Menjelang pukul 8 malam, Rafi berpamitan untuk pulang. Aku senang, karena jika dia pulang aku bisa makan, mandi, dan bermalas-malasan di kamar.
Setelah Rafi keluar dari halaman rumah, aku segera masuk dan melihat Papa sudah menungguku.
“Eh ada Papa, maaf ya Pa,” ucapku lalu duduk di saling Papa.
“Gak Papa sayang, ayo makan. Pasti kamu lapar kan?” tanya Papa yang aku angguki.
“Aku kira Papa sudah makan duluan,” ucapku begitu sampai di meja makan.
“Gak dong, Papa nungguin kamu. Kan Papa udah bilang mau banyakin waktu sama kamu,” ucap Papa yang aku angguki.
Kami makan dalam kehangatan, aku banyak bercerita kejadian-kejadian kecil di sekolah. Papa antusias mendengarkan ceritaku, Papa terlihat bahagia sekali.
Tidak dipungkiri, aku sangat bahagia karena kehadiran Papa. Aku ingin ini bertahan lama, aku tidak mau ada yang mengganggu kebahagiaanku.
Selesai makan, aku kembali ke depan. Mengobrol tipis bersama Papa, sambil Papa mengerjakan pekerjaannya dan aku belajar.
Aku banyak bertanya ke Papa tentang apapun, dan Papa menjawab semua pertanyaanku dengan sabar. Ini adalah momen yang membahagiakan sampai suatu kejadian membuatku kesal. Entah dari mana, tiba-tiba ada teman Papa yang datang.
Aku hanya diam menatap perempuan itu dari kejauhan, jika dilihat dari sikapnya terlihat palsu. Kenapa Papa bisa mengenal perempuan itu sih.
“Mas, aku udah samperin kamu ke rumah. Tapi kenapa sikapmu masih seperti ini padaku,” ucap perempuan itu yang Papa abaikan.
Papa tetap saja fokus dengan pekerjaannya.
Lalu perempuan itu menatap ke arahku dan tersenyum.
“Ini anak kamu ya, cantik banget. Nama kamu siapa, kenalin Tante Rachel. Calon Mama kamu,” ucap perempuan itu membuatku menaikkan alis.
Percaya diri sekali perempuan itu, padahal Papa tidak menunjukkan ketertarikan.
“Saya Alia Tante,” jawabku sambil menjabat perempuan itu, aku harus terlihat ramah dan sopan. Walaupun nanti pada akhirnya aku gak akan merestui mereka.
Sebenarnya aku malas meladeni perempuan itu, tapi kalau bukan aku siapa lagi? Papa jelas sibuk dengan pekerjaannya dan sudah ada ketidak tertarikan dengan perempuan ini. Tapi kenapa perempuan ini tetap mengejar Papa, apakah tidak ada laki-laki lain lagi.
Aku hampir bosan, Papa yang sadar dengan ekspresiku segera mengakhiri pekerjaannya.
“Biarkan Alia istirahat, dia sudah lelah kamu ajak ngobrol sedari tadi,” ucap Papa membuat perempuan itu menoleh.
“Baiklah, mas juga sudah selesai kan dengan pekerjaan yang membuat pusing itu. Aku sudah disini untuk menemani mu,” ucap perempuan itu lalu berpindah ke dekat Papa.
Melihat ada celah kosong aku segera membereskan buku-buku ini dan segera masuk ke kamar setelah sebelumnya berpamitan pada Papa.
Sesampainya di kamar, aku segera merebahkan tubuhku di ranjang. Aku lelah, aku ingin memejamkan mata namun otakku sangat berisik.
Akhirnya aku duduk di balkon, menyendiri. Karena percuma saja aku memejamkan mata jika otakku berisik.
Sebenarnya gak ada yang salah sama perempuan itu, tapi aku tidak bisa menerima ada perempuan lain di sekitar Papa selain aku. Aku memang tidak berharap Papa dan Mama kembali bersama cuman untuk menerima perempuan baru di hidup Papa aku belum bisa.
Aku tahu, pertemuan ku kembali dengan Papa baru sebentar. Jadi aku masih ingin perhatian Papa hanya untukku, aku tidak mau berbagi dengan siapa pun. Apa aku egois? Tapi Papa pernah bilang hanya berdua denganku bisa membuatnya bahagia.
Apa kabar Mama di sana ya, apa besok aku harus kesana untuk melihat Mama. Tapi bagaimana jika ada Kak Bela, apakah dia akan menyiksaku lagi. Setelah teringat Ham itu, aku mengurungkan niatku untuk kembali ke rumah itu.
Apa aku mengirimkan pesan pada Mama saja, tapi apa Mama masih peduli padaku. Aku tidak tahu apakah aku ini anak durhaka atau bukan, aku hanya ingin mementingkan perasaanku.
Karena haus, aku beranjak ke dapur. Aku lupa membawa minum tadi, jadi tidak ada salahnya jika aku mengambilnya. Sambil melihat situasi apakah di bawah masih ada perempuan itu, aku terlalu malas bertemu dengannya.
Sesampainya di dapur aku segera mengambil air, dan membuat coklat panas kesukaanku. Setelah selesai, aku segera membawanya ke kamar.
Namun, dari ruang tamu aku melihat Papa pergi bersama perempuan itu, mau kemana? Ini kan sudah malam.
Aku berniat mengikuti mereka, namun yang terjadi selanjutnya adalah Papa melihatku.
“Sayang, Papa mau pergi sebentar ya. Nanti malam Papa pulang, kamu istirahat dulu ya,” ucap Papa yang aku angguki.
Apa aku sedih, sedikit tapi apa aku egois jika aku melarang Papa pergi? Bisa jadi kan mereka ada urusan mendadak.
Aku melihat kepergian mereka dengan perasaan campur aduk, karenanya aku segera kembali ke kamar. Aku tidak ingin terlihat sedih di mata orang lain, aku kuat.
“Non gak papa?” tanya Pak Beno, sopir yang Papa tugaskan untuk mengantarkanku kemana-mana.
Bisa dibilang, Pak Beno supir pribadiku. Lebih tepatnya supir pribadi keluarga ini.
“Gak Papa Pak,” jawabku lalu melanjutkan jalanku ke kamar.
Sesampainya di kamar aku mengirimkan pesan pada Mama, aku rindu Mama.
Walaupun Mama suka seenaknya denganku, aku percaya jika Mama masih menyayangiku. Mama hanya bingung harus bersikap seperti apa disana, tidak mungkin Mama akan membenci Kak Bela. Karena suaminya pasti akan lebih membela anaknya, aku juga tidak mau kebahagiaan yang Mama dapatkan saat ini hancur begitu saja. Mama sangat mencintai Ayah, walaupun harus tahan dengan sikap Kak Bela yang selalu ingin menyiksaku.
Karena sudah larut, aku berniat menutup balkon dan kembali ke ranjang untuk beristirahat. Walaupun besok sekolah libur, tapi aku harus beristirahat bukan? Aku tidak mau sakit, aku ingin berbelanja besok.
Papa sudah memberikan black card nya padaku, jadi itu sudah jadi hakku. Walaupun memang aku harus bijak menggunakannya dan tidak boleh terlalu boros. Kasihan Papa jika uangnya aku habiskan begitu saja, walaupun memang Papa bekerja untukku.
Aku hampir memejamkan mata, namun pesan dari Papa membuatku tidak jadi tidur.
Aku membaca pesan itu dan tersenyum bahagia. Papa mengajakku liburan besok, jadi aku harus bangun pagi-pagi sekali.
Aku tersenyum, lalu mengambil koper dari lemariku. Aku ingin menyiapkan beberapa pakaian yang akan ku bawa besok, kapan lagi kan bisa liburan berdua dengan Papa.
Tapi, apakah yakin hanya liburan berdua? Lalu tante itu bagaimana, dia pergi bersama Papa jadi sudah pasti tante itu ikut kan? Aku berusaha menelan kekecewaanku, aku tidak boleh egois. Papa juga berhak bahagia kan, entah dengan siapapun itu.
Apa aku harus mencoba menerima semuanya, hanya sekedar dekat gak papa kan. Kalau untuk menikah aku belum akan merestuinya. Oke, aku harus belajar menerima. Bagaimanapun Papa sudah hidup sendiri selama ini, bisa jadi kan dia dekat dengan beberapa wanita dan sekarang harus mencari wanita yang mau menerimaku.
Apasih yang aku pikirin, Alia gak usah mikir terlalu jauh. Bawa santai aja, belum tentu apa yang kamu pikirkan benar. Jika aku bertanya ke Papa, Papa pasti akan menjawabnya. Jadi aku tidak perlu menyimpulkan sendiri apa yang aku lihat.
Setelah selesai dengan koperku, aku segera menyimpannya di samping meja. Lalu aku berniat tidur, karena besok adalah hari bahagiaku