Ersa senang menghabiskan waktu bersama dengan Wina. Ia tinggal di apartemen ibunya, yang berlokasi dekat dengan tempat syuting. Sudah hari ketiga Ersa di sini.
Wina pulang syuting lebih awal. "Mama bawain bebek goreng, Sayang. Mau, kan?"
"Mau lah, Ma. Kebetulan aku lagi laper."
"Sini, malam bareng!"
"Oke, Ma!"
Wina menuju dapur mengambil piring. Wanita itu tak menyuruh Ersa macam-macam, ia langsung memberi contoh seperti ini. Ternyata itu cukup manjur untuk sedikit mengubah sikap putra satu-satunya. Tanpa diminta, Ersa turut pergi ke dapur untuk membantu ibunya.
Sebenarnya kedekatannya dengan Binar dan Pijar akhir-akhir ini, juga berpengaruh dalam perubahan sikap Ersa.
"Makasih udah dibantu ya, Sayang." Penghargaan dalam hal kecil seperti ini, juga memacu Ersa untuk mau berubah jadi lebih baik.
Ersa hanya mengangguk, lanjut membawa piring itu ke meja makan.
Sepasang ibu dan anak itu mulai makan dengan lahap. Sambil sesekali ngobrol. Mereka bisa melakukan apa pun dengan bebas, tanpa harus sedikit-sedikit diomeli oleh Damara.
"Sayang ... Mama boleh tanya-tanya sedikit?" Wina coba sedikit memberi pancingan.
Sejak Ersa datang, sebenarnya Wina belum banyak bertanya. Yang ia tahu, putranya datang dalam kondisi tertekan dan stres. Jika dalam kondisi itu Wina memaksa Ersa untuk bercerita ... justru akan semakin memperburuk kondisi Ersa.
Makanya ia biarkan Ersa melakukan apa pun yang ia suka. Baru bertanya saat sekiranya putranya itu sudah merasa lebih baik.
Yang jelas Wina ingat betul tentang pesan Ersa sejak awal datang. Untuk tidak memberi tahu Damara soal keberadaannya di sini. Wina menyimpulkan, sumber masalah Ersa adalah Damara.
Damara menghubunginya berkali-kali, bertanya apakah Ersa bersamanya? Biasanya mana pernah Damara menghubunginya.
"Mama tanya aja. Maaf aku malah diem selama di sini. Harusnya aku cerita sendiri tanpa Mama harus bertanya." Ersa memang sudah siap untuk membahas hal ini.
"Sebenarnya ada apa, Sayang? Bukan Mama nggak senang Ersa di sini. Justru sebaliknya, Mama seneng banget bisa berlama-lama sama Ersa. Mama hanya ingin tahu, Elang lagi ada masalah? Siapa tahu Mama bisa bantu."
Jujur Ersa juga bahagia ada di sini. Ia mendapatkan banyak kehangatan ibunya. Dan itu membuat Ersa lekas sembuh dari segala perkara yang mengganggunya akhir-akhir ini.
Ersa menceritakan kelakuan Damara semuanya. "Biasanya aku nggak selemah itu, Ma. Aku biasanya berani lawan. Tapi kemarin rasanya beda. Karena melibatkan orang lain. Temenku nggak tahu apa-apa ikut terseret. Dia diancam dipecat dari kerjaannya. Aku harap itu nggak bener. Lagian Papa kenapa, sih? Masalah gitu aja kok segitunya. Aku juga kaget, tahu jika selama ini Papa juga memata-matai Binar. Binar memang saingan terberat aku di sekolah. Tapi kan nggak perlu sejauh itu tindakannya!"
Wina menarik napas dalam. Ia tidak mengalami secara langsung, tapi turut merasa sesak dengan cerita itu.
"Maafin Mama karena nggak ada sama kamu, saat kamu mengalami hal sulit ya, Sayang." Wina tampak menyesal.
"Nggak apa-apa, Ma. Aku sebenarnya kurang lebih tahu, hubungan Mama dan Papa sudah nggak harmonis. Aku nggak bisa nyalahin Mama yang sampai punya apartemen sendiri. Lagian siapa yang betah tinggal sama Papa? Kayaknya nggak ada. Ma ... mulai sekarang aku tinggal di sini boleh?"
Permintaan itu meluncur begitu saja dari bibir Ersa. Sorot mata memohon itu ... mana bisa Wina tolak.
"Tentu boleh, Sayang. Mama seneng banget. Kita buka lembaran baru bersama. Tapi ... Ersa tentu nggak bisa mengurung diri terus. Kehidupan harus tetap berjalan, kan? Ersa juga harus lanjut sekolah."
Ersa tersenyum tipis. Kemudian mengangguk samar. "Aku juga mau lanjut sekolah, Ma. Besok aku balik ke sana, agak siang biar nggak ketemu Papa, ambil seragam dan buku-buku. Nanti kalau Papa nyariin aku ke sekolah, ada banyak guru yang bisa aku mintai tolong."
"Semangat, Sayang. Kamu benar, di sekolah insya Allah kamu aman."
"Iya, Ma. Malam ini aku boleh keluar, nggak? Pinjam mobilnya Mama, ya?"
"Boleh-boleh aja, Sayang. Tapi kamu mau ke mana?"
"Aku mau ke minimarket tempat rivalku kerja, Ma. Cuma mau memastikan, dia masih kerja di sana. Kalau sampai nggak, asli ... Papa beneran udah nggak waras."
***
Ersa menyalakan ponselnya kembali, setelah 3 hari. Sejujurnya Ersa cukup terkejut, banyak orang yang mencarinya. Beberapa dari nomor tak dikenal.
Ersa takut hanya dengan membaca nama Damara adalah salah satu dari mereka.
Ersa coba membaca dulu sebagian pesan. Ia mulai dari pesan yang paling lama.
Pak Hendro
'Mas Ersa di mana? Pulang, Mas! Dicariin tuan terus. Saya jadi nganggur.'
Papa
'Kita lihat seberapa betah kamu sendiri di luar. Kartu kredit kamu sudah Papa blokir. Biar kamu ngerasain berharganya semua fasilitas dari Papa.'
(Nomor tak dikenal)
'Kenapa nggak masuk? Gue sama Roy di depan rumah lo.'
(Nomor tak dikenal)
'Bolos kenapa lo, Sa? Bela-belain gue sama Binar nyamperin ke rumah, ternyata lo nggak ada!'
Ersa langsung tahu siapa pemilik 2 nomor tak dikenal itu.
Jena
'Kasihan Binar, Sa. Apa lo nggak bisa nolong Binar? Tolong bicara sama papa lo, Sa.'
Ersa masih coba mencerna arah pembicaraan Jena. Perasaan Ersa tidak enak. Pikirannya ke mana-mana, menduga banyak hal buruk.
Ersa segera pamit pada Wina untuk langsung pergi.
"Hati-hati ya, Sayang. Ini kamu bawa kartu kredit Mama. Buat jaga-jaga kali aja butuh. Besok kita bikin kartu kredit baru buat kamu. Tapi Mama belum bisa kasihnya yang unlimited."
"Iya, nggak apa-apa, Ma. Nggak pakai kartu kredit juga nggak apa-apa. Kartu ATM aja, isinya dibatasin. Lagian aku nggak suka jajan aneh-aneh kok. Papa aja lebay, ngasih aku kartu kredit unlimited. Padahal tagihannya nggak pernah banyak."
"Ya udah kalau gitu. Kartu ATM aja, ya."
Ersa mengangguk setuju, kemudian benar-benar pergi setelahnya.
Ersa langsung masuk ke minimarket. Tak seperti biasanya di mana ia ambil beberapa jajanan dulu. Kali ini ia langsung menuju ke kasir.
Ersa terhenyak karena bukan Binar yang ada di sana. Sementara meja Jena kosong.
"Ada yang bisa dibantu, Kak?" tanya kasir itu.
"Lo siapa? Binar mana?"
"Uhm ...." Kasir itu kebingungan.
"Ersa!" seru seseorang yang baru saja keluar dari ruang istirahat.
Ersa refleks menoleh. Ersa sudah tahu itu siapa.
"Jen, maksud chat lo apa? Si Binar ke mana?"
Jena lega bertemu Ersa kembali. Namun ia juga sedih jika mengingat Binar.
"Ini perbuatan ayah lo. Beliau ternyata serius melaporkan Binar. Udah dari 3 hari yang lalu, Binar nggak ada di sini lagi, Sa. Padahal Binar mengandalkan gaji dari sini untuk beli obatnya Pijar. Tolong bantu bilang sama ayah lo, supaya biarin Binar kerja di sini lagi!"
Iya, kan? Dugaan Ersa benar. Damara benar-benar tidak waras. Sebenarnya Damara itu kenapa?
Ersa jadi curiga ... kenapa ayahnya seperti punya dendam besar pada Binar? Apa yang sudah ia lewatkan? Tak mungkin masalahnya hanya soal saingan prestasi di sekolah.
"Terus sekarang Binar di mana, Jen? Gue harus ngobrol sama dia. Jujur gye nggak tahu apa yang terjadi selama 3 hari ini. Soalnya gue nggak pulang selama itu. Jangankan lo, Jen. Gue sendiri heran sama kelakuan papaku!"
"Gue sama sekali belum ngobrol sama Binar lagi. Gue coba hubungi dia, tapi dia nggak respons. Apa lo nggak ketemu dia di sekolah?"
"Gue juga bolos sekolah 3 hari. Mulai besok kayaknya gue sekolah lagi."
"Nanti tolong lo kabarin gue soal keadaannya Binar, ya, Sa. Jujur gue khawatir banget. Takut terjadi sesuatu sama Binar. Semoga dia udah dapat pekerjaan baru. Tapi tolong tetap lo usahakan bicara sama papa lo, ya."
"Gue bakal bantu Binar. Tapi gue nggak janji buat ngomong sama papa. Gue bisa nolong Binar, tanpa harus melibatkan Papa."
"Makasih, Sa."
"Kira-kira dia ada di rumah nggak, ya? Gue pengin buru-buru ngobrol serius sama dia. Dari pada nunggu besok."
"Coba aja lo cari di rumahnya! Tapi gue kenal Binar, Sa. Dia nggak akan terus terang sama Pijar, soal apa yang terjadi sekarang. Ya lo tahu sendiri kondisi Pijar. Bisa jadi Binar tetap keluar, seolah-olah dia masih kerja di minimarket."
"Oke, gue coba cari ke rumahnya dulu aja."
***
Ersa berada di pinggir jalan, di seberang rumah Binar dan Pijar. Kondisi rumah itu sudah gelap. Pijar pasti sudah tidur.
Dugaan Jena benar. Binar tidak ada di rumah sekarang. Kalau ada, pasti Binar masih terjaga. Sehingga rumah tidak akan gelap seperti itu.
Ersa membaca ulang pesan Binar untuknya. Ersa coba mendial nomornya. Tidak ada tanggapan.
Ersa juga coba mengirimkan pesan.
'Lo di mana? Gue mau ngobrol serius.'
Pesan itu terkirim dengan tanda centang satu.
Ersa tak kehabisan akal. Ia coba menghubungi Roy, yang ternyata juga tidak angkat telepon. Ersa mengirim pesan padanya.
'Tahu Binar di mana, nggak? Ini urgent!'
Setidaknya pesan untuk Roy bertanda centang dua, walau pun warnanya masih abu-abu.
Sambil menunggu jawaban Roy, Ersa mulai tancap gas. Coba mencari Binar dulu entah ke mana.
Gak di next kak?
Comment on chapter Hari Pembagian Rapor