaman 54.
Kecaman datang dari mata-mata tajam, selidik ke balik bulu kuduk melucuti rasa percaya diri tameng ketegaran. Dering bel pulang sekolah menjadi upacara kebebasan atas atmosfer berat orang-orang sekitar, tampak anak laki-laki setengah mati menunggu kalimat penutup sang guru yang lagi-lagi melebihi batas waktu jam pelajaran.
Dego tergesa mengenakan tas gendong lapuknya kala seluruh murid diperbolehkan meninggalkan tempat, berjalan tergopoh-gopoh dengan arah pandang tertuju hanya pada petak-petak lantai. Tak sengaja bahu kurus itu menubruk salah seorang di barisan depan, meninggalkan umpatan yang ditimpali sorot mematikan. Sudut mata anak laki-laki itu berkenala tanpa arah kala samar-samar mulai tertangkap bisikan yang selalu mampu membuat tubuhnya bergetar.
Dasar penipu! Tukang bohong! Muka sama kelakuan sama-sama buruknya. Decakan keji lolos sembari Dego menatap satu per satu pelaku pencibiran, menyalurkan ketidaksukaan melalui cengkeraman tangan yang terlipat erat-erat.
Sengaja menghantamkan kembali bahu ke orang yang ditabraknya tadi, Dego bergegas keluar kelas sebelum tubuh kurusnya beringsut di balik pintu. Sepuluh detik, tarikan napas panjang anak laki-laki itu lakukan di mana telinganya masih dipenuhi ujaran kebencian penghuni XI SOSIAL 1.
Ingin hati melayangkan pukulan pada mulut-mulut pendosa itu, Dego memilih segera pergi dari sana. Namun, belum sempat kakinya beranjak, sebuah suara lembut lantang menyurutkan segala ocehan memuakkan.
“Kenapa kalian terang-terangan begitu, sih? Sesuci apa kalian sampai memperlakukan dia seolah kalian nggak pernah berbuat kesalahan?”
Dego sangat kenal pemilik suara itu, sang peredam puncak kemarahannya, suara bak seorang malaikat yang ia ketahui bersembunyi di balik nama Mahda Ayuna Damayanti.
“Neng Ori, kenapa ngelamun? Ih, teu bagus atuh perawan masa planga-plongo begitu.”
Bahu si anak laki-laki terlonjak cepat, mengerjap-ngerjapkan kelopak di mana binar kelamnya pelan-pelan bergulir mengenali keadaan sekitar. Ditengoknya ke sisi kiri, tersambut figur si Nona Penulis tengah duduk bersila di atas kurci plastik khas pedagang kaki lima, yang mana bibirnya bergerak-gerak maju melontarkan dumelan.
“Hayo, si Eneng pasti lagi ngehayalin yang iya-iya, ya? Astagfirullah, masa puber.”
Di sisi lain, tepatnya di halaman rumah Kang Iim, tampak pria berpeci miring itu terkekeh-kekeh usil sembari tangannya sibuk mengelapi motor kesayangan.
Untuk beberapa saat, Dego terdiam. Ah, kayaknya tadi aku banyak ngelamun, batin anak laki-laki itu.
“Apa, sih, Kang. Emangnya yang iya-iya itu yang kayak gimana?!” protes Nura sambil memukul pelan meja konter bertuliskan jangan ditekan.
Omong-omong soal Kang Iim, upah harian hasil jaga konter terlampau sedikit bahkan untuk sekadar uang jajan. Terhitung sejak setengah tiga sore hingga jam lima, yang terkadang berlanjut habis magrib sampai sebelum pukul sembilan malam, bayaran yang perempuan itu dapatkan bahkan tak pernah lebih dari tiga puluh ribu; mentok-mentok ditambah lima ribu rupiah.
“Eh, Kang, ini semua handphone yang ada di sini, udah berapa lama nggak kejual?” tanya Nura.
“Ada kali lebih dari setengah tahun mah,” jawab pria berpeci miring itu sembari mengelapi motor kopling kebanggaannya. “Kenapa atuh si Eneng tiba-tiba nanyain itu?”
Tersenyum cengengesan, binar tipu muslihat terpancar jelas dari manik kecokelatan Nura. “Boleh aku pake aja nggak, Kang? Daripada rusak dibiarin lama-lama, kan, mending aku rawat sembari aku pake, hehe.”
Pergerakan Kang Iim perlahan berhenti, lap di tangannya tergenggam cukup erat seiring tubuh besar itu beranjak dari posisi jongkok kemudian menengok ke arah Nura. Terbengong-bengong memandangi perempuan itu yang terduduk di balik meja konter. Keheningan terjadi cukup lama sampai Nura lambat laun dilanda rasa risi oleh pancaran selidik yang tersorot dari manik sipit pria berpeci miring itu.
“K-kenapa, Kang? Kok ngeliatinnya gitu b-banget?”
Teguran Nura barusan berhasil mengembalikan kesadaran Kang Iim yang sempat teralihkan.
“A-aku minta begini bukan tanpa alasan, lho. Temen-temen di sekolah semuanya udah pake android. Mereka sering komunikasi lewat chat. Lah, aku? Punya aja enggak. Kemarin nggak sekolah lebih dari seminggu aja, sama sekali nggak ada yang nanyain aku tuh. Jadi–“
“–idih, lancar banget kamu aktingnya, Nona Penulis.”
Cibiran Dego cepat memotong hasutan Nura yang susah payah mempertahankan raut melasnya; menjaga emosi agar tak melunturkan penarikan simpati dari pria berpeci miring di sana.
“Percuma, Nona Penulis, percuma. Kamu sendiri yang bikin karakter Kang Iim itu pelit soal beginian, dia pasti–“
“Boleh aja, sih, Neng.”
Dego yang tengah bersedekap tangan di sebelah Nura kontan membanting pandangan, antara percaya tak percaya atas apa yang baru saja menyusup ke telinganya. Sejauh pengetahuan anak laki-laki itu, Kang Iim dipastikan sensitif soal barang-barang di konternya.
“Tapina teu gratis, Neng. Ada syarat dari saya, kumaha?” tawar pria itu.
Yakin tak boleh melewatkan momen ini, tanpa tedeng aling-aling Nura mengangguk dan menanyakan syarat dari pria berpeci miring tersebut.
“Mulai sekarang, Eneng harus serius belajar. Minggu depan, kan, udah mulai masuk minggu UTS, tuh. Kalau nilai Neng Ori membaik, boleh, deh, satu handphone saya kasih buat Eneng.”
“Seriusan, Kang?!” pekik Nura antusias. Kalau sebatas menaikkan nilai si Dego yang kelewat di bawah rata-rata, itu bukanlah perkara menyulitkan.
“Serius, Neng.”
Senyum semringah berkembang sangat lebar seiring Nura diam-diam melirik Dego dan menjulurkan lidahnya penuh kemenangan. Lalu si anak laki-laki yang tak terima atas situasi ini balas mencomot geram bibir sang Nona Penulis dilanjut sederet gerutuan sebal.
“Permisi?”
Atensi dua manusia dengan satu makhluk tak kasat mata sontak beralih, seseorang berseragam putih abu-abu mendekat ke meja konter dengan ponsel dalam genggaman.
“Wow,” gumam Nura tanpa sadar, lalu melirik Dego yang kentara kelabakan.
“Aku mau beli pulsa,” terang Mahda kalem, lengkung di sudut-sudut bibir menguarkan pesona manis selayak permen gula-gula.
Nura menahan tawa, masih curi-curi lihat kelakukan Dego yang kini bersembunyi di bawah meja. Idih, batinnya geli sendiri. Dia, kan, nggak kelihatan, kenapa salting begitu coba?
Sambil menyodorkan sebuah buku panjang berisikan nomor-nomor para pelanggan, Nura lantas berkata, “Tulis aja nomornya di sini.”
Sepertinya Mahda baru pulang, sebab setiap Senin siang usai sekolah, biasa diadakan rapat evaluasi kinerja OSIS. Nura menciptakan tokoh Mahda sebagai siswi yang giat berorganisasi.
Sekilas, ingatan Nura berlabuh pada kejadian di toilet pagi tadi. Ternyata Mahda memang berniat keluar saat itu, tetapi Nura sudah lebih dahulu masuk sambil mencak-mencak, sehingga mengurungkan niatan Mahda untuk pergi. Kalau Nura tidak memeriksa setiap bilik toilet, mungkin Mahda tidak akan menampakkan diri lalu bertanya:
“Aku nggak bermaksud mau nguping, tapi ... kamu dari tadi ... ngomong sama siapa, ya?”
Nura sama sekali enggan mengindahkan pertanyaan Manda. Tidak bermaksud pongah, tetapi jauh di sudut benaknya, ia tahu ia tidak bisa bersikap sembarangan di sini; di tempat ini. Sekolah merupakan pusat segala kekacauan hidup Dego dengan sejuta penderitaan tak terkira. Sedikit saja Nura salah bertingkah, mungkin nasibnya bisa berkali-kali lebih buruk dari skenario yang ia rancang.
Khususnya pada Mahda. Terhitung cukup lama sejak Nura pertama kali mengunggah bab awal novel daringnya, tetapi ia percaya bahwa ia tidak salah mengira, yakni tentang sebaris kalimat Mahda yang menjadi pembuka chapter pertamanya.
“Udah masuk, ya, pulsanya.”
Nura mengerjap cepat. “O-oh? Oke, enam ribu.”
Untuk saat ini, sebisa mungkin Nura ingin mengurangi percakapan dengan gadis manis itu. Batin Nura tiada henti melangitkan harapan supaya Mahda cepat-cepat pergi saja, sungguh ia belum siap jika harus dihadapkan dengan–
“Aku senang ngelihat kamu di sekolah hari ini.”
–mampus.
Lokasinya memang berbeda, namun jelas, barusan itu kalimat pembuka Mahda dalam novel Prasangka karya Nura.
Berlatarkan atmosfer kelam, Nura mengawali tulisannya dengan dialog antara Dego dan Mahda. Semester ganjil kelas sebelas baru saja dimulai, Dego tak kunjung hadir sehingga meluaskan rumor tidak mengenakkan yang memang sudah tersebar sejak setahun belakangan.
Perangainya sangat buruk dan kerap menyalahkan orang lain atas segala hal, begitulah sosok Dego dikenal satu sekolah. Wajar saja apabila ketidakhadiran anak laki-laki itu bahkan tidak disadari, selayak kondisi Nura saat masuk kelas hari ini.
Bukan berarti Nura berharap ada penyambutan penuh haru atau mungkin rasa ngeri saat dihadapkan ceramah wali kelas, hanya saja, bagaimana bisa tidak ada satu pun murid di sana yang berupaya menanyakan keadaannya? Padahal sewaktu masih sekolah dulu, Nura tidak masuk lebih dari satu hari saja, teman-teman sekelas langsung berbondong-bondong menjenguknya.
“Omong kosong.” Itulah bagaimana seharusnya Dego bereaksi atas pernyataan Mahda. “Nggak usah sok peduli, kamu bilang gitu cuma biar keliatan baik di depan banyak orang, ‘kan?”
Sayangnya, pasrah tanpa usaha bukanlah gaya hidup Nura. Mana rela Nura membiarkan dirinya begitu saja menerima takdir tidak menyenangkan. Sebut saja ini pertaruhan, Nura akan berlaku seperti apa yang ia inginkan.
“Wih, seriusan nih?” Lengkung berseri-seri kontan Nura pamerkan. “Kamu beneran seneng lihat aku? Emang kamu nggak tau rumor aku di sekolah kayak gimana?”
“Tau, kok,” tanggap Mahda tanpa pikir panjang. “Rumor, ya, rumor. Aku yakin kamu aslinya nggak kayak gitu.”
Dalam diam, Nura tertawa hambar.
Halah, dasar naif.
Demi menaikkan gejolak emosi para pembaca, Nura sengaja menghadirkan Mahda sebagai cewek lugu yang kerap berupaya mencari tahu sisi positif seorang Dego Rusdy Padmagilang. Di mana tindak perhatian Mahda justru mempertegas tentang seberapa rendah kepribadian Dego sehingga berkali-kali menjebak gadis manis itu pada situasi paling merugi.
Jujur saja, di dunia nyata, Nura … paling tidak suka tipikal orang macam Mahda.
“Kalau gitu, kamu mau temenan sama aku?”
Bahu Mahda terangkat sedikit, seolah tidak menduga atas apa yang baru didengarnya. Begitu pula dengan Dego, yang kini membanting pandangan dengan sepasang manik legam melebar sempurna.
Sekilas, Nura tersenyum.
“Ayo, kita berteman, Mahda.”
**
Popularitas senantiasa berbanding lurus dengan reaksi para pengikutnya. Disebut orang berpengaruh pun, sejujurnya, Mahda tidak termasuk. Terkecuali sebatas lingkup kelas, mungkin Mahda benar memiliki peran penting. Setidaknya, para murid gemar mengelilingi meja gadis manis itu kalau-kalau sedang jam kosong.
“Kamu nggak boleh begini, Nona Penulis!” protes Dego.
Sesuai dugaan, Mahda dengan senang hati menerima ajakan Nura kemarin. Kegaduhan kontan bergema di sepanjang koridor tatkala mereka datang bersama ke sekolah. Bukan tanpa maksud, Nura mengatur tempat tinggal Mahda sejalur dengan rumah Dego, berdekatan pula dengan konter Kang Iim. Nura membutuhkan alibi kuat supaya kedua tokoh utama dalam novelnya dapat berinteraksi secara alami.
“Nona Penulis!” panggil Dego agak menekan. “Kamu yakin bakal gini terus?!”
Bangku di sebelah Nura kebetulan kosong, penghuninya baru akan muncul mungkin sekitar dua atau tiga minggu lagi. Jadilah Mahda mengisi kehampaan itu, yang tentu menghebohkan teman-teman lainnya.
“Da, kamu ngapain duduk sama dia?”
“Kamu dipaksa, ya?”
“Si Ori, kan, suka nuduh-nuduh orang padahal dia sendiri yang cari masalah.”
“Nanti kamu kena sial, lho, Da!”
Nura tahu membersihkan diri dari label buruk bukanlah perkara mudah, makanya hukuman pencemaran nama baik seseorang bisa mencapai empat tahun penjara dengan denda maksimal Rp750 juta. Namun, bukankah dunia ini ada karena Nura? Sudah semestinya, tidak ada yang tidak bisa Nura lakukan di sini.
“Tuh, kan, Nona Penulis!” Dego mengompori persis di depan telinga Nura. “Percuma kamu mau ubah jalan cerita! Kamu bakal tetap dihina-hina sama mereka!”
Abai akan keberadaan anak laki-laki itu, jemari kurus Nura mengetuk-ngetuk meja sementara otaknya ia peras sekuat tenaga guna menemukan jalan pintas. “Lho, kamu yang waktu itu menang poster, ‘kan? Yang hasilnya ditempel di mading itu?”
Siswa bersurai pendek dengan kacamata bulat ragu-ragu mengangguk.
“Keren banget! Temanya tentang sampah, ‘kan? Padahal peserta lain rata-rata gambar bumi biasa gitu, tempat sampah, atau ajakan daur ulang sampah, tapi kamu malah gambar pemulung. Hal yang dianggap remeh dan nggak guna, ternyata jadi sumber mata pencaharian buat orang lain. Ide kamu brilian parah, sih. Kok kepikiran?”
Binar bangga terang sekali terpancar dari manik di balik kacamata siswa tersebut. Tak cukup sampai di situ, Nura mulai melancarkan beberapa pujian untuk murid lainnya.
“Kamu cakep banget poninya digituin tau, keliatan lebih manis.”
“Hei! Aku tau sebenarnya kamu pake wig pendek supaya nggak kena razia rambut sama Pak Botak, ‘kan?! Ngakuuu!!!”
“Cerdas juga, ya, ide kalian. Gokiiilll~”
“Oh, oh, oh! Aku tuh udah lama penasaran. Kamu … sebenernya pake make up, ‘kan? Cantik, ihhh. Natural banget hasilnya sampe nggak keliatan pake riasan. Ajarin dooonnnggg. Aku pengen, deh, bisa nutupin bekas jerawat aku, huhuhu.”
Ketegangan yang semula menguar ke seluruh penjuru ruang perlahan kian mencair. Sebut saja Nura licik, sebab kemarin usai Mahda membeli pulsa, ia banyak menggali informasi tentang teman-teman sekelas dari gadis manis itu. Ditambah kemampuan bujuk rayu Nura yang lihai membangun suasana, perihal cari muka, Nura tiada bandingannya.
Tidak cewek, tidak cowok, mereka bahkan alami saling berbincang sampai bel masuk berdering. Saat istirahat pun, Nura menerima sejumlah ajakan pergi ke kantin bersama. Asyik berceloteh juga bercanda ria.
Di sisi lain, Dego terus mengikuti ke mana pun Nura pergi. Manik legamnya sekejap meredup kala menyaksikan gelak tawa di antara Nona Penulis dan teman-temannya.
“Nona Penulis,” panggil Dego entah keberapa puluh kali.
Namun, Nura belum kunjung menanggapi, perempuan itu telah bertekad takkan lagi berbicara dengan Dego jika masih ada orang lain di sekitar mereka. Tak peduli meskipun Dego bahkan berdiri seraya merentangan tangan di hadapan Nura; menghalangi jalannya.
“Ori, kenapa berhenti?” tanya Mahda yang berjalan beberapa langkah lebih dulu bersama segelintir teman lain.
Perempuan itu balas menatap manik legam Dego yang menyiratkan pandang penuh resah, seringai tipis kemudian bertengger di sudut bibir Nura sebelum santai melangkah maju; menembus tubuh Dego, meninggalkan anak laki-laki itu, tepat di belakang.
"Tungguin aku dong!!!"
Dego bergeming, pecahan mimpi buruk seakan menghujani seluruh kesadaran.
“….”
Lekat meratapi punggung Nona Penulis yang semakin mengecil di ujung koridor, eksistensi anak laki-laki itu perlahan memudar. Dego pun menghilang.
***