“Mereka hanya butuh diapresiasi!” Itulah kata-kata dari Bu Neena ketika Mas Defa mengeluhkan ulah Ren yang tak muncul ketika evaluasi dan kini sering menghilang bersama ke tujuh teman lainnya. “Apa yang ketua tim lakukan pastilah ditiru oleh anggotanya,” keluh Mas Defa lagi. Namun, Bu Neena yang sudah berpengalaman tak mudah terhasut dan mencoba bersikap netral. “Bukankah hasil kerja tim tujuh menurut evaluasi Pak Derry—bosnya Mas Defa—yang terbaik? Itu sudah sebagai bukti kalau mereka profesional dalam bekerja, Mas.”
Mas Defa sama sekali tidak menampik kenyataan itu, justru karena hasil kerja mereka bagus ... Mas Defa maunya bersama tim tujuh terus dalam melakukan beberapa projek penting. Berterus terang tentang tujuannya malah mendapat omelan Bu Neena.
“Ya, tidak bisa begitu dong, Mas. Harus diingat kalau anak-anak magang itu tetaplah anak SMA yang masih suka main juga, nggak bisa dipaksakan ikut banyak projek, ‘kan ada tim lain juga.” Bu Neena agak sewot juga dengan opini Mas Defa yang menyatakan kalau hasil kerja bagus harusnya mampu memegang beberapa projek.
“Mereka anak remaja loh, Mas. Magang bukan semata-mata untuk nilai, melainkan juga pengalaman pertama mereka di dunia kerja. Jangan sampai buat mereka trauma dengan pengalaman pertamanya bekerja."
Masih banyak yang ingin Mas Defa utarakan, namun bunyi klek! Sudah terdengar. Tanda Bu Neena mengakhiri panggilan teleponnya.
Kening Mas Defa makin berkerut saat terakhir—sebelum menutup teleponnya—Bu Neena kembali mengingatkan agar dirinya mengapresiasi kinerja Ren dan kawan-kawan. Tidak hanya menuntut pekerjaan mereka beres, tetapi juga menghargai tiap usaha yang dikerahkan. Bu Neena juga menerangkan kalau murid-muridnya ini remaja yang sedang berproses dalam pencarian jati diri. Terkadang kekecewaan dalam hidup bisa membuat mereka salah jalan, sudah sepantasnya sebagai orang dewasa di sekitar mereka itu membimbing, bukan menekan.
Mas Defa tercenung, digulirnya layar gawai dan menekan suatu grup—berisi dirinya dan anak magang—tapi kemudian dibatalkan. Berpindah menekan profil foto gadis cantik berpita besar—Vanila.
Kalian di mana?
Tak berapa lama mendapat balasan dari Vanila yang menyatakan bahwa mereka sedang berada di kawasan nol kilometer.
0 km, jalan-jalan ke Malioboro, Mas!
Mas Defa tidak bertanya lagi. Rencananya memang ingin mengajak anak-anak magang itu kerja lembur, setelahnya bakar jagung di halaman studio. Sayangnya mereka punya acara sendiri. Akhir pekan yang sepi bagi Mas Defa. Di rung dingin sendirian. Menikmati segelas kopi dengan musik K-pop yang diputar keras-keras. Reward pada diri Mas Defa adalah menikmati hasil kerja kerasnya dengan nonton konser idol K-pop kesukaannya, bukan sebentar-sebentar nongkrong main dengan teman. Sedari zaman kuliah dirinya memang bukan pribadi yang memiliki banyak kawan. Mungkin itu sebabnya, Kak Henny juga bilang Mas Defa kurang peka pada persahabatan antara Ren, Galang dan lainnya. Yeah, karena memang tak pernah merasakan ada di posisi itu. Terlebih dengan segala keterbatasan serta masalah di keluarga mereka—tidak related dengan Mas Defa.
Sementara itu, setelah langit senja ... bulir air hujan tak menghalangi sepatu-sepatu beserta gelak tawa nyaring bersuka cita di sepanjang trotoar jalan Malioboro. Memutuskan Berjalan kaki saja, walaupun hari hujan. Vanila dan Chiya paling senang. Mereka berdelapan, Galang yang datang karena kangen, ditambah Dimas yang kini menjadi bagian dari tim tujuh.
Kama dan Jaya berlarian bersama Vanila dan Chiya, menantang hujan yang makin deras. Ren sesekali berlari, itu pun untuk menyamakan langkah kaki Petra yang panjang.
Dimas dan Galang tidak berlari, juga tidak berjalan santai seperti Petra, sebab langkah kaki mereka cepat. Namun, mereka kompak melakukan tugasnya melindungi si kembar dan duo ceriwis agar aman dari pejalan kaki lain atau lebih tepatnya supaya mereka tidak mengganggu pengguna jalan lainnya.
“Aku suka hujan, selalu suka hujan!!!” teriak Vanila keras.
“Aku jugaaaa!!!” balas Chiya.
“Aku enggak,” teriak Kama, semua menoleh ke arahnya, “sebab rambut kriboku kempes, ha-ha-ha!”
“Aku juga enggak, kaca mataku berembun,” ucap Jaya melepas kaca matanya.
“Kalau kamu suka hujan nggak, Ren?” tanya Petra pada Ren, pandangan matanya memperhatikan teman-temannya yang berloncatan riang seperti anak TK. Seolah mereka melupakan deadline, melupakan kembali ke sekolah nanti sudah kelas dua belas, melupakan di mana nanti berkuliah.
Ren yang diberi pertanyaan mendadak menimpali dengan kerlingan mata.
“Suka, asal sama kamu!” ujarnya berbisik genit, membisikkan di telinga Petra—tentu saja berjinjit karena Petra lebih tinggi.
Petra balas tersenyum, mengacak poni Ren. Tidak tersipu malu, juga tidak baper. Padahal saat berbisik tadi, debar dada Ren sudah setengah mampus. Petranya biasa saja, Ren jadi kembali malu. Salah tingkah, Ren berlari kecil menuju Dimas dan Galang di urutan paling belakang. Meninggalkan Petra yang dengan santuy-nya masih tersenyum tenang.
Kenangan hujan-hujanan begini akan Petra kenang selamanya. Menggantikan memori kelamnya akan hujan. Masa kecil yang diiringi kenangan buruk di hari hujan. Gelegar petir, hujan deras dan suara tangisan bayi. Perpaduan nyeri di hatinya, miris ... menyaksikan beberapa kali adik pantinya ditemukan dalam kondisi basah kuyup di dalam kardus basah—pada halaman panti. Membuat skenario pikiran Petra mencetus kesimpulan.
Jadi beginikah gambaranku ditemukan dulu?
***
“Nggak biasanya kamu nggak makan siang, Pan?” tanya Ren khawatir ketika Vanila menolak ajakan makan siang bersama tim tujuh lainnya.
“Bikin mi instant saja di pantry Ren,” ucap Vanila lirih.
“Vanila lagi ngirit, Ren! Mau nabung buat nonton konser sama Mas Defa,” celoteh Chiya yang disusul tabokan dari Vanila.
“Apa-apaan! Udah yuk, ikut ke mi ayam. Ren yang traktir!” tukas Ren pada Vanila dan teman lainnya.
“Beneran?? Mau makan kalau gitu!” ujar Vanila girang.
“Tumben, Ren.” Kama berkomentar, heran Ren pegang uang banyak.
“Lagi akur sama bapakmu ya, Ren?” seloroh Jaya—biasa kalau ngomong nggak dipikir dulu.
Raut muka Ren berubah beberapa detik, lalu semringah kembali.
“Bukan, kok. Kali ini hasil commission art, aku aktif lagi buka commis,” ujar Ren terkekeh.
“Wah, hebat. Orang-orang kok pada pinter ya, bagi waktu. Masih sempat mengerjakan hal lain setelah pulang magang, sedangkan aku ... boro-boro. Tugas film kelompokku saja terlantar,” keluh Dimas—menyerupai curhat terselubung.
“Itu berkat Petra dan Galang sih, mereka terus mendorongku bergerak menghasilkan uang sendiri.” Ren terkekeh.
“Sebetulnya, melanjutkan apa yang sudah kamu lakukan Ren,” ucap Petra, “Galang kan cerita di antara kita ... sebelum Galang, Kama dan Jaya, justru kamu lebih dulu buka commiss.”
“Wah, Kama dan Jaya juga?” Mata Chiya berbinar.
“Hebat-hebat, tapi kapan kita pergi makan mi ayam? Udah lapar nih!” seloroh Vanila.
“Huuu, tadi katanya makan mi instant ...” ledek Chiya memonyongkan bibirnya.
“Ayok, ayok!” ujar Ren menengahi. Mereka semua meninggalkan ruang dingin bersama-sama. Tanpa mereka sadari, dibalik sebuah monitor komputer, seseorang sedang ngerender, beberapa kali mengawasi celotehan mereka—itu Mas Defa. Beberapa kali ia mendesah, menatap punggung-punggung remaja itu keluar dari ruang dingin sambil bergurau.
“Hhhh, aku nggak diajak, Ren?” gumamnya sedih.
“Kamu nggak diajak, Mas!” seru seseorang muncul dari sebuah meja, mengejutkan Mas Defa—itu Kak Henny.
“Kalau gitu sama kamu aja ya, Hen ...?” ajak Mas Defa.
“Nggak mau, aku nggak diajak nonton konser!” sindir Kak Henny sembari mematikan laptopnya. Bergegas keluar ruang dingin, juga untuk makan siang.
“Heeeeeen!!!!” teriak Mas Defa kacau.
***
Banyak nasihat di jam makan siang ini. Khususnya untuk Vanila, yang sekarang ini apa-apa ingin mengikuti Mas Defa. Beli merchandise K-pop lucu, koleksi lightstick, dan terakhir ingin nonton konser K-pop yang harga tiket termurah saja setara gaji satu bulan UMR kota propinsi.
Pada bilang jangan Ikutin gaya hidup Mas Defa. Belum sesuai dengan kantong Vanila yang masih SMA. Namun, Ren ... bukan mau membela Vanila ... hanya merasa jika hal ini disikapi positif bisa menjadi motivasi tersendiri bagi Vanila. Misalnya, Vanila jadi semangat bekerja keras dan menabung agar bisa memiliki koleksi K-pop seperti Mas Defa. Petra mendukung nasihat Ren untuk Vanila. Hal terpenting lagi ... jika ingin menabung jangan irit untuk makan, karena masa-masa remaja seperti sekarang butuh gizi yang baik. Supaya sehat jiwa raga. Semuanya mengangguk setuju. Vanila pun mengerti kegelisahan teman-temannya. Seminggu ini sudah dua kali Vanila masuk angin, selain karena hujan-hujan waktu itu. Sepanjang hari tidak ngemil jajan dan hanya konsumsi mi instant dari pantry.
"Lebih bagus lagi, kalau nabungnya nggak pakai uang orang tua, Pan! cetus Kama.
“Tapi ... aku nggak tahu, caranya nyari duit,” keluh Vanila.
“Lah kamu kan suka pernak-pernik lucu tentang K-pop, Pan? Coba jangan cuma jadi pembeli, tapi yang jual.” Ren mengingatkan Vanila, diikuti tatapan bingung Vanila yang masih tidak mengerti.
“Iya, tapi modalnya dari mana? Nggak mungkin merepotkan orang tua,” keluh Vanila lagi.
Ren melirik Petra. Tak berapa lama sebuah kontak baru muncul di grup Kainga. Petra menganggukkan kepala membalas tatap Ren, sedangkan Vanila yang baru meng-klik terima setelah mendapat undangan bergabung, melongo heran. Seketika bertatapan dengan Ren yang memberi kode, “Ssssttt!!!” padanya.
***
Ren sendiri tak menyangka, bahwa member ke empat itu Vanila. Semua terjadi begitu saja. Sesuai ketukan pada hatinya. Petra dan Galang menyerahkan sepenuhnya perekrutan member Kainga pada founder meski mereka juga Volunteer di dalamnya.
Oh, tidak!!! Mereka—teman-teman kita—membicarakan hal ini dan kini aku berada di dalamnya. Aku jadi merasa seolah mengkhianati mereka.
Tulis Vanila untuk pertama kali di grup Kainga. Acapkali melotot ketika mendapat notifikasi dilayar HP dari grup Kainga tersebut. Serasa tak percaya. Ren, Galang dan Petra seakan pribadi berbeda dengan sosok yang biasa bertemu dan terekam dalam kepala Vanila.
Oh, apa ini alter ego mereka?
Di grup ini ... bukan hanya mendengarkan keluh kesah. Saling support bukan hanya dalam kata-kata dukungan, tetapi juga bentuk nyata.
Semalaman mengobrol di grup, Vanila sudah mendapatkan modal dari mana ia mulai membuat pernak-pernik merchandise lucu seperti yang dimiliki Mas Defa. Galang bilang, kalau nggak bisa beli, ya bikin, Pan!
Menuruti para member yang telah menampung segala gundah hatinya, Vanila menjual semua koleksi komik lamanya. Masih bersih dan rapi karena Vanila merawat baik bahkan melapisi dengan cover plastik. Ren mengajarkan bagaimana cara menjual komik preloved di marketplace, Petra membantunya membuatkan akun jualan di salah satu aplikasi. Nantinya hasil menjual komik akan Vanila gunakan membuat produknya sendiri. Semacam ganci dan pernak-pernik lucu yang sering Vanila inginkan. Sementara Galang bersedia membantu Vanila mencarikan tempat cetak dan lain-lain yang Vanila butuhkan nanti.
Tidak ada yang sia-sia bagi orang-orang yang mau berusaha ....
Itulah kalimat tersemat di grup Kainga.
Selama seminggu ini, isi pembicaraan dalam grup Kainga hanya fokus membahas masalah Vanila. Bagaimana menanggapi sikapnya menghadapi adik-adiknya, satu masih SD, dua toddler dan satu masih bayi. Petra banyak membantu menasihati sikap Vanila dalam hal ini. Berpengalaman banyak hal mengenai mengatur sikap pada manusia-manusia lucu sering menyebalkan sekaligus imut yang disebut anak-anak itu, Petra membimbing Vanila mengatur perasaan agar tidak cemburu atas perhatian orang tua terhadap adik-adiknya.
Kadang, aku tak betah di rumah—Itu yang ditulis Vanila.
Semua yang ada di sini tidak betah di rumah, Pan. Namun, kami membantumu berdamai dengan keadaanmu. Alih-alih selalu melarikan diri hingga menciptakan rongga di hatimu yang diisi oleh kebencian. Ketidakpuasan pada pemberian Tuhan serta menarik rantai trauma tak berkesudahan—balasan Ren.
Kita tidak memilih dilahirkan di mana, kita tidak bisa mengubah masa lalu ... tapi masa depan itu milik kita. Hanya soal cara berpikir, mengubah sudut pandang kita untuk menilai setiap masalah. Jadikan sebagai cambukan untuk hidup lebih baik—Petra.
Kita tidak bisa mengatur yang orang lain lakukan pada kita, tetapi kita bisa mengendalikan respons kita terhadapnya. Jalani saja apa yang ingin kamu lakukan. Jangan berhenti berusaha saat tujuanmu belum mendapatkan hasil memuaskan. Dan satu lagi, Pan ... jangan selalu merasa cemburu dengan keberhasilan orang lain. Karena kita tak pernah tahu bagaimana perjuangan orang itu mewujudkannya—Galang.
Vanila tercenung membaca semua pesan itu. Terkesima dan berdecak kagum.
Benar, aku seperti memasuki alter ego dalam diri mereka.
Memasuki grup Kainga menjadikan Vanila mengetahui banyak hal yang selama ini terkunci rapat dalam diri Ren, Petra dan Galang.