Loading...
Logo TinLit
Read Story - Liontin Semanggi
MENU
About Us  

Roy mengejar Ersa di lorong. "Ersa!"

Ersa refleks menoleh. "Kenapa manggil-manggil?"

Roy menyejajarkan posisi dengan Ersa. "Kok surat dokternya Binar di elo?"

Roy jelas heran. Ia bahkan tidak tahu Binar sedang sakit.

"Soalnya dikasih ke gue."

"Maksudnya kok dikasih ke elo? Biasanya gue yang tahu duluan dia sakit!"

"Ya tanya aja sama si Binar sono!"

Roy mengernyit. Pikirnya Ersa tiba-tiba berubah baik, ia penasaran ingin tahu kenapa Ersa dan Binar jadi akur. Tapi seperti tidak juga. Karena Ersa tetap songong begini.

"Nyesel gue ngejar-ngejar lo!" kesal Roy.

"Ya siapa suruh ngejar?" Ersa melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

"Dasar bocah songong! Eh, tapi kok kecium bau koyo dari badannya, ya? Masa dia juga ketagihan pakai koyo kayak Binar?"

***

"Duh, makin ngrepotin gue, Jen. Maaf ya, udah semalam mangkir kerja. Segala tas, sepeda, sama HP gue dianterin ke rumah." Binar benar-benar merasa tak enak pada Jena.

Jena datang diantar oleh kakaknya, Jeno.

"Bang Jeno ... maaf gue ngrepotin." Binar juga meminta maaf pada Jeno.

"Santai, Bin. Nih bocah dari tadi maksa suruh anterin ke sini. Ya maklum, dia bucin!" Jeno malah membongkar kartu as adiknya.

Seketika Jeno mendapatkan tabokan manis dari Jena. 

Dari pada Jeno makin banyak omong, Jena langsung mengalihkan perhatian. "Bin, gimana kata dokter? Terus sekarang keadaan lo gimana?"

"Nggak apa-apa, Jen. Cuma suruh istirahat. Alhamdulillah udah nggak demam."

"Alhamdulillah. Hari ini istirahat aja dulu. Libur sekolah sekalian libur semua kerjaan. Jarang-jarang lo bisa istirahat total."

"Gue malah udah nggak betah di rumah, Jen. Gue dari tadi pengin ngabur sekolah rasanya."

"Jangan aneh-aneh, Bin! Itu badan lo udah protes besar-besaran minta istirahat!"

"Ehem ... ehem ...!" Jeno usil lagi menggdai adiknya yang sedang kecintaan.

"Kebiasaan sibuk ... kalau diem malah bosen." Binar cengengesan.

"Jangan aneh-aneh! Jangan tunggu sampai badan lo protes lagi baru istirahat!"

Binar tersenyum menerima perhatian Jena. 

***

"Ini hasil olimpiade kemarin, Ersa. Selamat, kalian berdua sama-sama lolos maju ke tingkat provinsi! Terima kasih karena sudah membanggakan nama sekolah kita." Bu Aisyah menyerahkan piagam hasil olimpiade.

Ersa mengangguk. "Terima kasih atas kesempatannya, Bu."

"Ibu harap kalian ke depannya bisa lebih fokus lagi belajar. Karena jelas persaingan akan semakin ketat. Kalau bisa, kalian luangkan waktu untuk belajar bersama. Pihak sekolah berharap banyak pada kalian, untuk bisa lolos ke tahap nasional juga."

'Belajar bareng Binar? Oh, ya?'

"Nanti tolong piagamnya kamu berikan ke Binar, ya. Semoga Binar segera pulih."

Dengan terpaksa Ersa megambil 2 lembar piagam itu. 

"Jadwal bimbingan tambahan akan tetap seperti biasanya, ya. Kalau bisa Binar suruh lebih lama berpartisipasi."

"Saya bisa-bisa aja, Bu. Kalau Binar nggak tahu."

"Sibuk banget ya Binar? Kasihan. Tapi Ibu salut. Bayangin di posisinya pasti sulit."

Ersa benci tiap Binar dipuji-puji. Syukurlah bel masuk berbunyi. Kesempatan bagi Ersa untuk berpamitan.

Ketika melewati lapangan, Ersa mendengar obrolan yang lebih mirip seperti debat. Dilakuan oleh tim kesebelasan sekolah.

"Binar gimana, sih? Dia itu kapten! Kita jarang banget latihan lho! Padahal turnamen persahabatan sebentar lagi!"

"Iya, memang cuma turnamen persahabatan. Tapi kita harus tetap latihan keras. Seenggaknya biar kita nggak malu, lah. Ini kan acara kita. Kita tuan rumahnya. Pasti malu banget kalau tuan rumah malah kalah!"

"Iya, gue ngerti keresahan kalian. Kan gue udah bilang, Binar sakit. Tolong ngerti, lah! Nanti kalau dia udah baikan, nggak usah kalian protes pun dia bakal sadar diri. Arahin kita buat latihan sebagai mana mestinya!" Roy berusaha membela Binar mati-matian.

Ersa melanjutkan langkahnya. Ia mau langsung masuk kelas saja. Karena tak mau mendengar terlalu jauh soal urusan kesebelasan itu.

Terlebih saat Roy selalu membela Binar.

Jika Ersa ada di posisi yang sama ... apa ada yang akan membelanya juga?

***

Roy mampir ke rumah Binar sepulang sekolah. Syukurlah Binar terlihat sudah pulih. Bahkan temannya itu sedang sibuk bersih-bersih rumah.

"Heh, rugi ada surat dokter, tapi dijenguk malah lagi nge-babu." Roy meletakkan bakso yang ia bawa di atas karpet hijau.

"Gue kalau diem malah nambah sakit, Roy. Repot amat bawa apaan tuh?"

"Halah, bakso doang!"

"Harusnya sekalian sama es campur!" Binar tertawa kecil mengakhiri bicaranya.

Roy ikut tertawa bersamanya. "Iya harusnya, ya. Tapi sing eling, Bin! Lagi sakit!"

"Udah sembuh."

Binar meletakkan sapunya, duduk bersama Roy di karpet. "Duh, lupa ambilin mangkok."

"Hadeh, bilang aja nyuruh gue ambilin!" Roy beranjak dari walaupun mendumel.

Binar lagi-lagi tertawa. "Gimana tadi sekolah?"

"Ngebosenin seperti biasa. Lo ditanyain guru-guru. Kalau gue yang nggak masuk, boro-boro ditanyain!"

"Iri bilang, Bos!"

"Kampret emang! Eh, tapi tadi di kelas tetep bau koyo. Gue sempat overthinking. Jangan-jangan lo di rumah lagi sekarat, terus arwah lo main ke sekolah."

"Astaghfirullah ... omongan adalah doa!"

Roy tertawa terpingkal-pingkal. "Gue belum selesai ngomong. Ternyata bau koyonya berasal dari Ersa!"

Kali ini Binar ikut tertawa. "Tadi pagi gue yang nempel paksa. Lehernya sakit gara-gara ketiduran di sini."

"Dia tidur sini?" Roy sampai melotot.

Binar mengangguk.

"Sebenarnya apa yang udah gue lewatkan? Dengan dia bawa surat dokter lo, gue udah heran. Lah, ternyata semalam malah nginep di sini!"

"Jangan cemburu gitu! Dengerin penjelasan aku dulu, Sayang!" Binar menoel dagu Roy.

"Idih si najis!" Roy mengelap bekas towelan Binar.

Binar tertawa lagi, kemudian mulai menjelaskan semua kronologi yang terjadi.

***

Jujur Ersa kesal. Saat sampai minimarket, Binar sudah nongol di sana. Ersa susah payah terpaksa membawanya ke klinik. Eh, orangnya malah sudah kembali kerja.

Seandainya ada apa-apa lagi, Ersa tidak sudi menolong.

Ersa mengambil es batu, menuangkan latte. Ia mau makan sosis dingin saja malam ini.

"Sa, gue berangkat bimbel dulu! Di sini makan sambil temani Jena kerja, ya. Bantu-bantu juga boleh." Binar menyangklong tasnya.

Ersa berdecih kesal. "Bocah sarap!"

Binar semangat sekali berangkat bimbingan belajar. Ersa menuju ke meja kasir membayar belanjaannya.

"Sa ... makasih buat kemarin, ya. Nggak tahu gimana jadinya kalau nggak ada lo."

Jujur, Ersa terkejut. Hei ... apa benar yang sedang bicara ini adalah Jena?

Jena yang biasanya bicara pakai otot, tiba-tiba bicara dengan lembut. Bahkan ia juga tersenyum tulus.

Ersa tertegun beberapa saat melihat senyumnya. Ersa baru tahu ternyata Jena semanis itu ketika tersenyum.

"Terpaksa, sih." Ersa berusaha tidak menunjukkan sisi kagumnya. Ia usahakan mukanya tetap datar.

Tapi Jena masih tersenyum padanya. 'Duh, gawat ini!'

"Kalau gue lihat nggak terpaksa, sih. Soalnya lo kelihatan panik juga. Gue baru lihat sisi baik lo. Gue bisa tahu lo tulus kok. Maaf gue selama ini selalu ketus sama lo. Mungkin mulai sekarang kita bisa temenan."

Ersa membeku di tempat. Sepertinya lebih baik Jena bersikap seperti biasanya. Jangan seperti ini! Ersa malah merinding!

"Ini berapa duit? Gue laper!"

Jena hanya langsung melayani pembelian Ersa. Setelah itu ia membiarkan Ersa makan engan tenang.

Ersa tanpa sadar sesekali melirik Jena. Gadis itu melayani setiap pelanggan yang datang dengan sepenuh hati. Ersa terus menerus salah fokus pada senyumnya yang manis.

Tidak seperti biasanya yang sepi. Malam ini minimarket ramai. Baru saja kedatangan rombongan beberapa mobil elf.

Jena kewalahan melayani mereka sendirian. Belum lagi kalau ada orang menyebalkan dan tidak suka menunggu.

Duh, Ersa harus bagaimana?

Ersa sekarang bahkan sudah berdiri. Ia berjalan pelan menuju meja kasir Binar yang semula diberi tanda tutup.

Ersa memakai celemek milik Binar.

Jena tersenyum pada Ersa. Senang karena pemuda itu bersedia membantunya.

"Makasih, ya, Sa."

"Aku belum bisa nyetak struk!" Ersa to the point mengatakan kendalanya.

Jena mengajari pemuda itu baga caranya.

Untung Ersa belajar dengan cepat. Sedikit demi sedikit pelanggan mulai berkurang. Dan akhirnya habis.

"Sa, makasih banget, lho. Ngomong-ngomong karena sekarang kita udah temenan, gimana kalau kita tukeran nomor HP? Biar bisa saling berkabar kalau mau main bareng."

Ersa membeku sekali lagi. Masih tak yakin bahwa wanita di hadapannya ini benar-benar adalah Jena yang biasanya.

Ersa ingin sekali menyangkal bahwa mereka sudah berteman. Tapi nyatanya ia hanya diam. Dan malah menyerahkan ponselnya, supaya Jena bisa menulis nomornya di sana.

***

Binar baru saja keluar kelas. Seperti biasa, situasi bimbingan belajar selalu menyenangkan. Binar kesal, kemarin ia malah sakit. Sehingga harus absen 1 hari.

"Ersa!"

Binar mendengar panggilan itu. Tapi ia tidak berhenti melangkah, karena ia tidak merasa dipanggil.

"Ersa!"

Suara itu semakin mendekat. Suara langkah kaki yang mendekat pun menyusul. Sekarang ada seseorang yang berjalan beriringan dengan Binar.

Orang itu ternyata adalah Pak Thomas, tutor yang tadi mengajar kelasnya.

Binar berhenti melangkah untuk memberi salam. Ah, Binar baru ingat, ia di sini sebagai Ersa!

"Maaf ya, Pak. Saya tadi nggak dengar." Binar langsung minta maaf. Sedikit berbohong, saking tidak tahu harus beralasan apa.

Pak Thomas tersenyum ramah. "Nggak apa-apa. Santai aja. Saya sebenarnya mau ngomong sedikit. Pengen tahu kamu. Saya ini temannya ayah kamu, Sa. Temennya Damara. Saya antusias saat Damara bilang, anaknya ikut bimbel di sini. Saya udah nggak sabar nunggu giliran ngisi kelas kamu. Dan hari ini ternyata jadwalnya."

Binar tersenyum canggung. Merasa tidak enak, sudah membohongi Pak Thomas. Tapi ia juga tidak mungkin terus terang mengatakan bahwa ia bukan Ersa.

"Kamu mau langsung balik, Sa?"

Binar mengangguk. "Iya, Pak."

"Lebih baik memang langsung pulang. Sudah larut malam. Hati-hati di jalan kamu."

"Baik, Pak. Terima kasih. Bapak juga hati-hati."

Pak Thomas mengangguk. "Ngomong-ngomong kamu mirip, lho, sama ayahmu. Terutama bentuk rahang sama hidung."

Binar rasanya ingin tertawa. Apa-apaan Pak Thomas ini. Basa-basinya lucu!

Mana mungkin Binar mirip dengan ayahnya Ersa?

"Salam buat Damara ya, Sa!"

Binar mengangguk. "Baik, nanti saya sampaikan, Pak."

'Maksudnya saya sampaikan pada Ersa yang asli. Biar dia sampaikan pada bapaknya."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • muymuy

    Gak di next kak?

    Comment on chapter Hari Pembagian Rapor
Similar Tags
After School
3358      1363     0     
Romance
Janelendra (Janel) bukanlah cowok populer di zaman SMA, dulu, di era 90an. Dia hanya cowok medioker yang bergabung dengan geng populer di sekolah. Soal urusan cinta pun dia bukan ahlinya. Dia sulit sekali mengungkapkan cinta pada cewek yang dia suka. Lalu momen jatuh cinta yang mengubah hidup itu tiba. Di hari pertama sekolah, di tahun ajaran baru 1996/1997, Janel berkenalan dengan Lovi, sang...
Asa
4770      1427     6     
Romance
"Tentang harapan, rasa nyaman, dan perpisahan." Saffa Keenan Aleyski, gadis yang tengah mencari kebahagiaannya sendiri, cinta pertama telah di hancurkan ayahnya sendiri. Di cerita inilah Saffa mencari cinta barunya, bertemu dengan seorang Adrian Yazid Alindra, lelaki paling sempurna dimatanya. Saffa dengan mudahnya menjatuhkan hatinya ke lubang tanpa dasar yang diciptakan oleh Adrian...
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
1376      789     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
Orange Blossom
646      455     3     
Short Story
Kesepian, mimpi dan perjuangan, dua orang kesepian yang terikat dalam kesendirian, kisah yang bermula dari segelas Orange Blossom.
Bukan Pemeran Utama
43      42     0     
Inspirational
Mina, Math, dan Bas sudah bersahabat selama 12 tahun. Ketiganya tumbuh di taman kanak-kanak, sekolah dasar, hingga sekolah menengah yang sama. Dalam perjalanan persahabatan itu, mereka juga menemukan hobi yang mirip, yakni menonton film. Jika Bas hanya menonton film di sela waktu luang saat ia tak sibuk dengan latihannya sebagai atlet lari , maka kegandrungan Math terhadap film sudah berubah m...
Rumah Tanpa Dede
166      111     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
May I be Happy?
654      382     0     
Inspirational
Mencari arti kebahagian dalam kehidupan yang serba tidak pasti, itulah kehidupan yang dijalani oleh Maya. Maya merupakan seseorang yang pemalu, selalu berada didalam zona nyamannya, takut untuk mengambil keputusan, karena dia merasa keluarganya sendiri tidak menaruh kepercayaan kepada dirinya sejak kecil. Hal itu membuat Maya tumbuh menjadi seperti itu, dia tersiksa memiliki sifat itu sedangka...
Semesta Berbicara
1423      824     10     
Romance
Suci Riganna Latief, petugas fasilitas di PT RumahWaktu, hanyalah wajah biasa di antara deretan profesional kelas atas di dunia restorasi gedung tua. Tak ada yang tahu, di balik seragam kerjanya yang lusuh, ia menyimpan luka, kecerdasan tersembunyi, dan masa lalu yang rumit. Dikhianati calon tunangannya sendiri, Tougo—teman masa kecil yang kini berkhianat bersama Anya, wanita ambisius dari k...
Simfoni Rindu Zindy
795      566     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
Penerang Dalam Duka
1009      533     2     
Mystery
[Cerita ini mengisahkan seorang gadis bernama Mina yang berusaha untuk tetap berbuat baik meskipun dunia bersikap kejam padanya.] Semenjak kehilangan keluarganya karena sebuah insiden yang disamarkan sebagai kecelakaan, sifat Mina berubah menjadi lebih tak berperasaan dan juga pendiam. Karena tidak bisa merelakan, Mina bertekad tuk membalaskan dendam bagaimana pun caranya. Namun di kala ...