Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kainga
MENU
About Us  

 

Ren menatap bayangan wajahnya di cermin. Sebelah kaca berbingkai itu terdapat poster Gojo Satoru menyeringai seolah senyum mengejek pada Ren. Terngiang-ngiang percakapan bersama Petra di kedai cokelat. Kekhawatiran Ren akan memiliki sifat seperti ayahnya. Kasar dan arogan.

Apakah aku dapat membangkitkan monster dalam jiwaku yang sepi? Semula hanya rasa insecure yang mengganggu. Yeah, karena tinggi badan. Lambat laun, aku bisa marah pada hal-hal kecil. Hmm, mirip Ayah.

Hari ke-2 magang. Ren tak ingin menderita kepanikan di jalanan, seperti kemarin. Bahkan semalam waktu Kama dan Jaya mampir ke rumah mengembalikan motor, Ren mengingatkan mereka untuk tidak ada lagi acara berkumpul di sekolah. Membuang waktu, keburu macet di jalan. Apalagi bila harus menunggu Vanila dan Chiya yang super lelet.

“Gimana Vanila dan Chiya pergi ke studio animasinya kalau nggak bonceng kita, Ren?” tanya Kama protes.

“Usaha sendiri, udah gede!” jawab Ren ketus.

Itulah yang dikatakan Ren pada si kembar semalam. Ren yakin saat ini semua anak kelompok tujuh sudah mendengar informasi ini dari si kembar.

Menu sarapan pagi ini robak isi sosis dan keju yang telah disiapkan ayah Ren.

“Ren, pagi ini antar Ayah ke toko, ya?” pinta ayah Ren dengan terburu-buru.

Sosis dalam mulut Ren hampir saja membuatnya tersedak. Meneguk minumnya banyak-banyak. Sungguh bingung sekarang, jika mengantar ayah yang berbeda arah apa nanti tak membuatnya terlambat. Melirik jarum jam was-was. Mulut Ren terkunci rapat, tak bisa mengiyakan ataupun menolak.

“Loh, kamu nggak pakai seragam, Ren?” tanya ayah Ren baru memperhatikan ke arah Ren.

“Ren sudah mulai magang, Yah!” serunya antusias. Berharap ada kalimat berikutnya dari sang ayah menanyakan perihal magangnya. Sayang tidak. Ren tak mendapatkan respons baik dari ayahnya. Justru ayah Ren sibuk mengomel mengenai mobil pick up yang digunakan ibu tiri dan anaknya untuk suatu acara. Ren mendesis tak senang, selalu saja mereka yang berbuat tetapi aku yang terkena getahnya.

Ayah Ren masih sibuk mondar-mandir membereskan dapur. Keluhan terus meluncur membuat sarapan Ren tak sedap.

“Kamu sih Ren, sudah besar begini masih dibuatin sarapan,” omel sang ayah sambil berjalan menuju kamar mandi.

Ren membanting garpu kesal. Emosi kembali meluap. Namun, orang yang bertanggung jawab atas emosi itu justru terdengar bersiul di bawah guyuran air shower.

Tahukah kamu Ayah, sebetulnya aku bisa memasak sarapanku sendiri. Tapi apa Ayah tak ingat, mendiamkanku hampir seminggu saat kucoba membuat makananku sendiri. Perasaan tak nyaman karena diabaikan itu membuatku tak mau terulang. Kendati sering gagal sarapan karena Ayah bangun siang. Menghargai sekecil apa pun perbuatanmu padaku, tapi apa Ayah pernah mengingat satu saja hal baik dariku?

***

Mendekati pukul sembilan pagi, Ren baru tiba di studio animasi. Berdebar kencang sewaktu membuka pintu pada ruang dingin. Tak ada yang menyoraki, seperti saat terlambat di kelas. Pegawai lainnya tetap tenang dan fokus bekerja di komputer masing-masing. Termasuk tim tujuh yang mengabaikan kedatangan Ren.

Menemui Mas Defa serta memberikan alasan keterlambatan sejelas mungkin. Tidak ada yang Ren tutupi. Soal permintaan ayahnya yang tiba-tiba juga tentang Ren yang tak bisa menolak apa pun yang ayahnya ingin.

Baru bernapas lega setelah Mas Defa memberikan tugas untuk hari ini. Berjalan menuju kursinya, Ren mengamati pucuk kepala di balik layar monitor. Mencari-cari sosok Petra, tanpa tahu sebabnya. Hanya spontan alamiah saja, yang tertangkap retina matanya justru pita mencolok di rambut Vanila.

Ren mulai benci situasi ini. Pasti nanti teman-temannya mengabaikan dirinya seperti sang ayah bila merasa marah.

Kalau begitu aku saja lebih dulu mendiamkan kalian!

Kali ini semesta tidak mendukung Ren. Terbukti tak berapa lama kemudian, Mas Defa memanggil seluruh tim tujuh. Memberi pesan pada Ren sebagai ketua kelompok agar mengecek progres dan melaporkan cepat pada Mas Defa.

Mengintip sedikit pada layar monitor Mas Defa , jadi tahu animating yang Mas Defa kerjakan. Rupanya semua anggota tim tujuh tertarik.

“Kenapa kami belum mengerjakan animasi, Mas?” tanya Galang mendahului bertanya.

“Nanti juga kebagian, saya ingin tahu style kalian dulu,” jawab Mas Defa lugas.

Semuanya saling melirik, teringat pesan Bu Neena untuk tidak menggambar anime di tempat magang. Kama dan Jaya meringis. Mereka melupakan pesan itu.

“Kalian tahu tidak, dalam kerja tim diperlukan kerja sama yang kompak. Masing-masing orang menurunkan ego pribadinya dan menyelaraskan bersama teman lainnya untuk kepentingan bersama.” Mas Defa mengamati ketujuh anak tersebut. Ada yang menggaruk kepala, ada membetulkan pita, ada yang melamun. Itu Ren.

“Ren, ada masalah?” tanya Mas Defa lirih.

Ren jadi tak enak hati, secepatnya menggeleng. Dia pun berjanji akan memantau progres gambar dari teman-teman. Ren melirik Petra yang dari tadi terdiam. Tumben gadis itu tidak galak seperti biasanya.

***

Tujuh mangkuk mi ayam habis tak bersisa. Cuaca panas membuat es teh mereka pun cepat tandas.

“Benar ‘kan apa kubilang, kita harus menyesuaikan gambar kita dengan cerita anak yang sedang kita bikin,” ucap Chiya, peluh keringat menetes dari dahi dan dirinya sudah tak sabar membuka tisue yang belum terbuka.

Jari tangannya selalu ingin belajar membuka segel kemasan, tapi selalu menemui kegagalan.

Ren mengambil alih dan langsung mengulurkan tisue ke dahi Chiya. Petra membuang muka.

“Terima kasih, Ren,” ujar Chiya diiringi tatapan tajam dari Vanila.

Chiya langsung menutup mulutnya teringat sesuatu. Lantas menyeringai pada Vanila.

“Hey, ada apa ini?” tanya Ren yang sebenarnya sudah tahu, teman-temannya pasti kompak memberi pelajaran padanya karena terlambat, padahal dirinyalah yang menerapkan peraturan agar tak terlambat.

Vanila pasti marah karena harus berdesakkan di bus kota di pagi hari. Berganti bus 3 kali untuk sampai di studio animasi.

“Sorry, ya ... aku telat!” ujar Ren lagi.

Vanila dan Chiya memonyongkan bibirnya.

“Aku tadi ikut mendengar alasanmu terlambat, bukan salahmu sepenuhnya Ren. Mengantar ayahmu itu hal tak terduga,” ujar Galang bijak.

“Yeah, tapi tak perlulah kamu larang kami berangkat bersama, Ren!” protes Jaya.

“Betul! Kamu saja telat padahal nggak ke sekolah dulu,” Kama menimpali.

“Okay, tidak ada larangan lagi untuk itu!” cetus Ren kalem.

Petra berdeham. Ren menatapnya gusar. Teman lainnya paham situasi dan meninggalkan mereka berdua.

Setelah semua pergi, Petra mulai membuka suara. Sama sekali tidak menyindir keterlambatan Ren, Petra justru menyoroti hal lain.

“Kamu belum berhasil melepas demons dalam dirimu, Ren?”

Ren mendongak bingung. Kemarin Petra memang sempat membahas mengenai monster menggeliat saat mengomentari emosi Ren yang lambat laun menyerupai ayah Ren.

“Bagaimana aku bisa bilang tidak, sedang dia ayahku?” kilah Ren.

“Bukan menolak, tapi kuyakin ayahmu tak pernah tahu situasi sulitmu, iya ‘kan, Ren?”

“Aku sendiri tak yakin, apa pernah ada keinginan membantah ucapannya,” ujar Ren lirih.

“Bagaimana yang ia perintahkan buruk untukmu?” tanya Petra lagi.

Pertanyaan terakhir itu membuat Ren rak nyaman.

Ren sunguh tak mau mempunyai emosi labil. Kasih sayang sang ayah naik turun sesuai kondisi emosinya. Membentuk Ren untuk sangat menghargai ketika saat-saat kasih sayang itu tiba. Namun, sisi lain dari hatinya membisikkan bahwa ia tengah dimanfaatkan saja ketika butuh. Jika betul sayang kenapa harus berubah sikap ketika bersama istri dan anak tirinya.

Ren lebih memilih ibu dan kakak tiri adalah monsternya yang mengubah ayah Ren menjadi bengis.

***

Jam pulang kantor. Vanila terlihat akrab dengan Mas Defa. Sesekali tawa renyah terdenhar di antara keduanya. Seorang pegawai lama sampai berkomentar, “Tumben , Mas Defa bisa dekat dengan murid SMA,” ucapnya.

“Pan, ayok pulang!” ajak Kama, mulai tak nyaman karena beberapa pegawai mulai berkasak-kusuk soal Vanila.

“Kalian saja duluan, aku nebeng Mas Defa,” ujar nada manja Vanila.

Sontak semua saling berpandangan. Vanila memang supel dalam berkawan, tapi bagaimanapun juga baru kenal dua hari dengan Mas Defa. Belum tahu seluk beluk orang itu seperti apa. Dua hari saja tak cukup untuk menggambarkan karakter seseorang.

“Bonceng aku aja, Pan!” tegur Petra menawarkan boncengan.

“ Enggak ah, lebih enak dianter mobil, adem!” tolak Vanila yang membuat tim tujuh jengah.

Pita besar Vanila yang berwarna putih naik turun ketika anak itu berlompat senang serta berlarian kecil ke arah mobil Mas Defa. Teman-temannya masih bengong di atas motor yang baru mereka nyalakan ketika akhirnya mobil yang ditumpangi Vanila beranjak pergi. Meninggalkan mereka dengan lambaian tangan yang lebay.

“Iiiih, Paniii ... kok gitu siiih!!!” seru Chiya kesal.

“Sudah, ayok kamu kuantar pulang!” cetus Petra pada Chiya.

Mereka berenam Saling berpamitan dan selanjutnya saling berpisah menderukan laju kendaraan yang berbeda arah.

***

Malamnya di sebuah kamar 4x4, Kama menggerutu menatap layar gawai. Jaya menjadi sasaran suara kecemburuan yang dilontarkan Kama.

“Seharusnya bunda memberikan kita fasilitas mobil!” keluh Kama.

“ Sesuatu yang tak mungkin,” ujar Jaya.

Braaak

Kama membanting komik ke atas meja. Gelisah menggerogoti hingga tulang tubuh, lemas dan rasanya sesak ingin teriak.

“Kamu cemburu Vanila bisa manja ke orang lain, ya?” duga Jaya tepat sasaran.

Kama tak menampik hal itu, selain rasa risih jika Vanila manja ke orang lain, apalagi orang baru dikenal ... Kama juga khawatir bila terjadi sesuatu dengan Vanila.

“Sudah sebesar itu, harusnya Vanila tak menganggap semua orang sebagai permen yang ia inginkan,” gumam Kama. Membingungkan Jaya sebab yang Jaya tahu, Vanila tidak selugu itu.

Kama masih memantau layar gawai. Berulang kali bertanya di WaG, apa Vanila telah sampai di rumah. Sebab hampir pukul tujuh malam. Alasan Vanila pulang bersama Mas Defa ternyata karena sama-sama ingin mengunjungi mall yang sama.

Vanila yang seorang kpopers sangat tertarik ketika Mas Defa mengenalinya sebagai sesama kpopers dari cahol yang tergantung di tas Vanila. Lantas Mas Defa memamerkan ganci pada kunci mobinya. Vanila merasa menemukan teman sefrekuensi, apalagi ini lelaki yang jarang sekali Vanila temui memiliki bias idol seperti dirinya.

Mereka pergi berdua ke sebuah toko di mall yang meluncurkan merchandise baru.

Beberapa kali Kama mendesis, berguling di atas kasur, salah tingkah, lalu teriak ...

Aaaarrrggghhhh ....

***

Sementara itu ...

“Terima kasih, ya Mas!” teriak Vanila melambaikan tangan ke arah mobil Mas Defa.

Tak disangka menemukan teman baru penggila K-pop seperti dirinya.

“Ini terlalu luar biasa,” gumam Vanila.

Usianya yang baru tujuh belas tahun, apalagi Vanila bertingkah kekanakan ... jarang ada pria dewasa seumuran Mas Defa mengajak bicara.

Tidak menyangka wawasan K-pop Mas Defa lebih dari dirinya.

Huuft!” Membaringkan tubuh mungilnya di atas kasur empuk, memandang langit-langit kamar. Dinding-dinding kamar itu penuh poster idol kesayangan. Seperti Yeonjun, Beomgyu TXT, Haruto Treasure dll. Vanila memang lebih familiar dengan idol dari gen 4; TXT, ENHYPEN, Ateez, Treasure, Stray kids dan ada banyak lagi. Sedangkan Mas Defa mulfand dari gen 3, mulai dari BTS, EXO, NCT dll yang tetap mengikuti perkembangan industri K-pop hingga saat ini. Kecocokan mereka dimulai ketika Mas Defa notice cahol Haruto Treasure di tasnya yang ramai oleh pin dan ganci yang tidak hanya K-pop idol juga husbu-husbu animenya. Rupanya Mas Defa juga seorang Teume. Biasnya Haruto, karenanya langsung nyambung saat Vanila berceloteh bebas tentang Treasure.

Menyukai para bintang merupakan bentuk pelarian jiwa Vanila yang butuh dicintai. Mengalihkan rasa luka di hatinya ke dalam gemerlap wajah tampan. Melihat senyum idol menghibur hatinya dengan baik. Bisa dibilang, Vanila lebih dulu menyukai industri K-pop dibandingkan tenggelam dalam marathon season anime bersama teman-teman kelasnya. Entah kenapa memasuki kelas animasi, mendadak semua menyukai anime. Mungkin karena sering nonton sebagai referensi pembuatan film animasi.

Tok ... tok .....

Bunyi pintu diketuk. Vanila mendesah lirih. Malas. Sudah tahu siapa yang mengetuk, dan ...

“Van, jaga adekmu sebentar!” perintah Mama tanpa basa-basi begitu Vanila membuka pintu.

Suntuk. Itu yang Vanila rasakan. Padahal Mama tahu Vanila pulang kerja.

“Vanila capek, Ma,” tolak Vanila menggerutu.

Mama Vanila melotot, selalu naik pitam saat mendengar penolakan si anak. Rentetan kalimat berikutnya sudah tertebak. Mama menggunakan moment itu untuk meluapkan emosi terpendamnya.

“Kamu pikir Mama nggak capek, heh! Mama juga pengen rebahan main HP kayak kamu, Van!” omel Mama panjang. Napasnya memburu.

Seharian lelahnya merawat anak-anak yang masih kecil diluapkan pada Vanila anak pertama, satu-satunya anak yang sudah besar.

Setelah itu bisa dipastikan Vanila akan menuruti perintah Mama dengan merengut.

Yeah, dia tahu lelahnya kerja magang tak selelah Mama yang merawat empat adik-adik yang masih kecil. Todler dan ada bayi pula. Kalau Vanila bisa protes, pastilah yang keluar dari mulutnya berupa sindiran.

“Siapa suruh punya anak banyak,” gumam Vanila sambil melangkah mendekati kamar adik-adik yang mirip kapal pecah.

Mama Vanila bukanlah orang tua yang suka memukul seperti ayah Ren. Namun, menuntut Vanila bersikap dewasa sebelum waktunya. Kira-kira pertama terjadi ketika Vanila kelas lima SD. Permintaan Vanila yang menginginkan adik untuk menemaninya bermain, terkabul setelah lima tahun Mama dan Papa berusaha. Permulaan manis berbuah menangis bagi Vanila. Jarak kelahiran berikutnya begitu dekat. Mama mulai kerepotan dan menyingkirkan tangan Vanila dari genggaman. Papa bukannya tak mampu untuk membayar asisten rumah tangga, tapi Papa yang tidak percaya siapa pun menginginkan Mama keluar kerja untuk merawat sendiri anak-anaknya.

Tubuh Mama berubah subur, mulai tak puas dengan dirinya, sering menangis dan mengabaikan Vanila. Lama-lama Vanila menyingkir, berdiri di sudut ruangan seolah bukan bagian dari keluarga. Terlebih, setelah Mama melahirkan dua anak lagi. Yang terkecil baru lahir tiga bulan lalu. Yeah, suatu kelahiran memang patut disyukuri, tapi jika itu menyiksa manusia lainnya ... bukankah itu suatu kemunduran. Yeah, isi kepala Vanila mulai berpikir bahwa orang tua yang memiliki banyak anak,  tetapi tak mempunyai kemampuan merawat, baik materi maupun psikis anak-anaknya adalah orang tua yang egois. Selalu berdalih kondisi dan situasi, seharusnya mikir memiliki anak bukan buat kepuasan pribadi, tapi juga mikirin pertumbuhan mental anaknya kelak.

Bukan sikap Mama saja yang berubah. Vanila pun seolah memiliki dua kepribadian. Satu sosok penuh ketenangan dan rasa mengalah sedangkan satu sosok lagi di luar rumah sebagai Vanila cerewet dan manja. Tak jarang Vanila selalu ingin jadi pusat perhatian. Sebab baginya, di rumah dia hanyalah seorang figuran.

****

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Rumah?
58      56     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
1259      776     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
Konfigurasi Hati
548      378     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Pulpen Cinta Adik Kelas
493      290     6     
Romance
Segaf tak tahu, pulpen yang ia pinjam menyimpan banyak rahasia. Di pertemuan pertama dengan pemilik pulpen itu, Segaf harus menanggung malu, jatuh di koridor sekolah karena ulah adik kelasnya. Sejak hari itu, Segaf harus dibuat tak tenang, karena pertemuannya dengan Clarisa, membawa ia kepada kenyataan bahwa Clarisa bukanlah gadis baik seperti yang ia kenal. --- Ikut campur tidak, ka...
Dia yang Terlewatkan
396      272     1     
Short Story
Ini tentang dia dan rasanya yang terlewat begitu saja. Tentang masa lalunya. Dan, dia adalah Haura.
Kulacino
416      275     1     
Romance
[On Going!] Kulacino berasal dari bahasa Italia, yang memiliki arti bekas air di meja akibat gelas dingin atau basah. Aku suka sekali mendengar kata ini. Terasa klasik dan sarat akan sebuah makna. Sebuah makna klasik yang begitu manusiawi. Tentang perasaan yang masih terasa penuh walaupun sebenarnya sudah meluruh. Tentang luka yang mungkin timbul karena bahagia yang berpura-pura, atau bis...
Menjadi Aku
513      396     1     
Inspirational
Masa SMA tak pernah benar-benar ramah bagi mereka yang berbeda. Ejekan adalah makanan harian. Pandangan merendahkan jadi teman akrab. Tapi dunia tak pernah tahu, di balik tawa yang dipaksakan dan diam yang panjang, ada luka yang belum sembuh. Tiga sahabat ini tak sedang mencari pujian. Mereka hanya ingin satu halmenjadi aku, tanpa takut, tanpa malu. Namun untuk berdiri sebagai diri sendi...
Gloomy
608      400     0     
Short Story
Ketika itu, ada cerita tentang prajurit surga. Kisah soal penghianatan dari sosok ksatria Tuhan.
Secret’s
4284      1369     6     
Romance
Aku sangat senang ketika naskah drama yang aku buat telah memenangkan lomba di sekolah. Dan naskah itu telah ditunjuk sebagai naskah yang akan digunakan pada acara kelulusan tahun ini, di depan wali murid dan anak-anak lainnya. Aku sering menulis diary pribadi, cerpen dan novel yang bersambung lalu memamerkannya di blog pribadiku. Anehnya, tulisan-tulisan yang aku kembangkan setelah itu justru...
Sweet Seventeen
1237      845     4     
Romance
Karianna Grizelle, mantan artis cilik yang jadi selebgram dengan followers jutaan di usia 17 tahun. Karianna harus menyeimbangkan antara sekolah dan karier. Di satu sisi, Anna ingin melewati masa remaja seperti remaja normal lainnya, tapi sang ibu sekaligus manajernya terus menyuruhnya bekerja agar bisa menjadi aktris ternama. Untung ada Ansel, sahabat sejak kecil yang selalu menemani dan membuat...