Pagi ini adalah pagi yang menyenangkan, dimana Papa benar-benar mengantarkanku ke sekolah. Selama perjalanan aku tersenyum senang, aku tidak sabar dengan reaksi mereka.
Kali ini aku memakai seragam baru, serta sepatu dan tas yang Papa siapkan untukku. Aku ingin menunjukkan bahwa aku bukanlah Alia yang dulu, sekarang semua sudah berubah dan akan semakin mudah untukku.
“Kamu kelihatannya seneng banget ya,” ucap Papa membuatku mengangguk.
“Ini pertama kalinya aku di antar ke sekolah sama Papa, bagaimana aku tidak senang?” jawabku membuat Papa tersenyum.
Nanti pulangnya Papa gak bisa jemput, tapi nanti ada supir yang Papa suruh ke sekolah,” ucap Papa yang aku angguki.
“Makasih Pa, aku masih gak nyangka. Ini kayak mimpi,” ucapku masih dengan tersenyum.
“Kamu berhak mendapatkannya sayang, maaf ya kalau memerlukan waktu yang lama,” ucap Papa lagi yang aku angguki.
Sesampainya di sekolah, Papa ikut turun dan mengantarkanku ke dalam. Membuat seisi sekolah memperhatikan kami, aku tidak sabar melihat reaksi orang-orang yang sebelumnya selalu menjahiliku.
Saat aku ingin ke kelas, Papa mengajakku ke kantor. Entah apa yang akan Papa lakukan, namun aku menyukai situasi saat ini.
Ternyata Papa mengenalkanku pada semua guru, jadi mulai detik ini gak akan ada yang berani mencurangiku. Termasuk salah satu guru yang terlihat panik, aku ingin melihat apa yang bisa guru itu lakukan.
Dulu, guru itu selalu saja memarahiku dan memanipulasi nilaiku. Awalnya aku tidak percaya, karena aku merasa tidak pernah berbuat salah padanya. Namun akhirnya aku tahu jika guru itu disuap oleh anak pembantu untuk menyingkirkanku.
Sekarang, anak pembantu itu gak akan bisa berkutik karena kartunya ada di aku. Sekali dia bertindak, aku akan menghancurkan reputasinya di sekolah ini.
Sedikit aku ceritakan tentang anak pembantu itu, namanya Laras. Selalu ingin terlihat paling baik di sekolah ini, aku akui nilainya memang bagus. Namun yang aku tidak suka adalah sikapnya yang terlalu sombong dan selalu ingin berkuasa di manapun tempatnya.
Bahkan di depan teman-teman semua, dia mengaku orang kaya. Namun akhirnya aku tahu, rumah yang dia bangga-banggakan adalah rumah Papa. Karenanya, aku mengusir perempuan itu dari rumah Papa.
Hahaha, apalagi yang bisa dia lakukan. Membullyku lagi? Tentu saja dia tidak berani atau aku akan mengungkapkan identitasnya.
“Kenapa sayang?” tanya Papa membuatku tersenyum.
“Gak Pa, aku seneng aja ada Papa disini,” jawabku membuat Papa mengelus kepalaku.
“Tentu Papa ada di sini sayang, Papa gak akan membiarkan kamu kesusahan lagi,” ucap Papa yang aku angguki.
Akhirnya, percakapan di kantor bersama para guru telah selesai. Sebenarnya aku tidak suka karena tatapan guru-guru itu seperti penasaran denganku, padahal sebelumnya mereka acuh padaku. Bahkan gak menganggap kehadiranku di sekolah ini.
Aku muak di sekolah ini, tapi bagaimanapun aku harus menyelesaikannya. Aku sudah kelas 12, tidak mungkin semudah itu berpindah sekolah.
Aku dan Papa berjalan berdampingan, kami berpisah di lapangan karena aku harus ke kelas dan Papa ke kantornya.
“Pa, kapan-kapan ajak aku ke kantor Papa ya. Boleh kan?” tanyaku yang di angguki oleh Papa.
“Yey, makasih Papaku sayang,” ucapku membuat Papa tertawa.
Setelahnya, Papa berpamitan padaku. Setelah Papa masuk ke dalam mobil, aku segera melanjutkan jalanku ke kelas.
Aku tidak nyaman karena tatapan anak-anak disini tidak ramah, apa aku melakukan kesalahan? Tapi apa salahku, aku baru sampai di sekolah dan Papa langsung mengajakku ke kantor.
Tapi aku tidak peduli, untuk apa mengurusi mereka. Yang terpenting sekarang aku harus memperbaiki nama baik ku di sekolah ini, karena semua hal harus berpihak padaku sekarang.
Aku ingin menjadi yang terbaik di sekolah, aku akan bersaing dengan anak pembantu itu. Jika dia bisa harusnya aku juga bisa kan? Apalagi Papa akan memfasilitasi ku dengan guru les terbaik, sudah pasti hasilnya baik juga asalkan aku sungguh-sungguh.
Saat masuk ke kelas, semua anak terlihat ramah padaku. Bahkan menyapaku dengan senyuman, padahal aku tau jika itu senyuman palsu.
Aku tidak mau terlihat sombong, jadi sebisa mungkin aku membalas senyuman mereka.
Banyak yang menawarkanku untuk duduk di depan, tapi aku menolaknya. Aku sudah nyaman di belakang, untuk apa lagi aku berpindah?
Lagi-lagi mereka masih berusaha mendekatiku, bahkan bangku di sebelahku tiba-tiba terisi padahal sebelumnya tidak ada yang mau duduk di sampingku.
Hahah, drama macam apa ini. Apa aku harus mengikuti permainan mereka? Baiklah itu bukan hal buruk. Lagi pula jika aku tidak seperti itu gak akan seru di sekolah ini, benar begitu kan? Aku harus bisa memainkan peran paling baik di sini.
Namun setelahnya guru datang, dan keadaan kelas mulai kembali ke setelan awal. Aku fokus mendengarkan kali ini, aku harus berubah untuk masa depanku.
Akhirnya waktu istirahat tiba, aku sudah muak di kelas ini. Intinya sekarang, aku ingin segera ke kantin untuk menjernihkan pikiranku.
Bukannya aku sombong, aku hanya gerah dengan tingkah mereka. Sebenarnya gak ada yang salah, cuman aku yang belum terbiasa. Sebelumnya kan mereka selalu mengucilkan ku di kelas ini, jadi bagaimana caranya aku bisa menerima mereka.
Hal yang paling membuatmu kesal adalah bertemu ketiga pembully yang diketuai oleh Laras, si anak pembantu. Aku sudah menyiapkan beberapa hal licik di otakku, namun yang terjadi selanjutnya adalah mereka menghindariku.
Lebih tepatnya Laras membuang muka dan menjauhiku, bahkan kedua pengikutnya heran dan mau tidak mau mereka mengikuti ketuanya.
Ini sangat seru, bahkan seisi kantin memperhatikannya. Sebelumnya, aku selalu jadi tontonan saat geng itu membully ku, namun kali ini semua hanya diam seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Ternyata apa yang Papa miliki bisa membuatku senyaman ini, kenapa gak dari dulu aja ya. Mungkin ceritanya bakal berbeda, aku akan memiliki teman di sekolah ini. Tidak seperti sekarang, mereka yang mau berteman denganku hanya ingin memanfaatkanku.
Aku menikmati makan siangku di kantin, tidak ada yang menggangguku karena mereka sudah fokus ke kegiatan masing-masing. Aku lebih nyaman seperti ini, tidak ada yang mendekatiku. Karena mereka semua menyerap energi ku, dan aku akan semakin tidak bertenaga jika terlalu lama berada di kerumunan.
Namun yang terjadi selanjutnya di luar prediksiku, laki-laki yang waktu itu menolongku tiba-tiba duduk di sampingku.
Aku menoleh, namun laki-laki itu masih fokus pada makananya dan tidak memperdulikanku. Jadi maksudnya apa? Kenapa harus tiba-tiba, di tempat umum lagi.
Aku tidak mau memikirkan apapun, akhirnya aku kembali menikmati makananku. Namun sepersekian detik kemudian, laki-laki itu membisikkan sesuatu di telingaku.
Membuatku bergidik ngeri, lalu menoleh ke arahnya. Dengan wajah tidak berdosanya itu, laki-laki itu malah mengeluarkan senyum manisnya.
Sepertinya tidak ada yang wajar di sekitarku, bahkan kedatangan laki-laki itu adalah jawabannya.
“Ayolah tolongin gue, janji gue gak akan ngerusuh lagi,” ucap laki-laki itu menaik turunkan alisnya.
Tunggu, sejak kapan laki-laki itu jadi seperti ini. Bukannya dulu, saat pertama dan kedua kali bertemu laki-laki itu sok cool dan misterius? Apakah kepalanya habis terbentur, atau apa.
“Oke, gue bantu. Tapi lo harus bantu gue lagi suatu saat nanti,” ucapku yang langsung di angguki oleh laki-laki itu.
Aneh, kenapa langsung setuju. Gak ada gitu tawar menawar, atau apapun itu yang biasanya dilakukan orang-orang.
Aku menghela napas, apapun itu semoga semuanya akan baik-baik saja. Aku tidak mau membuat keadaan yang udah nyaman ini berantakan.
“Gue Rafi, lo bisa nemuin gue di taman belakang sekolah kalau ada apa-apa,” ucap laki-laki itu lalu pergi meninggalkanku.
Aku menatap kepergian laki-laki itu dengan heran, kenapa dia tidak menyebutkan saja kelasnya ada dimana. Bukankah itu lebih mudah, tapi kenapa harus taman belakang sekolah yang aku hindari? Memang aneh jalan pikirannya.