Memikirkan cukup lama. Ren membisu, mengabaikan pesan Chiya dan permintaan bertemu. Tak berapa lama nada dering mengudara—panggilan telepon Chiya.
Bahu Ren menegang. Ini hari minggu, tak biasa Chiya menelepon, tapi jika menerima panggilan suaranya ... Ren takut tak bisa menolak permintaan Chiya. Namun, bagaimana jika itu penting?
Aaaaargh!
Ren berteriak, menyelimuti kepala sekaligus telinganya menggunakan bantal.
Hmm, minggu pagi yang cerah ... Ren ingin menikmati waktu sendirian.
Senewen sendiri, menghentakkan kaki dan berteriak sendiri. Ren sendiri tak tahu mengapa dirinya hilang akal begitu. Mengabaikan sendiri, tersiksa sendiri. Kasihan Chiya ... sejak kejadian pagi kemarin, Ren berusaha untuk tidak berdua saja dengan Chiya. Ren merasa terganggu jika teman-teman magang melihat Chiya terus mengikuti dirinya. Tetapi, Ren pun tak mau kesalahpahaman terus bergulir. Kemarin saja Mas Defa sudah mengira yang tidak-tidak. Terlebih Petra tak mau dekat-dekat. Ren jadi gamang, kenapa sih Petra malah asyik mengobrol terus kalau tidak sama Galang, ya si kembar. Ren jadi sulit menjauh dari Chiya. Saat Ren coba dekati Petra, Chiya selalu berdiri di belakang Ren. Melihat itu Petra langsung kabur—tak mau ganggu, katanya.
Sementara Vanila terus mengekor Mas Defa. Alasannya bertanya ini itu. Padahal Ren tahu, mata elang Kak Henny terus mengawasi. Mau tak mau, tinggal Chiya yang menemani Ren mengobrol. Makin banyak yang Chiya luapkan mengenai masalah keluarganya, tentang kebingungannya tumbuh besar tanpa sosok ayah. Sebetulnya Ren tak masalah dan senang menjadi pendengar Chiya. Kendati persoalan keluarganya sendiri—kehadiran kakak dan ibu tiri—membuat rumit isi kepalanya. Seperti benang kusut yang tak terurai.
Ugh!
Dilemparnya bantal dengan rasa frustrasi. Membabi buta, tak sengaja menjatuhkan standee Mikasa Ackerman yang berdiri di dekat pintu masuk. Langsung saja Ren melompat, berkali-kali meminta maaf pada tokoh anime favoritnya itu. Jika seperti ini terlihat jelas, Ren memang remaja labil. Baru saja mau mengangkat standee Mikasa ....
“Gilakk!!!” teriak seseorang.
Kaget, Ren sontak berdiri. Melompati Mikasa untuk mencapai pintu, celingak-celinguk kemudian menemukan punggung Bang Aldo berjalan menuju kamar mandi.
Dengan kekuatan penuh Ren, melempar bantal sofa berbentuk bola ke kepala Bang Aldo.
“HADUH!” pekik Bang Aldo.
Ren tertawa, tepat sasaran.
“Ren!!!” seru wanita 40-an tahun itu meneriaki Ren lantang. Tawa Ren menghilang.
Ibu tiri yang tak pernah dipanggilnya ibu itu, melotot ke arahnya. Ren sih tidak masalah. Tapi setelah ini pasti ayah ....
“Ren!!! Maumu apa sih, pagi-pagi bikin ribut!!!” bentak ayah Ren marah. Sebuah bantal sofa melayang ke wajah Ren yang mematung. Sudah pasrah. Sudah biasa.
“Bu-bukan begitu ...!” Bang Aldo terbata seperti ingin menjelaskan sesuatu. Di kepalanya memutar kalimat tapi tak kunjung terucap. Dan pada akhirnya, melihat kemarahan luar biasa ayah Ren pada adik tiri—yang tak pernah dianggap adik tersebut—membuatnya membalik badan membuka pintu kamar mandi. Berharap guyuran shower membersihkan rasa bersalah karena telah menyebabkan—adik tiri yang tak pernah dianggap adik tersebut—terkena masalah.
Lelah membentak anaknya sendiri, ayah Ren merasakan dadanya sesak. Ibu tiri melihat itu tambah meyalahkan Ren.
“Kamu sih Ren, cari perkara!” tuduhnya.
Ren diam saja. Sekali lagi, sudah terbiasa. Setelahnya pastilah ayah Ren akan mengeluh nyeri di bagian dada. Ibu tiri akan memapahnya ke kamar sambil mengomel.
Tertinggal sendiri, menyaksikan tiap adegan yang berulang—sama. Perih dan malu waktu pertama kali merasakan ini. Lambat laun jadi kebal. Awalnya sibuk membela diri, lama-lama sudah tak peduli lagi siapa-siapa yang sesungguhnya bersalah. Jika memang disalahkan, silakan saja. Asalkan adegan omelan berlalu dengan cepat. Tak mendapat gamparan sudah suatu keuntungan.
Sekitar 30 menit berlalu, Bang Aldo yang baru selesai mandi mengintip Ren dari sela pintu kamar terbuka. Canggung, hubungan ini, meski lama tinggal bersama. Melihat Ren sering termenung bingung setelah menerima kemarahan, membuat Bang Aldo tak enak hati.
Sejujurnya tak membenci Ren, biarpun tak sayang. Biasa saja, cenderung iba. Meski baru disadari setelah ia dewasa. Terkadang Bang Aldo pun iri dengan Ren. Saat ia dituntut menjadi selalu yang terbaik dalam bidang akademik, Ren bebas menentukan pilihan. Ayahnya tak bisa menyangkal ranking yang Ren terima selalu sepuluh terbawah. Namun, Ren dengan berani menyatakan tak suka belajar, ia hanya ingin menggambar. Ren menerima semua pukulan, tetapi esok harinya semua keinginannya tercapai. Ayah Ren mengantarkan Ren ke sekolah seni.
Bang Aldo hanya akan menatapnya cemburu dari balik jendela. Bang Aldo sadar. Bahwa sesungguhnya, dia dan Ren hanya sama-sama korban.
Aku tak punya ayah pemukul, tapi aku punya ibu yang akan menyobek kertas ujianku bila nilai dalam kertas itu jelek. Sejelek-jeleknya masih di angka delapan tapi wanita itu sudah berteriak histeris dan menceracau mengungkit-ungkit masa lalu.
Ditinggalkannya Ren yang masih termenung. Bang Aldo berjalan lagi menuju kamarnya sendiri.
Di dalam kamar Ren melamun. Dadanya juga sesak karena selalu disalahkan. Ayah Ren tak pernah sekali pun menanyakan duduk perkaranya. Selalu saja langsung membela istrinya ataupun Bang Aldo. Padahal sebagian besar keributan terjadi akibat Ren menanggapi keusilan Bang Aldo. Dulu Ren sempat ingin melarikan diri, di setiap pertengkaran sering ia akhiri dengan ancaman kabur dari rumah pada ayahnya. Tetapi, niat itu berubah ketika Ren melihat lekukan sinis di sudut bibir ibu tiri. Tidak, ini rumahnya. Rumah peninggalan ibunya yang telah meninggal. Bahkan Ren bersikeras foto-foto ibunya saat masih kecil tetap terpajang di dinding rumah. Dan ayah Ren mengabulkan hal tersebut. Merekalah yang seharusnya pergi. Jika mereka muak dengan Ren.
Menekuk lutut, sembunyikan kepala di antara lengan. Rumah ini tak nyaman bagi Ren, karena penghuninya. Namun, rumah ini satu-satunya tempat Ren mengenang ibu kandungnya. Lagipula, meski sikap ayah Ren sebentar baik, sebentar kasar, Ren tetap belum bisa benar-benar hidup tanpanya. Ada keterikatan emosi yang tak mampu Ren jelaskan. Mengenai perkataannya yang menyakitkan terkubur oleh nasi goreng yang ia khusus siapkan untuk Ren, atau saat hanya berdua ayah Ren mengelus kepalanya layaknya kepala bocah SD. Jika esok harinya berbuat kasar lagi, maka tertutup lagi dengan perlakuan manis.
Bila memang harus pergi pun tak tahu ke mana arahnya melangkah. Ayah Ren menjauhkannya dengan keluarga dari pihak ibu ataupun keluarganya sendiri. Entah dari mana bermula. Satu-satunya kerabat yang masih disambangi ayah Ren hanyalah keluarga istrinya sekarang, dan Ren tak mau terlibat di dalamnya.
Huft!
Rasa-rasanya aku ingin menyandarkan diri ke bahu seseorang.
Notifikasi HP kembali berbunyi. Ren melirik sekilas. Ada nama Chiya si pengirim pesan.
Apa saat ini Chiya juga seperti dirinya? Suram di minggu pagi yang cerah. Bagaimana jika dua orang suram bertemu?
Ren menekan suatu nomor, tiba-tiba ingin mendengar suara seseorang.
“Hallo! Petra ...!” Bukan Chiya, tapi Petra yang ingin ditemui.
***
Bruuum ...
Petra membawa Ren menyusuri jalan. Badan Petra yang tinggi tak mangalami kesulitan sama sekali bila harus mendapat boncengan laki-laki seperti Ren. Tak sempat bertukar posisi. Alasan mengapa justru Ren yang kini sedang merangkul pinggang Petra yang ramping. Kalau itu Galang atau si kembar pasti sudah Petra tabok.
Ciiiit!!!
Bunyi ban mendecit. Petra menoleh samping, melirik Ren di belakangnya yang masih terdiam.
“Sudah sampai, Ren!” ujarnya sembari menyenggol lutut Ren.
Ren yang tengah melamun, sadar mereka telah berada di kolam pemancingan. Dilepasnya pegangan pada ujung hoodie petra. Berdiri merentangkan tangan menguap.
“Kamu tidur, Ren?” tanya Petra meledek.
Ren terkekeh, sepertinya tadi Petra membawanya berputar-putar cukup jauh. Ternyata hanya sampai kolam pemancingan.
“Ternyata, tidak jauh,” gumam Ren. Masih menguap beberapa kali.
“Yeah, kalau sadar pasti kamu tahu aku membawamu berkeliling dulu. Aku tak tujuanmu, jadi kuputuskan kemari,” ucap Petra sembari melepas helm batoknya, merogoh saku celananya dan menemukan dua buah permen kaki—kesukaan Ren. Diberinya Ren satu dan Petra sendiri memakan satu buah.
Mendadak bungkus plastik permen Ren lengket. Tak bisa membukanya. Petra menggelengkan kepala.
“Huh, kamu bukan Chiya ‘kan Ren??” goda Petra. Diambil alih permen itu dan dibuka cepat. Dalam hitungan detik sampai Ren hanya sempat bengong.
“Makasih,” ucap Ren cengengesan.
Dua remaja itu akhirnya, duduk beralas tanah di tepi kolam. Untung saja rerumputan sekitar kolam tidak basah. Sama-sama menutup kepala dengan hood, mengulum permen dan memandangi kolam. Hari minggu ini cukup ramai.
Diam saja begitu. Petra tak juga memulai percakapan. Kalau ini Chiya pastinya sudah nyerocos tanpa henti. Ups, Ren menyesali dirinya mengapa membandingkan kedua temannya itu. Tapi Ren lega, keluar rumah dengan rasa kalut, memanggil Petra untuk datang dan langsung membonceng Petra yang belum sempat mematikan mesin motor, Petra mengizinkannya berpegangan hoodie yang Petra kenakan. Tanpa disadari—merasa nyaman—Ren merangkul pinggang Petra. Malu sebenarnya, apa kata orang di lampu merah tadi ... pasti mengira Petra adalah kakak yang sedang mengantar adiknya les musik—Ren menggendong tas gitar, berisi gitar klasik yang dibelikan ibu kandungnya setahun sebelum meninggal. Ibu Ren tak pernah sempat mendengarkan petikan gitar dan nyanyian Ren yang sendu.
Gitar itu dimainkan, suara petikannya lembut mendayu. Petra tak mengganggu, sebab tahu Ren rindu ibunya.
“Aku memiliki keluarga yag tinggal bersama, tapi mengapa rasanya aku lebih sebatang kara dibandingkan dirimu, ya?” Petikan gitar Ren terhenti.
“Hush! Apa-apaan sih kamu, Ren!” tegur Petra tak suka.
Tak menyangkal, terkadang yang kita kira rumah bersama sebagai rumah ternyaman justru rumah yang paling membuat luka.
“Bagaimana rasanya tinggal bersama orang-orang yang tak sedarah denganmu?” tanya Ren pada Petra.
“Apa pentingnya sedarah, Ren. Dalam hidup ini yang terpenting saling menghargai dengan begitu tak ada saling merugikan,” ujar Petra menasihati.
“Mereka tidak menghargai keberadaanku, tinggal di rumah ibuku tapi tak menghormati aku sebagai pemilik,” ujar Ren sendu.
Petra terdiam, tahu betul rasa tidak terima yang begitu besar ada dalam benak Ren. Dibiarkan saja Ren meluapkan hal-hal yang mengganggu pikirannya. Petra tidak menanggapi jika Ren tak memintanya. Sesekali petikan gitar itu terdengar lagi, dengan nyanyian Ren yang menyiratkan kerinduan pada sosok ibu. Berkali-kali pula Ren membandingkan dengan keadaan Petra yang tinggal di panti. Kata Ren, kalau boleh dia ingin tinggal di panti asuhan seperti Petra. Tak menanggapi, Petra tahu itu hanya bualan kegundahan semata. Tidak benar-benar diinginkan Ren. Semilir angin meniup-niup poni Ren, Petra memperhatikan dengan tersenyum. Tak pedulikan anak rambutnya sendiri yang berantakan karena ulah angin.
Seandainya kamu tahu, Ren. Di setiap rumah tetap menyimpan lukanya sendiri, termasuk rumah panti.
Petra menarik napas. Saat ini saja ada banyak hal yang harus Petra benahi di rumah panti. Petra sudah mulai besar, jadi tahu pusingnya ibu panti saat akhir bulan. Membayar tagihan listrik, mengurus kebutuhan makan banyak orang. Ada banyak hal yang tak mungkin Petra ceritakan pada teman-temannya di sekolah. Biarlah yang mereka tahu bagian senangnya saja, tak perlu perjuangan Petra setiap hari. Bahkan sepulang kerja, Petra masih harus membuat banyak kue pesanan. Jika tidak, tak ada pemasukan esok hari. Hanya ada beberapa anak di panti yang sudah besar, dan hanya Petra yang telah berusia tujuh belas tahun. Bisa dibilang seperti anak pertama dari 20 anak terlantar yang kemudian diasuh ibu panti dengan tulus. Petra termasuk penghuni pertama, masih dua tahun ketika seseorang meninggalkan begitu saja di pintu panti. Saat itu yang ia tahu, bapak dan ibu panti adalah orang tua kandung. Sampai akhirnya pengalaman menemukan bayi yang terbuang di panti dan kemudian diasuh oleh orang yang Petra panggil sebagai “Bapak dan Ibu” ... membuatnya sadar bahwa ia sama saja dengan bayi-bayi itu. Bapak panti memang sudah tiada, tapi kasih sayangnya pada petra masih terus menyertai perjalanan Petra kemanapun. CB100—motor yang Petra naiki—peninggalan dari bapak panti untuk Petra.
Sama halnya dengan Ren yang menemukan benda untuk mengantarkan kerinduannya pada ibu berupa gitar, Petra juga mengantar kerinduannya menderu bersama angin.
“Eh, Petra ... kalau kita dewasa nanti, adakah tempat untuk kita pulang?” tanya Ren tiba-tiba.
“Hmm, aku pun tak tahu Ren, setelah cukup umur nanti dan aku berhasil menghidupi diriku sendiri, aku harus segera keluar dari panti,” jawab Petra getir. Perpisahan lambat laun pasti terjadi, sekarang saja rumah sudah terasa sesak. Makin banyak bayi-bayi terlantar yang lebih membutuhkan tempat tinggal.
“Itu sebabnya kamu mencari uang dari sekarang,” gumam Ren.
“Sedari kecil,” Petra membetulkan ucapan Ren, “dari awal aku sadar bila rumah yatim piatu itu sementara, bila tidak diadopsi keluarga lain, ya ... akan keluar dari panti setelah dewasa.”
Ren takjub, begitu tenang Petra menjelaskan masa depannya nanti. Ren saja masih belum tahu apa yang harus ia lakukan lulus dari sekolah menengah seni rupa ini. Lantas melesat sebuah ide di kepalanya yang ia anggap brillian.
“Bagaimana kalau kita dan sesama anak-anak yang bingung dengan rumah tinggalnya, membentuk suatu komunitas saja?” cetus Ren.
“Kita bangun rumah??” tanya Petra sangsi.
“Yeah, tidak semudah itu memang. Butuh dana yang tak sedikit. Tapi bisa saja membentuk komunitasnya dulu. Kita menemani remaja-remaja seperti kita yang tak memiliki tujuan dalam hidup, mungkin yang ia sebut rumah telah hancur berkeping-keping,” usul Ren dengan mata berbinar.
“Ide yang bagus, Ren. Lalu kita mau ngapain, kita juga masih bocah ‘kan?”
“Ya, kita juga nolong bocah bingung kayak kita,” ucap Ren serius.
Petra tak menganggap ini becandaan Ren saja, sebab sorot matanya penuh keseriusan.
“Bila denganmu yang seusiaku, aku tak sungkan untuk meluapkan apa yang kurasa. Itu artinya ada banyak teman kita yang membutuhkan pengaruh positif dari teman-teman sebaya, alih-alih mengadu pada orang dewasa yang belum tentu mengerti apa yang kita rasakan. Kita tak bisa menyelesaikan masalah dalam keluarga mereka. Tapi paling tidak kita bisa mencoba membawa mereka pada hal positif, tidak merasa sendirian itu sangat berarti.”
“Jadi yang ingin kamu bangun, komunitas atau rumah, Ren?”
“Komunitasnya dulu, nanti baru rumah beneran kalau kita udah berduit,” ucap Ren terkekeh.
“Setuju!” seru Petra.
Mata Ren berbinar. Senang ada yang memahami ide-ide gilanya. Lebih senang lagi saat Petra mengatakan,-
“Tanpa orang-orang yang memiliki ide gila sepertimu, dunia begitu membosankan, Ren!”
Petra tahu sekarang, dibalik sikap emosi labilnya ... Ren sesungguhnya anak baik yang tidak memikirkan diri sendiri. Terbukti dengan pemikirannya tentang banyak remaja lain yang senasib dengannya. Yang tak tahu ke arah mana dirinya pulang, atau yang mempunyai rumah tapi tak benar-benar menjadi rumah bagi hatinya.
“Jadi kita ini, dua member pertama ya, Petra!” ujar Ren semangat.
Petra mengangguk mengiyakan. Desir angin membuat bulu kuduknya berdiri. Pembicaraan ini, situasi ini, ia yakin akan terus teringat dalam memorinya.
“Impian kamu itu bagus, Ren. Jadi kamu beri nama apa komunitas kita?”
“Kainga!” seru Ren keras. Sorot matanya berbinar melihat kolam.
“Kainga dalam bahasa suku Maori yang artinya ‘rumah’ atau ‘tempat untuk pulang’. Bisa jadi itu ‘rumah’ dalam arti sebenarnya, bisa jadi itu jati diri yang ingin kutemukan,” lanjut Ren lagi. Kini matanya hampir tak berkedip melihat riak kolam.
Diam-diam Petra berdoa dalam hatinya. Semoga Kainga Ren dan Kainga Petra, bisa menjadi Kainga bagi lainnya. Akan ada banyak tantangan, apalagi bagi mereka yang kehilangan identitas diri lebih nyaman bersembunyi, berat jika tujuan Kainga Ren untuk menguraikan benang kusut yang mengendap bertahun-tahun di hidup mereka. Lebih nyaman apabila, Kainga diperuntukkan bagi yang mau bertumbuh bersama menemukan jati diri. Petra mengutarakan ini dan Ren setuju.
“Gimana kalau kita punya basecamp?” celetuk Ren.
“Nantilah Ren, bikin grup saja dulu,” ucap Petra tertawa sembari mengacak-acak poni Ren gemas.
Pipi Ren merah seketika. Mengulum senyumnya salah tingkah, tapi Petra tak melihat.
Din ... din!
Kesadaran Ren kembali saat menyadari Kaki panjang Petra sudah nangkring pada pijakan kaki motor.
“Hayuk, Ren ... panas! Kita pindah warnet, kerjain tugas Bu Neena.”
Ren langsung berdiri. Tak lupa menggendong gitar dan mendekati Petra yang memblayer motor. Memainkan motornya berputar-putar.
“Jadi aku bonceng lagi?” tanya Ren dengan wajah polos.
“Mau enggak?!” bentak Petra.
“Iya mau, tapi pegangan, ya?” jawab Ren cekikikan.
****