Loading...
Logo TinLit
Read Story - Liontin Semanggi
MENU
About Us  

Roy memperhatikan raut Binar yang suram. Padahal hari ini Binar tidak terlambat. Harusnya Binar lebih ceria. Bukan sebaliknya.

"Lagi ada masalah, Bin?"

"Nanti gue cerita pas istirahat."

Pelajaran hari ini berlanjut cukup lama bagi Binar  Pikirannya masih tak bisa fokus.

Bel istirahat berbunyi, Roy buru-buru menyeret Binar ke kantin.

"Gue udah sarapan tadi."

"Nggak apa-apa, temenin gue makan. Sama tadi katanya mau cerita."

"Iya. Tapi cari tempat yang sepi. Gue nggak mau ada yang denger."

Roy semakin heran. Rasanya sudah tak sabar mendengar semuanya.

"Ya udah, nanti kita bawa ke tempat lain aja makanannya. Di kantin nggak mungkin sepi."

Roy meminta Binar untuk menunggu di rooftop. Sementara ia berjubel dulu dengan siswa lain di kantin.

Ia duduk di hadapan Binar, memberikan air dan cemilan. "Buruan cerita!"

"Makan aja dulu. Nanti lo malah nggak nafsu makan kalau gue cerita sekarang."

"Bikin makin penasaran aja lo!" Meskipun kesal, Roy tetap makan dulu dengan bar-bar. "Itu dimakan cemilannya!"

Roy selalu seperti ini. Membuat Binar tak enak. Walau mereka berteman dekat, tapi tetap saja Binar merasa membebani. Menurut Roy mungkin ini nominal yang kecil. Tapi menurut Binar tidak.

Selepas Riy makan, Binar mulai menceritakan segala yang terjadi semalam.

"Pantesan lo nyuruh gue makan dulu. Gila bokapnya Ersa. Psikopat apa gimana? Pantesan anaknya ajaib begitu. Lah bapaknya lebih ajaib!"

"Makanya gue jadi kepikiran. Mana Ersa sekarang nggak masuk. Gimana kalau bapaknya semalam nekat?"

"Gila sih kalau sampai nyakitin anaknya sendiri secara fisik. Nah, gue juga jadi kepikiran."

"Lo tahu alamat rumahnya Ersa, nggak? Nanti kita coba ke sana gimana? Jujur gue nggak tenang. Kemarin gue lihat langsung Ersa diseret-seret. Dia kelihatan tertekan banget. Kasihan pokoknya."

"Gue nggak tahu rumahnya. Tapi coba tanya sama anak-anak di kelas. Kan banyak yang diem-diem naksir Ersa. Nyebelin begitu, tapi fansnya juga banyak."

Binar mengangguk setuju. 

"Nggak usah dipikirin soal ancaman bapaknya Ersa, Bin! Itu cuman nakut-nakutib. Lo nggak bakal kehilangan pekerjaan."

"Gue ngarepnya juga gitu, Roy. Tapi kalau ternyata serius gimana?"

"Ya nanti gue bantu cari kerjaan lain. Nggak usah terlalu dipikirin."

***

Mereka berdua benar-benar pergi ke rumah Ersa setelah mendapatkan informasi dari teman-teman sekelas. Binar dibonceng naik motor oleh Roy. Supaya cepat. Sepeda Binar ditinggal.

Binar tahu nanti ia akan terlambat ke tempat Mbah Siti. Ia akan diomeli lagi. Jika nanti sampai potong gaji, Binar terima saja. Yang penting ia memastikan Ersa baik-baik saja.

"Bener ini rumahnya?"

"Kayaknya bener, Roy."

"Gila! Gue tahu Ersa anak orang kaya. Tapi nggak nyangka sekaya ini. Rumahnya kayak rumah artis sultan yang hobi flexing!"

Binar hanya tersenyum. "Dia masih belum bisa dihubungi. Nomornya nggak aktif."

"Bikin overthinking itu bocah! Heran! Padahal nyebelin gitu. Hobi menyulut emosi. Tapi setelah ngilang kok bikin kepikiran juga." Roy kesal, tapi di saat bersamaan juga peduli.

Binar baru saja menyalakan bel pada gerbang kokoh di hadapannya. Tak butuh waktu lama hingga seseorang membukakan pintu.

"Lho, Mas Binar!" Pak Hendro yang membuka gerbang.

Binar merasa lebih tenang melihat seseorang yang ia kenal. "Iya, ini saya, Pak!"

Roy makin heran . Sudah sedekat itu Binar dan Ersa ... sampai-sampai Binar sudah saling kenal dengan orang ini.

"Mari silakan masuk dulu, Mas." Pak Hendro antusias menyambut Binar. "Ini siapa, Mas?"

"Oh, ini Roy. Temen sekelas saya dan Ersa, Pak."

Roy dan Pak Hendro saling berjabat tangan.

"Pak ... saya sebenarnya ke sini buat ketemu Ersa." Binar langsung bertanya pada intinya. Tak mau menunda waktu, yang akan semakin membuatnya terlambat kerja.

Kali ini raut Pak Hendro berubah murung. "Mas Ersa pergi tadi pagi, Mas. Bapak juga nggak tahu ke mana. Diantar nggak mau. Dia pergi naik ojol, nggak pakai mobilnya sendiri. Makanya Bapak sekarang nganggur begini. Siap-siap aja nanti saya dimarahin tuan."

"Kira-kira Ersa ke mana ya, Pak?"

"Jujur Bapak juga nggak tahu. Tapi yang jelas Mas Ersa kelihatan lagi banyak pikiran."

"Duh ... kira-kira Ersa ke mana, ya?"

***

Benar saja, Binar langsung diamuk oleh Mbah Siti. Ia telat agak lama, karena harus kembali ke sekolah dulu ambil sepeda.

Seperti biasa, Mbah Siti marahnya tidak lama. Mereka makan bersama dengan sisa nasi dan lauk yang ada. Binar juga coba menjelaskan kenapa ia terlambat.

"Semoga temen kamu baik-baik aja, Bin. Jangan terlalu dipikirin. Dia lagi berusaha menenangkan diri setelah diperlakukan bapaknya seperti itu. Yang makan di sini waktu itu kan anaknya?"

Binar mengangguk. "Iya bener yang itu, Mbah."

Binar menuju ke minimarket setelah itu. Karena tadi kedai soto tutup sedikit terlambat, ia mengayuh sepeda dengan tidak santai.

Binar tertegun melihat pemandangan tak biasa di minimarket. Jena tampak begitu sedih. Jena tidak sendiri. Ia bersama seorang kasir lain -- yang bukan Binar.

Ada karyawan baru, tapi kenapa Binar tidak tahu? Kenapa orang itu menempati meja Binar?

Binar tersadar ... apa ini artinya ....

Kasir baru itu menatap Binar dengan tidak enak. Padahal ia sempat berpikir Binar adalah pelanggan. Tapi ternyata bukan, setelah Jena memberitahunya.

"Bin ... gue juga nggak tahu bakal begini. Gue juga kaget tadi."

"T-tapi ...."

"Lo disuruh ke ruang istirahat. Pak Theo udah nunggu di sana."

***

Theo tak tega menatap raut Binar. Namun lelaki itu juga tidak punya pilihan lain.

"Maafin saya, Binar. Kinerja kamu selama ini baik. Tapi saya hanya pimpinan unit. Di pusat saya punya atasan. Mereka yang minta kamu diberhentikan. Katanya kamu sering pergi saat kerja."

"Saya pergi di saat jam istirahat saya, Pak. Jam istirahat 1 jam. Itu hak saya, untuk melakukan apa pun di saat jam istirahat. Saya segera kembali setelah urusan selesai." Binar masih coba mengusahakan nasibnya.

"Saya mengerti, Binar. Tapi saya di sini nggak punya power. Saya sudah coba bela kamu di depan mereka. Tapi nggak berhasil. Ada seseorang yang berpengaruh di balik ini semua. Saya nggak mau ambil risiko. Saya juga punya keluarga. Kalau saya sampai kehilangan pekerjaan ini ... gimana nasib anak dan istri saya?"

Seseorang yang berpengaruh? Tidak usah dikatakan secara gamblang ... Binar susah tahu itu siapa. Pasti Damara.

Binar bingung, sebenarnya Damara itu kenapa? Apa perlu bertindak sampai sejauh ini?

Binar ingin sekali egois -- kali ini saja. Ia harus memperjuangkan nasibnya juga. "Bapak perlu tahu, saya juga punya keluarga. Saya butuh pekerjaan ini. Kalau nggak, ngapain saya bela-belain kerja saat masih sekolah. Semuanya terpaksa karena keadaan. Saya sebenarnya nggak mau dikasihani. Tapi adik saya sakit, Pak. Beberapa obatnya nggak dikover asuransi kami."

Theo menunduk dalam. "Maafkan saya, Binar. Sekali lagi, saya katakan ... saya juga nggak punya kuasa. Jika bisa, saya akan memperjuangkan kamu supaya tetap di sini. Kita sama-sama berjuang untuk keluarga masing-masing. Saya doakan kamu segera mendapatkan pekerjaan lain. Saya percaya kamu akan segera dapat. Maafkan saya sekali lagi."

***

Ketika Damara pulang, ia tidak menemukan Ersa di mana pun. Seharusnya Ersa ada di rumah. Karena Damara melarang Ersa untuk pergi lagi, setelah jadwal bimbingan belajar keduanya.

Ia sempat dapat kabar dari Pak Hendro. Bahwa Ersa bolos sekolah tadi pagi. Damara paham, pasti Ersa butuh waktu. Mengingat semalam Damara kasar dan bicara banyak hal buruk padanya.

Namun Damara pikir, Ersa hanya butuh waktu sebentar. Ternyata Damara salah.

Damara coba mendial nomor ponsel putranya. Tapi nomor Ersa tidak aktif.

"Udah makin pinter ngelawan kamu, Sa. Papa beneran cabut semua fasilitas kamu. Papa turuti permainan kamu. Coba ... berapa hari kamu bakal bertahan di luar tanpa uang dari Papa?"

***

Meskipun sudah pergi dari sana, namun Binar urung pulang. Ia tidak sampai hati untuk pulang. Pijar pasti akan bertanya kenapa ia pulang lebih awal? Binar bingung harus mengatakan apa pada adiknya nanti.

Binar mengayuh sepedanya tak tentu arah. Coba mencari pekerjaan lain, tapi mana ada tengah malam begini.

Soal pesangon ... ia digaji penuh walau pun bulan ini belum berakhir. Dan ia juga dapat kompensasi satu kali gaji. Setidaknya punya waktu 2 bulan untuk mencari pekerjaan baru, dengan upah yang setara dengan minimarket.

Binqr terus mengayuh sepedanya. Sampai ia berhenti di depan sebuah proyek besar. Gedung pencakar langit baru, yang sedang dikerjakan oleh puluhan kuli bangunan.

Binar pernah punya pengalaman menjadi kuli. Dulu saat awal-awal ditinggal mati orang tuanya, segala pekerjaan Binar lakukan untuk bertahan hidup. Termasuk menjadi kuli serabutan. Walau pun pekerjaannya hanya sebatas mengangkat atau mengaduk semen.

Apa Binar coba ikut bergabung di sana saja? 

Ada seseorang dengan helm kuning yang baru saja melintas. Orang itu pasti salah satu mandor proyek ini. Binar segera mengejarnya.

"Permisi, Pak."

"Ada apa, Mas?"

"Pak ... proyek ini, apa masih butuh kuli?"

Lelaki berkumis itu mengernyit heran. "Sebenarnya kami butuh banyak kuli. Karena kami harus cepat-cepat menyelesaikan proyek ini. Kenapa? Mas mau ikutan nguli?" Ia tampak sedikit meremehkan.

Mengingat Binar masih terlihat sangat muda. Dan sepertinya tidak punya pengalaman juga.

"Kalau boleh, saya mau gabung, Pak. Saya sedang butuh pekerjaan. Saya punya pengalaman kok. Walau cuma angkat-angkat dan juga ngaduk semen. Tapi setidaknya tenaga saya bisa membantu."

"Kamu yakin? Ini bukan pekerjaan mudah, lho. Ini berat. Apa lagi untuk anak muda seperti kamu."

"Saya yakin, Pak. Saya bersedia dites dulu kalau Bapak enggak percaya!"

"Ya sudah, mulai besok kamu datang aja."

"Kenapa nggak sekarang aja, Pak? Dari pada nanggung saya pulang jam segini?"

"Yakin?"

Binar mengangguk.

"Ya udah, kamu ayo ikut saya."

Binar lega sekarang. "Terima kasih atas kesempatannya, Pak. Ngomong-ngomong saya sebenarnya masih sekolah. Pulang sekolah saya ada pekerjaan sampai jam 7 malam. Jadi saya baru bisa datang setelah itu. Dan jam 3 pagi saya sudah harus pergi, sebab saya punya pekerjaan lain juga. Apa itu nggak masalah, Pak?"

"Astaga ... kamu ini kenapa sebenarnya? Masih sekolah, kenapa bekerja sekeras itu?" Lelaki itu jadi kasihan sendiri. Jadi menyesal sempat meremehkan Binar. "Nama kamu siapa, Nak?"

"Nama saya Binar, Pak."

"Ya udah, Binar. Mulai besok kamu datang sesuai jadwal yang kamu sebutkan tadi. Soal gaji nanti saya yang atur. Pokoknya kalau pekerjaan kamu bagus, gaji kamu juga bagus nanti."

"Sekali lagi terima kasih, Pak."

***

Ersa masih di sana. Melihat ibunya bekerja. Pantas saja Wina jarang pulang. Karena proses syuting benar-benar sesibuk itu.

Wina sudah merupakan aktris senior. Jadi ia banyak dihormati. Beda dengan aktris-aktris baru -- apa lagi yang hanya pemeran pembantu -- seperti diperlakukan semena-mena oleh para staf.

Ersa jadi banyak tahu. Dalam dunia kerja itu banyak tekanan. Pertama ia tahu dari Binar. Kedua tahu dari Wina.

Sejak pagi Ersa pergi dari rumah. Ia menelepon Wina sebelumnya. Ersa memutuskan untuk mendatangi ibunya di lokasi syuting. Dan berakhir mendampingi Wina syuting sampai semalam ini.

Ersa sengaja tidak menyalakan ponselnya. Ia tidak mau bicara dengan Damara dulu sementara waktu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • muymuy

    Gak di next kak?

    Comment on chapter Hari Pembagian Rapor
Similar Tags
PUZZLE - Mencari Jati Diri Yang Hilang
459      354     0     
Fan Fiction
Dazzle Lee Ghayari Rozh lahir dari keluarga Lee Han yang tuntun untuk menjadi fotokopi sang Kakak Danzel Lee Ghayari yang sempurna di segala sisi. Kehidupannya yang gemerlap ternyata membuatnya terjebak dalam lorong yang paling gelap. Pencarian jati diri nya di mulai setelah ia di nyatakan mengidap gangguan mental. Ingin sembuh dan menyembuhkan mereka yang sama. Demi melanjutkan misinya mencari k...
40 Hari Terakhir
578      446     1     
Fantasy
Randy tidak pernah menyangka kalau hidupnya akan berakhir secepat ini. Setelah pertunangannya dengan Joana Dane gagal, dia dihadapkan pada kecelakaan yang mengancam nyawa. Pria itu sekarat, di tengah koma seorang malaikat maut datang dan memberinya kesempatan kedua. Randy akan dihidupkan kembali dengan catatan harus mengumpulkan permintaan maaf dari orang-orang yang telah dia sakiti selama hidup...
Sebab Pria Tidak Berduka
112      93     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...
Deep Sequence
584      468     1     
Fantasy
Nurani, biasa dipanggil Nura, seorang editor buku yang iseng memulai debut tulisannya di salah satu laman kepenulisan daring. Berkat bantuan para penulis yang pernah bekerja sama dengannya, karya perdana Nura cepat mengisi deretan novel terpopuler di sana. Bisa jadi karena terlalu penat menghadapi kehidupan nyata, bisa juga lelah atas tetek bengek tuntutan target di usia hampir kepala tiga. N...
Time and Tears
246      193     1     
Romance
Rintik, siswi SMA yang terkenal ceria dan berani itu putus dengan pacarnya. Hal berat namun sudah menjadi pilihan terbaik baginya. Ada banyak perpisahan dalam hidup Rintik. Bahkan temannya, Cea harus putus sekolah. Kisah masa remaja di SMA penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Tak disangka pula, pertemuan dengan seorang laki-laki humoris juga menambah bumbu kehidupan masa remajanya. Akankah Ri...
Asa
4658      1387     6     
Romance
"Tentang harapan, rasa nyaman, dan perpisahan." Saffa Keenan Aleyski, gadis yang tengah mencari kebahagiaannya sendiri, cinta pertama telah di hancurkan ayahnya sendiri. Di cerita inilah Saffa mencari cinta barunya, bertemu dengan seorang Adrian Yazid Alindra, lelaki paling sempurna dimatanya. Saffa dengan mudahnya menjatuhkan hatinya ke lubang tanpa dasar yang diciptakan oleh Adrian...
A Sky Between Us
35      30     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
House with No Mirror
464      349     0     
Fantasy
Rumah baru keluarga Spiegelman ternyata menyimpan harta karun. Anak kembar mereka, Margo dan Magdalena terlibat dalam petualangan panjang bersama William Jacobs untuk menemukan lebih banyak harta karun. Berhasilkah mereka menguak misteri Cornwall yang selama ini tersembunyi?
The Best Gift
39      37     1     
Inspirational
Tidak ada cinta, tidak ada keluarga yang selalu ada, tidak ada pekerjaan yang pasti, dan juga teman dekat. Nada Naira, gadis 20 tahun yang merasa tidak pernah beruntung dalam hal apapun. Hidupnya hanya dipenuhi dengan tokoh-tokoh fiksi dalam  novel-novel dan drama  kesukaannya. Tak seperti manusia yang lain, hidup Ara sangat monoton seakan tak punya mimpi dan ambisi. Hingga pertemuan dengan ...
Reach Our Time
10723      2494     5     
Romance
Pertemuan dengan seseorang, membuka jalan baru dalam sebuah pilihan. Terus bertemu dengannya yang menjadi pengubah lajunya kehidupan. Atau hanya sebuah bayangan sekelebat yang tiada makna. Itu adalah pilihan, mau meneruskan hubungan atau tidak. Tergantung, dengan siapa kita bertemu dan berinteraksi. Begitupun hubungan Adiyasa dan Raisha yang bertemu secara tak sengaja di kereta. Raisha, gadis...