Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kainga
MENU
About Us  

 

”Ikut klub kita, ya?” ajak Jaya berusaha membujuk Petra. Kama dan Jaya, berlarian dari lapangan basket ketika melihat Petra di parkiran motor. Semalam memang mereka bertiga mengambil motor di rumah Galang. Usai membantu panitia pameran lorong menyiapkan pigura. Ren tidak muncul sama sekali. Galang bilang, sore hari sepulang dari rumah sakit, dia terkejut melihat Ren berjongkok di teras rumahnya, ada lebam di wajah Ren. Mendengar itu, Petra yakin jika Ren dipukuli lagi oleh ayahnya.

 

“Sudah kubilang aku tak mau ikut klub apa pun!” tolak Petra ketus.

“Tapi kamu pintar basket, Pet!” ujar Kama yang langsung menutup mulutnya, menyadari kesalahan pengucapan. Petra sedang tidak fokus, abai saja dengan celotehnya Kama dan Jaya. Langkah kakinya menuju kantin sekolah. Kama dan Jaya mengikuti. Masih pagi, nasi rames, nasi kuning, masih lengkap, beberapa gorengan hangat baru diangkat. Mencomot gorengan satu dan meminta bu kantin membuatkan milo panas, dengan cueknya Petra duduk mengangkat satu kaki.

Belum banyak orang pagi begini, bebas saja, pikir Petra.

 

“Jangan sia-siakan tinggi badanmu, Petra!” Kali ini Kama hati-hati dengan pengucapan. Sementara Jaya tengah sibuk memesan soto ayam campur nasi pada bu kantin.

“Bukannya aku tak mau, Kama. Tapi aku masih ingat, kalau ikut klub itu menyita waktu dan banyak pengeluaran, sedangkan aku kan harus kerja juga di panti,” ucap Petra sambil mengunyah.

“Memangnya apa sih yang kamu kerjakan Petra?” Jaya ikut menimpali, bergabung dalam pembicaraan dan duduk di samping Petra. Bersamaan dengan bu kantin yang menyajikan milo hangat untuk Petra. Tak menjawab pertanyaan Jaya, Petra mengaduk gelas milonya dengan sendok yang berputar tiga puluh dua kali, menyempatkan menyeruput milo yang masih mengepul panas. Lantas ucapkan, “Aaakh!”

 

“Orang dewasa di panti membuat kerajinan tangan, juga kue-kue yang kami jual secara online, dan aku termasuk dewasa di sana. Hasilnya tentu saja membantu perekonomian panti agar tidak terlalu bergantung pada donatur,” ujar Petra menjelaskan.

 

“Pantas, walaupun tinggal di panti asuhan kamu justru yang paling banyak pegang uang,” gumam Jaya.

“Walaupun tinggal di panti yeah …!” Ada senyum kecut di bibir Petra.

“Ma-maaf maksudku bukan begitu Petra.” Jaya menyesali perkataannya apabila menyinggung.

“Memang benar kok Jay, aku tidak pernah tahu siapa keluarga kandungku, aku hanya memiliki keluarga di panti yang sudah kuanggap keluarga sendiri. Itu juga salah satu alasan kenapa tidak banyak kegiatan di luar jam sekolah yang aku ikuti. Rasanya masih terbayang masa lalu, di mana aku terlalu aktif mengikuti apa saja … dan aku kecewa, dengan tanggapan orang-orang dewasa saat mengetahui aku berasal dari panti asuhan.” Ada nada getir di ucapan Petra. Kama menunduk, Jaya terpekur menatap kuah soto.

 

“Makanya, kalian beruntung masih memiliki rumah untuk kalian pulang, rumah nyaman dengan selimut kasih sayang orang tua!” ujar Petra menasihati si kembar. Petra sering mendengar keluhan duo kribo itu mengenai bapak dan ibunya yang pelit. Bagi Petra yang telah menemui banyak tipe orang tua yang datang berkunjung ke panti, masalah pelit masih bisa didiskusikan baik-baik. Andai Kama dan Jaya tahu, ada banyak anak yang mengigit satu roti sisa saja sudah bersyukur. Ada banyak anak-anak di luar sana berjuang sendiri untuk membiayai makan sehari-hari.

 

Petra orang paling cerewet bila ada yang membuang sisa makanan ketika bunyi bel masuk sehabis istirahat. Tak pandang bulu, mau lelaki maupun perempuan akan mendapatkan jeweran di telinganya. Pernah seorang guru, masih muda dan sepertinya guru magang. Membuang seplastik somay yang masih utuh hanya karena kecapnya kebanyakan. Dengan nada jengkel dan ketus Petra menegurnya. Menyebut, “Bapak yang terhormat!” Dengan nada kesal level sepuluh. Pak guru magang yang akhirnya minta maaf karena sadar tak memberikan perilaku baik sebagai seorang guru―bahkan masih mendapatkan wajah Petra yang super jutek―saat mengajar di kelas.

 

Jaya melahap habis menu sarapannya. Mangkuk kosong dipamerkan pada Petra. Kama tergelak. “Harus habis atau terkena jeweran,” ledeknya. Sudah paham dengan kebiasaan Petra. Sekonyong-konyong sebuah tas dilempar ke atas meja mereka.

“Mana Ren?” tanya Vanila terengah. Dia berlari secepatnya menuju kantin mengetahui Petra dan kembar sedang sarapan.

“Dari mana kamu? Pitamu berantakkan!” tegur Kama, tangannya usil memainkan pita di atas kepala Vanila.

“Haah, aku tak banyak waktu, Ren dipanggil Bu Neena!” ujar Vanila mengabarkan.

“Soal apa?” Kali ini Petra terusik.

“Magang!” ujar Vanila sembari mengambil gelas es teh Kama dan meneguknya kesetanan.

“Eeeit!!” Terlambat, Kama cuma bisa manyun. Es tehnya harus pesan lagi.

“Ibuuuk!!! es teh satu lagi!” pintanya pada bu kantin sekolah.

“Ren kemana sih?” tanya Vanila tak sabar. Dibukanya layar gawai untuk menghubungi Ren.

“Ren nggak masuk,” sahut seseorang dari arah belakang mereka. Saat semua menoleh, lesung pipit Galang menyambut manis.

“Galang!!!” pekik Vanila. Mengagetkan Kama yang barusan mendapat tegukan pertama dari es teh barunya, sontak menyemburkan air es dalam mulutnya.

“Kamaaa!” Petra langsung melotot ke arah Kama.

 

Semua terkekeh. Pagi hari tanpa materi di kelas memang sungguh nikmat. Bebas berkelakar di meja kantin. Perut kenyang hati pun senang sebab tetap bertemu kawan.

“Kamu saja yang menemui Bu Neena, Petra!” pinta Vanila merajuk.

“Enggaaaak, pokoknya kita tunggu Ren masuk,” ujar Petra.

“Ren … harus menyembuhkan lukanya,” ucap Galang lirih.

“Dia kenapa?” Mata Vanila membola.

Petra yang sudah tahu, Kama dan Jaya yang juga sudah tahu memilih bungkam. Hampir bertemu setiap hari, tetapi tak sekalipun mencampuri urusan internal tiap individu. Saat bertemu kalau tak membahas anime, yeah tugas sekolah. Jadi rasanya sungkan jika harus membahas hal ini bersama―masalah keluarga.

 

“Jadi, kapan kita magang?” tanya Jaya mengalihkan pembahasan soal Ren.

“Itu yang mau dibahas Bu Neena dengan Ren, kalau nggak salah tanggal resminya usai pameran lorong, tapi kita diminta maju duluan,” jelas Vanila.

“Buat percobaan?” tanya Petra penuh selidik.

Vanila mengedikkan bahu. Vanila memang terus aktif berhubungan dengan Bu Neena, karena masalah storyboard-nya kemarin memerlukan banyak revisi.

“Kalau kita berangkat magang, gimana projek film kita?” tanya Galang sembari menggaruk dagunya.

“Tetap dikerjakanlah,”  jawab Petra santai.

“Magang capek nggak sih?” Suara manja Vanila entah ditujukan pada siapa. Kepalanya menyandar pada kursi kantin, sementara kedua tangan terangkat memamerkan kuku cantiknya.

“Namanya kerja ya capeklah,” gumam Petra, tanpa melihat pada Vanila yang merengut mendengarkan gumaman itu.

 

Selanjutnya meja-meja lain dipenuhi jurusan lain  yang masih banyak berkegiatan. Sesekali mereka ke kantin mengisi perut keroncongan disela rangkaiaan kegiatan. Taman dekat sangkar burung dipenuhi jurusan lukis yang tengah melukis bersama. Sementara itu sedikit terlihat dari kantin sekolah mereka yang berbentuk joglo … jurusan batik tengah menjemur kain batiknya. Jurusan animasi hanya sesekali menggambar sketsa di luar ruangan ketika pembelajaran materi DDSR―Dasar Dasar Seni Rupa.

 

Di antara hiruk pikuk siswa berlalu lalang, satu meja tetap terdiam ... masing-masing kepala melamunkan hal berbeda. Isi kepala kembar membayangkan kerja magang nanti. Pakaian apa yang akan mereka kenakan nanti. Pikiran tolol mereka kadang meragukan orang-orang menerima bahwa mereka dua orang. Terlalu banyak orang baru kenal anggap mereka satu orang, satu jiwa, satu nyawa. Sakit tapi tak berdarah. Kembar identik yang dianggap lucu oleh kebanyakan orang. Sudah mencoba menjadikan lelucon santai saja bila mendengar komentar orang, tetapi tetap saja ada yang mengganjal di hati.

 

Pikiran Vanila melayang pada suatu hal yang buat dia sedikit sebal. Ini akibat Chiya yang biasa mengikutinya ke mana-mana, justru lebih senang bersama Foya anak lukis yang sekaligus ketua panitia lorong itu, alasannya membantu pameran lorong. Cih, panitia saja bukan! Dalam hati pun Vanila mendengus kesal.

***

 

Perjalanan ke rumah Ren, dilakukan Petra diiringi risau hati. Membicarakan masalah magang menjadi misi yang dibawanya. Padahal, bisa saja memberitahu lewat sambungan telepon atau pesan seluler saja.

***

Rumah Ren bercat putih, banyak tanaman hijau menghiasi taman kecilnya. Pagar besi berukiran merak dibuat setinggi harapan Petra untuk memiliki keluarga. Yeah, pokoknya tinggi sekali. Petra bergumam sendiri atas keanehan pemilik rumah tersebut. Jelas terlihat sifatnya tak mau diganggu.

Apakah begini karakter keluarga Ren sebenarnya? tanya Petra dalam hatinya.

Celingak-celinguk kebingungan bagaimana caranya membuka pagar tinggi tersebut, tapi bukan Petra namanya jika tak menemukan hal gila.  Dirabanya semua dinding sekitar pagar besi. Benar saja, ada bel dengan kamera tersembunyi. Jika begitu, pastilah orang yang di dalam rumah telah melihat kedatangannya.

 

Harap-harap cemas menunggu respons seseorang setelah memencet bel. Untunglah, Petra mendengar kunci pintu diputar. Sosok yang dicarinya muncul dari balik pintu berkayu jati penuh ukiran. Petra tersenyum melihat Ren yang berdiri di teras tampak terkejut melihatnya berada di luar pagar.

***

Deru ban motor Petra melaju cukup kencang. Rambut Petra yang lupa tidak terkucir beterbangan membabi buta.  Helm batok kelapa warna hitam, ingin melarikan diri terus dari atas kepalanya. Ren memang gila, ngebut tanpa beri aba-aba. Alhasil Petra berinisiatif memegang pinggang Ren. Yeah, daripada terbang, pikir Petra.

 

Ren melambatkan laju motor, membelokkan ke arah kolam pemancingan. Bukan maksud hendak memancing ikan, tetapi merasa ini tempat bagus untuk berbicara berdua dengan Petra. Di tepi kolam dengan pemandangan sore, orang-orang tertawa lepas ketika menarik kail. Sama seperti senangnya penembak burung menarik pelatuk.

 

Ren melirik Petra. Mata gadis itu awas memperhatikan. Sudah terlambat, percuma sembunyikan luka-luka ini dari tatapan khawatir Petra.

“Apa sakit, Ren?” tanya Petra hati-hati. Ren menyentuh luka di bibirnya. Berdesis … lalu menampilkan senyum palsu.

“Bukan itunya,” kata Petra, “hatimu, apa sakit?” lanjutnya.

Ren menyeringai. Menyentuh dada, mengangguk perlahan, dan Petra menangkap kedua mata Ren ingin menangis. Petra berkata menangis saja jika ingin menangis kepada Ren. Namun, Ren menggeleng, menurut cerita Ren … sedari kecil ayahnya telah melarang seorang pria menangis. Apalagi karena masalah sepele.

“Tetapi pemukulan bukanlah hal sepele Ren,” ujar Petra lembut.

 

Ren terus menggeleng, seakan denial pada kenyataan. Lantas mengatakan semua hal manis tentang ayahnya dan dirinya di masa lalu. Menurut Ren sebenarnya ayahnya sayang kepada dirinya, hanya saja itu terjadi bila tidak berada dekat dengan ibu dan kakak tiri Ren.

 

Petra menarik napas panjang. Sungguh kisah keluarga yang rumit, pikirnya. Lantas dalam hatinya terus bertanya-tanya, jika aku memiliki keluarga apakah aku juga akan mendapat hal buruk dari keluargaku. Apakah benar, sesungguhnya tak ada yang benar-benar keluarga cemara? Sebab banyak hal tersembunyi dan antara orang-orang di dalam keluarga saja yang tahu. Petra telah banyak menemui kisah yang diceritakan oleh ibu panti kepada dirinya. Bahwa zaman sekarang ini, banyak sekali orang tua yang tidak memenuhi tanggung jawabnya sebagai orang tua, antara tidak mampu atau pun tak memiliki kapasitas sebagai orang tua. Banyak dari mereka tidak siap menjadi orang tua, apalagi membentuk keluarga, sehingga mengorbankan anak-anak tidak bersalah seperti anak-anak yang terbuang di panti. Salah satunya Petra. Memang tak yakin asal-usul sesungguhnya, bagaimana ibu panti mendapatkan dirinya. Namun, desas-desus mudah sekali tersebar. Diturunkan dari pegawai panti yang tua ke yang muda. Apakah kini aku harusnya beruntung di posisi yatim piatu? Lamunan ngawur Petra harus terhenti. Ren menanyakan soal kedatangannya berkunjung.

 

“Bu Neena ingin bertemu,” ujar Petra beralasan. Memang hal itu juga yang akan ia kabarkan, tetapi tujuh puluh persennya rasa khawatir dan ingin cepat melihat Ren.

 

“Galang sudah memberi pesan, aku sih setuju saja kalau magang kita dimajukan,” ujar Ren mengamati wajah Petra. Jarang sekali berdua begini. Ren bisa leluasa, karena tidak malu atau pun menahan gengsi.

 

“Jadi motormu dipakai kakakmu?” tanya Petra mengalihkan pembicaraan karena malu ketahuan bila sesungguhnya inisiatifnya sendiri mengunjungi Ren.  Bukan karena membawa mandat dari siapa pun.

 

“Kakak tiri, motornya di bengkel. Jadi … untuk sementara aku mengalah,” ucap Ren getir. Petra bukannya orang bodoh yang tidak menangkap maksud dari kalimat Ren. Sekarang dia mulai mengerti. Kondisi keluarga Ren sebenarnya.

 

Tidak ada satu pun bisa menebak, rumah besar yang terlihat asri memiliki luka di dalamnya. Wajah tersenyum yang menyapa kita kemungkinan palsu. Bertahun-tahun dengan keadaan seperti itu, wajar bila Ren merasa frustrasi dan mencoba menghindari sebisa mungkin pertemuan dengan anggota keluarga yang justru menyumbang tekanan terbesar dalam hidupnya. Alasan masuk akal untuk Ren, menghindari sarapan pagi di rumahnya. Petra jadi menyesali, tuduhan serampangan yang ia tujukan untuk Ren. Sebelumnya sempat menghakimi jika Ren hanya remaja ngambekkan yang sulit diatur, tidak bersyukur karena memiliki keluarga lengkap tapi malah sering keluyuran―malas pulang. Tahu apa Ren soal hidup? Dia tinggal di kasur empuk dan rumah yang nyaman. Fasilitas yang mumpuni.

 

Sekarang Petra baru memahami, tidak selamanya “rumah” bagi kita pulang adalah bangunan nyaman, terkadang justru rumah-rumah tersebut tidak memiliki “rumah” sebenarnya bagi remaja dengan luka trauma seperti Ren untuk pulang … sebab  “rumah “ yang dibutuhkan di sini adalah penghuninya, bukan dinding berbatu.

****

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
IDENTITAS
708      483     3     
Short Story
Sosoknya sangat kuat, positif dan merupakan tipeku. Tapi, aku tak bisa membiarkannya masuk dan mengambilku. Aku masih tidak rela menjangkaunya dan membiarkan dirinya mengendalikanku.
Maju Terus Pantang Kurus
1220      678     3     
Romance
Kalau bukan untuk menyelamatkan nilai mata pelajaran olahraganya yang jeblok, Griss tidak akan mau menjadi Teman Makan Juna, anak guru olahraganya yang kurus dan tidak bisa makan sendirian. Dasar bayi! Padahal Juna satu tahun lebih tua dari Griss. Sejak saat itu, kehidupan sekolah Griss berubah. Cewek pemalu, tidak punya banyak teman, dan minderan itu tiba-tiba jadi incaran penggemar-penggemar...
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
130      107     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
God, why me?
213      173     5     
True Story
Andine seorang gadis polos yang selalu hidup dalam kerajaan kasih sayang yang berlimpah ruah. Sosoknya yang selalu penuh tawa ceria akan kebahagiaan adalah idaman banyak anak. Dimana semua andai akan mereka sematkan untuk diri mereka. Kebahagiaan yang tak bias semua anak miliki ada di andine. Sosoknya yang tak pernah kenal kesulitan dan penderitaan terlambat untuk menyadari badai itu datang. And...
Main Character
1399      851     0     
Romance
Mireya, siswi kelas 2 SMA yang dikenal sebagai ketua OSIS teladanramah, penurut, dan selalu mengutamakan orang lain. Di mata banyak orang, hidupnya tampak sempurna. Tapi di balik senyum tenangnya, ada luka yang tak terlihat. Tinggal bersama ibu tiri dan kakak tiri yang manis di luar tapi menekan di dalam, Mireya terbiasa disalahkan, diminta mengalah, dan menjalani hari-hari dengan suara hati y...
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
3035      1167     26     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
Can You Be My D?
93      86     1     
Fan Fiction
Dania mempunyai misi untuk menemukan pacar sebelum umur 25. Di tengah-tengah kefrustasiannya dengan orang-orang kantor yang toxic, Dania bertemu dengan Darel. Sejak saat itu, kehidupan Dania berubah. Apakah Darel adalah sosok idaman yang Dania cari selama ini? Ataukah Darel hanyalah pelajaran bagi Dania?
Ruang Suara
205      144     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Bisikan yang Hilang
70      63     2     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...
Langit Tak Selalu Biru
81      68     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...