Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kainga
MENU
About Us  

 

Chiya melempar kaus kakinya kesal. Lagi-lagi mendengar pertengakaran ibu dan nenek soal pria hidung belang. Banyak yang ingin mendekati ibu, bodohnya ibu Chiya suka lupa daratan kalau jatuh cinta. Harta peninggalan kakek banyak yang ludes terjual karena berulang kali ibu Chiya melakukan kebodohan yang sama.

Pagi ini nenek begitu marah, wajahnya merah padam, kain jarik sampai ditekuk sampai lutut, bersiap menumpahkan tepung ke muka ibu. Sehari-hari nenek menjual gorengan di halaman rumah. Tidak mau mengandalkan sisa pensiunan kakek yang habis untuk kebutuhan ibu dan sekolah Chiya. Dan pagi ini ketika ibu memulai pertengkarannya dengan nenek, beliau tengah mempersiapkan adonan tepung untuk gorengannya. Selama ini ibu Chiya juga bekerja di sebuah toko baju, tapi entah ke mana gajinya berlabuh. Gemar bersenang-senangnya belum juga berhenti kendati Chiya menginjak usia remaja.

“Kamu nggak malu, tho ... sama anakmu?” ucap nenek berulang kali.

Nenek sampai mengelus dada karena ulah ibu yang suka berganti-ganti pacar.

Chiya sampai bosan, heran juga kenapa ibu tak pernah menggubris.

Dandanan ibu terlalu mencolok untuk pegawai sebuah toko baju. Tetangga membisik ke telinga Chiya bahwa ibunya bukan perempuan bener.

Masih mengaduk bubur dengan air mata yang menetes. Pagi ini sarapan terasa getir. Teriakkan ibu pada nenek mengganggu kenikmatannya.

Braaak ... bruuumm ....

Suara kendaraan ibu berlalu. Chiya melempar sendoknya dan berlari ke pangkuan nenek. Menangis sesenggukan menghapus riasan cantik yang telah siap untuk berangkat ke studio animasi.

Nenek mengelus kepala Chiya lembut. Menenangkan dengan sabar. Seharusnya Chiya yang menenangkan nenek, bukankah nenek lebih butuh banyak sekali kesabaran? Seperti pagi ini, lagi-lagi ibu mengambil uang simpanan nenek di bekas kaleng biskuit Mondai.

Chiya sering mengusulkan agar nenek menyimpan uangnya di bank, tetapi nenek memerlukan dengan cepat untuk keperluan sehari-hari. Terlalu memakan waktu untuk bolak-balik mengambil uang ke ATM—itu alasannya.

“Disembunyikan di kaleng saja bisa diambil ibumu, ada sajalah caranya dia ngambil duitku!” ujar nenek mendengus kesal.

“Chiya minta maaf atas kelakuan ibu, Nek,” ucap Chiya terisak.

“Bukan salahmu, Nduk. Ibumu saja yang nggak tahu diri, kalau buat dirinya sendiri juga nenek nggak keberatan ... tapi ini kan buat membiayai pacar-pacarnya yang ... akh, sudahlah!” Nenek menghela napas sedih.

“ Sudah, kamu berangkat sana, jangan telat.”

Nenek mengakhiri pembicaraan dan menepuk bahu Chiya—menguatkan.

Jam dinding menunjukkan setengah delapan pagi. Akan sangat terlambat jika harus berjalan ke halte dan menunggu bus kota. Lantas Chiya mengingat-ingat temannya yang searah dengan rumahnya. Ada Ren, tapi tak enak ... kemarin Ren sudah terlambat. Kalau menghubungi Petra ... pastilah anak itu bersedia, tapi kasihan jalannya harus memutar. Lagipula pastinya Petra sudah berangkat dari panti. Untuk teman lainnya, lebih tidak mungkin karena terlalu jauh. Sedangkan untuk hari ini tidak ada yang berkumpul lebih dulu di sekolah.

Chiya mendesah. Tak ada pilihan lain, selain memberanikan diri menghubungi Ren.

Setelah tanda panggilan telepon diterina dan berbunyi kleek ... sebuah suara bising deru jalanan menyergap telinga Chiya.

“Ren ...,” ucap Chiya tertahan, air matanya tak bisa berhenti mengalir, “jemput Chiya, bisa?” idak Chiya tak terkendali.

“Ada apa Chiya? Okay, Ren ke sana ya!”

Tuuts ....

Telepon dimatikan. Chiya menghapus air matanya. Tak mengerti mengapa justru langsung terisak mendengar suara Ren.

***

Beberapa menit kemudian, Chiya sudah membonceng Ren membelah hiruk pikuk jalan yang ribut. Jam-jam berangkat kantor, semua serba buru-buru.

Studio animasi tinggal 500-an meter. Tiba-tiba Ren membelokkan motor ke sebuah mini market. Chiya terbengong-bengong.

“Bukankah kita dapat terlambat, Ren?” tanya Chiya masih duduk di boncengan motor.

“Turunlah dulu, Chiya. Bereskan riasanmu!” perintah Ren dengan nada khawatir.

Chiya mengintip bayang wajahnya di spion motor, mata merahnya terlihat jelas. Bedak yang luntur akibat menangis. Bibir yang pucat dan kering. “Huft, tak keruan,” gumam Chiya.

Mereka turun dari motor. Chiya duduk di kursi depan mini market. Merogoh tas untuk menemukan pouch make up dan mulai berbenah. Sementara Ren memasuki mini market untuk membeli minuman dingin. Tak lama kemudian Ren muncul membawa sekantung plastik belanjaan.

“Nih, minum!”

Sekotak susu rasa pisang diangsurkan ke Chiya, membuat Chiya melongo.

“Chiya nggak suka pisang Ren,” ujar Chiya menggeleng.

“Loh, lalu siapa yang suka susu pisang, ya?” gumam Ren sembari merogoh kantung plastik dan memberikan susu kotak rasa strawberry pada Chiya, “ini mau?” tanya Ren menawarkan.

“Yeah, itu aku mau!” pekik Chiya senang.

Wajah Chiya mulai bersinar kembali. Warna pemerah bibir membuatnya terlihat lebih segar. Yeah, setidaknya tak sesuram tadi.

Menghabiskan sekotak susu dengan cepat. Kemudian memperhatikan Ren yang tengah meneguk minuman dalam kaleng.

“Terima kasih, Ren. Kamu bukan saja sering membukakan kemasan snack buatku, tapi juga teman yang paling bisa diandalkan dalam situasi sulit.”

Senyum Chiya tampak tulus pada Ren.

“Tapi nanti pulangnya aku nebeng Petra aja ya, Ren?” kekehnya.

“Memangnya kenapa?” tanya Ren

“Habisnya ... kamu ngebut!”

“Yeah, tinggal pegang erat pinggangku, ha-ha-ha ...” tawa Ren membahana, tapi ingatannya mendadak ingat Petra saat memeluk erat dirinya.

Chiya memperhatikan tawa Ren dan ada semburat malu muncul di pipi Chiya.

Dilihat-lihat Ren manis juga, apalagi kalau Ren tidak sedang ngambek, kegantengannya bertambah dua kali lipat.

“Jadi ... kenapa tadi menangis Chiya?”

Sengaja baru Ren tanyakan sekarang, setelah dirasakan Chiya tak lagi larut dalam kesedihan.

Huft, ini tentang ibuku. Dia tidak bersikap selayaknya seorang ibu.”

“Apa dia tidak mencintaimu?”

“Bukan, Ren. Justru dia dan nenek sama-sama memanjakanku. Mungkin sebab itu aku tak terbiasa mandiri. Selalu dianggap anak kecil, atau memang ibuku tidak menerima anaknya kini tumbuh remaja.”

“Ada ibu yang seperti itu?” tanya Ren terperangah.

“Yeah, ada. Itu ibuku,” gumam Chiya.

Selanjutnya Chiya menceritakan bagaimana ibunya selalu tolol soal cinta, termasuk menguras harta nenek untuk membiayai cinta-cinta bodohnya itu.

“Maaf Chiya, bagaimana dengan ayahmu?” tanya Ren memotong cerita Chiya.

“Aku tak pernah mengenal ayahku, Ren,” jawab Chiya menunduk.

Ren dapat mengerti sekarang, situasi pagi macam apa yang sampai membuat Chiya yang ceria menangis tak henti-henti.

Dari kaca spion motor, bukannya Ren tak tahu kalau Chiya sibuk sekali menghapus air mata. Bahkan angin yang menampar pipinya tak cukup menghentikan derai air mata yang telanjur turun.

***

“Lagi-lagi terlambat, Ren!” tegur Mas Defa. Kali ini suara Mas Defa agak meninggi.

Ren menggaruk kepalanya. Tak mungkin kan untuk kali ini menjelaskan alasan sebenarnya.

Bisa runyam nanti ... bisik hati Ren, menanggapi situasi.

“Kali ini bawa-bawa Chiya lagi,” ucap Mas Defa melirik Chiya yang menunduk.

“Bu-bukan begitu, Mas,” ucap Chiya terbata. Ingin sekali menjelaskan yang terjadi. Namun, Ren melarangnya berbicara. Ren tak mau Chiya menceritakan alasan terlambat bersama, sebab pastinya terpaksa mengisahkan kondisi keluarga Chiya. Tentu saja Ren tak mau semua orang di ruang dingin mendengar kisah ibu Chiya.

“Biar aku saja yang menerima semua omelan, kamu diam saja,” bisik Ren mewanti-wanti Chiya. Chiya mengangguk setuju, diam-diam mulai menngagumi sifat baik Ren yang mau melindungi teman dari rasa malu.

Tak sampai sepuluh menit, Mas Defa mengakhiri wejangannya. Ren dan Chiya kembali pada kursinya masing-masing.

Teman-teman tim tujuh sudah gelisah bertanya-tanya sebenarnya apa yang telah terjadi. Ren hanya memberi petunjuk dengan jari telunjuk ditempelkan pada bibirnya. Sementara Chiya menunduk lesu.

Barulah ketika waktunya jam makan siang tiba dan semua anggota tim tujuh bersama-sama di sebuah warmindo dekat studio. Chiya menjelaskan dengan lantang bahwa Ren menjemput atas permintaan Chiya. Ren menolongnya di situasi sulit. Secara ringkas Chiya menceritakan pertengkaran pagi hari di rumahnya yang membuatnya kehilangan semangat untuk pergi ke studio.

“Semula aku ingin membolos saja, tapi tak enak ini baru hari ke-3 ... lagipula aku tak betah di rumah, bila melihat muka masam ibu dan nenek.”

Semua mengangguk setuju dengan keputusan Chiya yang tepat. Ren membagikan minuman dingin yang tadi pagi dibeli di minimarket. Untunglah tadi sempat memasukkan ke lemari pendingin di pantry, sehingga siang hari begini dapat menikmati minuman dingin.

Kama dan Jaya langsung mengambil minuman bersoda, sedangkan yang lainnya memilih susu. Termasuk Galang yang ternyata sangat menyukai susu beruang. Vanila mengambil susu kurma dengan mata berbinar. Tak menyangka Ren ingat minuman favoritenya di saat istirahat di kantin sekolah. Ada yang membuat Chiya salah fokus dari semua itu. Di dalam kantung plastik itu ada banyak sekali susu pisang. Lebih dari lima dari merk yang berbeda-beda, dan ... tidak ada yang menyukai susu pisang selain Petra.

Ren menyeringai dan menggaruk kepala ketika Petra meraup semua isi kantung plastik yang tersisa susu pisang tersebut.

Salah tingkah Ren tak luput dari sorot tajam Chiya. Jadi ... penggemar susu pisang yang selalu ada dalam pikiran Ren itu ... Petra.

***

Bruuk ...

Buku cerita anak jatuh berhamburan. Seseorang memekik, menyalahkan orang yang membawa buku karena begitu ceroboh.

“Ma-maaf, Kak. Sa-saya tersandung,” ucap Vanila terbata.

Dipungutnya buku-buku tersebut satu demi satu dengan bersungut. Vanila mengomel dalam hatinya. Ini kali ke dua Kak Henny begitu marah dengan kecerobohannya. Meski langsung meminta maaf, tapi rasa-rasanya tatapan Kak Henny begitu seram ingin menerkam.

Kak Henny bertanggung jawab membimbing Vanila untuk pengerjaan ilustrasi buku anak. Awalnya Vanila merasa Kak Henny begitu lembut menerangkan soal coloring dan pilihan warna apa yang biasa digunakannya. Namun, semua berubah sejak pagi tadi. Sudah dua kali Vanila terkena omelannya karena ceroboh, makin diomelin makin Vanila grogi sehingga melakukan kesalahan yang sama.

Saat mereka hanya berdua, wajah ketus Kak Henny belum juga menyingkir membuat Vanila bertanya-tanya apa lagi kesalahanku? Makin dipikirkan, perut Vanila makin mulas. Alhasil dengan wajah tak bersalahnya ... beberapa kali Vanila meminta izin ke toilet pada Kak Henny. Memijit pelipisnya sendiri, Kak Henny menggeleng-gelengkan kepala tanda hampir menyerah.

Secara tak sengaja Kama mendengar obrolan Mas Defa dan Kak Henny di pantry. Bahwa ternyata sedari awal Kak Henny tidak setuju untuk menerima anak magang di bulan-bulan mengejar deadline seperti sekarang.

Beberapa kali Mas Defa memohon pada Kak Henny untuk bersabar. Kak Henny diam saja lalu akhirnya mengangguk setuju.

Kama menyandarkan kepala pada dinding, menurutnya gerak-gerik kedua orang itu sangat mencurigakan.

“Jangan-jangan ... Kak Henny itu pacarnya Mas Defa, Pan!” ujar Kama mengingatkan Vanila saat mengantar Vanila pulang—Jaya membonceng Galang.

Akh, tidak mungkin ... Mas Defa bilang jomblo kok!” kilah Vanila.

“Namanya juga cowok, mana mungkin ngaku punya pacar!” seru Kama lagi.

“Kamu juga gitu?” tanya Vanila, memiringkan kepalanya mendekat bahu Kama. Kama yang menoleh langsung mengalihkan lagi perhatiannya pada jalan dan senja. Bukan karena Kama sangat berhati-hati dalam berkendara, melainkan debaran jantung seolah melonjak tinggi. Seakan arus listrik menyengatnya hingga menggelepar.

Kama tidak berkata-kata lagi sampai tiba dengan selamat di depan pagar rumah Vanila. Keributan dari dalam terdengar sampai keluar rumah. Vanila mendecih. Raut mukanya berubah masam.

“Kama, apa kamu tahu ... kemarin itu ... saat pergi bersama Mas Defa ... itu karena aku malas pulang cepat. Alasan lainnya karena kami sefrekuensi, sama-sama K-popers.”

Kama mengerti sekarang. Sebetulnya Kama juga marah saat Vanila mengabaikan pesan darinya. Kini ia mengerti, saat di mall mana sempat Vanila membuka HP. Sibuk berceloteh tentang bias kesayangan. Kama juga bukannya tak tahu sesampainya di rumah ... Vanila langsung membalas rentetan panjang pesan dari Kama, tetapi terhenti karena ibunya mengetuk pintu. Selanjutnya Vanila tak sengaja tertidur saat menjaga adik-adiknya.

Wajah lelah Vanila masih menggerutu, menyerahkan helm pada Kama ... “Dah, ya Kama!” ujarnya berpamitan sembari melambaikan tangan. Kama mengangguk, merasa lega bila Vanila telah berada di rumahnya. Namun, setelah lambaian tangan itu menghilang dari balik pagar ... Kama mendesis lirih, apa aku ini selfish? Padahal kutahu Vanila tak bahagia berada di rumah.

Senja berubah temaram, laju motor Kama menciptakan bayang hitam menantang angin, serangga kecil dan kelelawar yang beterbangan mencari makan.

***

Pukul sepuluh malam. Tak henti-hentinya Vanila menguap—mengantuk. Tugas dari Kak Henny harus ia kerjakan. Sebenarnya sangat lelah, tapi ini sudah bentuk pertanggungjawaban pada pekerjaan. Menanggung segala risiko telah menyanggupi menjadi bagian dari tim Kak Henny yang tengah merampungkan ilustrasi buku anak.

Kepikiran juga mengenai Kak Henny dan Mas Defa yang dicurigai Kama berpacaran. Kalau itu benar ... Vanila bergidik sendiri pada kemungkinannya. Seandainya aku ... pacarku jalan bareng cewek lain ... pasti juga marah kan ... nggak terima.

Duugh!

Vanila membenturkan kening pada meja belajar—pelan.

Seharusnya aku tak gampang diajak pergi laki-laki yang baru dikenal, sesalnya.

Akh, aku hanya berpikir jika akrab dengan bos maka mempermudah jalannya kerja magang. Justru runyam begini.

Vanila terus-terusan menyalahkan dirinya sendiri. Tiba-tiba, sebuah suara yang datangnya dari kamar sebelah melemparkan lamunan dan bayang Kak Henny di pikiran Vanila.

Itu suara teriakan Mama kepada adik-adik Vanila yang tak kunjung tidur. Mama sudah lelah lahir batin. Jam segini Papa juga belum pulang menambah frustrasi Mama makin menjadi-jadi.

Apakah Papa juga sengaja pulang lambat karena tak betah di rumah?

Sungguh egois bukan, sikap anggota keluarga lain yang bisa melarikan diri dari hiruk pikuk ini. Sedangkan Mama tidak. Mama akan terus setia bersama anak-anaknya kendati batinnya pun meronta-ronta.

Adik-adik Vanila berhak mendapat kasih sayang yang lembut dan bukannya kasih sayang dengan rasa frustrasi seperti Mama sekarang.

Dulu Vanila anggap, Papa terlalu egois tak memperkerjakan asisten rumah tangga. Tapi kini setelah kerja magang, Vanila tahu Papa akan sangat memusingkan pengeluaran tiap bulannya jika harus menanggung hidup orang lain lagi. Gaji Papa tak mencukupi untuk itu.

Dulu, Vanila mudah menyalahkan papanya ketika pulang kerja justru tertidur dengan mulut menganga di sofa depan televisi. Kini Vanila tahu ternyata kerja selelah itu.

Kali ini pun matanya amat berat dan mengantuk. Untuk itu, kini Vanila mengambil kesimpulan untuk tidak menyalahkan siapa pun. Tiap-tiap orang menjalani skenarionya masing-masing. Vanila tak mau menyalahkan keadaan lagi. Apalagi menyalahkan orang tua yang beranak banyak. Tidak lagi berkata ... seandainya pulang kerja rumahku tenang dan sepi. Seandainya Mama bisa menjadi tempat ternyamanku untuk pulang ... kini Vanila tahu ... permintaannya itu terlalu egois. Sudah seharusnya Vanila memikirkan bagaimana perasaan Mama, bagaimana Mama kuat dan sabar menjalani hari, bagaimana kesepiannya Mama di antara keramaian celoteh anak-anaknya.

Vanila meletakkan pen tablet, bergegas keluar kamar menuju kamar sebelah. Hiruk pikuknya telah berhenti. Dibukanya handle pintu perlahan.

Kriieeet ....

Pemandangan luar biasa menyergap penglihatan Vanila. Dalam kamar dengan dinding warna-warni penuh coretan anak-anak, tergeletak lima manusia dengan berbagai posisi. Tertidur lelap saling melintang, kecuali bayi terkecil yang berada di dalam box bayi.

Suara mendengkur amat keras terdengar dari Mama yang tertidur di lantai beralaskan karpet bulu.

Vanila menutup kembali pintu itu rapat-rapat. Menyandarkan kepalanya di balik pintu tertutup. Tangannya memegangi dada dan diam-diam berdoa untuk mamanya.

Semoga jerih payah Mama dalam membesarkan anak tak sia-sia, Ma ...!

****

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
in Silence
472      337     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
Stars Apart
638      446     2     
Romance
James Helen, 23, struggling with student loans Dakota Grace, 22, struggling with living...forever As fates intertwine,drama ensues, heartbreak and chaos are bound to follow
Something about Destiny
167      143     1     
Romance
Devan Julio Widarta yang selalu dikenal Sherin sebagai suami yang dingin dan kurang berperasaan itu tiba-tiba berubah menjadi begitu perhatian dan bahkan mempersiapkan kencan untuk mereka berdua. Sherin Adinta Dikara, seorang wanita muda yang melepas status lajangnya pada umur 25 tahun itu pun merasa sangat heran. Tapi disisi lain, begitu senang. Dia merasa mungkin akhirnya tiba saat dia bisa mer...
Perjalanan yang Takkan Usai
391      316     1     
Romance
Untuk pertama kalinya Laila pergi mengikuti study tour. Di momen-momen yang menyenangkan itu, Laila sempat bertemu dengan teman masa kecil sekaligus orang yang ia sukai. Perasaan campur aduk tentulah ia rasakan saat menyemai cinta di tengah study tour. Apalagi ini adalah pengalaman pertama ia jatuh cinta pada seseorang. Akankah Laila dapat menyemai cinta dengan baik sembari mencari jati diri ...
Return my time
319      271     2     
Fantasy
Riana seorang gadis SMA, di karuniai sebuah kekuatan untuk menolong takdir dari seseorang. Dengan batuan benda magis. Ia dapat menjelajah waktu sesuka hati nya.
FaraDigma
1331      665     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
1969      781     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
Ilona : My Spotted Skin
586      422     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...
Premium
Ilalang 98
7086      2221     4     
Romance
Kisah ini berlatar belakang tahun 1998 tahun di mana banyak konflik terjadi dan berimbas cukup serius untuk kehidupan sosial dan juga romansa seorang mahasiswa jurusan Sastra Indonesia bernama Ilalang Alambara Pilihan yang tidak di sengaja membuatnya terjebak dalam situasi sulit untuk bertahan hidup sekaligus melindungi gadis yang ia cintai Pada akhirnya ia menyadari bahwa dirinya hanya sebuah il...
Aku Ibu Bipolar
51      44     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...