Loading...
Logo TinLit
Read Story - Liontin Semanggi
MENU
About Us  

Kata Oma dan Opa dulu ... D dan W itu inisial nama kedua orang tuanya. Damara dan Wina.

Lantas ... kenapa milik Binar juga sama?

Bentuk dan ukuran liontinnya pun sama persis.

Pijar ... sepertinya Ersa harus cari tahu dari Pijar. Apakah Pijar punya kalung yang sama atau tidak?

Ersa buru-buru pergi. Ia berusaha mengatur napas, sedikit menenangkan detak jantungnya yang masih tak keruan.

Selama ini benda itu tergolong keramat bagi Ersa, saking berharganya. Ersa sampai tidak berani pakai. Ia simpan kalung itu dalam kamar.

Ersa menunggu datangnya bus dengan gusar. Ersa kesal bus lama sekali datangnya. Baru menyadari ini adalah risiko naik kendaraan umum ... yang menguras kesabaran.

Ketika bus datang, ia cepat-cepat naik. Butuh sekitar 15 menit, hingga Ersa akhirnya sampai di halte tujuan.

Senja sudah hampir usai. Langit tak lagi didominasi warna oranye, mulai timbul semburat keunguan.

Situasi mulai gelap. Ersa berlari dari halte sampai rumah Pijat. Pintu depan tertutup. Ersa mengetuk perlahan. Berusaha tidak mengabaikan kondisi Pijar.

"Jar ... buka pintunya! Ini aku!"

Supaya Pijar sedikit lebih cepat membuka pintu. Bukan mengira dirinya adalah hantu, sebab datang bertamu saat surup.

"Masuk, Mas," ucap Pijar sesaat setelah membuka pintu.

Ersa hanya langsung masuk. Pijar sudah siap sholat Maghrib, memakai sarung dan peci. Ersa sedang memikirkan bagaimana caranya mengorek informasi soal liontin Binar?

Ersa sudah memikirkan hal ini sejak menunggu datangnya bus tadi. Tapi sampai sekarang masih bingung bagaimana harus memulai.

"Mas Ersa kenapa?" tanya Pijar. Tentu saja karena Ersa hanya diam sejak tadi.

Mana tampang Ersa kelihatan sedang kebingungan. "Ng-nggak. Pinjem kamar mandi. Mau bersih-bersih dulu."

"Oh, iya." Pijar sebenarnya bingung, kalau tujuan Eraa memang sekadar untuk membersihkan diri, lantas kenapa tidak pulang saja ke rumahnya? Kenapa malah ke sini?

Tapi Pijar tidak mempermasalahkan hal itu. Lagi-lagi Pijar bersyukur karena kedatangan Ersa ... ia jadi tak sendiri.

"Bentar aku ambilin baju ganti." Pijar masuk kamar, mengambil satu stel celana pendek dan kaos. "Nih, nanti koko sama sarungnya setelah mandi aja. Kita sekalian jamaah setelah adzan."

Ersa mengangguk setuju. Berharap setelah melakukan sholat, ia bisa menemukan cara untuk membuka obrolan perihal liontin Semanggi.

***

"Mas Ersa kenapa?" Pijar akhirnya bertanya. Mumpung mereka sedang makan, siapa tahu dapat jawaban.

"Nggak apa-apa. Lagi cape."

"Ya udah, habis ini istirahat. Aku mau nulis."

"Hm ...." Ersa buru-buru menghabiskan isi piringnya. Hari ini menu yang dimasak Pijar adalah sayur sop, lauk tahu kukus yang dibumbui.

Ersa harus banyak-banyak bersyukur. Selama ini ia bisa makan tahu goreng yang gurih sampai puas. Sementara Pijar harus banyak membatasi asupan gorengan. Sehingga tahu pun harus dikukus begini. Meskipun sudah dibumbui, tetap saja rasanya aneh.

"Habis ini ikut yuk," ajak Ersa.

"Ikut ke mana? Katanya cape?" Pijar makin bingung.

"Udah, ikut aja. Bukan cape badan. Tapi cape pikiran. Obatnya jalan-jalan."

Pijar terkekeh. "Oh, kalau diajak jalan-jalan aku mau. Ayo!" Pijar langsung semangat 45.

"Aku pakai baju mana, ya?" Pijar bingung memilih baju di lemari. Tidak banyak pilihan di sana. Mana semua hampir sama juga. Kaos-kaos polos dan celana warna netral.

"Masa ke mall pakai baju koko?" Pijar masih galau.

"Jar, kita cuma mau belanja. Bukan mau pengajian, apalagi fashion show! Ngapain bingung? Udah, buruan kaosan sama pakai celana!"

"Kaosan sama celanaan doang? Nanti bikin malu!"

"Nggak, lah! Malah norak kalau ke mall dandan heboh! Orang gue juga cuma gini."

Pijar menatap Ersa yang memang santai sekali mengenakan kaos dan celana pendek yang ia pinjamkan.

"Yang penting bawa duit yang banyak, Jar! Percuma dandan heboh kalau nggak bawa duit!" lanjut Ersa.

Membuat Pijar tertawa. "Iya juga, ya." Pijar menutup pintu lemari kembali.

Ia tetap mengenakan kaos dan celana yang sudah ia pakai. Hanya ditimpa dengan jaket. Mengingat udara malam adalah salah satu musuh baginya.

***

Sesampai di bangunan tinggi besar nan megah itu, Pijar banyak teringat dengan masa lalu. Ia senang karena akhirnya bisa menginjakkan kaki di sini lagi.

"Udah lama banget nggak ke sini. Terakhir waktu masih ada Bapak Ibu."

"Berapa tahun yang lalu?" Ersa menanggapi dengan antisipasi. Bersiap mencari celah mengorek informasi, mumpung kesempatan datang.

"Bapak sama Ibu meninggal 2 tahun yang lalu. Bangunan di sini sudah banyak berubah. Tapi ada sudut-sudut yang masih sama."

"Kalian kayaknya keluarga cemara banget. Saling sayang ... hangat ... dekat!"

"Alhamdulillah, kami memang dekat dan saling menjaga. Nggak ada alasan buat nggak dekat. Aku bersyukur karena kami sempat mengukir banyak kenangan indah sebelum Bapak Ibu pergi untuk selamanya."

"Kalian cukup beruntung jika dibandingkan aku. Aku punya orang tua. Tapi macam nggak punya. Orang tuaku nggak harmonis. Mereka bahkan tinggal terpisah. Dulu aku pikir Mama jarang pulang karena sibuk kerja. Tapi beberapa hari ini aku tahu, Mama jarang pulang karena memang nggak cocok sama Papa. Mama punya apartemen sendiri."

Ersa bicara begitu saja. Baru sadar beberapa saat kemudian, bahwa ia baru saja mengatakan terlalu banyak informasi.

Pijar tersenyum padanya. "Aku senang Mas Ersa bisa terbuka. Kalau mau cerita, cerita aja, Mas! Semua manusia punya masalahnya sendiri. Punya sisi gelap dan terangnya sendiri."

"Hm .... Kalau boleh tahu ... nama orang tua kalian siapa?" Ersa memberanikan diri bertanya.

"Kenapa tiba-tiba tanya nama orang tua kami?"

"Nggak apa-apa. Cuma mau tahu. Biar bisa kirim doa." Ersa tidak bohong. Mulai sekarang ia akan selalu menyempatkan diri mendoakan orang tua Pijar dan Binar.

"Makasih sebelumnya. Bapak kami namanya Dimar. Ibu kami namanya Wanda."

Ersa mengangguk mengerti. Ada sedikit siratan lega dalam hati Ersa.

Dimar dan Wanda. D dan K inisialnya. Sama seperti kedua orang tuanya. Damara dan Wina.

Ersa sampai galau, dipikirnya ia dan Bintang adalah ....

Duh, Ersa sampai tidak berani memikirkannya secara gamblang.

Ersa mengajak Pijar membeli banyak kebutuhan pokok. Termasuk banyak lauk bergizi.

Terakhir Ersa mengajak bocah itu main ke game zone. Ersa banyak senyum melihat Pijar bahagia. Ersa tidak pernah tahu, membuat orang lain bahagia ... ternyata juga membuat hatinya sendiri bahagia.

***

Pagi-pagi sekali, Ersa sudah pamit pada Pijar.

"Nggak sarapan dulu, Mas Ersa?"

"Nggak, deh. Gue harus pulang soalnya. Hari ini seragamnya beda. Gue nggak bawa buku jadwal hari ini." Ersa menggunakan itu sebagai alasan. Padahal kemarin ia juga tidak bawa buku sesuai jadwal.

"Ya udah kalau gitu. Hati-hati di jalan, Mas Ersa. Sering-sering main ke sini nggak apa-apa, lho. Makasih semalam udah dibeliin banyak bahan makanan bergizi."

"Hm ...." Ersa hanya menjawab dengan gumam samar, sebelum buru-buru lari secepat mungkin menuju halte.

***

"Eh, anak Mama udah balik. Seneng nginep di rumah temannya, Nak?" Wina menyambut putra semata wayangnya.

"Nggak seneng sih sebenarnya. Malah ikut susah, soalnya temenku miskin. Tapi aku besok mau nginep di sana lagi."

"Ini konsepnya gimana sebenarnya? Jangan gitu, ah. Kalau kamu ketagihan nginap di rumahnya, itu tandanya kamu senang di sana."

"Masa?" Ersa sendiri bingung dengan perasaannya.

"Kalau kamu mau sering nginep di sana, jangan sampai merepotkan. Apa lagi bikin teman kamu tambah susah. Kalau perlu kamu bayar. Macam staycation."

"Aku bayarnya pakai ikan gurame dan temen-temennya, Ma. Sama beras juga. Nggak nyangka beras ternyata mahal."

"Wah, pinter anak Mama. Nah gitu, dong. Masa beras mahal? Mama malah nggak tahu. Mama nggak pernah belanja." Wina terkikik sendiri. "Satu pesan Mama, walau pun teman kamu berasal dari golongan kurang mampu, kamu nggak boleh menyakiti hatinya. Sesama manusia kita harus saling menghargai."

Sepertinya Wina terlambat memberi nasihat. Karena Ersa telanjur sering menghina mereka. Eh, sebenarnya hanya Binar. Mana berani ia menghina Pijar.

"Sarapan dulu, Sayang. Sarapannya udah siap."

"Mama yang masak?"

"Boro-boro, Sayang. Mama aja bangun kesiangan. Gopud lah." Wina cengengesan.

Ersa ikut terkekeh. "Ya udah aku mandi dulu. Nanti nyusul sarapan sama Mama."

"Oke, Mama tungguin."

Sesampai di kamar, Ersa terlebih dahulu memeriksa liontinnya. 

Kalungnya berkilau indah. Terbuat dari emas 24 karat. Dengan liontin berbentuk semanggi. Benar-benar sama persis dengan milik Binar.

"Tapi kok bisa sama persis, ya? Gue udah tahu inisial nama orang tua Binar. Udah sempat tenang. Tapi sekarang kok galau lagi. Kayak ada sesuatu yang bikin ganjel di hati."

***

Ersa ke rumah sakit dulu sebelum menuju sekolah. Karena ia baru saja dapat telepon dari pihak rumah sakit. Soal kondisi Binar.

Mau tak mau Ersa harus datang. Ia telanjur tanda tangan kontrak sebagai penanggung jawabnya.

Ersa menuju ke ruangan dokter Rayn dulu. "Semalam dia kesakitan lagi. Dua hari di sini, saya banyak memperhatikan dia. Dia bukan tipe orang yang mudah mengeluhkan apa yang dia rasakan. Bahkan sesakit apa pun dia telan sendiri. Baru kalau sudah tidak sanggup, dia panggil bantuan."

"Apa nggak bisa dibius aja, terus langsung dilakukan pemeriksaan?"

"Ya nggak bisa. Kan ada prosedurnya."

"Duh gimana, ya? Saya juga jadi bingung. Saya bukan temen akrabnya."

"Gitu juga nggak apa-apa. Pokoknya lebih cepat periksa lebih baik."

"Duh, itu bocah kenapa sih sebenarnya. Bikin repot aja!" Ersa menggerutu sendiri.

Ia berjalan di lorong sambil masih memikirkan banyak kemungkinan.

Binar kelihatan sama sekali belum membaik. Ia masih pucat. Kembali lemas seperti hari pertama dibawa ke sini.

Segala dipasang selang oksigen pula. Binar jadi makin kelihatan kasihan.

"Sa, gue minta tolong titip Pijar dulu. Pokoknya bilang kalo gue masih lembur. Jangan sampai Pijar tahu gue dirawat."

"Nggak usah lo bilang gue udah jagain Pijar. Masalahnya itu di elo. Mau sampai kapan gini terus? Sebenarnya apa alasan lo nggak mau diperiksa? Kalau lo gini terus, lama-lama Pijar curiga juga. Masa setiap hari dikasih tahu lo lembur? Ada alasan lain yang lebih kreatif?"

Ersa mengomel panjang kali lebar. Saking sudah gedegnya dengan Binar.

"Gue cuma takut, Sa. Gimana kalau gue ternyata sakit parah?"

"Heh, gitu doang bingung lo. Kalau lo sakit, ya tinggal diobatin! Sesimpel itu!"

Memang sesederhana itu di pikiran Ersa. Tapi tidak bagi Binar. Jika ia benar-benar sakit parah ... lalu bagaimana dengan Pijar?

Belum lagi ... bagaimana jika ternyata hidup Binar tidak lama lagi? Bagaimana kalau ia ternyata harus meninggalkan Pijar sendirian?

Semua ketakutan itu benar-benar menghantui hati dan pikiran Binar.

"Heh, Binar. Dari pada mikir kejauhan, mending hadapi aja yang terjadi. Dari pada menduga-duga, mending dicari kepastiannya. Buruan lo lengkap! Makin cepat ditangani, makin besar kesempatan sembuh! Itu pun kalau lo sakit parah beneran. Gimana kalau ternyata cuma sakit akibat stress, akibat overthinking. Malu sendiri lo nanti!"

"Gue pikirin dulu, Sa. Gue beneran berterima kasih sama lo. Maaf gue banyak repotin."

"Udah telat gue. Lo mikirnya jangan lama-lama! Keburu habis kesabaran gue!" Ersa melenggang pergi setelah mengancam Binar.

"Tunggu, Sa!"

"Apa lagi?"

"Gue mau minta tolong satu lagi."

"Minta tolong apaan?"

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • muymuy

    Gak di next kak?

    Comment on chapter Hari Pembagian Rapor
Similar Tags
Loveless
5847      2994     604     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
PALETTE
529      289     3     
Fantasy
Sinting, gila, gesrek adalah definisi yang tepat untuk kelas 11 IPA A. Rasa-rasanya mereka emang cuma punya satu brain-cell yang dipake bareng-bareng. Gak masalah, toh Moana juga cuek dan ga pedulian orangnya. Lantas bagaimana kalau sebenarnya mereka adalah sekumpulan penyihir yang hobinya ikutan misi bunuh diri? Gak masalah, toh Moana ga akan terlibat dalam setiap misi bodoh itu. Iya...
My Noona
6025      1471     2     
Romance
Ini bukan cinta segitiga atau bahkan segi empat. Ini adalah garis linear. Kina memendam perasaan pada Gio, sahabat masa kecilnya. Sayangnya, Gio tergila-gila pada Freya, tetangga apartemennya yang 5 tahun lebih tua. Freya sendiri tak bisa melepaskan dirinya dari Brandon, pengacara mapan yang sudah 7 tahun dia pacariwalaupun Brandon sebenarnya tidak pernah menganggap Freya lebih dari kucing peliha...
Behind The Spotlight
3257      1595     621     
Inspirational
Meskipun memiliki suara indah warisan dari almarhum sang ayah, Alan tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang penyanyi, apalagi center dalam sebuah pertunjukan. Drum adalah dunianya karena sejak kecil Alan dan drum tak terpisahkan. Dalam setiap hentak pun dentumannya, dia menumpahkan semua perasaan yang tak dapat disuarakan. Dilibatkan dalam sebuah penciptaan mahakarya tanpa terlihat jelas pun ...
TENTANG WAKTU
2082      886     6     
Romance
Elrama adalah bintang paling terang di jagat raya, yang selalu memancarkan sinarnya yang gemilang tanpa perlu susah payah berusaha. Elrama tidak pernah tahu betapa sulitnya bagi Rima untuk mengeluarkan cahayanya sendiri, untuk menjadi bintang yang sepadan dengan Elrama hingga bisa berpendar bersama-sama.
Suara yang Tak Pernah Didengar
331      203     9     
Inspirational
Semua berawal dari satu malam yang sunyi—sampai jeritan itu memecahnya. Aku berlari turun, dan menemukan hidupku tak akan pernah sama lagi. Ibu tergeletak bersimbah darah. Ayah mematung, menggenggam palu. Orang-orang menyebutnya tragedi. Tapi bagiku, itu hanya puncak dari luka-luka yang tak pernah kami bicarakan. Tentang kehilangan yang perlahan membunuh jiwa. Tentang rumah yang semakin sunyi. ...
FaraDigma
841      485     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
Help Me Help You
1700      1003     56     
Inspirational
Dua rival akademik di sebuah sekolah menengah atas bergengsi, Aditya dan Vania, berebut beasiswa kampus ternama yang sama. Pasalnya, sekolah hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada satu siswa unggul saja. Kepala Sekolah pun memberikan proyek mustahil bagi Aditya dan Vania: barangsiapa dapat memastikan Bari lulus ujian nasional, dialah yang akan direkomendasikan. Siapa sangka proyek mus...
Back To Mantan
598      396     0     
Romance
"kenapa lagi.."tanya seorang wanita berambut pendek ikal yang dari tadi sedang sibuk dengan gadgetnya. "kasih saran.."ujar wanita disebelahnya lalu kemudian duduk disamping wanita tadi. lalu wanita sebelahnya mengoleh kesebelah wanita yang duduk tadi dan mematikan gadgetnya. "mantan loe itu hanya masa lalu loe. jangan diingat ingat lagi.loe harus lupain. ngerti?&...
SI IKAN PAUS YANG MENYIMPAN SAMPAH DALAM PERUTNYA (Sudah Terbit / Open PO)
5551      1882     8     
Inspirational
(Keluarga/romansa) Ibuk menyuruhku selalu mengalah demi si Bungsu, menentang usaha makananku, sampai memaksaku melepas kisah percintaan pertamaku demi Kak Mala. Lama-lama, aku menjelma menjadi ikan paus yang meraup semua sampah uneg-uneg tanpa bisa aku keluarkan dengan bebas. Aku khawatir, semua sampah itu bakal meledak, bak perut ikan paus mati yang pecah di tengah laut. Apa aku ma...