Namanya Pijar. Saat ini remaja jangkung itu duduk di bangku kelas 9, SMP Kertajaya. Saat ini tinggi Pijar sudah melampaui sang kakak, Binar, yang duduk di bangku SMA kelas 11.
Binar dan Pijar itu mirip. Sampai sering dikira kembar. Padahal mereka beda 2 tahun.
Pijar bisa dikatakan adalah salah satu dari fans garis keras kakaknya sendiri. Bagaimana tidak? Kakaknya memang layak dijadikan panutan.
"Jar ... gimana? Lo udah beres bikin kerangka cerita buat lomba nulis novel di Universitas Kilisuci?" Meira si cewek jeger, ketua redaksi majalah Kharisma, kembali menanyakan soal kerangka yang dijanjikan oleh Pijar.
Kharisma adalah majalah terbitan salah satu ekstrakurikuler literasi di SMP Kertajaya. Redaksi itu dikelola oleh murid-murid yang memang berminat dalam hal jurnalistik, atau pun sastra, dan seni menulis.
Majalah Kharisma terbit 6 bulan sekali. Isinya akan dipenuhi oleh profil siswa berprestasi, dan juga cerpen karangan murid-murid yang bersedia mengirim karyanya.
Sejak kecil, Pijar memang suka mengarang cerita. Ia tumpahkan imajinasi dalam tulisan yang apik. Tulisannya sudah sering nampang di majalah Kharisma. Ia juga sudah pernah menerbitkan novel di penerbit mayor, dan peminat bukunya lumayan banyak.
Makanya Meira minta Pijar untuk mewakili sekolah mereka, ikut kompetisi menulis novel inspiratif, yang diselenggarakan oleh Universitas Kilisuci.
"Udah, Ra. Semalam gue lembur ngerjainnya. Gue harap bisa lolos." Pijar menyerahkan hasil cetak dari kerangka karangannya.
Meira membaca judul kerangka itu terlebih dahulu. "Binar Gemintang." Meira seketika tersenyum. "Ini pasti tentang kalian lagi, ya? Emang boleh saudaraan segemes dan seakur ini? Nggak kayak gue sama adik gue, berantem terus setiap hari!"
Meira memang tahu banyak soal Pijar dan juga Binar. Mengingat ia sudah berteman dengan Pijar sejak masuk SMP. Sebenarnya Meira juga adalah salah satu dari banyaknya fans Binar.
"Lebih tepatnya soal kekaguman gue sama Bang Binar, sih," jawab Pijar.
"Cieee ... andai aja adik gue semanis lo, Jar. Adik gue ngeselin, bikin pengen nabok kalau ketemu!"
"Lah, mbaknya juga barbar! Makanya adiknya nyontoh." Pijar menjawab dengan nyelekit.
"Ish ... elu, mah. Manisnya sama Bang Binar doang. Sama orang lain suka tajam lidah."
Meira mencebik. Dari pada makin kesal, ia kembali fokus pada kerangka karangan Pijar saja. "Gue coba baca blurb-nya dulu aja ya ... pasti menarik banget kisahnya."
Pijar hanya tersenyum sembari mengangguk. Terbayang kembali ketika ia mengingat semua jasa Binar dalam hidupnya, yang semua ia curahkan dalam novel ini.
"Namanya Binar. Orang tua kami memberikan nama indah itu, teriring dengan doa yang menyertai. Terbukti ... ia kini menjadi sosok yang seterang Binar Gemintang ... yang setia menerangi di saat malam. Kami hidup berdua saja pasca Ibu dan Bapak meninggal. Aku tahu, Bang Binar adalah yang paling hancur saat orang tua kami pergi sekaligus. Ia ditinggalkan bersama seorang adik yang merepotkan seperti aku. Aku lahir dengan kondisi fisik yang lemah. Mengharuskan aku minum obat seumur hidup. Mas Binar tak pernah menunjukkan sisi lemahnya di depanku. Dia selalu terlihat ceria dan kuat, di antara segala usaha yang dia lakukan untuk kami bisa bertahan hidup. Ini adalah tentangnya ... kakakku ... penerangku, bahkan ketika mendung datang sekali pun ... cahayanya tak pernah redup."
Meira usai membaca blurb cerita itu. Suaranya jadi serak, karena sibuk terisak ketika membaca kalimat terakhirnya. "Baru juga blurb. Udah mewek aja gue, Jar. Kok bisa sih elo bikin orang sedih, cuma gara-gara baca blurb. Asem emang."
"Elo aja yang baperan, Ra ... pasti gara-gara inget sama cinta lo yang bertepuk sebelah tangan sama Bang Binar, kan? Ngaku aja."
"Jangan diingetin lah, Jar! Jadi makin nelangsa hati gue. Belum juga gue maju, eh ... udah kejebak adik-kakak zone."
Masih teringat saat Meira main ke rumah Pijar, sengaja ingin lebih sering bertemu dengan Binar. Meira membawa makanan masakan ibunya, supaya Binar dan Pijar bisa melakukan perbaikan gizi.
Eh, Binar malah bilang. "Kok repot-repot sih, Ra. Bilang makasih sama Mama elo, ya. Lain kali nggak perlu gini lagi. Nggak enak jadinya. Elo baik banget. Makasih ya udah jadi temannya Pijar. Elo juga udah gue anggap sebagai adik gue sendiri, sama kayak Pijar."
Bagaikan tersambar petir rasanya. Meira seketika kehilangan rasa percaya dirinya. Padahal sebelumnya Meira sudah optimis sekali ingin melangkah maju mendekati Binar.
"Bang Binar, masih bau koyo, kah?" tanya Meira tiba-tiba. "Aromanya khas banget. Kayak almarhum Mbahkung gue. Harusnya cowok seganteng Mas Binar itu wangi musk. Eh, malah bau koyo!"
Pijar terkekeh. "Ya gimana, ya. Kalau jadi Bang Binar, pasti badan bakal pegel-pegel. Orang dia nggak pernah istirahat. Tapi karena terbiasa dengan aroma koyo, malah itu semacam jadi comfort zone kami. Jadi elo jangan asal ledekin Abang gue!"
Meira hanya tertawa. "Manisnya kalian ini. Gemesin banget. Ya udah ya, Pijar ... ini gue bawa dulu. Gue akan diskusikan sama Bu Farida soal kerangka keseluruhannya. Kalau sudah fix, langsung kami kirim ke Universitas Kilisuci."
Bu Farida adalah guru Bahasa Indonesia, sekaligus pembina redaksi Kharisma.
"Oke. Makasih, Ra."
Sepeninggal Meira ... Pijar menatap gadis itu sendu. Sebenarnya sudah lama Pijat ada rasa pada Meira. Mirisnya gadis itu malah naksir kakaknya.
Tapi Pijar tidak menyalahkan Meira. Memangnya gadis mana yang tidak terpesona pada Binar?
Pijar tidak marah pada siapa-siapa. Ia cukup tahu diri. Malah kasihan Meira seandainya Pijar ngeyel mengungkapkan rasa.
Memangnya siapa yang mau pada cowok jantungan sepertinya?
***
Binar masuk rumah dengan sedikit berlari. Ia buru-buru melepas seragamnya, sembari celingukan mencari keberadaan Pijar.
"Gue di sini, Bang Bin!" Binar langsung mengacungkan tangan, tak mau kakaknya makin bingung mencari.
Pijar ternyata sedang duduk lesehan di ruang tamu rumah mereka, sambil memangku laptop keramat -- salah satu benda mewah yang dimiliki rumah ini. Laptop bekas yang dibelikan Binar, supaya Pijar bisa dengan mudah menyalurkan bakat menulisnya.
"Udah makan, Dek?" tanya Binar.
Pijar mengangguk. "Bang Binar yang belum."
"Udah, kok. Tadi dikasih roti sama cewek."
"Cie ... yang banyak fans!"
Binar hanya tersenyum. "Udah minum obat?"
"Udah, dong."
"Nah, gitu ... anak baik."
"Emang kapan aku nggak baik?'
Binar pun terkekeh. Ia buru-buru ganti baju setelah itu. "Gue langsung berangkat, ya. Keburu terlambat, nanti Nenek Sihir marah-marah lagi."
Pijar tergelak. "Hati-hati, lebih baik dimarahi dari pada nggak hati-hati."
"Iya, Sayang."
"Hoek, cuih!"
Pijar meletakkan laptopnya dulu. Ia beranjak untuk mengantar kakaknya sampai depan. Sepeda usang itu sebenarnya sudah tidak layak, sampai tidak punya standar, sehingga harusnya disandarkan pada dinding supaya bisa berdiri.
Binar mulai mengayuh sepedanya, meninggalkan senyuman manis untuk adiknya. Pijar pun tersenyum balik.
Namun senyum itu seketika pudar ketika Binar sudah benar-benar pergi dari pelataran.
Pijar benar-benar merasa bersalah pada Binar. Karena dirinya, Binar harus selalu bekerja keras setiap hari.
Makanya Pijar Ingin sekali bisa lolos dalam kompetisi menulis novel Universitas Kilisuci. Karena jika sampai menang, hadiahnya lumayan.
Setidaknya jika ia dapat uang itu, Binar bisa melepas dulu salah satu dari tiga pekerjaan paruh waktunya. Supaya Binar punya waktu untuk istirahat.
Pijar juga coba mencari tahu soal kompetisi menulis lainnya. Setiap ada kesempatan, ia pasti ikut. Karena hanya ini satu-satunya yang bisa ia lakukan, untuk sedikit meringankan beban Binar.
Gak di next kak?
Comment on chapter Hari Pembagian Rapor