Bel pulang sekolah berbunyi, membuatku segera memasukkan buku buku ke dalam tas. Aku ingin segera pulang, karena aku sudah lelah di sekolah.
Namun entah kenapa tiba-tiba ada sinyal yang membuatku harus segera ke taman belakang, tempat yang paling aku hindari sejak masuk ke sekolah ini.
Aku sedikit ragu, namun aku penasaran dengan sinyal yang ku dapatkan. Karenanya aku memberanikan diri ke taman belakang, walaupun terlihat sepi di sini.
Aku merasa takut saat berhadapan dengan pohon beringin tua yang ada di halaman belakang sekolah, ini adalah satu-satunya jalan ke taman belakang.
Setelah membuat perhitungan, aku segera lari ke taman belakang. Tidak berani melihat ke samping, tempat pohon beringin besar itu berdiri tegak.
Akhirnya sampai juga di taman belakang, namun tidak ada Rafi atau siapapun itu. Taman belakang kosong, sepi, sunyi membuatku semakin takut.
Saat aku berbalik, betapa terkejutnya aku saat bertabrakan dengan seseorang. Membuatku berteriak sekencang-kencangnya, namun mulutku ditutup oleh laki-laki itu.
Aku kaget, diam dan memperhatikan sekeliling. Setelahnya aku bernafas lega saat tau jika orang yang mengagetkan ku adalah Rafi.
“Lo takut?” tanya Rafi yang aku angguki.
Rafi hanya menghela napas, lalu mengajakku duduk di kursi taman tidak jauh dari pohon beringin besar itu.
Aku tidak bisa menolaknya, karena aku akan semakin terlihat kekanak-kanakan. Bagaimana bisa takut dengan pohon besar, bisa-bisa aku ditertawakan oleh Rafi.
“Lo gak nyaman?” tanya Rafi yang aku gelengi, aku tidak mungkin jujur.
“Rileks, nikmati angin yang berhembus di sini. Lo gak akan menemukannya dimanapun,” ucap Rafi membuatku segera mengikuti instruksinya.
Benar, ini memang terasa seperti di alam mimpi. Susah untuk mendeskripsikannya, intinya disini sumber ketenangan.
Saat aku sedang menikmati angin yang berhembus, ponselku berbunyi membuatku segera melihatnya.
Panggilan dari Papa apa mungkin supir yang Papa suruh sudah datang? Bagaimana ini, saat aku menatap Rafi untuk meminta jawaban. Anak itu hanya menganggukkan kepalanya, membuatku kesal.
“Halo Pa,” sapaku begitu panggilan diangkat.
“Sayang, kamu dimana? Kata Pak Beno kamu gak ada di sekolah, sudah pulang kah?” tanya Papa membuatku menggeleng.
“Aku belum pulang Pa, ini masih ada urusan di sekolah. Suruh nunggu bentar lagi mau gak Pa?” tanyaku yang diiyakan oleh Papa.
“Makasih ya Pa, nanti kalau udah selesai aku ke depan,” ucapku yang disetujui oleh Papa.
Setelah panggilan berakhir, aku memasukkan kembali ponselku ke dalam tas.
“Oh iya, apa yang mau lo omongin. Gue udah ditunggu nih,” ucapku membuat Rafi tertawa.
“Gue cuman mau lo nemenin gue disini,” uca Rafi membuatku kaget dan menatapnya tajam.
“Sorry, nanti gue anterin lo ke rumah. Suruh pulang aja utusan Papa lo, mungkin kita bakal lama di sini,” ucap Rafi membuatku mau tidak mau segera mengirimkan pesan pada Papa.
Sebenarnya aku juga suntuk di rumah sendirian, apalagi hanya dengan Mbok Lasmi. Aku senang di rumah jika ada Papa, jika tidak ada aku hanya dikamar saja menghabiskan waktu.
Jadi lebih baik menghabiskan waktu disini kan, bersama Rafi. Walaupun dia terlihat aneh, tapi setidaknya aku mempunyai teman.
Walaupun sejauh ini kami hanya saling diam, tapi otak kami sama-sama dipenuhi pikiran yang terlalu menumpuk. Disini tenang, tapi otak kami berisik.
“Kenapa waktu itu lo bisa nolongin gue pas kejebak di uks?” tanyaku penasaran.
“Kan gue udah bilang alasannya,” jawab Rafi dengan datar.
“Gue gak yakin,” jawabku membuat Rafi tertawa.
“Lo kenapa sih, aneh kah sama gue?” tanyaku yang di gelengi oleh Rafi.
“Lo tuh terlalu mikirin hal yang seharusnya gak perlu dipikirin, lagian kejadian itu udah lewat,” jawab Rafi membuatku diam.
Iya juga sih, tapi kan emang salah kalau penasaran? Susah banget jelasinnya, kayak nyembunyiin sesuatu. Atau memang sengaja? Tapi gak mungkin, aku aja baru pertama kali liat Rafi di sore itu.
“Raf, lo punya rahasia?” tanyaku membuat Rafi menggeleng.
“Ngapain main rahasia-rahasiaan, tanpa itu pun hidup gue udah rumit,” jawab Rafi membuatku mengiyakan ucapannya.
Gak ada yang salah memang, kalau ada yang mudah kenapa harus dibikin susah? Lagian hidup tanpa rahasia mudah bukan, gak perlu cemas ataupun was-was berlebihan.
Aku mulai resah, karena ini sudah hampir malam tapi Rafi masih memejamkan matanya. Aku ingin membangunkannya, tapi ragu.
“Rafi, ayo pulang. Udah malem ini,” ucapku sambil menepuk-nepuk badan Rafi.
“Ayo,” ucap Rafi lalu membuka matanya dan berdiri.
Aku kaget, secepat itu? Apa jangan-jangan dia gak tidur.
Takut Rafi berubah pikiran, aku segera berdiri dan berjalan duluan. Rafi di belakangku, kami sama-sama berjalan ke arah parkiran.
“Ini beneran kita lewat sini? Gak adakah jalan lain?” tanyaku membuat Rafi menaikkan alis.
“Ada, cuman akan semakin lama. Soalnya memutar,” jawab Rafi santai, lalu berjalan mendahuluiku. Karena takut, aku segera berlari mengejar Rafi.
“Tungguin,” ucapku membuat Rafi tertawa, sepertinya anak itu sedang menjahiliku.
“Lo sengaja ya,” ucapku begitu sampai di parkiran sekolah.
Rafi hanya tersenyum, lalu memberikan helm padaku.
“Emang lo udah punya sim, udah boleh bawa motor sendiri?” tanyaku yang di angguki oleh Rafi.
“Udah legal ya gue, lagian kalo cowo gak bawa motor susah, “ jawab Rafi membuatku sedikit setuju.
Sebenarnya aku juga ingin punya motor, bisa aja sih aku minta ke Papa. Tapi pasti gak diizinin bawa motor sendiri, jadi buat apa beli? Mungkin kalau udah lulus sekolah boleh.
Aku ragu-ragu naik ke motor Rafi, ini aneh. Dia kan orang asing, harusnya aku menjaga jarak kan.
“Lo kelamaan, jadi gue anterin gak?” tanya Rafi membuatku tersadar dari lamunanku dan segera naik ke motor.
“Jangan kenceng-kenceng,” ucapku saat Rafi mulai melajukan motornya.
Aku sudah resah, karena ini sudah malam dan kami belum juga sampai di rumah. Aku sedikit ke dalam dengan Rafi, karena dia sok tau jalan, membuat kami hampir tersesat.
”Lo sebenernya tau jalan ke rumah gue gak sih,” tanyaku mulai kesal.
“Tau, bentar lagi juga sampai. Liat tuh kedepan,” ucap Rafi membuatku mengikuti arahannya. Benar saja, kami sudah sampai di belokan terakhir untuk menuju rumahku.
“Akhirnya sampai juga, thanks ya,” ucapku seger aturan dari motor.
“Lo gak mau mampir dulu?” tanyaku berbasa-basi. Mana mungkin anak itu mau mampir, Sudah pasti harus segera pulang kan.
“Boleh, makasih tawarannya,” ucap Rafi lalu turun dari motornya. Aku kaget, kenapa dia harus mau sih.
“Yaudah, lo tunggu di sini. Biar Mbok Lasmi gue suruh buatin lo minum,” ucapku akhirnya pasrah, gak mungkin kan aku menyuruh dia pergi.
“Lo di sini aja, masa tamu sendirian. Tuan rumah nya gak ada, disangka maling gue,” ucap Rafi membuatku mengurungkan niatku untuk ke kamar.
“Oke, bentar gue juga haus. Mau ke dapur dulu,” ucapku yang di angguki oleh Rafi.
Aku segera ke dapur dan tidak ada siapapun di sana, akhirnya mau tidak mau aku yang membuatkan minum untuk Rafi.
Mungkin coklat panas pilihan yang baik, sama sedikit makanan ringan. Ini pertama kalinya aku menjamu tamu di rumah ini.
Setelah semuanya beres, aku berniat ke depan lagi namun Mbok Lasmi tiba-tiba muncul membuatku kaget.
“Maaf Non, tadi mbok abis belanja. Jadi gak tau kalau ada tamu,” ucap Mbok Lasmi yang aku angguki.
Aku tidak marah, aku hanya kesal. Tapi aku diam saja, terlalu malas melampiaskan emosiku. Aku segera berjalan ke depan, ke tempat dimana Rafi berada.
“Kok lo sendiri yang buat?” tanya Rafi begitu aku menampakkan diri.
“Iyalah, gue serba bisa,” jawabku membuat Rafi tertawa.
“Lagian lo kenapa sih gak langsung pulang aja, gak dicariin orang tua lo?” tanyaku membuat Rafi menggeleng.
“Gue lagi gak pengen dirumah, jadi mumpung lo nawarin gue iya in aja,” jawab Rafi membuatku menaikkan alis.
“Papa gue bentar lagi pulang, lo buruan pulang sana. Males gue ditanya-tanya,” ucapku membuat Rafi tertawa.
“Telat, tuh Papa lo udah sampe,” ucap Rafi sambil menunjuk mobil yang memasuki halaman.
Aduh, aku harus jawab apa coba. Masa baru beberapa hari tinggal di sini udah bawa temen ke rumah, mana cowo. Jangan sampai Papa berpikir macam-macam tentangku.
“Siapa?” tanya Papa begitu sampai di depan kami berdua.
Saat aku mau memberikan alasana, tiba-tiba Rafi berdiri dan menyalimi Papa.
“Saya Rafi Om, temennya Alia. Saya cuman mampir bentar,” uca Rafi membuatku menghela napas lega. Setidaknya anak itu tau diri dan tidak membuatku kesusahan.
Papa hanya mengangguk, lalu beralih ke arahku.
“Kenapa gak di ajak masuk tamu nya sayang,” ucap Papa membuatku kaget kenapa respon Papa seperti ini.
“Itu, kan dia udah bilang Pa cuman sebentar,” jawabku membuat Papa tersenyum lalu mengacak rambutku.
“Yaudah Papa ke dalam dulu ya,” ucap Papa yang aku angguki.
Setelah Papa tidak terlihat aku menoleh ke arah Rafi dan sialnya Rafi sedang menertawaiku.