Meskipun sangat penasaran bagaimana rasanya bekerja, tapi karena ini ada sangkut pautnya dengan Binar ... Ersa kembali emosi.
Ersa baru saja melempar celemek, yang diberikan Binar. Cowok itu melangkah ke arah kanan, tempat di mana lokasi bimbingan belajar berlangsung. Binar benar-benar akan menggantikan Ersa di sana?
"Woi ... mana ini kasirnya?"
Ersa refleks menoleh. Ada orang yang mau membayar, berdiri di depan meja kasir.
"Woi, Mas ... kerja yang bener! Ada orang mau bayar, malah asyik sendiri bawa-bawa sosis bakar!"
"Saya bukan ...."
"Buruan sini! Saya buru-buru!"
Ersa kesal sekali. Ia bahkan tidak ragu menggerutu. Tapi entah kenapa kakinya mengayun juga menuju meja kasir.
Orang ini beli pembalut ternyata. Pantas saja sewot sejak tadi.
Pikir Ersa, tidak apa-apa lah ... cuma sekali saja. Ia juga pasti bisa lah jadi kasir. Tinggal mengarahkan scanner ke barcode saja, kan?
Ersa dengan sedikit ragu mengambil pembalut itu. Ini adalah pengalaman pertamanya berurusan dengan benda yang katanya punya sayap, tapi tidak bisa terbang.
Untuk urusan scan barcode ... Ersa bisa dengan lancar melakukannya. Tapi ternyata, untuk urusan mencetak bukti pembayaran ... Ersa kesulitan. Sudah coba ia otak-atik komputernya. Namun tetap belum berhasil. Maksudnya untuk hal-hal seperti ini memang butuh brifing terlebih dahulu, kan. Binar dulu sebelum resmi jadi kasir, pasti juga ada masa training terlebih dahulu.
Ersa sudah hampir mengirim chat pada Binar. Ada tanda pengenal yang menyertakan nomor ponsel Binar di balik meja.
Tapi Ersa menggeleng ... gengsi, ah. Perkara mudah seperti ini saja ... Ersa rasa tidak perlu cari bantuan, kan? Apa lagi pada Binar.
Ersa terus berusaha mengutak-atik, tapi tetap belum bisa tercetak bukti pembayaran itu.
"Sebenarnya kamu bisa kerja, nggak? Saya buru-buru!" Wanita itu kembali marah-marah.
Ingin rasanya Ersa balik marah-marah. "Maaf, sementara tanpa bukti cetak pembayaran dulu, ya? Koneksi ke pusat sedang trouble!" Ersa menirukan alasan yang pernah diutarakan oleh petugas kasir di minimarket-minimarket yang pernah ia kunjungi.
Dalam beberapa kasus, ia memang pernah mendapat pengalaman seperti itu. Dan biasanya ia tidak masalah. Yang penting transaksi beres.
"Bilang dari tadi, dong! Jadi berapa totalnya?" Orang itu tetap saja nyolot.
"Semuanya 21.400 rupiah." Ersa menjawab dengan menahan amarah.
Wanita itu menyerahkan selembar seratus ribuan.
Ersa mengambilnya, mencari kembalian. Karena hal-hal seperti ini bukan kebiasaan Ersa sehari-hari -- ia bahkan jarang pegang uang tunai -- Ersa jadi agak lama melakukan pelayanan.
"Buruan dong, Mas!" Orang itu kembali menekan Ersa.
"Iya, tolong sabar sebentar." Kali ini emosi tertahan itu cukup terdengar dalam suara Ersa.
Untung ia bisa memberikan kembalian dengan tepat. Dan orang itu baru saja pergi.
Baru lah Ersa mencak-mencak setelah orang itu tidak kelihatan lagi batang hidungnya. "Ngomel-ngomel terus, nggak bisa sabar. Si Binar mana pula ... tanggung jawab kok ditinggal. Awas aja, nanti gue kirim aduan buat lo!"
Ersa berniat untuk lanjut makan sosis. Eh, ada orang mau membayar lagi. Kali ini belanjaannya agak banyak. Berupa stok makanan satu keranjang.
Aduh ... tadi masih bisa disiasati. Tapi kalau belanjaannya sebanyak ini ... mana mau orangnya pergi tanpa bukti pembayaran?
Ersa mencoba untuk tetap tenang. Ia sok menunggu orang itu mengeluarkan belanjaannya dari meja, memindahkan ke meja kasir. Ersa juga mulai melakukan scan barcode pada produk satu per satu. Mukanya sok tenang dan sok iya. Padahal dalam hati deg-degan setengah mati.
Ketika Ersa berkonsentrasi, ada seseorang yang berdiri di sebelahnya. Itu Binar yang ternyata sudah kembali.
Binar langsung mengambil alih scanner. Bekerja dengan cepat. Bahkan ketika mengecek daftar harga di layar, Binar terlihat cekatan melakukannya.
"Semuanya 538.700 rupiah." Binar tersenyum manis pada pelanggan itu.
Pelanggan itu sibuk mengambil uang dari dalam dompet.
"Mungkin ada kartu membernya, Kak?" tanya Binar.
"Iya, ada." Wanita itu menyerahkan kartu membernya, kemudian lanjut menghitung uang dalam dompet untuk diserahkan pada Binar.
"Tujuh ratus rupiahnya mau diambil dari tabungan poin?" tanya Binar.
"Iya, boleh, Mas."
Wanita itu menyerahkan uang 550.000.
"Uang saya terima 550.000, kembali 12.000 rupiah ya, Bu." Binar menyerahkan kembaliannya.
Yang perlu dicatat, Binar masih mempertahankan wajah ramah dan senyumnya. Sesuatu yang jelas sulit dilakukan oleh Ersa.
Sepeninggal orang itu ... Ersa langsung melepaskan uneg-unegnya.
"Ke mana aja lo? Kerjaan main ditinggal aja!"
"Gue gantiin lo bimbel. Ternyata ikut bimbel itu menyenangkan. Pantes aja anak yang ikut bimbel prestasinya meningkat. Gurunya mengajar dengan totalitas banget!" Binar terlihat senang sekali, karena akhirnya merasakan apa yang selama ini menjadi salah satu dari impiannya.
Sayangnya tadi Binar berangkat saat jam bimbingan belajar sudah jalan setengah. Makanya ia hanya sebentar saja di sana. Tahu-tahu sudah kembali.
"Ngapain sok gantiin bimbel segala?"
"Bukan sok gantiin ... tapi sayang aja. Udah dibayar mahal sama orang tua lo. Gue udah bilang, banyak anak nggak beruntung yang belum pernah ngerasain ikut bimbel. Gue salah satunya. Dengan begini kan gue jadi tahu rasanya ikut bimbel!"
"Norak!"
"Terserah deh lo mau ngomong apa. Makasih lho udah mau gantiin jadi kasir. Keren, tanpa training langsung bisa. Lo cocok jadi kasir minimarket." Binar sedikit bercanda seperti biasanya.
Bermaksud supaya Ersa bisa sedikit lebih berbaur. Walau pun menang agak sulit berkomunikasi pada manusia yang satu ini.
***
Olimpiade tahap pertama akan dilaksanakan hari ini. Binar dapat dispensasi tidak datang ke sekolah. Ia manfaatkan waktu semaksimal mungkin untuk istirahat dulu, karena olimpiade masih akan dilaksanakan jam 9 nanti.
Binar ada kesempatan untuk membuat sarapan sehat. Ia senang melihat Pijar makan dengan lahap. Senang juga karena bisa makan bersama dengan tenang, tanpa Binar yang harus selalu diburu waktu.
"Mas Bin semangat, ya! Aku yakin Mas Bin pasti lolos ke tahap propinsi nanti."
"Aamiin. Makasih doanya, ya." Binar melahap makanannya dengan lahap juga. Jarang-jarang Binar seperti ini.
Pijar tersenyum melihat kalung kesayangan Binar, liontin semangginya menyembul dari balik seragam.
"Mas Bin pasti seneng banget ya, dapat kenang-kenangan dari Ibu dan Bapak. Misal aku juga punya barang yang sama, pasti juga aku jaga dengan baik. Seperti Mas Bin jagain kalung itu."
Pijar bukannya iri. Ia bahkan ikut senang. Tapi tetap saja, kadang muncul pertanyaan dalam benaknya ... kenapa hanya Binar yang memiliki kalung itu?
"Ini juga punya kamu, Dek. Ini punya kita berdua, soalnya ini pemberian orang tua kita. Kalau kamu mau gantian jaga juga boleh." Binar sejak dulu selalu menawari Pijar untuk gantian.
Tapi Pijar selalu menolak. "Itu punya Mas Bin. Kan jelas-jelas dikasih ke Mas. Lagian aku kayaknya nggak akan bisa jaga kalung itu sebaik Mas Bin. Takut nanti aku malah ngilangin atau ngerusak. Atau malah aku jual. Nggak ah."
Binar kadang merasa tak enak. Karena sebab ini Pijar pasti merasa diperlakukan berbeda.
"Dulu pas Mas lahir, kondisi ekonomi keluarga kita masih baik, Dek. Makanya Bapak sama Ibu gabut beliin kalung ini. Bapak sama Ibu pasti juga sudah niat beliin kamu kalung juga kok. Tapi kan roda kadang di atas, kadang di bawah. Nggak bisa diprediksi."
"Iya, Mas. Setelah aku lahir, kondisi ekonomi kita jadi berantakan. Gara-gara aku sakit. Pengeluaran keluarga kita jadi banyak. Apa lagi buat operasi pertama aku dulu. Kan dulu kita belum ada asuransi pemerintah. Kalau dihitung-hitung pengeluaran keluarga kita sebagian besar buat aku. Nggak sebanding harganya sama kalung Mas Binar. Mungkin kalau diakumulasi bisa buat beli kalung lebih dari 10. Maaf ya, Mas."
Binar menggeleng cepat. "Kenapa jadi mikir gitu? Pokoknya kalung ini milik kita berdua, oke?"
Pijar hanya mengangguk. Selesai sarapan, Binar langsung memesan ojek online untuk Pijar berangkat sekolah. Setiap hari untuk berangkat dan pulang sekolah, Pijar memang naik ojek online. Karena Pijar tidak boleh naik sepeda jarak jauh seperti Binar.
Setelah itu Binar juga siap-siap berangkat. Karena ia tidak mau terlambat sampai lokasi olimpiade.
Gak di next kak?
Comment on chapter Hari Pembagian Rapor