Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kainga
MENU
About Us  

Bersemi lalu menghilang, bunga-bunga yang terbang menggapai awan. Seperti itu pula teman yang datang dan pergi. Berbeda mimpi dan tujuan.

 

 

Pagi ini Ren melihat Galang keluar dari ruangan dingin dengan lunglai. Belum sempat bertanya, Galang telah meraih ranselnya dan pergi. Belum banyak yang datang, kali ini Ren memasang empat alarm supaya dirinya tepat waktu. Bukan hanya berhasil, malah terlalu pagi.

“Ada apa, Mas?” tanya Ren begitu menemukan Mas Defa tengah menjambak rambut sendiri di ruang dingin.

“Pusing, Ren. Temanmu itu malah minta keluar mendekati deadline.”

“Maksud Mas Defa ... Galang?” tanya Ren tak percaya.

Anggukan Mas Defa kemudian tambah membuatnya bertanya-tanya. Tak melihat hal janggal dari Galang, kenapa tiba-tiba begini?

“Tugasnya hanya merevisi storyline agar bisa cepat ke tahap berikutnya. Tapi kutemukan banyak keteledorannya, tentu saja kutegur dengan sopan, masih tetap begitu ... jadi aku agak keras kepadanya. Baru dua minggu loh Ren kalian magang di sini, Bu Neena saja belum melakukan serah terima.”

Mas Defa tampaknya banyak menahan emosi. Berurusan dengan murid SMA sering membuat darah tingginya melonjak. Mas Defa yang maunya serba cepat terbentur dengan sikap protes remaja yang berkali-kali menyerangnya.

“Kami ini realistis, Mas. Tentu saja tak mau asal menuruti kemauan Mas Defa kalau tak sejalan dengan logika,” ungkap Ren setelah mendengarkan duduk persoalannya.

Mas Defa menggaruk dagu gusar. Memang sulit menyuruh anak sekarang lembur, pasti ada saja alasannya. Galang bukan saja marah karena disuruh lembur, tetapi juga menolak untuk datang lagi ke studio ini. Katanya sebelum Bu Neena melakukan perjanjian resmi antara dirinya dan Mas Defa, lebih baik Galang resign dan bermaksud menemukan tempat magang baru.

Ren tidak menyalahkan Galang sepenuhnya. Keinginan Mas Defa yang tiap menerima projek baru, bergegas ingin merampungkan projek sebelumnya memang tak masuk akal. Dua minggu ini anak magang yang masih SMA itu dituntut ikut melakukan lembur. Padahal kan kerja anak magang tidak dibayar. Hanya memang tersedia snack, indomie, tersedia di pantry—diambil secara gratis.

“Galang itu troublemaker, aku sudah memberikan solusi jika memang dia harus pulang cepat, kerjakan di rumah. Alasannya ada saja laptopnya eror dan lain-lain.”

Ren mengernyitkan dahi, yang ia tahu laptop Galang seperti halnya laptop Petra—ambruk setelah pemakaian terus menerus pengerjaan animating. Ren pun berinisiatif menjelaskan baik-baik kondisi yang Galang alami, bukanlah mengada-ada bila laptop Galang rusak. Alih-alih percaya dengan penjelasan Ren, Mas Defa tak mau tahu serta menunjukkan arogansinya.

“Kalau nggak punya device yang mumpuni, kenapa dulu masuk animasi?!”

“Mas!!” bentak Ren kesal. Kalimat menyakitkan. Mendadak lupa kalau yang berdiri di hadapannya itu mentor tempatnya magang.

Ren teringat lagi pertemuan pertamanya di jalanan saat Mas Defa berselisih paham dan menyalip brutal motor Ren dan kawan-kawan. Apa itu memang sifat asli Mas Defa sebenarnya? Batin Ren mencari-cari alasan masuk akal pendukung kecemasan di kepalanya. Menemukan sesuatu ketika memindai pakaian, tas dan meja tempat Mas Defa bekerja. Hmm pantas saja, Ren menarik napas. Mas Defa tidak akan pernah tahu posisi bagi anak-anak golongan menengah seperti dirinya dan teman-teman.

Terlahir kaya, suatu keberuntungan yang tidak semua orang bisa menghargai keberuntungan itu. Menganggapnya hal biasa saja dan mengira semua manusia seperti dirinya, mudah mendapatkan apa pun.

“Tidak semua orang seberuntung kamu, Mas! Setidaknya berempatilah untuk orang-orang yang harus berjuang untuk mendapatkan posisi seperti dirimu!”

Ren menutup pembicaraan dengan satu kalimat telak. Berpamitan dengan sopan bila hari ini ia pun izin tidak bekerja, tapi yang menjadi bagian dari pekerjaannya tetap akan ia kirimkan nanti malam.

***

Chiya berisik, bertanya ke mana Ren dan Galang. Cemas karena di grup, mereka berdua tidak membalas.

Read doang!” bisiknya pada tim tujuh. Semua tak mengerti mengapa Mas Defa tak menanyakan dua orang itu dan lagi Kama berkata, jelas-jelas melihat Galang keluar dari studio pagi tadi. Ren juga menghilang dengan aneh. Chat darinya tertera pukul 07.30 mengabari Petra mengenai grup baru yang dibuat. Baru berisi dua nama—Ren dan Petra.

Kamu di mana, Ren?

Isi chat Petra untuk pertama kalinya di grup “Kainga”.

***

Chat dari Petra terbaca tepat ketika Ren berada depan rumah Galang. Belum ada keinginan membalas. Pintu kayu warna hijau sudah di depan mata. Mengetuknya perlahan, Ren tahu Galang di dalam rumah. Motor terparkir di halaman.

“Lang?” sapanya, saat wajah Galang muncul.

Sepuluh menit berikutnya, Ren tengah duduk dalam kamar Galang. Duduk bersila, menikmati teh.

“Kenapa ikut bolos?” tanya Galang menyelidik.

“Eh, kamu ingat nggak Lang, dulu kamu pernah menemani aku yang bolos di perpus,” cerita Ren.

“Yeah, kamu sih aneh ... bolos kok di perpus, nggak di rumah aja!” seloroh Galang.

“Nggak betah di rumah,” jawab Ren buat Galang terdiam.

“Kalau kamu, Lang ... kenapa nggak betah di studio?” tanya Ren.

“Mas Defa nggak percaya kalau laptopku rusak, dia pikir ini hanya alasan yang dibuat-buat,” keluh Galang.

“Sudah kuduga.” Ren meneguk tehnya.

Siang ini mendung, ada banyak cerita di bawah langit mendung. Salah satunya dua sahabat yang kini saking bertukar kisah kegalauannya—kecemasan mereka.

“Suara anak SMA seperti kita, sering diabaikan orang dewasa Ren. Aku berkata benar, bila keinginan Mas Defa untuk mengejar deadline tidaklah masuk akal. Dia memberiku waktu seminggu untuk membereskan revisi sepuluh shoot penting, shoot penting! Padahal sudah kuajukan waktu animatic, tapi dia baru merevisi sekarang.”

Galang mengatur napasnya yang memburu. Sedetik saja Ren menangkap Galang banyak pikiran. Mungkin ini sebabnya dia lebih emosi dari biasanya. Galang yang biasa sabar, aneh sekali langsung ingin resign ketika ditegur untuk pertama kali.

“Kata Mas Defa ... kamu mengajukan resign?

Air muka Galang berubah tegang. Sejujurnya ia hanya asal bicara. Kalau benar keluar dari studio animasi yang dimentori oleh Mas Defa, Galang pun tak yakin bisa mendapatkan tempat magang yang sesuai jurusannya—animasi, bersama teman-teman kelompok atau tim tujuh yang sudah saling memahami satu sama lain.

“Masa percobaan magang kita sudah dua minggu, selanjutnya akan ada evaluasi dari Bu Neena. Teman-teman kelompok lain dari sekolah kita pun akan ada yang ditempatkan di studio animasi, seperti kita.” Ren menjelaskan. Galang mendengar saksama.

“Itu artinya Mas Defa tidak akan kekurangan orang lagi!” ujar Galang tersenyum sinis.

“Belum tentu ada yang mahir 3D,” gumam Ren, “aku saja pegang 2D!”

“Yeah, itu karena kamu bagus di 2D, Ren!”

“Yakin mau cari tempat magang lain, Lang?”

“Yeah, ada temanku menawarkan magang di “Kaos”, katanya lumayan dapat bayaran.”

Galang menyebutkan salah satu bisnis sablon kaus. Ren mengernyitkan dahi, tanda kurang setuju.

“Anak DKV ‘kan yang ajak?!” sindir Ren.

Entahlah, Ren sebagai ketua kelompok berusaha untuk menjadi netral. Menghadapi satu kepala saja sudah pusing apalagi tujuh kepala. Dengan pemikiran masing-masing, dipertemukan dalam tanggung jawab pekerjaan yang sama.

“Tunggu perintah Bu Neena, Lang. Semua harus sepengetahuannya,” tukas Ren kemudian.

Ini barulah di tahap awal dari kerja magang yang direncanakan enam bulan, sudah menemui kendala. Bagaimana nantinya saat pekerjaan bertambah berat?

Praaang!

Suara benda pecah. Ren dan Galang berhambur ke sumber suara. Di sana, di sudut dapur berserakan gelas pecah.

“Ibu!” pekik Galang panik, ibunya berdiri terpaku menatap gelas kaca yang kini pecah melukai kakinya.

Galang sigap mengangkat tubuh ibunya yang mungil—hati-hati. Sementara itu, Ren membantu membersihkan pecahan kaca. Beres membuang semua pecahan kaca itu baru Galang muncul kembali di dapur.

“Ibumu baik-baik saja, Lang?”

“Tremor, waktu pegang gelas,” jawab Galang tertunduk lesu.

“Tiba-tiba saja?” tanya Ren heran.

“Ibuku didiagnosa mengalami panic disorder dengan paroxysmal anxiety,” jawab Galang, menarik sebuah kursi dan duduk memangku tangan.

“Itu sebabnya kamu bolak-balik mengantarnya ke rumah sakit?” tanya Ren lagi.

“Yeah, rutin ke psikiater. Sebisa mungkin kuantar ke manapun, karena itu waktuku tak dapat tersita di tempat magang ataupun masih di depan laptop saat berada di rumah.”

Kini Ren mengerti alasan mengapa Galang cukup keras menolak perintah lembur Mas Defa. Lagipula anak magang yang masih SMA—di bawah umur—sudah sepantasnya sesuai jam kerja sampai jam empat sore.

Di studio animasi tersebut, anak magangnya bukan hanya didatangkan dari sekolah Ren. Ada yang dari luar kota. Banyak juga anak kuliah—biasanya mahasiswa jurusan animasi dan DKV.

Asyik mengobrol di dapur, terdengar suara mobil memasuki garasi. Ayah Galang muncul, masih dengan pakaian kerja. Terkejut sejenak melihat Ren dan Galang di dapur. Menyapa Ren ramah, tapi tak menanyakan mengapa dua remaja itu berada di rumah. Ren kira, akan dimarahi kalau tahu mereka bolos kerja. Ternyata ditanya perihal itu saja tidak. Latas Ren mengira kedatangannya yang cepat-cepat karena mengawatirkan ibu Galang. Lagi-lagi Ren keliru. Ayah Ren mengaku sedang terburu-buru hendak melakukan tugas ke luar kota. Ia justru berkata,-

“Lang, bilang ibumu, siapkan baju di koper! Ayah perjalanan dinas dua hari!” perintahnya.

Galang beranjak dari kursi, menggerutu ... mau tak mau menuruti perintah ayahnya. Tubuhnya menghilang dibalik horden yang Ren kira itu kamar ibu Galang, sedangkan si ayah memasuki kamar sebelahnya. Tak lama kemudian ayah Galang keluar lagi telah berganti pakaian. Menyusul ibu Galang dengan jalan terhuyung-huyung—seperti bangun tidur—memasuki kamar sebelah. Ren pusing memikirkan gerak-gerik mencurigakan itu. Terlebih saat ibu Galang keluar lagi dari kamar beserta koper untuk ayah Galang.

“Lang, antar koper, ayahmu!” perintahnya pada Galang, kemudian memasuki kamarnya sendiri.

Galang kembali bersungut. Tetap dilakukan. Ren meyakini Galang sudah terbiasa.

Setelah ayah Galang berlalu pergi. Galang kembali duduk di sampingnya. Pandangan matanya terlihat sayu, lelah. Ren tidak mau bertanya apa pun kendati tingkat kecurigaannya meningkat hingga seratus persen.

“Mereka tak saling bicara,” gumam Galang, sengaja memberitahu Ren.

Tidak tampak terkejut—karena sudah curiga—tapi Ren tetap heran.

“Dunia orang dewasa begitu rumit, ya, Ren. Mereka tersenyum seakan semua baik-baik saja. Padahal ... mereka hanya berpura-pura agar terkesan baik,” ucap Galang getir. Galang membuka spotify dan memainkan lagu “Disenchanted” by My Chemical Romance.

Ren tidak berkomentar, membiarkan saja buaian lagu yang menggambarkan kekecewaan manusia pada kehidupan yang dijalani, harapan yang patah dan kesepian yang membelenggu itu melarutkan pikiran Galang. Jika memang sudah penuh pikiran itu, pastinya Galang membagi keluh kesah dengan sendirinya.

“Aku tak memiliki pilihan lain, selain mengasihani diriku. Ingin sekali memenuhi ajakan kalian bermain billiard saat malam minggu lalu, tapi tak tega rasanya meninggalkan ibu yang kapan saja dapat panic attack.”

“Nggak ada trigger apapun??” tanya Ren penasaran. Dia teringat lagi pernah main billiard di malam minggu bersama Kama dan Jaya yang lantas menghubungi Galang agar ikut bergabung, sayangnya Galang menolak dengan alasan sibuk. Baru tahu sekarang, rupanya ini ... alasan dibalik sikap Galang sering menghilang sendirian. Lebih senang kalau teman-teman berkumpul di kamar Galang, memuji masakan ibunya.

Galang menggeleng kaku. Menjawab pertanyaan Ren tanpa suara. Ada banyak hal yang tak semudah itu untuk terungkap. Terutama mengenai hubungan kedua orang tuanya yang membuat hatinya hancur dari dalam. Seperti kehancuran mental ibunya yang berimbas pada pemulihan menggunakan obat antidepresan.

Mendapatkan suasana hati yang buruk saat terus menerus melihat kedua orang tuanya hidup bersama, tetapi seolah dua orang asing yang tak saling mengenal , ditambah tekanan dari tugas magang dan tuntutan Mas Defa selaku mentor pada dirinya membuat kepala Galang hampir meledak—frustrasi.

Banyak keinginan yang ia pendam, menikmati waktu bersama teman, ingin meminta laptop baru pada ayahnya ... tapi marah rasanya, ayahnya tak sekali pun menanyakan keadaan sekolah, apalagi soal magang kerja. Saat marahnya tiba, ayah hanya sibuk mengeluh soal pekerjaan kantornya. Seolah semua orang harus mengerti keadaannya tanpa ia mau mengerti. Lebih menyakitkan lagi, ayahnya hadir dalam fisik yang nyata, tapi tidak untuk perannya sebagai ayah.

Seorang pegawai negeri yang memiliki banyak hutang, itu yang Galang tahu tentang ayahnya. Tak jarang Galang menyaksikan ibunya yang pusing sendiri memenuhi kebutuhan rumah. Mulai dari mengajar TK, sampai menerima pesanan bekal anak sekolah ia lakukan demi mencukupi kebutuhan rumah tangga. Gaji yang ayahnya kirim ke rekening ibu Galang setiap bulan, tidak menentu dengan alasan potong gaji. Semula ibu Galang terus mengajak berdiskusi ayah Galang mengenai keuangan keluarga, lambat laun membiarkan saja karena terus didiamkan tanpa solusi.

Menyaksikan proses itu semua di mana akhirnya kedua orang tuanya tak saling menyapa ... menumbuhkan sikap memberontak dalam diri Galang. Saat menerima tekanan ia mudah sekali meledak—salah satu contohnya dengan Mas Defa.

“Mas Defa menyebutku troublemaker, Ren. Aku tak mau kembali!” tukas Galang.

Ren mengangguk-anggukkan kepala, memahami situasi Galang. Bingung dan kalut, pastinya. Biarlah Galang dengan segala pendiriannya. Galang yang lebih tua setahun dari usia Ren yang baru tujuh belas tahun, pastinya telah memikirkan berbagai macam opsi.

“Hmm, Lang ... aku membuat grup untuk anak-anak remaja seperti kita yang merasakan retaknya rumah sebagai tempat pulang. Aku ingin mengumpulkan remaja yang mau bertumbuh bersama menemukan hidupnya sendiri,” ucap Ren menjelaskan.

“Menarik, aku pasti mendukungmu, Ren!” seru Galang antusias.

Belum tahu apa yang dibahas dalam grup tersebut, tapi jika Ren volunteer dari grup tersebut, dengan senang hati Galang bersedia terlibat di dalamnya.

Ren mengeluarkan HP-nya, menekan suatu grup bernama “Kainga” memasukkan nomor Galang untuk bergabung dan mengetik,-

Petra, kurasa aku menemukan member ke tiga ....

****

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Finding the Star
1152      867     9     
Inspirational
"Kamu sangat berharga. Kamu istimewa. Hanya saja, mungkin kamu belum menyadarinya." --- Nilam tak pernah bisa menolak permintaan orang lain, apalagi yang butuh bantuan. Ia percaya kalau hidupnya akan tenang jika menuruti semua orang dan tak membuat orang lain marah. Namun, untuk pertama kali, ia ingin menolak ajakan Naura, sahabatnya, untuk ikut OSIS. Ia terlalu malu dan tak bisa bergaul ...
Selaras Yang Bertepi
162      129     0     
Romance
"Kita sengaja dipisahkan oleh waktu, tapi aku takut bilang rindu" Selaras yang bertepi, bermula pada persahabatan Rendra dan Elin. Masa remaja yang berlalu dengan tawa bersembunyi dibalik rasa, saling memperhatikan satu sama lain. Hingga salah satu dari mereka mulai jatuh cinta, Rendra berhasil menyembunyikan perasaan ini diam-diam. Sedangkan Elin jatuh cinta sama orang lain, mengagumi dalam ...
JUST RIGHT
104      89     0     
Romance
"Eh, itu mamah bapak ada di rumah, ada gue di sini, Rano juga nggak kemana-mana. Coba lo... jelasin ke gue satu alasan aja, kenapa lo nggak pernah mau cerita ke seenggaknya salah satu dari kita? Nggak, nggak, bukan tentang mbak di KRL yang nyanggul rambutnya pakai sumpit, atau anak kecil yang lututnya diplester gambar Labubu... tapi cerita tentang lo." Raden bilang gue itu kayak kupu-kupu, p...
Bittersweet Memories
40      40     1     
Mystery
Sejak kecil, Aksa selalu berbagi segalanya dengan Arka. Tawa, rahasia, bahkan bisikan di benaknya. Hanya Aksa yang bisa melihat dan merasakan kehadirannya yang begitu nyata. Arka adalah kembarannya yang tak kasatmata, sahabat sekaligus bayangan yang selalu mengikuti. Namun, realitas Aksa mulai retak. Ingatan-ingatan kabur, tindakan-tindakan di luar kendali, dan mimpi-mimpi aneh yang terasa lebih...
Langkah yang Tak Diizinkan
169      139     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Warisan Kekasih
1019      680     0     
Romance
Tiga hari sebelum pertunangannya berlangsung, kekasih Aurora memutuskan membatalkan karena tidak bisa mengikuti keyakinan Aurora. Naufal kekasih sahabat Aurora mewariskan kekasihnya kepadanya karena hubungan mereka tidak direstui sebab Naufal bukan seorang Abdinegara atau PNS. Apakah pertunangan Aurora dan Naufal berakhir pada pernikahan atau seperti banyak dicerita fiksi berakhir menjadi pertu...
A - Z
3025      1033     2     
Fan Fiction
Asila seorang gadis bermata coklat berjalan menyusuri lorong sekolah dengan membawa tas ransel hijau tosca dan buku di tangan nya. Tiba tiba di belokkan lorong ada yang menabraknya. "Awws. Jalan tuh pake mata dong!" ucap Asila dengan nada kesalnya masih mengambil buku buku yang dibawa nya tergeletak di lantai "Dimana mana jalan tuh jalan pakai kaki" jawab si penabrak da...
Special
1586      845     1     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
351      262     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...
Lovebolisme
148      130     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...