Loading...
Logo TinLit
Read Story - Liontin Semanggi
MENU
About Us  

Ersa tidak menemukan Binar malam itu. Pesan yang ia kirim masih bertanda centang 1. Ersa pulang ke apartemen tanpa hasil. Perasaannya makin tak menentu -- merasa bersalah.

Harusnya sejak awal Ersa tidak usah bolos bimbingan. Sehingga Binar tak perlu menggantikannya. Dan tidak perlu kehilangan pekerjaan utamanya seperti ini.

Pagi harinya, Ersa diantar oleh Wina kembali ke rumah Damara.

"Aman, Sayang? Sudah kamu pastikan Papa berangkat ke kantor, kan?"

Tidak lucu kalau mereka berpapasan dengan Damara. Lebih tidak lucu, jika ternyata Damara masih di rumah.

"Sudah, Ma. Pak Hendro udah konfirm."

Wina yang menyetir. Wina tahu Ersa selalu menyetir dengan tidak santai. Jantung Wina selalu berasa mau copot tiap kali naik mobil, disetir oleh Ersa.

Tak perlu waktu lama, mereka akhirnya sampai. Rumah, yang sebenarnya juga rumah mereka.

Namun rumah itu tidak selalu berupa bangunan kokoh. Jika sebuah istana tidak menawarkan kehangatan sama sekali di dalamnya, tidak akan ada artinya.

Mereka disambut oleh Pak Hendro dan beberapa asisten. Wina buru-buru memberi ultimatum.

"Ingat, jangan sampai bocor ke Tuan Besar kalau kami datang. Kalau Tuan Besar tanya soal Ersa. Bilang nggak tahu."

Semakin hari Wina merasa hubungan perikahannya dengan Damara, semakin tidak bisa diselamatkan. Mereka sudah lama tidak berkomunikasi dengan baik.

Bahkan ketika Ersa tidak pulang tanpa kabar, Damara sama sekali tidak mengabari Wina. Hanya bertanya apakah Ersa bersamanya atau tidak.

Wina merasa tidak dihargai oleh suaminya sendiri. Ada namun tak terlihat. Ikatan suami istri di antara mereka, seolah hanya formalitas.

Wina ikut dengan Ersa masuk ke dalam kamar. Ia tersenyum melihat kamar Ersa yang memiliki gaya khas. Temanya monokrom.

Kamarnya tidak terlalu rapi. Namun kesannya nyaman.

Wina memperhatikan Ersa yang sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas besar. Sekalian baju seragamnya. Ersa juga memasukkan beberapa helai pakaian kesayangannya.

Tidak banyak yang Ersa bawa. Hanya yang penting-penting saja. Termasuk sesuatu dalam kotak berwarna merah. Yang selama ini selalu ia simpan dalam laci nakas.

Saking berharganya benda itu, Ersa sampai tak berani memakainya. Takut jika terlepas di sembarang tempat kemudian hilang.

"Itu yang dikasih sama Oma Opa, kah?" tanya Wina seraya tersenyum.

Ersa ikut tersenyum, sembari mengangguk. "Iya, Ma. Aku bawa juga. Soalnya ini harta karun aku."

Ersa memasukkan kotak itu ke dalam tasnya.

Wina masih mempertahankan senyumnya. Mengerti kenapa benda itu sebegitu berharganya.

Dulu saat Ersa masih kecil ... baik Damara atau pun Wina, sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ersa di rumah hanya dirawat oleh baby sitter.

Oleh karena itu Oma dan Opa -- Nenek dan Kakek Ersa dari pihak Damara -- sering datang ke sini untuk mengajak Ersa main. Mereka tidak jarang membawa Ersa untuk menginap di rumah mereka.

Oma dan Opa memberikan harta karun itu pada Ersa. Meminta Ersa untuk menjaganya dengan baik.

Tak lama setelah itu, Opa meninggal karena serangan jantung.

Oma menyusul tak lama kemudian. Oma memang sakit kanker lambung sejak lama.

Kematian mereka hanya berjarak 40 hari. Seolah mereka memang sudah ditakdirkan untuk sehidup dan semati bersama.

Ersa lah yang paling terpukul atas kepergian mereka. Tentu saja. Karena selama ini hanya Oma dan Opa yang tulus sayang padanya. Kepergian mereka, meninggalkan luka mendalam bagi Ersa. Saat itu usia Ersa masih 10 tahun. 

Ersa ganti baju seragam sekalian. Kemudian Wina mengantarkan putranya ke sekolah.

"Guru kamu pada galak nggak, Sayang?"

"Nggak galak, Ma. Cuma tegas aja guru tata tertibnya. Kalau telat, paling cuma disuruh lari keliling lapangan."

"Serius? Cape dong keliling lapangan!"

"Ya cape, Ma. Tapi nggak apa-apa. Dari pada disuruh pulang lagi. Nanti jadi bego kalau nggak sekolah!"

"Duh, plek ketiplek sama bapakmu. Ambisius banget kalau urusan sekolah."

***

Sesuai ekspektasi, Ersa diharuskan bergabung dengan murid-murid yang sedang dihukum.

Karena Ersa ada tujuan untuk bertemu dengan Binar, ia justru semangat berlari hari ini. Supaya ia bisa segera menyamai posisi Binar berada.

Ada sedikit rasa lega ketika Ersa pada akhirnya melihat Binar. Mereka bisa segera bicara setelah ini.

Entah Ersa yang mendadak pandai lari cepat. Atau Binar yang tumben berlari dengan tidak semangat. Yang jelas, Ersa berhasil mensejajarkan langkah dengan Binar.

Ersa pikir, Binar akan tampak ceria seperti biasanya. Ternyata tidak. Binar hanya menatapnya sekilas. Kemudian kembali menatap lurus ke depan. Melanjutkan langkah larinya.

"Gue kirim chat semalam. Tapi lo centang satu." Ersa tak mau basa-basi.

"Muncul juga lo, Sa. Gue pikir lo dikirim ke luar negeri. Habisnya nggak kelihatan sama sekali. Mana nggak ada kabar." Binqr menanggapi, walau tampangnya tidak menunjukkan adanya antusiasme.

"Gue semalam ke minimarket. Gue udah tahu semuanya dari Jena. Makanya gue chat kamu, soalnya gue mau ngobrol serius."

"Ngobrol apa? Tumben mau ngobrol sama gue. Apa karena lo kasihan? Nggak usah kasihan. Toh gue udah dapat pekerjaan baru."

"Oh, ya? Di mana?"

"Lo nggak perlu tahu. Lagian tumben kepo? Kayak bukan Ersa. Lagi kesambet?"

"Jangan ngaco! Iya, gue kasihan sama lo. Biar bagaimana pun, lo dipecat gara-gara bokap gue. Gue sebenarnya mau menawarkan pekerjaan baru sebagai penebusan rasa bersalah. Tapi karena lo udah dapat kerjaan baru, ya udah nggak jadi."

Setelah mengatakan itu, Ersa mempercepat langkahnya. Meninggalkan Binar yang langkah berlarinya semakin melambat.

Ersa mau cepat-cepat menyelesaikan hukumannya.

"Binar!"

"Lho, hei ... Binar, kenapa?"

"Panggilin Pak Sastro sana!"

"Pak Sastro ... ini tolongin Binar, Pak!"

Padahal belum jauh Ersa berlari, tapi sudah terjadi keributan yang mengalihkan perhatian pemuda itu. Nama Binar disebut-sebut.

Eraa menoleh. Kedua matanya seketika membulat. Di sana ia melihat Binar meringkuk di atas rerumputan. Sedang dikerumuni oleh siswa lain.

Ia lihat Pak Sastro berlari dari kejauhan. Ersa juga melangkah kembali menghampiri Binar.

Sebenarnya saat ngobrol tadi, Binar memang berbeda. Sorot matanya redup, matanya cekung, ronanya pucat. Dan Binar juga terlihat tidak bertenaga.

Tapi Ersa pikir Binar hanya kelelahan berlari saja.

"Kenapa ini tadi?" tanya Pak Sastro, tanpa mengalihkan pandangannya dari Binar.

Jelas ia merasa bersalah. Karena ia yang menghukum Binar.

Binar masih meringkuk, tubuhnya menekuk, dengan kedua tangan yang menekan area perut. Binar terlihat kesakitan. Keringatnya bercucuran. Wajahnya semakin pucat.

Ersa mematung. Masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ersa langsung menduga, pekerjaan baru Binar pasti berat.

Binar kesakitan sampai segitunya. Binar sesekali mengerang karena sakit di perutnya tak tertahankan.

"Nggak tahu, Pak. Tadi dia habis ngobrol sama Ersa. Terus tahu-tahu ambruk. Dan kesakitan kayak gini!"

Pak Sastro secara refleks menoleh pada Ersa. "Apa itu benar, Sa? Tadi kamu habis ngobrol sama Binar?"

Ersa mendadak tegang. Padahal ia tidak salah apa-apa. Tapi kenapa terkesan sedang disalahkan?

"Iya, Pak. Tadi kami ngobrol. Obrolan kami udah selesai. Makanya saya lari ninggalin dia."

Pak Sastro mengangguk paham. "Ya sudah, ayo bantu saya bawa Binar ke UKS. Kamu kenapa sih, Bin? Kok tahu-tahu begini!"

Pak Sastro mengangkat bagian atas tubuh Binar. Sementara Ersa bagian kakinya. Mereka sama-sama membatin, sebenarnya Binar tidak terlalu berat sehingga harus dibopong 2 orang begini.

Hanya saja Binartidak bisa tenang, sebab rasa sakitnya tak kunjung membaik. Tubuh Binar menggeliat mengikuti rasa sakitnya.

"Kalian lanjut menjalani hukuman. Jangan ada yang kabur. Nggak usah ikut ke UKS. Cukup Ersa aja!" peringat Pak Sastro pada murid yang lain.

Kemudian mereka lanjut berjalan menuju ke UKS.

"Setahu saya dia ada asam lambung, Pak." Ersa memberi sedikit penjelasan.

"Nanti tolong jelaskan sama perawat atau dokter yang jaga di UKS."

"Susternya udah tahu. Soalnya Binar lumayan sering kumat."

Jujur Pak Sastro baru tahu soal itu. Selama ini Binarselalu menunjukkan sisi tangguhnya.

***

"Pak sebaiknya Binar dibawa ke rumah sakit. Dia kesakitan banget, butuh injeksi pain killer." Perawat itu coba menjelaskan kondisi Binar.

Pak Sastro hanya langsung mengangguk. Ia juga sudah kepikiran seperti itu. "Sa, minta tolong kasih tahu Pak Eka. Pinjam mobilnya. Pokoknya kamu jelasin aja situasinya!"

Ersa juga hanya langsung pergi menuruti ucapan Pak Sastro.

Ersa kembali ke UKS bersama Pak Eka. Mobil sudah diparkir di depan area UKS, untuk memudahkan mereka membawa Binar masuk.

"Bin, tenang ya. Bapak minta maaf. Bapak nggak tahu kondisi kamu lagi kurang baik." Pak Sastro dengan besar hati meminta maaf.

Binar belum bicara apa pun. Masih sibuk menekan area perutnya. Yang membuat semua orang yang terlibat, bergerak secepat mungkin untuk menolongnya.

"Pak, saya sudah menghubungi rumah sakit terdekat. Di UGD sudah pada stand by. Saya juga sudah jelaskan kondisinya." Suster memberi tahu apa yang harus mereka lakukan.

"Baik, terima kasih, Sus."

Pak Eka menyetir di depan. Ersa duduk di sebelahnya. Sedangkan Pak Sastro di belakang bersama Binar.

Binar berbaring miring berbantalkan pangkuan Pak Sastro. Sejak tadi Binar menolak berada dalam posisi terlentang. Menyiratkan betapa sakit yang sedang ia rasakan saat ini.

Sebenarnya tidak ada yang meminta Ersa ikut. Ia berada di sana atas kemauannya sendiri. Bahkan Pak Sastro sempat bilang padanya untuk ikut pelajaran. Ersa menolak. Ia mau ikut.

Pak Sastro yang merasa bertanggung jawab, juga merasa harus mendampingi Binar untuk mendapatkan pertolongan. Setidaknya sampai kondisi Binar membaik.

Sedangkan Ersa juga masih terpaku pada rasa bersalahnya sendiri.

***

"Pasien sudah kami tangani, sekarang tidur karena pengaruh obat. Sebaiknya pasien dirawat inap dulu. Sambil kami observasi. Ada indikasi ke arah yang serius. Diperlukan pemeriksaan lanjutan." Dokter itu menjelaskan kondisi Binar.

"Dok, jujur saya bingung harus bagaimana. Sebenarnya murid saya yatim piatu. Untuk pemeriksaan lanjutan, lebih baik nanti langsung diberi tahukan padanya, apakah setuju atau tidak." Pak Sastro serba salah jadinya. "Saya maunya Binar juga dapat penanganan terbaik."

Ersa menginterupsi obrolan mereka. "Nanti kalau dia setuju, langsung lakukan aja pemeriksaannya, Dok. Nanti saya yang bayar. Binar itu kerja. Dia kemarin dipecat karena saya. Mungkin dia stress. Atau dia dapat kerjaan baru yang berat. Intinya ini cuma bentuk tanggung jawab saya."

Pak Sastro sedikit malu dengan kesigapan Ersa untuk segera maju membayar pengobatan Binat. Ya tapi mau bagaimana lagi. Sudah jelas strata sosial mereka berbeda.

Pak Sastro hanya seorang guru yang kebetulan sudah PNS, dengan gaji yang cukup untuk menafkahi keluarga. Menabung saja jarang bisa. Bagaimana mau membantu biaya pemeriksaan Binar.

Mereka menunggu sampai Binar dapat kamar. Setelah itu mereka bertiga sama-sama kembali ke sekolah.

***

Ersa naik bus kota untuk pertama kalinya. Sebab Wina tidak bisa jemput, ada jadwal syuting. Ersa tidak masalah. Dengan begini, ia jadi bisa melakukan banyak hal -- yang dulu tak bisa ia lakukan dengan bebas -- akibat kekangan dari Damara.

Ersa tidak langsung menuju ke apartemen Wina. Ia ke rumah sakit dulu. Mengingat Binar di sana sendirian. Pijar tidak dikabari oleh Ersa.

Ia tunggu persetujuan Binar untuk mengabari Pijat atau tidak. Binar yang paling tahu kondisi Pijar. Termasuk kabar seperti apa yang harus disampaikan pada adiknya itu atau tidak.

Baru juga Ersa hendak membuka pintu, ia dengar percakapan dari dalam ruangan itu.

"Saya pulang aja, Dok. Saya udah nggak apa-apa. Nggak perlu pemeriksaan lebih lanjut itu. Orang saya baik-baik aja."

"Hanya untuk jaga-jaga. Teman kamu bersedia membiayai prosesnya. Tadi kamu masuk ke kamar kelas 1 ini juga atas permintaannya."

"Teman saya siapa? Katanya saya ke sini diantar guru!"

"Iya, guru sama seorang teman kamu. Tadi dia tanda tangan sebagai penanggung jawab dalam urusan administrasi kamu. Namanya Ersa kalau nggak salah."

"Ersa?"

Mendengar namanya disebut-sebut, Ersa segera masuk saja.

"Nah ini orangnya!" seru dokter bernama Rayn itu.

Binar menoleh pada Ersa. "Sa, bener lo yang bayarin biaya rumah sakit?"

"Ya bener. Kenapa emang? Tapi nggak usah kegeeran! Gue cuma mau tanggung jawab soal lo dipecat."

"Nggak usah segitunya, Sa. Toh gue udah punya kerjaan baru. Jangan bikin gue jadi hutang budi dan hutang duit. Hutang gue yang waktu itu aja belum bayar!"

"Gue lakuin ini buat tanggung jawab. Lagian gue lakuin ini bukan buat lo. Tapi buat Pijar. Dia bergantung banget sama lo. Gue nggak mau Pijar sedih kalau kamu kenapa-kenapa!"

Alibi Ersa kali ini membuat Binar tersenyum. "Makasih udah peduli sama adik gue. Tapi gue nggak apa-apa. Gue cuma kecapean karena kerjaan baru agak berat. Belum terbiasa aja. Uhm ... nggak usah kabarin Pijar soal ini. Toh habis ini gue pulang."

"Saya belum izinin kamu pulang, lho!" sela dokter Rayn.

"Udah, lakuin aja pemeriksaannya! Nggak usah dianggap utang! Toh cuma periksa. Harusnya lo nggak perlu takut, jika lo emang yakin nggak ada yang salah sama badan lo!" tegas Ersa.

Binar seketika terdiam. Ersa benar. Harusnya ia tak perlu takut. Tapi kenyataannya ia memang takut.

Ersa benar ... Binar memang merasa ada yang salah dengan tubuhnya. Makanya ia menolak melakukan pemeriksaan. Karena tidak siap menerima kenyataan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • muymuy

    Gak di next kak?

    Comment on chapter Hari Pembagian Rapor
Similar Tags
Darah Dibalas Dara
619      351     0     
Romance
Kematian Bapak yang disebabkan permainan Adu Doro membuat Dara hidup dengan dihantui trauma masa lalu. Dara yang dahulu dikenal sebagai pribadi periang yang bercita-cita menjadi dokter hewan telah merelakan mimpinya terbang jauh layaknya merpati. Kini Dara hanya ingin hidup damai tanpa ada merpati dan kebahagiaan yang tiada arti. Namun tiba-tiba Zaki datang memberikan kebahagiaan yang tidak pe...
Man in a Green Hoodie
5012      1230     7     
Romance
Kirana, seorang gadis SMA yang supel dan ceria, telah memiliki jalan hidup yang terencana dengan matang, bahkan dari sejak ia baru dilahirkan ke dunia. Siapa yang menyangka, pertemuan singkat dan tak terduga dirinya dengan Dirga di taman sebuah rumah sakit, membuat dirinya berani untuk melangkah dan memilih jalan yang baru. Sanggupkah Kirana bertahan dengan pilihannya? Atau menyerah dan kem...
G E V A N C I A
1114      615     0     
Romance
G E V A N C I A - You're the Trouble-maker , i'll get it done - Gevancia Rosiebell - Hidupnya kacau setelah ibunya pergi dari rumah dan ayahnya membencinya. Sejak itu berusaha untuk mengandalkan dirinya sendiri. Sangat tertutup dan memberi garis keras siapapun yang berniat masuk ke wilayah pribadinya. Sampai seorang cowok badboy selengean dengan pesona segudang tapi tukang paksa m...
Ibu Mengajariku Tersenyum
2810      1118     1     
Inspirational
Jaya Amanah Putra adalah seorang psikolog berbakat yang bekerja di RSIA Purnama. Dia direkomendasikan oleh Bayu, dokter spesialis genetika medis sekaligus sahabatnya sejak SMA. Lingkungan kerjanya pun sangat ramah, termasuk Pak Atma sang petugas lab yang begitu perhatian. Sesungguhnya, Jaya mempelajari psikologi untuk mendapatkan kembali suara ibunya, Puspa, yang senantiasa diam sejak hamil Jay...
Bittersweet Memories
40      40     1     
Mystery
Sejak kecil, Aksa selalu berbagi segalanya dengan Arka. Tawa, rahasia, bahkan bisikan di benaknya. Hanya Aksa yang bisa melihat dan merasakan kehadirannya yang begitu nyata. Arka adalah kembarannya yang tak kasatmata, sahabat sekaligus bayangan yang selalu mengikuti. Namun, realitas Aksa mulai retak. Ingatan-ingatan kabur, tindakan-tindakan di luar kendali, dan mimpi-mimpi aneh yang terasa lebih...
Dendam
506      365     3     
Short Story
Dulu, Helena hidup demi adiknya, Kiara. Setelah Kiara pergi, Helena hidup demi dendamnya.
Premium
Beauty Girl VS Smart Girl
11067      2809     30     
Inspirational
Terjadi perdebatan secara terus menerus membuat dua siswi populer di SMA Cakrawala harus bersaing untuk menunjukkan siapa yang paling terbaik di antara mereka berdua Freya yang populer karena kecantikannya dan Aqila yang populer karena prestasinya Gue tantang Lo untuk ngalahin nilai gue Okeh Siapa takut Tapi gue juga harus tantang lo untuk ikut ajang kecantikan seperti gue Okeh No problem F...
Spektrum Amalia
736      494     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
Bifurkasi Rasa
139      119     0     
Romance
Bifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah rasa sesal ini tetap ada, agar aku bisa merasakan kehadiranmu yang telah pergi. --Nara "Kalau suatu saat ada yang bisa mencintai kamu sedal...
TAKSA
402      313     3     
Romance
[A] Mempunyai makna lebih dari satu;Kabur atau meragukan ; Ambigu. Kamu mau jadi pacarku? Dia menggeleng, Musuhan aja, Yok! Adelia Deolinda hanya Siswi perempuan gak bisa dikatakan good girl, gak bisa juga dikatakan bad girl. dia hanya tak tertebak, bahkan seorang Adnan Amzari pun tak bisa.