Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kainga
MENU
About Us  

 

Mikasa, aku ini apa bagimu?—Eren Yeager

 Akh, kamu adalah ... keluarga, seandainya dulu aku menjawab berbeda.—Mikasa Ackerman

(Percakapan dalam anime Attack on Titan)

Bip ....

Mematikan layar monitor dan bergumam sendiri, rewacth anime favorit yang entah berapa kali dilakukan. Hampir pagi, lagi-lagi begadang. Menyilangkan kedua tangan di bawah kepala, Ren menatap langit-langit kamar. Mengingat alur cerita cinta Eren dan Mikasa, Ren jadi teringat Petra. Bukan menyamakan kisah mereka dengan karya Hajime itu, tapi sedikit terinspirasi. Petra yang selalu dapat diandalkan jika Ren mendapat masalah, mirip dengan Mikasa yang selalu melindungi Eren. Isi hati Eren maupun Ren sekarang pun sama. Mempertanyakan di antara mereka ini sebetulnya perasaan saling suka atau murni bersahabat.

Petra bukan bersikap mengayomi dengan Ren saja. Pada teman lain pun sama. Itu yang buat Ren takut terlalu percaya diri bila menganggap hubungan mereka berbeda. Contoh sikap Petra pada teman lain, sigap membukakan botol minum Chiya, membetulkan helm Jaya yang rusak, pernah menjadi pengawal Vanila saat gadis itu melakukan janji bertemu dengan teman online-nya, Kama yang sering ditemani main basket, hingga Galang yang membutuhkan bantuan Petra saat membuat rak buku dari kayu. Bahkan teman dari jurusan lain kerap datang menemui Petra di kelas animasi hanya untuk meminta bantuannya memeriksa motor mereka yang ngadat di parkiran sekolah.

Ren mendesah lirih. Semua akan lebih mudah jika gadis yang ia kagumi itu Chiya. Chiya yang lembut dan selalu membutuhkan bantuan Ren. Bukannya membandingkan, tapi dengan Petra ... Ren jadi merasa tidak berguna. Petra terlalu serba bisa. Mungkin juga karena dituntut untuk melindungi adik-adik panti yang berjumlah banyak. Petra terbiasa mengurus orang banyak, pintar membetulkan barang karena tak mudah membeli kapan saja. Semua yang ia kerjakan penuh dengan perhitungan akurat. Pernah Mas Defa sampai tak bisa berkata-kata menghadapi sorot mata Petra yang tajam dan ucapannya yang tegas. Petra tidak perlu ngambek seperti Ren atau meledak seperti Galang. Cukup dengan mengerjakan tugasnya dengan perfect, minim revisi dan menolak tegas ketika Mas Defa rewel menjejalinya dengan tugas milik anak lain yang tidak cukup memuaskannya.

Memikirkan itu semua lambat laun mata Ren mengantuk, makin lama makin berat dan akhirnya terpejam. Melupakan kalau ini hari jumat—masih hari kerja.

Sementara itu di studio animasi, Mas Defa sudah keluar tanduknya dengan hidung kembang kempis menahan emosi. Rasa-rasanya dentuman amarah bisa terjadi kapan saja. Matahari sudah sepenggalah, Ren belum menunjukkan batang hidungnya—tak ada izin, tanpa informasi. Padahal pimpinan atau bos yang lebih tinggi posisinya dari Mas Defa akan melakukan evaluasi kerja hari ini. Semua harus hadir termasuk anak magang. Bos tersebut juga akan mengecek job dari klien yang telah finish.

Kamu nggak apa-apa, Ren?

Alih-alih mengetik ... Ren, kamu di mana? Petra malah memilih menanyakan keadaan Ren. Membuat Jaya gemas. Dia sempat mengintip, membacanya saat Petra dengan raut cemas—yang masih santai —mengirim pesan kepada Ren.

Ren Dewandaru, memang suka seenaknya sendiri. Ketua tim yang suka ngilang. Gaya memimpin Ren diakui Jaya sangat hebat, Ren begitu peka dengan kondisi tiap-tiap anak sehingga mampu mengoordinasikan tugas sesuai kemampuan masing-masing. Tapi ya itu, Ren terlalu rumit dengan masalah di keluarganya. Membuat Ren sering mendadak lemah, letih, lesu, lapar.

Akhirnya waktu untuk evaluasi tiba, tim tujuh melakukannya tanpa Ren. Dimas yang kini bergabung dengan tim tujuh, ternyata membantu banyak sekali dalam hal presentasi. Petra menggantikan tugas Ren—berdiri di depan layar proyektor—dibantu Dimas yang siap menjadi asisten. Anak lain saja heran, kenapa Dimas begitu cepat dapat menyesuaikan diri dengan Petra. Sudah sebulan lebih sejak peristiwa itu. Kejadian keluarnya Galang yang berujung dengan masuknya Dimas ke dalam tim tujuh.

Tidak ada yang tidak senang dengan kehadiran Dimas. Pekerjaanya memang tak segesit Galang. Dimas lebih banyak menguasai 2D, sedangkan tugas 3D yang tadinya dikerjakan Galang dilimpahkan pada Ren dan Petra. Di tempat magang ini, memang tidak seperti di sekolah di mana satu projek film durasi lima menit dikerjakan oleh satu kelompok. Anak magang di studio animasi ini lebih ditempatkan sesuai keahlian yang paling menonjol, membantu para pegawai tetap yang memegang beberapa projek. Tidak semua animating 3D ada juga yang 2D. Ada juga yang berfokus pembuatan artbook saja, atau bahkan ilustrator buku anak.

Evaluasi berakhir sebelum jam makan siang. Paling terakhir meninggalkan ruang dingin adalah tim tujuh yang mendengarkan saksama nasihat Mas Defa. Kembali diingatkan untuk bersikap profesional, ini tempat kerja bukan taman bermain. Ada banyak orang menggantungkan hidupnya dari tempat ini untuk mencari makan. Mas Defa meragukan nilai yang akan didapat tim tujuh nanti saat magang berakhir—jika ketua timnya saja begitu. Seharusnya saling kompak dan selalu mengingatkan teman satu sama lain.

Petra ingin sekali menggunakan jam makan siangnya dengan meluncur ke rumah Ren. Petra justru khawatir terjadi sesuatu dengan Ren. Hanya ada beberapa orang yang tahu, bila wajah Ren lebam di pipi itu bukan karena terbentur. Maka dari itu Petra telah siap di atas motor ketika Kama dan Jaya datang mencegahnya.

“Coba hubungi dari HP dulu!” ujar Kama.

“Sudah dari tadi!” jawab Petra menggerutu.

Kama dan Jaya tahu yang Petra risaukan. Mereka juga mengerti hubungan Ren dan ayahnya yang up and down, sering mengganggu sekolahnya.

Bolak-balik Petra membuka layar HP dan menutupnya kembali.

“Aku ke sana saja!” tukasnya. Bergegas menyalakan motor dan berlalu sesuai kecepatan angin—hiperbola—meninggalkan dua kribo yang saling berpandang.

“Ada yang aneh,” ucap Jaya setelah punggung Petra berlalu pergi.

“Apa?” tanya Kama melirik Jaya.

“Ada grup di dalam grup,” bisik Jaya.

“Apaaa???” pekik sebuah suara kecil tertahan—itu suara Chiya.

Kama dan Jaya kaget, ada Chiya menguping pembicaraan mereka.

“Sejak kapan?” tanya Chiya memberondong.

“Apanya?” Jaya tak mengerti.

“Grup di dalam grup, sejak kapan kamu tahu?” cerocos Chiya.

“Barusan, memang kenapa sih?!” Jaya jadi sewot di tanya-tanya.

“Chiya tahu sudah dari bulan lalu, waktu Galang resign,” bisik Chiya pada si kembar.

“Nggak usah bisik-bisik, nggak ada yang dengar!” ujar Kama.

Akhirnya di Parkiran studio, tiga orang tersebut menggunakan jam makan siangnya untuk membicarakan grup di dalam grup.

Chiya mengaku pernah sangat kesal, ketika ia mengganggap hubungannya dengan Ren dekat karena Ren tulus mendengarkan keluh kesahnya. Tiba-tiba saja Ren tidak mudah untuk dihubungi. Seolah menghindar dekat Chiya agar tidak salah paham. Seolah Ren menjaga hati seseorang. Berkali-kali Chiya menghubungi, tapi Ren tak menggubris. Chiya yang menyadari ada sesuatu yang lain, mulai memperhatikan tingkah Ren di studio. Sejak kepergian Galang semua makin terlihat jelas. Chiya bahkan pernah memergoki Petra mengirim pesan pada Ren di dalam suatu grup. Setelah mengecek grup kelompok tujuh Chiya tak menemukan chat tersebut.

Mulai dari susu pisang yang lebih istimewa dari minuman lain—bagi Ren. Chiya sudah curiga bahwa Ren menaruh perasaan ke Petra. Kama dan Jaya yang mendengar penuturan Chiya. Merasa iba untuk Chiya sekaligus tak heran dengan sikap Ren pada Petra.

“Sudah dari dulu, kami para cowok itu tahu kalau cowok naksir itu gimana, yeah seperti sikap Ren ke Petra itu yang sering berantem tapi romantis, ha-ha-ha!” ujar Kama terkekeh, Jaya mengangguk setuju.

Chiya memekik lagi, “Aaaaish, kenapa kalian nggak ngasih tahu Chiya sih! Chiya kan jadi malu!”

Chiya memang ekspresif, sedikit lebay ... tapi wajar saja. Neneknya memang begitu memanjakannya. Di dalam tim Chiya juga sering dianggap anak kecil karena masih di bawah tujuh belas tahun. Perhatian dari Ren membuat Chiya baper, tapi langsung mengingatkan otak lampunya yang langsung berubah jadi otak udang saat bersama Ren untuk tidak ngeyel dengan situasi Ren memang humble ke semuanya.

“Chiya beneran suka sama Ren?” tanya Jaya penasaran.

“Emang kenapa?” Chiya balik bertanya.

“Jangan suka sama Ren, ya ... sama Jaya aja,” jawab Jaya sambil mengerling mata.

Kama dan Chiya melotot, dan akhirnya ketiganya pun tertawa, bersamaan konser berisik di dalam perut mereka.

***

Tak kusangka ini pertemuan terakhir kita, Mikasa ...!

Itterasshai, Eren ...!

BUGH!!!

Cuma mimpi ... Ren mengucek matanya. Bantal guling tergeletak di lantai, sedangkan tubuhnya tergulung selimut—juga di lantai yang dingin.

“Ugh ... jam berapa ini?”

Mengerjap sejenak mencari-cari jam weker, Ren merasa heran kenapa dia sama sekali tak mendengar dering wekernya.

Tangan Ren meraih HP di atas meja tulis. Bersatu bersama tumpukan komik berserakan. Ren mendesah, susah payah menyadarkan dirinya keluar dari zona kemalasan mengikat. Buatnya tak berkutik pasrah pada mengantuk. Hampir saja terpejam lagi, kalau saja mata mengantuknya tak menangkap jam digital di layar HP.

“Aaaaaaaargh, tidaaaak!!!”

Melonjak kaget, mulai panik. Membuka jendela dan menemukan cahaya terang benderang sinar matahari.

Drrrrtt!

HP mode silent bergetar, panggilan suara dari Petra. Wah, pasti Petra mengamuk, hari ini kan evaluasi, pikir Ren sembari menggigit bibir.

Begitu suara panggilan diangkat, “Hallo, Ren. Temui aku di bawah!” perintah Petra tanpa basa-basi.

Mengernyitkan dahi tanda tak mengerti. Ren hendak membuka suara. Namun, tenggorokan tercekat dan merasa haus sekali. Meminum air dalam botol mineral yang dibiarkan semalaman berdiri di samping kasur, berjalan mendekati jendela kaca yang sebagian tirainya telah terbuka. Dari kamarnya di lantai dua, Ren leluasa melihat halaman di bawah sana. Seorang gadis berdiri depan pagar rumahnya.

Uhuuk!

Air minumnya memuncrat. Di bawah sana ... benar itu Petra. Sekali lagi Ren berusah me-loading-kan sinyal-sinyal kesadaran dalam otaknya.

“Apa yang dilakukan gadis itu di sini, heh?”

Secepat kilat Ren membuka pintu kamar, berlarian kecil menuruni anak tangga. Bergegas membuka pintu depan dan melompati taman kecil membuka gembok pagar.

“Petra??” panggil Ren terengah.

Petra memperhatikan Ren sembari menggelengkan kepala. Tampak jelas muka bangun tidur Ren. Pipinya baik-baik saja tidak lebam. Wajar saja layaknya wajah mengantuk yang tergopoh-gopoh.

“Ren, are you okay?”

***

Sekitar satu jam Mas Defa menceramahi Ren. Pukul dua siang baru tiba di studio, itu pun dijemput Petra. Alasan Ren tidak dibuat-buat. Jujur kalau kesiangan bangun karena malamnya rewatch AOT. Tak mengelak dari kesalahan dan tertunduk meminta maaf.

Kesalahan Ren kali ini tidak ditanggungnya sendiri. Berimbas pada kalimat menohok Mas Defa kepada semua anggota tim.

“Jika masih menginginkan nilai A untuk tugas magang, sebaiknya kamu berhati-hati, Ren! Tingkahmu yang seenaknya sendiri bisa membawa nilai jelek untuk kelompokmu!”

“Iya, Mas ... Ren minta maaf,” ucap Ren menunduk.

Kali ini Ren mendengarkan Petra untuk tidak mendebat. Jika tidak maka marahnya Mas Defa bisa berjilid-jilid.

***

Hidup kita berhubungan dengan hidup orang lain. Saling berkaitan, ada sebab akibat. Waktu seperti ini, tak bisa semaunya sendiri. Biar kata ini hidupku aku yang tentukan. Tetap mendahulukan kepentingan bersama barulah memikirkan diri sendiri.

Ren termenung setelah dimarahi habis-habisan. Bu Neena juga telepon, Mas Defa mengadu, atau memang begitu prosedurnya. Mentor akan selalu menginformasikan kelakuan anak magang. Ren tersudut, tapi kali ini ... iya, benar ini salahnya.

Chiya melirik diam-diam, mengawasi gerak-gerik Ren dan Petra, penasaran apa kenyataannya mereka benar-benar ada rasa. Jika iya, kenapa selama ini disembunyikan. Membuat Chiya malu telanjur berharap. Berkali-kali Jaya menanyakan, “Chiya nggak apa-apa, Chiya okay, ‘kan?”

Tak tahu mesti menjawab bagaimana. Baru juga permulaan naksir Ren, sudah dihempaskan kenyataan. Lalu grup itu, bila memang tak ada yang tersembunyi ... mengapa Ren dan Petra membuat grup terpisah.

“Kalau Cuma berdua chat pribadi ‘kan bisa, ngapain bentuk grup?” tanya Jaya merasa heran. Selain membicarakan grup rahasia, Jaya juga bermaksud menyelidiki sejauh mana Chiya menyukai Ren. Gawat kalau ini pertama kali Chiya naksir cowok. Kecewanya pasti berkali lipat karena yang Ren sukai juga sahabat Chiya sendiri.

“Telingamu berdengung tidak, Ren?” tanya Petra sambil menggosok kedua telinganya.

“Sudah dari tadi!” jawab Ren tak fokus. Masih memikirkan akibat tindakan sembrononya—bangun kesiangan di hari penting. Ren takut kelompoknya mendapat nilai B. Petra diam saja ketika gusarnya Ren ia utarakan. Ren tahu nilai jelek paling tidak bisa excused bagi Petra.

Bip!

Sebuah pesan masuk, dari grup Kainga. Ren membacanya, melihat Petra, membaca lagi ... risau.

“Ada apa, Ren?” Akhirnya Petra yang peka, bertanya.

“Galang menanyakan, apa Jaya tahu soal Kainga,” bisik Ren.

“Enggak ada yang tahu!” Petra menggeleng.

“Barusan, Galang mendapat pesan dari Jaya, menanyakan apa tahu soal grup rahasia Petra dan Ren.” Jantung Ren dag-dig-dug. Petra juga. Kalau tim tujuh tahu semua, bisa salah paham.

Sebagai volunteer dari komunitas Kainga yang digagas oleh Ren. Petra setuju dengan pendapat Ren, jika anggota tim tujuh boleh menjadi member Kainga, tapi bukan karena dia tim tujuh. Kainga hanya diisi oleh orang-orang yang membutuhkan rumah bernaung dalam kebingungan pencarian jati diri. Untuk masalah member hanya Ren yang berhak menentukan. Sementara Kainga merintis baru berupa grup belum memiliki basecamp. Satu bulan berlalu sejak tercipta. Kainga belum ada member baru. Ren belum terketuk hatinya untuk merekrut member.

“Kalau tidak diumumkan, bagaimana mereka tahu soal Kainga, Ren?” Galang pernah bertanya begitu.

“Tidak, Kainga akan memilih sendiri anggotanya,” jawab Ren tegas.

 

 

Mereka mulai membagi peran. Ren yang menghibur, Galang yang bijak dan Petra yang mengajarkan cara bertahan hidup saat terhina, saat diremehkan, saat harus mandiri tanpa mengandalkan siapa pun. Hanya bertiga Di dalam Kainga. Komunikasi intens membuat saling memahami. Menerjemahkan berisiknya pikiran para member agar tidak tenggelam sendirian, masuk ke dalam jurang mati rasa yang bisa mematikan masa depan.

***

Bukannya Ren tak mendengar. Tim tujuh tengah hangat membicarakan grup di dalam grup. Saat berdua Petra seperti sekarang ini, jadi tidak leluasa. Seakan semua mata mengawasi. Terlebih Ren jadi tak enak sebagai ketua tim yang menghilang di saat evaluasi. Nanti dikira melepas tanggung jawab, tapi aku memang teledor.

“Apa mereka memusuhiku?” tanya Ren—lagi-lagi baper.

“Hanya ada dalam pikiranmu.” Petra menjawab.

“Apa mimpiku untuk Kainga terlalu lebay?” Ren masih bertanya.

“Tidak ada mimpi yang lebay, Ren ... yang ada harapan besar untuk meraih mimpi memang harus berlebihan.”

“Tapi, apa pantas aku yang penuh luka ini—luka dalam jiwa—menemani mereka yang terluka?”

“Kamu yang paling memahami,” jawab Petra tenang.

Petra tidak menghiraukan lagi Ren yang masih berpikir. Perhatiannya teralihkan pada grup tim tujuh yang tumben sepi.

Apa mereka membalas kami dengan membuat grup di dalam grup?

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Reandra
1540      1030     66     
Inspirational
Rendra Rangga Wirabhumi Terbuang. Tertolak. Terluka. Reandra tak pernah merasa benar-benar dimiliki oleh siapa pun. Tidak oleh sang Ayah, tidak juga oleh ibunya. Ketika keluarga mereka terpecah Cakka dan Cikka dibagi, namun Reandra dibiarkan seolah keberadaanya hanya membawa repot. Dipaksa dewasa terlalu cepat, Reandra menjalani hidup yang keras. Dari memikul beras demi biaya sekolah, hi...
Bersua di Ayat 30 An-Nur
930      457     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang wanita muslimah yang penuh liku-liku tantangan hidup yang tidak tahu kapan berakhir. Beberapa kali keimanannya di uji ketaqwaannya berdiri diantara kedengkian. Angin panas yang memaksa membuka kain cadarnya. Bagaimana jika seorang muslimah seperti Hawna yang sangat menjaga kehormatanya bertemu dengan pria seperti David yang notabenenya nakal, pemabuk, pezina, dan jauh...
BlueBerry Froze
3436      1071     1     
Romance
Hari-hari kulalui hanya dengan menemaninya agar ia bisa bersatu dengan cintanya. Satu-satunya manusia yang paling baik dan peka, dan paling senang membolak-balikkan hatiku. Tapi merupakan manusia paling bodoh karena dia gatau siapa kecengan aku? Aku harus apa? . . . . Tapi semua berubah seketika, saat Madam Eleval memberiku sebotol minuman.
My First love Is Dad Dead
53      50     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
Search My Couple
552      315     5     
Short Story
Gadis itu menangis dibawah karangan bunga dengan gaun putih panjangnya yang menjuntai ke tanah. Dimana pengantin lelakinya? Nyatanya pengantin lelakinya pergi ke pesta pernikahan orang lain sebagai pengantin. Aku akan pergi untuk kembali dan membuat hidupmu tidak akan tenang Daniel, ingat itu dalam benakmu---Siska Filyasa Handini.
Ada Apa Esok Hari
202      156     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...
Fusion Taste
139      126     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...
My Teaser Devil Prince
6427      1630     2     
Romance
Leonel Stevano._CEO tampan pemilik perusahaan Ternama. seorang yang nyaris sempurna. terlahir dan di besarkan dengan kemewahan sebagai pewaris di perusahaan Stevano corp, membuatnya menjadi pribadi yang dingin, angkuh dan arogan. Sorot matanya yang mengintimidasi membuatnya menjadi sosok yang di segani di kalangan masyarakat. Namun siapa sangka. Sosok nyaris sempurna sepertinya tidak pernah me...
From Ace Heart Soul
586      353     4     
Short Story
Ace sudah memperkirakan hal apa yang akan dikatakan oleh Gilang, sahabat masa kecilnya. Bahkan, ia sampai rela memesan ojek online untuk memenuhi panggilan cowok itu. Namun, ketika Ace semakin tinggi di puncak harapan, kalimat akhir dari Gilang sukses membuatnya terkejut bukan main.
Fragmen Tanpa Titik
42      38     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...