Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kainga
MENU
About Us  

Membuka-buka art books dengan rasa gundah menyertai. Petra bermaksud mencari-cari referensi untuk art books film animasinya sendiri. Pembuatan film itu sendiri masih jauh dari kata selesai. Masih tahap animatic 3D yang menemui kendala. Pertama, kerja magang yang ternyata cukup menyita waktu—belum terbiasa kerja di studio animasi betulan, sehingga masih shock karena belum menyesuaikan ritme kerja dengan kebiasaan remaja yang senang main sana-sini. Ke dua, animatic 3D itu seharusnya dikerjakan bersama Ren, Petra mengusulkan supaya mereka berdua mendatangi warnet saja. Petra sudah mencari tahu warnet yang biasa menjadi tempat ngeblender kakak kelas dulu.

Ren masih ngeyel menggunakan lab komputer sekolah saja—gratis. Padahal Petra sudah menawarkan dia saja yang membayar warnet, alih-alih setuju Ren justru kembali ngambek. Tersinggung karena Petra menganggap Ren anak kecil yang apa-apa harus dibayarin Petra.

 Huft ..!

Berkali-kali Petra mengembuskan napas. Sesak dalam dada ketika kelakuan ngambek Ren kumat. Anak itu baik hati, tetapi sebal jadinya kalau mood anak itu juga tergantung mood bapaknya.

Meski tak boleh berperasaan begini, kadang memang terlintas di benak Petra. Beruntung juga tak punya orang tua. Tuhan tahu jika Petra tak sabaran. Bagaimana kalau orang tua kandungnya seperti orang tua temannya, ada saja perilaku orang tua yang membuat kepala kawan-kawannya itu serasa mau pecah.

Iiiiiish, apa-apaan aku ini. Bagaimanapun, seburuk-buruknya orang tua mereka ... setidaknya mereka tahu jika kelahirannya diinginkan. Sedangkan aku ....

Anak yang terbuang!

Petra memejamkan mata. Tiba-tiba saja bulir air mata menggenang di sudut mata. Padahal art books yang terbuka menampilkan gambar lucu penuh warna ceria.

Ada banyak hal ketidakberuntungan di dunia. Salah satunya dirinya yang tak tahu asal-usul keluarga, tetapi bila bukan karena tinggal di rumah yatim piatu ... mungkin saat ini Petra masih seperti temannya yang menunggu uang saku dari orang tuanya saja. Tinggal di panti membuatnya terbiasa bekerja keras. Menghasilkan uang pribadi telah dilakukannya semenjak pertama kali kedua tangannya terampil membuat kue-kue yang dijual bersama—anggota panti lainnya. Entah konsumen membeli kue buatannya karena memang enak atau semata karena kasihan, yang jelas hasil uang itu lebih dari cukup dan memenuhi jumlah uang tabungan Petra.

“Eh, Petra ... Petra!” teriak Kama dan Jaya riang mendekati Petra. Berlarian seperti anak kecil mendekati ibunya.

Petra memang datang terlalu pagi. Sengaja dilakukan untuk menyambut senior di tempat kerja. Jujur Petra merasa tak enak karena anak magang sering membuat ulah, terutama Ren sebagai ketua tim yang selalu datang terlambat. Namun, membahas hal ini dengan Ren sama saja memercik api dengan bensin.

Huft!

Tanpa disadari, Petra kembali membuang napas.

“Coba tebak, uang apa ini?” Kama memamerkan uang pada Petra.

Petra menggeleng. Dua lembar uang kertas warna merah menari-nari di jari Kama. Jaya terkekeh senang.

“Ini uang pertama kami, Petra!” pekik Kama antusias.

Wajah Petra masih tak mengerti lantas Jaya bantu menerangkan.

“Ini uang commiss pertama kami, Petra!” ujar Jaya senang.

“Wah, congrats ... sejak kapan kalian buka commission art?”

“Sejak ada peraturan menghilangkan style anime di tempat magang. Kami pikir, di mana kami bisa menyalurkan style tersebut,” ucap Kama terjeda, menarik napas dulu, terlalu bersemangat membuat Kama tak sabar cerita.

“Yeah, iseng coba ngepost gambar anime kami di media sosial. Eh, tak disangka mendapat respons positif dari Otaku—penggemar anime,” sambung Jaya meneruskan cerita.

Petra terharu dengan pencapaian Kama dan Jaya. Walaupun hasilnya masih sedikit, dengan mereka berpikir mencari tambahan uang saku dengan cara menjual keahlian saja itu sudah sesuatu prestasi. Petra turut merasa bangga.

“Ngapain kalian ngumpul di sini?” tanya Galang yang tiba-tiba muncul dari belakang. Heran melihat ketiga temannya berunding di lobby kantor. Lebih tepatnya di depan rak buku yang berjejer rapi. Meskipun namanya studio animasi, tetapi kantor ini juga menerima pembuatan ilustrasi buku cerita anak. Buku-buku tersebut sekaligus menjadi contoh style yang diinginkan oleh Mas Defa dan tim.

“Aku dan Kama buka commiss!” celetuk Jaya.

“Owh,” respons Galang santai.

“Kok cuma owh???” protes Kama dan Jaya berbarengan.

Galang terkekeh, “Memang kenapa sih ... sudah lama aku melakukannya!”

Kama dan Jaya saling berpandangan. Galang tak pernah cerita.

“Tidak semua harus diceritakan,” sambung Galang santai. Menarik tas kanvas Petra, mengajaknya memasuki ruangan dingin. Meninggalkan Kama dan Jaya yang masih bengong. Beberapa pegawai juga sudah tiba dan terlihat berada di pantry membuat kopi.

“Hey, kok kamu tega sih, Lang ... mengambil kesenangan mereka,” ujar Petra terkekeh.

“Apanya? Lah, bener kok aku sudah lama buka commiss,” ucap Galang tak mau kalah.

Yeah, kan bisa kamu memamerkan itu lain hari, jangan di hari pertama kembar dapat hasil dari commiss pertamanya, Lang!” tegur Petra, membuat Galang menyadari kekeliruannya.

Akh, ya. Aku tak berpikir panjang, maaf ya ... aku nggak peka,” ucap Galang menyesal.

“Diiih, jangan minta maaf ke akulah!” sewot Petra.

“Iya, iya ... he-he-he,” kekeh Galang.

Hanya mereka berdua—Galang dan Petra di ruang dingin. Mungkin karena terbiasa berbisik di ruang dingin, kali ini pun mereka saling berbisik.

“Kenapa kamu nggak pernah ajak Ren buka commission art, Lang?” tanya Petra berbisik.

Justru Ren lebih dulu, dia yang ngajarin aku, loh!” balas Galang setengah berbisik.

“Haah?!” pekik Petra kaget. Langsung celingak- celinguk sambil menutup mulutnya.

“Tapi Ren sering ngeluh soal duit,” bisik Petra lagi.

“Itu karena buka commiss sesuai mood dia, kalau lagi bete sama ayahnya, otaknya tumpul!”

Penjelasan Galang membuat Petra tercekat. Anak itu berbakat, anak itu cerdas, anak itu baik hati, sayangnya ... moodian merusak segalanya.

***

Hatsyii!!!

Berkali-kali Ren bersin. Tiba-tiba hidungnya terasa gatal.

Apa ada yang menyebut namaku, sepagi ini? Ren mempercayai mitos kalau bersin berturut-turut tanpa tanda flu, itu artinya ada yang membicarakan dirinya. Entah dari mana pendapat itu bermula.

Pagi ini rasa kesal lagi-lagi menyeruak. Kesal dengan Ayah yang lebih mendengarkan kata-kata Bang Aldo. Melaporkan yang tidak-tidak perihal Ren bergonta-ganti pacar. Bagaimana mungkin gonta-ganti ... satu pacar saja tak punya, pikir Ren. Wajah Ren masam, sepanjang sarapan tadi ayahnya sibuk menggurui. Sudah sepantasnya memang mendengarkan nasihat orang tua, tetapi jika si pemberi nasihat sosok yang tak bisa dijadikan teladan. Ren merasa semua itu omong kosong. Ren bukannya tak tahu ... sebab ibu kandungnya dulu banyak menderita batin sampai jatuh sakit, itu semua karena Ayah kembali berhubungan dengan mantan pacarnya—wanita itu adalah ibu tiri Ren sekarang. Tak terbayang bagaimana dendamnya Ren pada kelakuan ayahnya itu. Namun, sekali lagi ... Ren terbentur dengan norma baik yang menganjurkan tetaplah baik pada orang tua yang menyakitimu.

Paling sebalnya lagi. Mengalahnya Ren selama ini dianggap tak berdaya oleh kakak dan ibu tirinya. Makin semena-mena berperilaku tak adil pada Ren. Situasi Ren serba sulit. Diam saja diinjak, berontak dikatakan berandal.

Seperti sarapan tadi, bisa-bisanya Bang Aldo mengatakan kebohongan. Belum lagi laporannya tentang kamar Ren yang berisik di malam hari karena menonton anime. Ugh, mengada-ada, Ren kan menggunakan pengedap suara. Terkecuali Bang Aldo sengaja membuka pintu kamar Ren dan mengintip aktivitas Ren di kamar.

Hal yang membuat kesal pagi ini, bukan cuma karena keluarga. Petra juga semalam menegurnya—menurut Ren. Tiba-tiba mampir ke rumah Ren setelah mengantar Chiya. Membahas penggarapan animatic 3D sebagai tugas kelompok yang menjadi bagiannya Ren dan Petra. Ren tidak mengerti, mengapa harus buru-buru? Bukankah fokus mereka saat ini untuk magang kerja lebih dulu. Menurut Petra semua harus berjalan beriringan, baik tugas dari sekolah maupun magang kerja.

Mereka sempat berdebat sengit, tepat saat itu Bang Aldo pulang. Akh, Ren mengerti sekarang ... kenapa Bang Aldo menuduhnya gonta-ganti pacar. Pastinya salah paham dengan Petra semalam. Mungkin bagi Bang Aldo, pertengkaran mereka berdua terlihat layaknya kekasih yang tengah merajuk.

Jika Bang Aldo mengira Petra pacar Ren, lantas siapa yang satunya lagi, apa Chiya?

Tepat ketika batinnya mengingat Chiya, sebuah dering gawai menyentak lamunan Ren. Mematikan lebih dulu mesin motor yang telah dinyalakan, bersiap berangkat kerja.

“Hallo, Ren, Chiya minta tolong sekali lagi, ya?” ucap suara di seberang telepon. Ren melirik jam tangannya, waktunya sangat mepet. Sebetulnya Ren sudah berniat dalam hatinya, untuk kali ini tak boleh datang terlambat lagi.

“Ada-ada saja Chiya nih!” gerutu Ren setelah menutup sambungan telepon. Pada akhirnya ia menyanggupi menjemput Chiya kendati mengomel sendirian sepanjang jalan menuju rumah Chiya. Ren tak bisa menolak permintaan Chiya—tidak tega.

Hebatnya lagi, di hadapan Chiya hanya senyum lebar yang Ren tampilkan. Chiya melambaikan tangan pada neneknya yang mengantar hingga tepi jalan, menemani menunggu Ren datang. Ren mengangguk hormat pada nenek Chiya.

Saat laju motor membelah jalanan sibuk. Ada yang aneh Ren rasakan. Kali ini tangan Chiya melingkar di pinggangnya erat. Ren tak enak hati untuk menolak ... tapi juga khawatir Petra melihat ini.

Akh, sudahlah ... Ren berpikir sendiri.

Anggota kelompoknya selalu menganggap Chiya sebagai adik karena usia Chiya yang termuda dibanding lainnya. Pasti mereka tak akan berpikir macam-macam pada Ren dan Chiya.

***

Memasuki ruang dingin, lagi-lagi bersama Chiya. Membuat semua mata mulai memperhatikan. Ren gundah. Takut orang-orang salah paham. Mas Defa berdeham. Entah meledek atau menegur, Ren tak tahu.

“Kali ini tidak terlambat ‘kan Mas?” tanya Ren memastikan.

“Masih jam delapan. Yeah, hanya lebih sedikit,” gumam Ren pada diri sendiri. Ren yakin teman-teman lainnya juga baru memasuki ruang dingin.

Tiba-tiba pintu terbuka. Sosok yang bertengkar dengan Ren semalam muncul dari pintu. Petra menatap Ren, tanpa tegur sapa. Melewati Ren yang masih berdiri canggung memandang dirinya.

“Tumben Petra datang terlambat,” bisik Ren pada Galang yang berada dekat dengannya—meja mereka berdampingan.

“Enggak, dia dari toilet,” bisik Galang memberitahu sebenarnya, “Petra sudah datang dari sejam lalu, bersamaku dan kembar.”

“Oh, ya?” Mata Ren membola.

Tenggorokan Ren tercekat. Jika Petra dari toilet, maka ... apa ia melihat kedatangan Ren dan Chiya barusan? Depan toilet ada jendela kaca besar, tepat di balik parkir motor. Ren memijit pelipisnya, coba mengingat-ingat ... apakah tadi Chiya telah melepaskan pelukannya atau belum?

Aaaaargh ... Ren menggaruk kusut poni yang menutup dahi. Menyesal kenapa kemarin menyarankan Chiya untuk merangkul pinggang saat Ren ngebut.

Ren coba mencuri-curi pandang pada Petra. Gadis itu jarang sekali melihat Ren. Bermuka datar. Tidak senang, tidak juga masam.

“Ren, jangan menggantungkan perasaan orang lain!” ucap Mas Defa saat berada di pantry.

“Si-siapa?” sontak Ren bertanya. Es milo di gelasnya hampir tumpah, terkejut sekonyong-konyong Mas Defa berpendapat demikian.

Yeah, saya pernah remaja juga Ren, lima tahun lalu,” kekeh Mas Defa.

Ren meringis, tak mengerti arti ucapan Mas Defa.

“Eh, ngomongin apa sih ini, Mas?” tanya Ren sok polos. Dalam hatinya mulai dapat menduga ke arah mana pembicaraan Mas Defa.

Yeah, kalau bisa sih satu saja, Ren,” ujar Mas Defa lagi, masih dengan gaya sok tahunya.

Tiba-tiba suara dehaman terdengar dari arah belakang mereka berdua. Itu Kak Henny yang tengah membuat mi instant. Ren dan Mas Defa melupakan Kak Henny yang tengah mengaduk panci mi.

“Mas Defa!” panggil seseorang manja dari luar pantry. Orang itu Vanila dan ketika memasuki pantry ... tatapnya tampak terkejut ada Kak Henny juga di situ.

Kak Henny yang kini tengah membawa mangkuk mi, berdeham sekali lagi. Kali ini Mas Defa yang salah tingkah, Ren menyeringai puas.

****

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tok! Tok! Magazine!
104      92     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." ••• Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...
Melody untuk Galang
520      321     5     
Romance
Sebagai penyanyi muda yang baru mau naik daun, sebuah gosip negatif justru akan merugikan Galang. Bentuk-bentuk kerja sama bisa terancam batal dan agensi Galang terancam ganti rugi. Belum apa-apa sudah merugi, kan gawat! Suatu hari, Galang punya jadwal syuting di Gili Trawangan yang kemudian mempertemukannya dengan Melody Fajar. Tidak seperti perempuan lain yang meleleh dengan lirikan mata Gal...
Aku Ibu Bipolar
51      44     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...
IMAGINE
384      273     1     
Short Story
Aku benci mama. Aku benci tante nyebelin. Bawa aku bersamamu. Kamu yang terakhir kulihat sedang memelukku. Aku ingin ikut.
Fidelia
2157      940     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Arsya (The lost Memory)
943      623     1     
Mystery
"Aku adalah buku dengan halaman yang hilang. Cerita yang tercerai. Dan ironisnya, aku lebih paham dunia ini daripada diriku sendiri." Arsya bangun di rumah sakit tanpa ingatanhanya mimpi tentang seorang wanita yang memanggilnya "Anakku" dan pesan samar untuk mencari kakeknya. Tapi anehnya, ia bisa mendengar isi kepala semua orang termasuk suara yang ingin menghabisinya. Dunia orang dewasa t...
RUANGKASA
45      41     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Jalan Menuju Braga
464      358     4     
Romance
Berly rasa, kehidupannya baik-baik saja saat itu. Tentunya itu sebelum ia harus merasakan pahitnya kehilangan dan membuat hidupnya berubah. Hal-hal yang selalu ia dapatkan, tak bisa lagi ia genggam. Hal-hal yang sejalan dengannya, bahkan menyakitinya tanpa ragu. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya, membuat Berly menutup mata akan perasaannya, termasuk pada Jhagad Braga Utama--Kakak kelasnya...
Andai Kita Bicara
670      516     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Lost & Found Club
426      348     2     
Mystery
Walaupun tidak berniat sama sekali, Windi Permata mau tidak mau harus mengumpulkan formulir pendaftaran ekstrakurikuler yang wajib diikuti oleh semua murid SMA Mentari. Di antara banyaknya pilihan, Windi menuliskan nama Klub Lost & Found, satu-satunya klub yang membuatnya penasaran. Namun, di hari pertamanya mengikuti kegiatan, Windi langsung disuguhi oleh kemisteriusan klub dan para senior ya...