Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kainga
MENU
About Us  

Aku penasaran ... kita ini akan diingat manusia lain sebagai apa? Seberapa besar peran kita mengubah hidup seseorang. Jika memang sebaik-baiknya manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya ... tak ada salahnya bersama-sama saling menguatkan—Ren Dewandaru.

Isi chat terakhir Ren di grup Kainga. Berisi tiga member, Petra, Galang dan Ren sendiri. Berjalannya waktu, Ren meyakini grup tersebut akan diisi banyak anggota. Namun, biarlah pusaran waktu akan menentukan sendiri nama-nama tersebut. Kisah-kisah yang berhasil mengetuk hati Ren dan menjadikan Kainga bagian dalam hidup mereka.

Tidak semua berjalan sesuai yang kita harapkan, bukan? Itulah dunia yang sesungguhnya. Kita masih tahap awal mengenali dunia orang dewasa. Masa transisi dari remaja yang hanya mengerti PR dan jajan di kantin, kini belajar bertanggung jawab pada setiap pilihan hidup—Petra.

Petra menimpali pesan terakhir Ren tadi malam yang baru sempat dibaca pagi ini. Sedangkan Galang mengawali pagi harinya dengan membaca saja chat dari dua temannya itu. Bau harum masakan ibunya menyeret langkah kaki Galang menuju dapur. Di sana ia menemukan punggung berbusana batik tengah menumis cumi cabai ijo kesukaannya. Pagi begini, ibu sudah menyiapkan sarapan bergizi untuk dirinya. Padahal ibu juga harus bersiap-siap untuk kerja.

 Kemudian Galang memberikan suatu pesan balasan ke grup berisi tiga member tersebut.

Aku mempertimbangkan segalanya. Paling memahami kapasitas diriku sendiri. Kondisiku saat ini tak mungkin meminta laptop baru pada Ayah dan aku pun tak mau membebani Ibu. Sedangkan pekerjaan di studio menyita waktu. Tidak semua pekerjaan bisa dilakukan dengan komputer kantor yang kadang harus berebut dulu dengan pegawai tetap. Alasan lainnya, rasanya aku memang tak bisa bekerja sama dengan Mas Defa. Dia yang beranggapan, anak-anak magang seperti kita hanya budak dari projek-projek ambisiusnya. Dia yang menganggap semua orang itu seperti dirinya, dalam kondisi finansial stabil dan satu-satunya masalah dalam hidupnya hanyalah deadline. Tidak Ren, Petra ... maaf aku memilih mundur. Jangan khawatir, akan kujelaskan pada Bu Neena tanpa melibatkan kalian—Galang.

Buyar sudah keinginan Ren agar tim tujuh tetap utuh. Galang telah memutuskan dan Ren tahu tidak dapat mengubahnya. Dia dan Petra duduk merenung, di ruang dingin ... sepagi ini. Mereka berdua tahu, Galang tak mungkin lagi muncul dari pintu. Mudah menyerah, itu pendapat Petra tentang Galang. Terlalu terburu-buru, itu asumsi Ren. Masih ada projek tugas kelompok pembuatan film animasi dari Bu Neena—yang melibatkan Galang tentunya—selesai magang kerja enam bulan pun mereka akan kembali ke kelas animasi bersama. Hanya tentu berbeda bila anggota tim magang kerja berkurang satu. Apalagi sebetulnya, Galang salah satu yang paling diandalkan untuk pekerjaan ini.

***

“Bu Neena datang! Kita semua kumpul!” seru Vanila menyampaikan pesan Bu Neena pada semua tim tujuh yang kini tidak beranggotakan tujuh orang lagi. Kini baik Kama, Jaya, Chiya dan Vanila telah mengetahui mundurnya Galang dari studio animasi.

Mas Defa pun telah bertemu Galang lagi sejak kejadian kemarin. Berbicara serius dan akhirnya saling meminta maaf satu sama lain. Galang dengan berani mengemukakan semua alasannya. Termasuk kenapa ia tak bisa meninggalkan ibunya dalam waktu lama. Galang mendapatkan tempat magang baru yang jarak lokasi kerjanya sangat dekat dari rumahnya. Teman lain tak bisa berbuat apa pun, keputusan Galang sudah final.

Sekarang setelah Galang pergi, Bu Neena—yang pastinya sudah ditemui Galang untuk meminta izin resign— datang ke studio animasi untuk secara resmi menitipkan murid-muridnya bekerja selama enam bulan di tempat tersebut. Kedatangan Bu Neena tidak sendiri, ia membawa tim berikutnya—teman sekelas Ren yang lain. Berjumlah delapan orang.

Usai acara resmi dengan Mas Defa, Bu Neena menghampiri Ren, berdiskusi bersama Ren sesuai kapasitasnya sebagai ketua tim tujuh atau ketua kelompok tujuh. Membicarakan tindakan Galang yang amat disayangkan Bu Neena. Ren dapat melihat, sorot mata Bu Neena kecewa dan sebetulnya marah. Ren juga merasa sedikit disalahkan karena terlambat menengahi masalah tersebut. Ren menunduk, membisu. Bu Neena yang peka dan sudah hafal betul dengan karakter Ren langsung membetulkan cara penyampaiannya.

“Ren Dewandaru, ibu tidak menyalahkanmu, ya. Ini sekadar sharing, supaya hal yang sama tidak terjadi lagi.”

“Konflik yang terjadi di luar batas kemampuan saya, Bu!” ujar Ren berapi-api.

“Iya, Ren ibu tahu. Makanya ibu bilang ‘kan untuk mengantisipasi hal begini. Kita perlu saling komunikasi.”

“Kondisi ibunya memengaruhi keputusan Galang, Bu. Saya sudah coba cegah, tapi saat saya di rumah Galang dan menyaksikan sendiri ... saya dapat mengerti betul kesesakkan yang Galang alami. Kalau saya berada di posisi Galang pun rasanya akan melakukan hal yang sama,” ujar Ren masih merasa Bu Neena menyudutkannya.

Bu Neena lantas menarik napas. Untunglah pengalamannya sebagai guru sepuluh tahun ini membuatnya sabar menghadapi murid seperti Ren—senang mendebat.

Ia tidak berkata-kata lagi. Ren pun tidak. Sekonyong-konyong enam kepala, eh tidak, tujuh kepala muncul di lobby tamu—tempat Ren dan Bu Neena berdiskusi.

“Ada apa, Kama?” tanya Bu Neena melihat gerak-gerik Kama seperti mau berbicara. Mempersilakan mereka semua duduk di kursi tamu milik studio animasi.

“Eh, anu ... ma-maaf Bu sebelumnya. Begini, tim kami ‘kan kosong satu, bagaimana kalau Dimas gabung ke tim tujuh untuk menggantikan Galang?” tanya Kama santun.

“Tidak!!!” tolak Ren.

Belum juga Bu Neena menjawab, Ren sudah berdiri menolak usul Kama.

"Loh kenapa Ren?!" tanya Dimas tidak terima dengan penolakan langsung Ren.

"Tim dua atau kelompok dua yang baru bergabung dengan kalian hari ini, memang berjumlah delapan. Tak ada salahnya di tempat magang ini masuk ke tim tujuh yang dipimpin Ren, jadi kedua tim berjumlah sama—tujuh orang. Bagaimana Ren?"

"Dimas tidak bisa menggantikan tugas Galang, Bu." Ren masih coba menolak.

"Untuk hal itu, nanti Mas Defa yang mengatur!" Bu Neena agak menaikan oktaf bicaranya. Lama-lama kesal juga berdebat dengan Ren. Sedangkan selisih paham pihak studio dan Galang saja sudah membuat Bu Neena meminta maaf mewakili muridnya.

"Pokoknya, Tidak bisa!!! Galang masih tim tujuh!" seru Ren nyolot, yang lain terhenyak ... bingung juga mengatasi Ren yang tak mau tahu, tak mau dengar penjelasan lainnya.

"Galang tetap tim kita, Ren. Dimas hanya masuk di tim magang kita," ucap Kama coba jelaskan.

"Terserahlah!!! Aku mundur saja dari ketua, toh suaraku tak didengarkan!!!

"Ren, apa-apaan sih?!" bentak Petra. Sudah gemas sekali ingin menjitak kepala Ren.

"Okay, kamu saja yang jadi ketua!" ketus Ren.

Lainnya terkejut, terutama Dimas yang tersenyum kecut. Ren tak peduli dengan reaksi guru dan temannya. Ia mengangguk sopan pada Bu Neena dan meminta izin untuk keluar—bertepatan dengan jam makan siang.

Teman lainnya bengong. Bu Neena menggelengkan kepala menatap punggung Ren yang bergegas pergi.

“Saya izin menyusul Ren, Bu!” seru Petra dan ikut bergegas pergi.

Ren memacu motornya, diikuti Petra dari belakang. Motor tua Petra tak kalah cepat. Berliuk-liuk mengejar motor Ren. 

“Ren ... Ren!!! Menepi!!!” teriak Petra. Suaranya bertarung dengan deru kendaraan sekitar. Ren tahu Petra tak akan mengalah dan bisa membuat orang-orang salah paham. Terlihat seperti dua remaja yang bertengkar di jalan. Akhirnya Ren memenuhi permintaan Petra dan menepi. Parkiran sebuah mini market menjadi pilihannya.

Petra mengikuti. Ada sebuah meja dan kursi di teras mini market yang sempit. Bagian belakangnya penuh galon-galon air mineral. Alih-alih langsung duduk bersama Ren, Petra lebih dulu membeli minuman dingin. Satu botol minuman ion untuk Ren, dan satu susu pisang untuk dirinya sendiri.

“Nih, minum dulu!” perintah Petra, “kenapa marah-marah mulu sih, Ren? Santai aja kali!”

“Nggak marah Cuma kesel!” ujar Ren beralasan.

“Sama saja, huuu!”Petra memberikan jempol ke bawah untuk Ren, lalu dengan santainya tertawa. Mengangkat kedua tangan membetulkan ikat rambutnya. Ren melirik tersenyum. Cantik sekaligus ganteng, itu menurut Ren. Tak banyak teman perempuannya memiliki wajah cantik combo dengan kelakuan ganteng macam Petra.

“Kasihan Dimas loh, Ren. Dia nggak ngerti apa-apa,” ucap Petra mengingatkan masalah tadi.

“Yeah, aku welcome saja kalau Dimas masuk kelompok kita, tapi ingat ya bukan berarti menggantikan posisi Galang.”

“Itu ... Kama salah bicara, grogi mungkin ... soalnya wajah kamu saat bicara dengan Bu Neena sangat masam.”

“Ya, itu karena aku disalahin terus, disudutkan!” keluh Ren cemberut.

Petra hampir hilang sabar. Bicara saat Ren kumat mengambeknya memang menguras energi, ada saja bantahan.

Setelah menghabiskan satu botol susu pisang, Petra menawarkan onigiri berbentuk segitiga yang ada di meja kasir. Ren langsung mengangguk setuju. Segera Petra masuk lagi ke dalam mini market. Ketika membayar ia memergoki wajah melamun Ren berpangku tangan yang terlihat dari pintu kaca.

Saat memberikan dua buah onigiri itu, Petra menanyakan lagsung ... apa saat ini Ren sedang bertengkar dengan ayahnya, karena Ren tampak mudah emosi dan kelaparan. Ren mengangguk lemah. Satu bungkus onigiri tertelan habis, kemudian Ren mengatakan betapa capeknya terus disalahkan seseorang. Hatinya limbung, mudah tersulut emosi.

Tentang Galang Ren serius. Tidak ada yg bisa menggantikan kelihaian Galang menggarap 3D. Petra mengerutkan kening, menjelaskan pada Ren sekarang ini juga percuma. Kalau sebenarnya, Dimas masuk ke tim tujuh atas perintah Mas Defa.

Sebuah notifikasi pesan dari grup Kainga berbunyi. Sontak Ren dan Petra membaca pesan itu.

Aku baik-baik saja ....

Ini buka soal benar atau salah. Melainkan pilihan yang kubuat.

***

Jam tiga pagi Ren masih terjaga, tak bisa terlelap, gelisah di atas kasur. Memikirkan semua kembali. Kekacauan di tempat magang. Mundurnya Galang dari tim tujuh yang tak pernah Ren duga. Bayangan kebersamaan, kekompakkan kelompok tujuh selama ini ... kabur, lenyap bersama buih kekecewaan.

Tadi siang, Ren tak marah pada Bu Neena, bukan pula marah pada Galang dan Mas Defa. Hanya saja diri Ren belum siap menerima hal-hal diluar kendali, membuat pikiran Ren kacau, bingung, takut disalahkan. Terbiasa menerima tuduhan lemparan kesalahan buat Ren waspada, secara refleks pertahanan dirinya ingin melindungi dirinya sendiri sebelum hal itu terjadi. Padahal dalam kasus Galang ini tak seorang pun menyalahkan Ren. Ini hanya ketakutan dalam diri Ren sendiri.

Mendesah lirih, Ren meringis nyeri. Pikirannya campur aduk. Kembali meributkan hal sepele dengan ibu tiri di depan sang ayah, mengakibatkan lemparan sepatu yang menimpa pipi Ren. Sebabnya, pagi tadi Ren mencari-cari sepatunya saat hendak berangkat magang. Tiba-tiba ibu tiri melempar sepatu basah dan mengatakan sepatu Ren kemarin dicucinya karena terciprat semir rambut. Ren terperanjat, bagaimana bisa semir rambut hinggap pada sepatunya. Si ibu tiri berujar, saat dirinya sedang menyemir rambut tadi malam ... sepatu putih itu tersandung kakinya. Dirinya tidak terjatuh, akan tetapi sisir cat rambut terbang melayang dan jatuh tepat di atas sepatu putih sehingga menciptakan noda itu. Walaupun panik dan segera mencucinya, sayangnya noda itu tetap ada. Ren lemas mendengar penuturan ibu tiri yang entah ke berapa kali, saat Ren diam saja pun, selalu memancing kericuhan dengan dirinya. ‘Apa menyemir rambut itu dengan jalan-jalan Dewi?’ Itulah yang ditanyakan Ren pada ibu tiri—memanggil nama karena Ren memang tak pernah mau memanggilnya ibu. Kadang tante bila sedang akur. Kalau marah begini, Dewi saja.

Hal menyebalkan, sering berulang, kembali terjadi. Wanita itu mendadak berteriak histeris, menjabak rambutnya sendiri, mengatakan ‘seharusnya aku tak menyemir rambut tadi malam.’ Ren bosan, menghadapi orang dengan segudang drama.

Ren terdiam dengan wajah lelahnya menyaksikan wanita itu berteriak. Wanita itu ... layakkah disebut sebagai ibu jika menyerang remaja tujuh belas tahun? Dengan kata-kata ... dengan amukan tangannya ....

Ren mempertahankan diri dengan memegangi bahu wanita itu agar terdiam. Marahnya ibu tiri tidak terkendali, lebih ke menumpahkan rasa kesal tertahan. Ren mengira dirinya hanyalah sasaran kekesalan. Wanita ini memang kerap mencari kambing hitam bagi ledakan emosinya. Ayah Ren muncul, seusai mandi. Menyaksikan kegaduhan dan tanpa pikir panjang mengambil kesimpulan jika Ren kurang ajar karena mendorong ibu tirinya. Ayahnya menuntut Ren meminta maaf, tapi Ren menolak. Dari tadi ia tak banyak bicara, wanita itu mencerocos dan merasa tersakiti sendiri. Ren mengenakan sepatu lain dan ingin pergi dari rumah secepatnya. Namun, ayah Ren tak senang diabaikan ... sepatu bernoda cat rambut terbang melayang mengenai muka Ren.

Itulah mengapa ketika Bu Neena sebenarnya mengobrol biasa saja, Ren merasa bagai disudutkan—ia ketua tim—dan berangkat dari rumah dengan perasaan ingin menjerit, bosan, capek. Sampai-sampai Ren merasakan pening di kepalanya. Memikirkan suasana rumah yang menyumbang rasa tidak nyaman ketika harus fokus pada pekerjaan.

Kini di penghujung malam tidak lelapnya Ren membagi pilu sendiri.

Ibu tiri melampiaskan amarahnya kepadaku karena ia memendam luka, dan aku melepaskannya di studio dengan alasan membela diriku. Sungguh naif ... apa bedanya aku dengan dia?

Bagaimana dengan Galang? Tak tahan under pressure karena telanjur memusingkan hubungan orang tua. Kepalanya penuh dengan pertanyaan atas sikap ayahnya memberi tekanan psikologis Galang dan ibunya.

Carut marut hubungan orang tua jelas memengaruhi kondisi mental usia remaja. Tak ingin disalahkan, tak ingin menyalahkan, tak mau terlibat, tetapi merasuk dalam pikiran. Anehnya, banyak orang tua yang terus saja mengelak dari sumbangsihnya membentuk mental breakdown.

Tidak ada anak nakal sebelum mereka bertemu orang tuanya bukan? Atau siapa pun yang menemani mereka bertumbuh.

Label anak nakal tersemat karena mereka di anggap tidak penurut, kritis, berani, pemberontak, berkelakuan buruk ... lantas siapa yang mengajarkan itu semua hingga sinyal dalam diri remaja merespons negatif? Tak ada akibat tanpa sebab.

***

Pagi hari dengan mata mengantuk, di tempat berbeda ... Petra dan Galang membuka notifikasi dari Kainga.

Dunia begitu besar, ya?

Tetapi dalam dunia yang besar ini, apakah ada tempat tersembunyi untukku? Tempat mungil saja, di salah satu pojok bumi. Di mana ayahku dan keluarganya tak bisa menemukanku. Aku bertahan karena adanya harapan. Suatu hari nanti ia memelukku erat ... entah aku salah atau benar. Apa ia tahu, aku memberikannya kebahagiaan dengan mengalah. Kutakmau pernikahannya gagal dan aku sebabnya—Ren Dewandaru.

Tapi  ... yang terus dilakukannya hanyalah mencambukku dengan kalimat menyudutkan, mempermalukan diriku di hadapan keluarga barunya. Keluarga yang ia perlakukan bak takut memecahkan keramik indah. Lantas aku ... pecah berantakan dan terus diinjaknya.

Membaca pesan itu ... Petra dan Galang tercenung, tak tahu harus menjawab apa.

****

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Hello, Me (30)
19271      942     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
Love after die
471      321     2     
Short Story
"Mati" Adalah satu kata yang sangat ditakuti oleh seluruh makhluk yang bernyawa, tak terkecuali manusia. Semua yang bernyawa,pasti akan mati... Hanya waktu saja,yang membawa kita mendekat pada kematian.. Tapi berbeda dengan dua orang ini, mereka masih diberi kesempatan untuk hidup oleh Dmitri, sang malaikat kematian. Tapi hanya 40 hari... Waktu yang selalu kita anggap ...
My Sunset
7295      1584     3     
Romance
You are my sunset.
Layar Surya
1368      848     17     
Romance
Lokasi tersembunyi: panggung auditorium SMA Surya Cendekia di saat musim liburan, atau saat jam bimbel palsu. Pemeran: sejumlah remaja yang berkutat dengan ekspektasi, terutama Soya yang gagal memenuhi janji kepada orang tuanya! Gara-gara ini, Soya dipaksa mengabdikan seluruh waktunya untuk belajar. Namun, Teater Layar Surya justru menculiknya untuk menjadi peserta terakhir demi kuota ikut lomb...
BlueBerry Froze
3436      1071     1     
Romance
Hari-hari kulalui hanya dengan menemaninya agar ia bisa bersatu dengan cintanya. Satu-satunya manusia yang paling baik dan peka, dan paling senang membolak-balikkan hatiku. Tapi merupakan manusia paling bodoh karena dia gatau siapa kecengan aku? Aku harus apa? . . . . Tapi semua berubah seketika, saat Madam Eleval memberiku sebotol minuman.
Perahu Jumpa
248      207     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
Story Of Chayra
12831      3139     9     
Romance
Tentang Chayra si cewek cuek dan jutek. Sekaligus si wajah datar tanpa ekspresi. Yang hatinya berubah seperti permen nano-nano. Ketika ia bertemu dengan sosok cowok yang tidak pernah diduga. Tentang Tafila, si manusia hamble yang selalu berharap dipertemukan kembali oleh cinta masa kecilnya. Dan tentang Alditya, yang masih mengharapkan cinta Cerelia. Gadis pengidap Anstraphobia atau phobia...
Ameteur
82      75     1     
Inspirational
Untuk yang pernah merasa kalah. Untuk yang sering salah langkah. Untuk yang belum tahu arah, tapi tetap memilih berjalan. Amateur adalah kumpulan cerita pendek tentang fase hidup yang ganjil. Saat kita belum sepenuhnya tahu siapa diri kita, tapi tetap harus menjalani hari demi hari. Tentang jatuh cinta yang canggung, persahabatan yang retak perlahan, impian yang berubah bentuk, dan kegagalan...
Winter Elegy
592      411     4     
Romance
Kayra Vidjaya kesuma merasa hidupnya biasa-biasa saja. Dia tidak punya ambisi dalam hal apapun dan hanya menjalani hidupnya selayaknya orang-orang. Di tengah kesibukannya bekerja, dia mendadak ingin pergi ke suatu tempat agar menemukan gairah hidup kembali. Dia memutuskan untuk merealisasikan mimpi masa kecilnya untuk bermain salju dan dia memilih Jepang karena tiket pesawatnya lebih terjangkau. ...
Mimpi & Co.
946      611     2     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?