"Kan ... kecium lagi bau koyonya."
"Iya lagi. Kenapa ya di kelas kita sering ada bau koyo begini?"
"Jangan-jangan ada hantu nenek-nenek pakai koyo!"
"Hus, Lambemu! Tapi bisa jadi, sih. Coba tanya sama si Roy Kimochi. Dia katanya anak indihom. Suruh lihat pakai mata batin, ada setan jompo pakai koyo apa nggak?"
"Jangan keras-keras sebut-sebut Roy Kimochi! Ntar dia ngamuk lagi kayak kapan hari. Bisa-bisa khodam Tung Tung Sahur-nya keluar!"
Roy sebenarnya sudah mendengar ucapan-ucapan mengesalkan dari mulut-mulut laknat mereka. Kalau saja tidak ditahan oleh Binar, Roy pasti sudah murka sejak tadi. Seperti kata mereka ... khodam Tung Tung Sahur-nya keluar!
"Udah, nggak usah ditanggepin, Roy. Nggak usah emosian." Binar berusaha menenangkan kawannya itu.
"Sekate-kate mereka manggil gue Roy Kimochi! Gimana nggak emosi?" Susah payah Roy menahan diri untuk tidak ngamuk.
"Tapi emangnya bener kata mereka? Lo anak indihom, Roy? Kok gue baru tahu."
"Indigo, Binar. Bukan indihom. Mereka emang sengaja mancing emosi gue. Nama gue disama-samain orang Indigo. Indigo apanya, baru nyium bau kembang doang, gue udah kabur!"
Binar pun tergelak. "Ya udah, lah. Sabar-sabar aja."
"Lagian kenapa lo rajin banget pake koyo segala, sih, Bin? Itu minyak angin roll on yang wanginya kekinian udah banyak. Malah make koyo! Jadi gue juga yang kena, nih!" Entah sudah protes yang ke berapa kali dilayangkan oleh Roy. Minta Binar berhenti pakai koyo.
Dari 40 orang siswa di kelas, memang hanya Roy yang tahu soal kebiasaan Binar memakai koyo. Ingin rasanya Roy speak up bahwa sumber bau khas orang tua di kelas mereka adalah Binar -- cowok yang selama ini selalu jadi idola cewek-cewek.
Tapi Roy yang hatinya lembut -- walau hobi ngamuk -- tidak tega juga membongkar fakta yang menurutnya lebih seperti aib -- dari kawan baiknya si Binar itu.
"Enakan pakai koyo, Roy. Simpel, sekali tempel berasa panas seharian. Kalau yang roll on, harus re-apply berkali-kali tiap panasnya udah hilang. Gue nggak senganggur itu. Lo kan tahu sendiri, Roy."
Roy hanya bisa tarik napas lagi-lagi. Ia tahu Binar tidak hanya pasang koyo beberapa lembar di beberapa titik tubuhnya yang selalu terasa pegal. Mungkin satu kotak koyo tidak cukup untuk ditempel di seluruh titik pegal tubuh Binar. Di sekujur punggung, dan leher kadang-kadang. Pokoknya banyak, lah.
"Makanya jangan cape-cape! Udah tahu masih sekolah, tapi ambil 3 kerja part time sekaligus. Belum lagi tim sepak bola kebanggaan lo itu. Masih sibuk belajar buat pertahanin beasiswa. Masih ngurus Pijar juga di rumah. Ingat ... lo itu manusia, Bin! Bukan robot canggih buatan Jepang, yang bisa langsung direparasi kalau rusak!"
Binar hanya terkekeh. "Perhatian banget, Roy ... jadi takut naksir gue."
"Cuih ... najis! Seganteng-gantengnya elo ... nggak akan pernah bikin gue belok! Sorry, ya."
***
"Sa ... Papa nggak mau tahu! Semester ini, kamu harus bisa mendapatkan predikat juara umum paralel. Bisa-bisanya kamu kalah terus dari Binar! Hei ... Papa menyewa guru-guru andal untuk pelajaran tambahan kamu. Masa kamu kalah sama Binar yang bahkan nggak ikut les apa-apa? Jangan malu-maluin Papa kamu, Sa!"
Masih terngiang ucapan Damara tadi pagi, yang membuat hati cowok ganteng berkulit sawo matang itu terasa panas. Padahal ia selalu juara 1 di kelas sejak SD. Tapi itu ternyata tidak cukup untuk memuaskan Damara.
Ersa bukannya tidak berusaha. Ia bahkan rela hanya tidur 4 jam setiap hari, demi memperbanyak belajar. Ia juga bingung, kenapa bisa belum bisa mengalahkan Binar? Ia selalu hanya mentok di juara 2 paralel. Dan yang pertama selalu Binar.
Padahal Binar tidak berusaha sekeras dirinya. Binar masih bisa main sepak bola, bahkan jadi kapten tim inti kesebelasan sekolah mereka.
Binar juga masih ada waktu untuk menjadi vokalis sekaligus gitaris, dari band kebanggaan sekolah mereka.
Rakus sekali, Binar masih terus menjadi juara bertahan sebagai yang terbaik di angkatan mereka.
Ersa benar-benar tidak suka dengan segala kelebihan yang dimiliki oleh Binar.
Tak tahan dengan kemelut dalam otak dan dada, Ersa bergegas beranjak dari duduknya. Ia butuh cuci muka sepertinya. Siapa tahu dinginnya air bisa sedikit menjadi siraman rohani. Supaya ia tidak dihantui terus oleh tingginya ekspektasi orang tua.
Sial memang ... begitu masuk ke toilet sekolah, ia malah mendapati ada Binar di sana. Cowok dengan rambut gondrong seleher saingan beratnya itu, tampak sedang kesusahan memasang sesuatu di punggungnya.
Dari pada makin emosi ... Ersa akhirnya berbalik. Ia pergi saja. Soalnya kalau bersama Binar, bisa-bisa tensinya langsung naik.
"Sa ... kenapa nggak jadi masuk? Woi, balik lo! Tolongin gue sini!" Binar berusaha memanggil Ersa untuk kembali.
Ersa sebenarnya dengar, tapi lanjut melangkah saja, lah.
"Ersa budek!" seru Binar cukup keras, yang jelas masih dapat didengar oleh Ersa.
Di luar sana ... langkah kaki Ersa terhenti. Melihat Binar saja rasanya sudah bikin emosi. Eh, malah Binar baru saja mengatainya budek.
Ersa pun berbalik. Ia masuk kembali ke dalam toilet. Binar masih di sana. Masih berdiri di depan area wastafel, di mana ada cermin besar tergantung di dinding. Binar masih sibuk berusaha memasang sesuatu di punggungnya, entah apa.
Binar tidak melepas seragamnya. Hanya merogohkan satu tangan ke area punggung. Makanya Ersa tidak bisa melihat secara pasti, apa yang sebenarnya sedang Binar coba lakukan?
"Seenak jidat aja ngatain orang budek!" Ersa mengatakan itu dengan siratan amarah, namun dengan ekspresi yang datar.
Ersa memang begitu. Jarang bisa berekspresi. Orang mengenalnya sebagai cowok cool yang pandai. Sama-sama cowok most wanted di sekolah seperti Binar.
Jika Binar terkenal karena kharismanya yang tumpah ruah. Sedangkan Ersa terkenal karena betapa dingin sikapnya.
Yang lebih membuat berdebar, mereka berada dalam kelas yang sama. Membuat fans mereka yang tidak sekelas, merasa iri pada anak-anak 11 IPS 1. Yang bisa melihat Binar dan Ersa secara bersamaan setiap hari di kelas mereka itu.
Tapi sebenarnya wajar, karena kelas itu memang kelas unggulan. Semua anak berprestasi terkumpul semua di sana.
"Habisnya gue panggil-panggil nggak nyahut, malah keluar. Padahal gue cuma mau minta tolong sama lo." Binar berusaha membela diri. "Tolong pasangin ini di punggung gue, dong. Tempel aja di bagian yang ada bekas koyonya. Barusan tadi copot. Makanya gue mau tempel lagi yang baru!"
Binar tanpa ragu segera mengutarakan permintaan tolongnya.
Sekarang Ersa jadi tahu, ternyata Bintang sedang sibuk berusaha memasang koyo.
Binar sedang melepas kemejanya, supaya Ersa bisa melihat bagian yang Binar maksud.
Jujur Ersa kaget melihat punggung Binar yang dipenuhi tempelan koyo. Dan ia bisa melihat bagian dengan koyo terkelupas, yang dimaksud oleh Binar tadi.
Sebenarnya Ersa juga jadi tahu, betapa kurusnya Binar. Karena tulang punggungnya sampai kelihatan menonjol begitu.
'Oalah, ternyata aroma koyo yang selalu tercium di kelas mereka ... sumbernya dari Binar.'
"Ini buruan tolongin!" Binar kembali berusaha memberikan koyonya pada Ersa.
Ersa menatap Binar dengan tajam. Ia mengambil cepat koyo itu dari tangan Binar. Lalu ia tempelkan pada titik bekas koyo sebelumnya.
Karena Ersa selalu emosi, ketika menempelkan pun, ia lakukan dengan mode darah tinggi. Menempel koyo ... tapi lebih mirip menabok dengan tenaga dalam.
Mana hasilnya koyo itu tertempel dengan miring pula.
"Woi, Sa ... sakit! Punggung gue udah sakit, malah lo tabok begitu pula!" Binar kesal sekali rasanya.
Ia tidak bohong, punggungnya serius sangat sakit sekarang. Jelas ia emosi tingkat tinggi.
"Kalau nggak mau nolong bilang, jangan malah ngawur!" Binar meringis sembari mengelus punggung malangnya.
Ersa tak bicara apa-apa, hanya segera meninggalkan toilet cowok tanpa sepatah kata pun.
Gak di next kak?
Comment on chapter Hari Pembagian Rapor